Syech Siti Djenar , Menyatu Dengan Dzat
disalin
dari buku Syech Siti Jenar cetakan ke IV Safar 1423 H/ April 2003
Masehi; penulis ACHMAD CHODJIM 2002 dengan pengantar oleh Budhy Munawar
Rachman- Direktur Pusat studi Islam Yayasan Paramadina
Syahdan di tepi jalan perkampungan Negeri Demak, seorang lelaki paruh
baya berjalan dengan tenang. Wajahnya putih memancarkan cahaya, janggut
serta cambang berwarna kebiruan. Rambut dikepalanya tertutup blangkon
berwarna hitam garis pinggir merah menyala, begitu juga sorban, gamis
dan jubahnya dengan latar hitam bercorak merah. Lelaki paruh baya itu
bertubuh sedang, berjalan tenang, lengan kanannya menggenggam tasbih
seraya mulutnya komat-kamit mengumandangkan dzikir.
Pada kelokan jalan sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala, bertubuh kekar seraya menghadang. “Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah.
“Saya tidak mengerti Allah! Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi. “Saya sekarang sudah berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan tenang. “Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis.
“Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya.
“Saya tidak mengenal, kisanak. Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …” ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan.
Lelaki berjubah tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya, tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh. “Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan. Seraya berdiri tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua temannya melongo.
“Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah. “Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?”
“Saya, Syekh Siti Jenar. Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan. Saya permisi.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan. Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas. Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain.
“Hahaha, kita pasti kaya dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?” Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa dia manusia sakti mandraguna. Sebaiknya kita berguru padanya agar memiliki kesaktian.”
“Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo menduga-duga.
***
Pada kelokan jalan sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala, bertubuh kekar seraya menghadang. “Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah.
“Saya tidak mengerti Allah! Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi. “Saya sekarang sudah berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan tenang. “Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis.
“Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya.
“Saya tidak mengenal, kisanak. Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …” ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan.
Lelaki berjubah tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya, tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh. “Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan. Seraya berdiri tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua temannya melongo.
“Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah. “Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?”
“Saya, Syekh Siti Jenar. Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan. Saya permisi.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan. Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas. Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain.
“Hahaha, kita pasti kaya dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?” Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa dia manusia sakti mandraguna. Sebaiknya kita berguru padanya agar memiliki kesaktian.”
“Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo menduga-duga.
***
Syehk Siti Jenar, telah sampai ke pusat Kerajaan Demak. Langkahnya yang
tenang serta penuh wibawa tidak lolos dari pandangan para prajurit
penjaga keamanan. “Siapakah lelaki itu?” tanya prajurit kerempeng pada
temannya yang bertubuh tambun. “Wali,” jawab si Tambun tenang.
“Pakaiannya mirip wali songo, tapi saya baru kali ini melihatnya. Kita
perlu menanyai dan memeriksa orang yang tidak dikenal, mungkin saja dia
pemberontak yang lagi menyamar.” ucap si Kerempeng penuh curiga.
“Biarkan saja, siapa tahu dia sahabatnya para wali. Buktinya dia
berjalan menuju mesjid.” si Tambun tetap tenang. “Meskipun demikian kita
tetap harus menjalankan tugas. Ayo kita hadang dia dan tanya maksud
kedatangannya!” si Kerempeng bergegas menenteng tombak dan tameng,
mengejar langkah Syekh Siti Jenar
“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk.
“Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar.
“Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya. “Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum.
“Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.
“Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar.
“Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng. “Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar. “Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak. “Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.”
Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak. “Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat. “Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.
“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya. “Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang. “O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya. “Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak. “Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.”
Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang menghunus pedang. “Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar. “Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….”
Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher. “Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng. “Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming. “Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.
“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak. “Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon. “Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang.
“Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. “Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.” “Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin.
Maka berbincanglah mereka melalui batin. Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid. Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”
“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak. “Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini. “Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak.
Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya. “Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam. “Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamalkan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya. “Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi. “Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala. “Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak peduli.
“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk.
“Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar.
“Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya. “Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum.
“Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.
“Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar.
“Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng. “Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar. “Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak. “Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.”
Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak. “Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat. “Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.
“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya. “Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang. “O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya. “Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak. “Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.”
Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang menghunus pedang. “Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar. “Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….”
Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher. “Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng. “Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming. “Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.
“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak. “Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon. “Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang.
“Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. “Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.” “Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin.
Maka berbincanglah mereka melalui batin. Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid. Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”
“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak. “Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini. “Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak.
Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya. “Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam. “Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamalkan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya. “Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi. “Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala. “Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak peduli.
***
“Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan
beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar
memasuki masjid Demak. “Terimakasih,” Syehk Siti Jenar berjalan
berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah masjid,
menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul. “Selamat datang, Syekh.”
sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami. “Silahkan,”
“Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin. ‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga. ‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’
‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’ “Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”
“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga. “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin. ‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping nyata’…”
“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang. “Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang. “…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi, lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan.
“Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri. “Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.
“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi. ‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’ ‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban. “Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”
‘“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui. “Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.
“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’
Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri. “Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri. Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin. ‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga. ‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’
‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’ “Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”
“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga. “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin. ‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping nyata’…”
“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang. “Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang. “…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi, lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan.
“Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri. “Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.
“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi. ‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’ ‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban. “Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”
‘“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui. “Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.
“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’
Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri. “Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri. Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing.
***
“Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya kita agak kesulitan untuk menyebarkan
Islam disini.” Sunan Kalijaga memandang kerumunan orang. “Kayaknya
mereka lebih menyukai hura-hura dan gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga.”
tambah Sunan Bonang, matanya memperhatikan orang yang berkerumun menju
pasar seni. “Kita pun tidak perlu kalah, Kanjeng Sunan Bonang. Jika
hanya mendengar kita berceramah kayaknya kurang tertarik, alangkah lebih
baiknya kita pun harus mengadakan pendekatan budaya.”
Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang.
“Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.”
“O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.”
“Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.”
“Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga. “Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya.
Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang.
“Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.”
“O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.”
“Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.”
“Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga. “Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya.
***
Matahari mulai menyelinap dibalik bukit, kirimkan sinar keemasan di
langit sebelah barat. Awan berubah menjadi jingga, mengitari puncak
pegunungan. Masa keemasan akan tiba seiring dengan perputaran roda
kehidupan dan waktu. Lagu Ilir-ilir bergema sebelum waktu Magrib tiba,
nyanyian bermakna mendalam ciptaan para wali. Rakyat menyanyikannya
dengan gembira, ada yang memahmi akan makna dan maksudnya, ada pula yang
masih buta akan isinya, ada pula yang hanya menikmati lirik dan
syairnya saja. Bedug Magrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju
masjid Demak Bintoro untuk shalat berjamaah. Shalat Isya pun tidak mau
mereka lewatkan, meski ajaran Islam belum diterima secara merata. Dakwah
yang dilakukan sebagain Wali melalui media wayang kulit dan tabuhan
gamelan sebagai daya tarik. Cara seperti itu benar-benar efektif bisa
mengikat banyak orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sunan
Kalijaga melepas jubah kewalian, mengenakan pakaian serba hitam ala
petani, rakyat jelata. Hingga tidak ada antara dirinya dengan rakyat.
Rakyat lebih mudah didekati tanpa rasa curiga, karena Sunan Kalijaga
berbaur didalamnnya.
“Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.”
“Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro.
“Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan.
“Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diaNgkat jadi murid. Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang.
“Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?” “Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol.
“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo.
”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?” “Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengangguk. “Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang. “Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar.
“Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.”
“Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro.
“Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan.
“Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diaNgkat jadi murid. Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang.
“Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?” “Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol.
“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo.
”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?” “Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengangguk. “Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang. “Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar.
***
Walisongo terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan Kalijaga
berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur dengan rakyat
kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa diterima
ketimbang hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan Bonang. “Karena antara
kita dengan mereka nyaris tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan
Kalijaga. “Ternyata hanya dengan cara berpakaian saja, mereka sudah
sulit didekati.”
“Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang.
“Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria.
“Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang. Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan.
“Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.
“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri.
”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga.
“Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga.
“Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”
“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
“Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang.
“Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria.
“Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang. Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan.
“Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.
“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri.
”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga.
“Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga.
“Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”
“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
***
“Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar. “Indah dan asri
pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan
Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya tenang, pohon
hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit
menanjak menuju gerbang padepokan. “Tentu saja harus indah dan asri,
karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah seharusnya
menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri dengannya.
Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan menciptakan
segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!”
“Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua
teamnnya. “Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita
akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.”
Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo
Benowo dan kedua temannya.
“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain. ——————- Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub. “Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri. “Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar. Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.” “Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut. ——————- “Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui.
“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain. ——————- Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub. “Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri. “Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar. Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.” “Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut. ——————- “Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui.
***
“Syekh, andika membawa ajaran Islam. Padahal agama yang saya kenal
sebelumnya adalah Hindu dan Budha.” ujar Kebo Kenongo. “Namun stelah
saya perhatikan ternyata inti dari ke tiga agama tersebut memiliki
kesaamaan.” “Benar, Ki Ageng Pengging.” ucap Syekh Siti Jenar, matanya
menatap tajam wajah lelaki yang masih keturunan Majapahit. “Semua agama
sebenarnya dari asal yang satu. Itulah tadi yang saya uraikan.” “Saya
paham dan tertarik untuk mengambil kesamaan dari ke tiga ajaran tadi.”
tambah Kebo Kenongo. “Hanya yang membedakan agama-agama tadi adalah
lelaku lahiryahnya saja.” “Benar, Ki Ageng Pengging. Sebab hakikatnya
sama, mencari yang namanya Sang Pencipta, Sang Pemilik, Sang Maha
Perkasa.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya jari jemari tangannya memberi
gambaran simbol pada Kebo Kenongo. “Kita hanya bisa merasakan nikmat
saat bergumul dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Mungkin syariat dari ajaran
Hindu dan Budha bersemadi, mungkin orang Islam dengan tata cara
berdzikir, berdoa, dan Shalat. Tapi semua itu hanyalah bentuk pendekatan
secara jasadiah saja, sedangkan batinnnya tertuju pada Yang Maha
Segalanya.” urai Syekh Siti Jenar. “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo sejenak
memandang ke arah puncak gunung, “Kenikmatan kita saat bersemadi ketika
wujud kita telah menyatu dengannya.” “Itulah Manunggaling Kawula Gusti.”
terang Syekh Siti Jenar pelan. Lalu bangkit dari duduknya, melangkah
pelan menyusuri jalan setapak di ikuti Kebo Kenongo menuju padepokan.
“Mereka sedang memperbincangkan apa di atas sana?” Loro Gempol melirik
ke arah Kebo Benowo yang sedang berdiri di halaman padepokan.
“Kelihatannya sangat serius.” “Apalagi yang mereka perbincangkan kalau
bukan masyalah ilmu.” jawab Kebo Benowo datar. “Mengapa mereka
kelihatannya khusuk dan serius. Mungkinkah karena Syekh Siti Jenar
berbincang-bincang dengan keturunan Majapahit? Sehingga dia
memperlakukan Ki Ageng Pengging lebih istimewa dibandingkan dengan kita,
mantan rampok.” tatapan mata Loro Gempol tertuju kembali pada Syekh
Siti Jenar dan Kebo Kenongo, mereka sedang menuruni bukit menuju
padepokan. “Andika jangan berprasangka buruk, Gempol!” Kebo Benowo
memberi apalagi mengistimewakan satu dengan lainnya. Hanya Syekh Siti
Jenar akan mudah diajak berbincang-bincang jika kita memahami yang
dibicarakannya. Kita belum bisa dianggap selevel dengan Ki Ageng
Pengging. Karena kita latar belakangnya rampok dan tidak pernah mengenal
ajaran agama apalagi filsafat, sedangkan Ki Ageng Pengging sudah
mengenal agama-agama sebelum datang ajaran Syekh Siti Jenar, ditambah
lagi dia orang cerdas.” urai Kebo Benowo. “Mungkin ya…mungkin tidak?”
Loro Gempol menghentikan pembicaraannya, karena mereka sudah mendekat.
“Andika berdua memperbincangkan saya?” Syekh Siti Jenar menatap Kebo
Benowo dan Loro Gempol. Keduanya hanya mengangguk dan selanjutnya
menundukan kepala. Karena mereka baru menyadari kalau Syekh Siti Jenar
memiliki ilmu batin yang sangat hebat. “Tidak mengapa, jika memang
pertemuan saya dengan Ki Ageng Pengging menjadi bahan perbincangan
andika berdua.” ujar Syekh Siti Jenar enteng. “Andika pun hendaknya bisa
mencapai tahapan yang sedang kami perbincangkan.” melanjutkan
langkahnya, di belakangnya Kebo Kenongo mengiringi. “Inti dari ajaran
Manunggaling Kawula Gusti?” Kebo Kenongo memulai lagi perbincangan,
setelah beberapa langkah jauh dari Loro Gempol dan Kebo Benowo. “Ya,
ketika kita menyatu dengan Dzat Sang Pencipta, Allah.” terang Syekh Siti
Jenar. “Disitu terjadi penyatuan antara Gusti dan abdinya. Setelah kita
menyatu dengannya, apa masih perlu yang namanya dzikir, shalat,
ritual?” ——————- “Bukankah tujuan dari dzikir, shalat, dan ritual itu
untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?” timpal Kebo
Kenongo. “Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya terhenti di tepi
jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di langit biru. “Jika
kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah kita perlu melakukan
upaya dan tata cara pendekatan?” “Tentu saja jawabnya tidak.” Kebo
Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar dari wajah Syekh Siti
Jenar. “Upaya pendekatan apalagi yang harus kita lakukan, jika kita
sudah melebihi dari dekat. Apa pun yang kita inginkan bisa terwujud
hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!” tambah Syekh Siti
Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan tadi, mana mungkin
akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya. Karena lebih nikmat
didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia dan segala
isinya.” “Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya,
mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar. “Untuk meyakinkan segala hal
yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.” saran Syekh
Siti Jenar. “Saya sering melakukan semedi dan tapabrata, Syekh. Namun
yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu di sisi
mana?” tanya Kebo Kenongo. “Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti Jenar
menghela napas dalam- dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih mendalam
jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari sebelumnya. Maka
hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling Kawula Gusti.
Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika seandainya Ki
Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti dibahas.” Saya
paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.
***
“Saya mendapat kabar tentang pesatnya ajaran yang disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk bersila di hadapan Sunan
Kalijaga. “Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan Kalijaga mengamini.
“Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam penyebaran agama Islam di
tanah Jawa. Padahal dia bukanlah seorang wali?” Sunan Giri menyela.
”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan pesat di sini bukan berarti
mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun cukup berhasil dalam upaya
ini.” terang Sunan Bonang. “Tidak lupa pula para wali yang lain.”
”Bukankah kita pun sebagai para wali telah menyisir seluruh pulau Jawa
dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar Sunan Giri. Sunan Bonang
menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui batinnya. ’Bukankah maksud
kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang akan dibicarakan. Tetapi
tentang isi ajaran yang disampaikannya.’ ‘Itulah yang membuat saya
khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun mudah-mudahan yang kita
khawatirkan itu tidak..’ “Kenapa andika berdua terdiam?” Sunan Giri
menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Ada apa?” ”Tidak, Kanjeng
Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang rakyat jelata
seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar luaskan
ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan Bonang. “Tetap
saja pesatnya ajaran yang dia bawa penyebarannya tidak akan seluas para
wali, termasuk pengaruh dan wibawanya. Mungkin hanya sekelompok kecil
saja yang kemungkinan terserak di pelosok Negeri Demak Bintoro.” ujar
Sunan Giri. “Namun itu bukan sebuah persoalan selama dia tidak
menyimpang dari aturan para wali.” ‘Apa boleh buat, justru itulah
nantinya akan menuai persoalan.’ batin Sunan Bonang. ——————- ‘Namun
biarlah waktu yang menjawab, Kanjeng. Sebab kita tidak mungkin bisa
merubah alur kehidupan yang akan terjadi. Bukankah kita hanya sebatas
mengetahui dengan keterbatasan ilmu kita, Kanjeng.’ urai Sunan Kalijaga
dengan bahasa batinnya.
***
Prajurit Demak yang pernah berhadapan dengan Syekh Siti Jenar, si
Kerempeng dan si Tambun sedang berbincang-bincang di bawah pohon
beringin menunggu giliran berjaga di gerbang alun-alun Demak Bintoro.
“Syekh Siti Jenar ternyata temannya para wali.” ujar si Tambun. “Namun
apakah dia juga termasuk salah seorang wali di antara wali songo?”
matanya menatap si Kerempeng. “Tanyakan saja pada Kanjeng Sunan
Kalijaga. Jangan pada saya!” jawab si Kerempeng tinggi. “Tapi jika
melihat kesaktian dan kehebatan ilmunya saya yakin bahwa dia masih
termasuk wali.” si Tambun mengerutkan dahinya, coba menebak-nebak.
“Buktinya dengan Sunan Kalijaga sangat akrab, terkadang bicara melalui
tatapan matanya. Tentang pembicaraannya tidak kita pahami.” “Andika
sepertinya tertarik oleh Syekh Siti Jenar, Gendut?” si Kerempeng
berdiri. “Benar,” jawab si Tambun tenang. “Saya jadi ingin memiliki
ilmunya.” “Kenapa mesti berguru pada Syekh Siti Jenar yang tidak jelas
asal usulnya? Bukankah Kanjeng Sunan Kalijaga juga sangat sakti dan
beliau jelas asal usulnya.” terang si Kerempeng. “Ya, tetapi tidak mudah
untuk mendapatkan ilmu dari para wali tanpa melalui tahapan-tahapan
yang berat.” ujar si Tambun. “Apa bedanya dengan Syekh Siti Jenar?” si
Kerempeng menyandarkan punggung ke pohon beringin. “Jelas beda. Kalau
Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan ilmu,” tambah si Tambun. “Tahu
dari mana?” si Kerempeng penasaran. “Itu dugaan saya.” jawab si Tambun.
“Lha, baru menduga-duga. Saya kira sudah tahu dan yakin.” ucap si
Kerempeng. “Meskipun hanya berupa dugaan tapi saya yakin.” si Tambun
membetulkan penutup kepalanya. “Jika Syekh Siti Jenar sangat mudah
memberikan ilmu. Makanya ingin membuktikannya, kalau tahu tempat
tinggalnya atau padepokannya akan saya datangi.” jelas si Tambun seraya
mengangkat tombak, langkah kakinya pelan menuju gerbang alun-alun Demak
Bintoro untuk melaksanakan tugas mengganti yang lain. “Cari saja kalau
mau!” ujar si Kerempeng melangkah dibelakangnya. “Saya rasa mudah
mencari tempat tinggal orang sakti seperti Syekh Siti Jenar. Tentu
orang-orang Demak Bintoro pada kenal seperti halnya para wali.”
sama-sama menuju gerbang alun-alun. “Pasti.” si Tambun
mengangguk-anggukan kepala. “Karena dia salah seorang dari wali, hanya
saja tidak termasuk wali sembilan. Mungkin karena tidak tinggal di pusat
kota Demak Bintoro. Mungkin juga dia punya tugas lain di pedesaan dalam
penyebaran agama Islam?” langkahnnya terhenti tepat di depan gerbang
alun-alun Demak Bintoro. “Kenapa andika punya dugaan, bahwa Syekh Siti
Jenar seolah-olah ditugaskan menyebarkan ajaran Islam di Pedesaan?”
tanya Si Kerempeng. “Pertama karena dia jarang berkumpul di dalam masjid
Demak. Keduanya dia sangat terlihat akrab dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
yang memilki kesaktian seimbang dengannya.” terang si Tambun. “Bisa
jadi?” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Namun meskipun Kanjeng Sunan
Kalijaga orang sakti tapi pembicaraannya tentang agama bisa dipahami
oleh kita, berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang kadang-kadang ucapannya
membingungkan kita?” ——————- “Itulah bedanya Kanjeng Sunan Kalijaga
dengan Syekh Siti Jenar.” ujar si Tambun, berdiri tegak sambil memegang
tombak. “Maksud andika?” “Kalau belajar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
untuk sampai pada tahap atas harus bertahap, tidak bisa langsung.
Sedangkan Syekh Siti Jenar bisa loncat pada tingkatan yang kita
inginkan, buktinya dia berbicara yang tidak bisa kita pahami, berarti
sudah bisa loncat.” si Tambun mencoba menerangkan. “Cerdas juga andika,
Gendut.” ujar si Kerempeng. “Saya yakin Kanjeng Sunan Kalijaga
mengajarkan dengan bertahap karena beliau melihat kemampuan orang yang
menerima. Sedangkan Syekh Siti Jenar tidak, makanya pembicaraannya
kadang-kadang melantur.” “Melantur itu menurut kita, karena kita ilmunya
masih rendah. Coba saja jika kita sudah berada pada tahapan atas
mungkin sangat paham pada setiap ucapan Syekh Siti Jenar.” bela si
Tambun. “Tida mungkin,” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Masa dia
pernah bilang kalau Allah itu punya empat prajurit? Bukankah Allah itu
punya para Malaikat? Kenapa mesti ada lagi prajurit, aneh bukan?”
tambahnya. “Justru itulah, kisanak.” si Tambun tersenyum. “Saya
penasaran dengan yang disebut empat prajurit Allah oleh Syekh Siti
Jenar. Siapakah itu? Dan mengapa prajurit Allah bisa diperintah juga
oleh Syekh Siti Jenar. Kalau saya memiliki ilmu seperti itu dan
menguasai prajurit Allah seperti dia tentu pangkat akan naik. Tdak lagi
jadi prajurit tapi jadi Raja…hahaha.” “Mengkhayal,” si Kerempeng
mencibir.
***
***
“Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling kawula gusti’.”
Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu berdiri. “Andika
sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila di sampingnya.
“Bukankah andika telah mencoba menuju maunggaling kawula gusti?” “Benar,
namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.” terang Kebo
Kenongo. “Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum. “Bukankah
shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo
Kenongo mengerutkan dahinya. “Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar
memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir. “Apakah harus
berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian.
“Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek. “Lantas, untuk apa shalat
dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua
itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?” “Jika itu jawaban Ki
Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata,
kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri
hendak shalat. “Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan
menuju manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya.
“Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Lantas?” “Manunggaling
kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.”
terang Syekh Siti Jenar. “Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut.
“Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah
dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak.
“Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah
setelah selesai mendirikannya.” tambahnya. “Baiklah, Syekh.” Keadaan di
padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak
menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi.
——————- Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun
lebat menambah suasana asri. Padepokan yang ditata sedemikian rupa
menambah khusuk para pencari ilmu. “Syekh…” Kebo Kenongo mendekat,
“Shalat saya sudah selesai.” “Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari
duduknya, “Apa yang andika rasakan saat shalat?” “Tidak ada.” “Tidakah
merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakkah andika melihat kain serban
yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar. “Tidak,”
jawab Kebo Kenongo. “Tidakkah andika mendekati Allah?” tanyanya
kemudian. “Saya tidak merasakannya. Tidak pula menjumpainya.” ujar Kebo
Kenongo. “Mungkin shalat saya terlalu khusuk.” Syekh Siti Jenar
menengadah ke langit, lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang
dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo
Kenongo. “Lihatlah!” kedua tangannya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba
tubuhnya mengangkat dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu
jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa. “Apa yang terjadi, Syekh?”
Kebo Kenongo garuk-garuk kepala, keningnya berkerut-kerut. “Ini hanyalah
bagian terkecil akibat dari pendekatan dengan Allah…” dalam keadaan
melayang, matanya menatap tajam ke arah Kebo Kenongo. “Hasil pendekatan?
Jadi bukan manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo
Kenongo bertanya. “Saya belum menerangkan tentang manunggaling kawula
gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh
Siti Jenar, perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya
kembali menyentuh tanah. “Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo.
“Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun, bahkan tidak
bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan
shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga
ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti
Jenar, “Namun ketika orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat,
itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.” “Hampa.” desis Kebo
Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman.
“Kebanyakan orang adalah seperti itu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti
Jenar melangkah pelan. “Jika demikian saya baru berada pada tahapan
syari’at. Bisakah saya menemukan hakikat yang dimaksud oleh Syekh Siti
Jenar?” Kebo Kenongo seakan-akan kehilangan gairah. “Hakikat menuju pada
pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti, maka seperti yang pernah
saya jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski berbeda agama namun bukanlah
andika harus memaksakan syari’at ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng
kerjakan. Karena kebiasaan andika adalah bersemadi. Bukankah dengan cara
itu andika merasakan hal yang berbeda, terutama dalam upaya
pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali mengurainya. ——————- “Benar,
Syekh.” sejenak Kebo Kenongo merenung.
***
“Syekh, maafkan kami menghadap.” ujar Kebo Benowo dan dua temannya.
“Katakanlah!” Syekh Siti Jenar menatap Kebo Benowo dan teman-temannya.
“Kalau boleh, saya menginginkan ilmu yang Syekh miliki. Namun hendaknya
Syekh tidak marah terhadap permintaan saya.” Kebo Benowo dengan nada
pelan. “Jika seandainya saya memiliki ilmu maka tidaklah keberatan untuk
memberikan. Sudah sepatutnya ilmu itu diamalkan.” jawab Syekh Siti
Jenar. “Ilmu jika semakin sering diamalkan dan diajarkan maka akan
semakin bertambah. Namun sebaliknya jika ilmu itu tidak pernah diamalkan
(dibagikan) apalagi kikir untuk mengajarkannya, secara perlahan akan
hilang dari diri kita. Hendaklah tidak ditukar dengan emas atau uang,
apalagi dijual belikan, kalau tidak ingin hilang hakikatnya.” urainya
kemudian. “Ya, Syekh. Jadi kalau begitu saya bisa memohon kepada Syekh
untuk diajari ilmu.” Kebo Benowo semeringah kegirangan. “Ternyata Syekh
sangatlah baik, berbeda dengan orang-orang yang memiliki ilmu tinggi
lainnya. Mereka selalu meminta imbalan, kalau tidak berupa tumbal.” “Apa
yang andika inginkan dari ketidaktahuan saya?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Syekh selalu merendah. Saya menginginkan ilmu untuk bertarung, dan ilmu
untuk mengubah daun menjadi emas.” ujar Kebo Benowo. “Bukankah andika
sudah jago bertarung? Mengapa mesti saya yang mengajari?” Syekh Siti
Jenar membetulkan duduknya. “Untuk apa bisa mengubah daun menjadi emas?”
“Dalam urusan bertarung secara fisik saya bisa. Namun saya masih kalah
dengan ilmu Syekh waktu bertarung saat itu.” Kebo Benowo menelan ludah.
“Juga jika saya bisa mengubah daun menjadi emasmaka saya akan menjadi
orang kaya raya seantero negeri Demak Bintoro.” “Baiklah, pelajarilah
itu.” ujar Syekh Siti Jenar. “Bagaimana cara mempelajarinya?” tanya Kebo
Benowo mengerutkan keningnya. “Dekatkanlah diri andika pada Sang
Pencipta, niscaya apa pun yang andika inginkan akan terkabul. Karena
Sang Penciptalah yang memiliki segalanya.” terang Syekh Siti Jenar.
“Caranya itu yang susah, Syekh. Harus bagaimana?” ——————- “Banyak cara
untuk menuju Allah. Laksanakanlah itu, baru andika akan bisa. Mintalah
apa yang andika inginkan.” terang Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti
dan paham, Syekh.” Kebo Benowo garuk-garuk kepala. “Saya ingin langsung
bisa tanpa harus melalui tahapan rumit yang Syekh sebutkan. Mustahil
Syekh tidak bisa memberikannya.” “Tidak mustahil bagi Allah. Jika memang
Dia menghendaki. Jadi, maka jadilah.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya
sudah bisa?” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, lalu memetik selembar
daun basah dan diusapnya dengan kedua telapak tangan. “Wahhh…benar-benar
hebat ilmu yang Syekh berikan. Saya sudah bisa mengubah daun menjadi
emas. Terimakasih Syekh!” berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Saya juga,
Syekh?” Loro Gempol bangkit dan mencabut golok dari sarungnya, “Lego
Benongo, babatlah tubuh saya dengan golok ini. Cepat!” menyodorkan golok
pada temannya. “Baik, bersiaplah!” tanpa ragu-ragu lagi Lego Benongo
membabatkan golok pada Loro Gempol yang berdiri tegak.
“Hiaaaaaaattttt….!!!” “Hebat, benar-benar hebat.” Loro Gempol ternyenyum
bahagia, ketika tubuhnya dibabat oleh Lego Benongo tidak merasakan apa
pun bahkan seperti membabat angin. “Sudah, Benongo. Cukup!” lalu duduk
bersila dihadapan Syekh Siti Jenar. “Itu yang kalian inginkan. Sudah
saya berikan.” Syekh Siti Jenar menggenggam tasbih dengan tangan
kirinya. “Terimakasih, Syekh. Syekh telah mengajarkan dan mengamalkan
ilmu kepada kami semua dengan satu kalimat, hingga keinginan kami
tercapai.” Kebo Benowo tampak senang, begitu juga temannya. “Kami tidak
akan pernah melupakan jasa baik Syekh, yang telah kami anggap sebagai
guru. Untuk itu izinkanlah kami pulang kampung.” “Kembalilah, karena
hanya itu yang kalian ingin raih.” Syekh Siti Jenar masih dalam keadaan
bersila, terdengar mulutnya komat-kamit membacakan dzikir, sambil
memutar tasbih. Perlahan-lahan tubuhnya samar dari pandangan Kebo Benowo
dan temannya. Hingga akhirnya tidak terlihat. “E..eh, menghilang!” Kebo
Benowo menggosok-gosok kedua matanya, begitu juga ke dua temannya.
“Aneh, kemana beliau?” “Ya, hebat.” Loro Gempol memutar matanya menatap
ke segala arah, menyisir keberadaan Syekh Siti Jenar, “Benar-benar
lenyap.” “Tidak jadi soal. Karena apa yang kita inginkan telah kita
peroleh. Disamping itu kita pun sudah meminta izin untuk kembali ke
kampung. Menghilangnya Syekh Siti Jenar berarti merestui kita semua.
Mari kita turun dari padepokan ini!” Kebo Benowo bangkit dari duduknya,
diikuti temannya. Mereka pun turun dari padepokan menuju kampungnya.
***
“Kalian orang-orang miskin! Sebaiknya tunduk dan takluk pada saya.” Loro
Gempol berkacak pinggang di hadapan orang-orang yang berbondong-bondong
menuju tempa sabung ayam. “Keparat! Apa maumu?” Joyo Dento pemimpin
kelompok sabung ayam “Masa andika tidak mendengar? Bukankah saya
menyuruh andika dan kawan-kawan agar tunduk!?” Loro Gempol dengan sorot
mata meremehkan. “Tunduk? Jangan harap, keparat!” Joyo Dento mencabut
keris dari sarungnya. “Memangnya andika seorang senapati? Enak saja.”
“Hahaha…ternyata andika punya keberanian Joyo Dento?” Loro Gempol tidak
bergeming melihat ketajaman ujung keris yang terhunus. “Kawan-kawan,
habisi dia!” perintah Joyo Dento pada temannya. “Majulah kalian semua!
Buktikan kehebatan kalian jika memang sanggup membunuhku…hahaha!” Loro
Gempol tertawa renyah. “Matilah andika keparat!” Joyo dento menyodokan
keris ke arah uluhati. Diikuti empat orang temannya, menyodok perut,
membabat leher, punggung, kepala, dan kaki. “Hahahaha….hanya ini
kemampuan kalian!” Loro Gempol menanatang. “Ayo teruskan…hahaha!”
sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Membiarkan lawan
melakukan serangan. “Gila?” Joyo Dento menghentikan gerakan, tenaganya
merasa terkuras. Begitu pula teman-temannya. “Ilmu apa yang dimiliki si
Loro Gempol? Rampok kampungan ini mendadak punya kesaktian yang luar
biasa. Seluruh senjata yang kita gunakan untuk mecabik-cabik tubuhnya,
laksana menghantam angin?” mengerutkan keningnya. “Percaya kalian
sekarang dengan kesaktian saya?” Loro Gempol dengan tangan kiri berkacak
pingging, tangan kanannya memutar kumis. “Darimana andika punya ilmu
sihir?” tanya Joyo Dento. ——————- “Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh!
Tapi ilmu miliknya orang sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam
Semesta.” ujar Loro Gempol. “Percaya kalian sekarang pada saya? Jika
percaya dan tidak punya lagi keberanian sebaiknya jadi pengikut saya!
Tunduk pada saya!” “Mana mungkin saya harus tunduk pada andika?
Sedangkan saya belum andika kalahkan.” tantang Joyo Dento. “Jadi kalian
mau saya musnahkan ketimbang tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus
goloknya. “Sebaiknya kita ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo
Dento, meringis ketakutan. “Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya
saja ketimbang dihabisi.” bisik yang lainnya. “Benar juga. Ketimbang
kita mati mengenaskan.” jawab Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba
langkah. “Ayo pikirkan sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada
kalian. Pilih mati atau jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari
menyilangkan golok di depana dadanya. “Kami menyerah saja, Ki.” ujar
Joyo Dento serempak. “Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau
menyerah, untung saja golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro
Gempol kembali menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.”
***
“Syekh, ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta
dengan cara bersemadi.” Kebo Kenongo melangkah pelan di samping Syekh
Siti Jenar. “Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.”
ujar Syekh Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki. “Benar,
seperti Syekh sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak
mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda
ternyata memiliki tujuan sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam.
“Kenapa? Ya, karena itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh
Siti Jenar, menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung
yang berkabut. “Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual
dalam wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang
Pencipta.” tambah Kebo Kenongo. “Satu harapan untuk mendapatkannya.
Mendekatkannya, meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar.
“Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.”
“Lantas?” “Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan
manunggal, tetapi untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan
keinginan. Karena mereka lebih mencintai urusan lahiriyah yang cenderung
duniawi ketimbang urusan alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar
melirik ke arah Kebo Kenongo. “Bukankah ada juga orang yang tidak
terlalu tertarik pada urusan lahiriyah saja? Namun mereka menginginkan
kesempurnaan hidup dan masuk dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?”
kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang
bercahaya. “Itulah yang jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.”
lalu Syekh Siti Jenar memberi isyarat dengan jari jemari tangannya.
“Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan
sesuatu, atau orang tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa
senang dan bahagia, lupalah kepadanya.” “Mengapa, Syekh?” ——————-
“Karena tujuan pendekatan mereka untuk meraih dan memohon kebaikan
lahiriyah saja.” terang Syekh Siti Jenar. “Ketika merasa sudah terkabul
keinginannya, kemudian melupakan Allah.” “Bukankah tidak semua orang
seperti itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo. “Tidak, hanya hitungannya lebih
banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang
yang punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta.
Padahal tahap terkabulnya permohonan mereka bukan karena akrab, tapi
dalam upaya mendekat dan kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka
sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban tidak mungkin melepas
ikatannya semudah itu.” urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak
mungkin orang untuk menjauh. Karena untuk mengakrabi perlu upaya
mendekatan yang memerlukan waktu tidak sebentar.” Kebo Kenongo
mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka tahap akrab dengan Allah itulah
ketika orang dalam keadaan ma’rifat. Ketika kita tidak memiliki lagi
garis pemisah untuk saling bertemu. Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi
sekat-sekat dan ruang kosong sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh
Siti Jenar menghela napas dalam-dalam. “Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo
Kenongo berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. “Nah, pada tahap
akrab itulah kita meminta apa pun tidak mungkin tertolak. Mana ada
keakraban tanpa adanya keterikatan kasih sayang?” Syekh Siti Jenar
perlahan melangkah lagi. “Tentu, Syekh. Saya sangat paham.” Kebo Kenongo
terkagum-kagum dengan uraian Syekh Siti Jenar. “Keakraban dengan Allah
tidak mudah. Namun ketika kita sudah berada dalam lingkarnya tidak mudah
pula untuk melepas.” Syekh Siti Jenar berdiri mematung di bawah pohon
kenanga. “Benar, meski saya pun dengan susah payah mendekat untuk
meangkrabinya belum juga sampai. Karena upaya saya bukan hanya untuk
mendekat dan mengajukan berbagai permohonan. Namun ingin mengakrabinya.”
ujar Kebo Kenongo. “Jika dalam keadaan sangat akrab bukankah tidak
memohon pun akan diberinya?” “Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuanglah
dan bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiryah
pun secara perlahan tidak lagi menjadi persoalan yang sangat istimewa.
Itu semua dirasakan hanyalah sebagai pelengkap lahiryah saja. Sebagai
syarat hidup.” ——————- “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali mengiringi
langkah Syekh Siti Jenar. “Padahal tidak hanya Raden Patah yang memiliki
darah biru dan sekarang menjadi Penguasa Demak Bintoro. Saya pun masih
keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit pun untuk
menjadi penguasa. Tujuan saya bukan itu, tetapi seperti Syekh terangkan
tadi.” “Keinginan lahiryah itulah yang memenjarakan kita menuju
ma’rifat. Ruang kosong, antara, jarak, jeda, pemisah, yang merintangi
keakraban kita dengan Sang Pencipta.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang distimewakan oleh
nafsu keduniawian, karena ingin berkuasa, ingin kekayaan, dan banyak
keinginan. Itu semua yang dinomor satukan. Lahirnya keserakahan.” “Jika
itu yang masuk ke dalam jiwa dan pikiran, hati ini akan terasa gelap.”
ujar Kebo Kenongo. “Mana mungkin menuju akrab untuk mendekat pun kita
harus mencari cahaya jika tidak tentu membabi buta.” “Nah, itulah
penggoda manusia untuk meraih keakraban dengan Allah. Jernihkan hati,
tenangkan jiwa, damaikan gejolak nafsu, merupakan upaya untuk membuka
jalan keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat
sulit menyusuri jalan yang penuh dengan godaan tadi. Karena dalam
dirinya memiliki nafsu yang sangat sulit untuk dikendalikan. Itulah
upaya perjuangan menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang
manusia hanya sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya telah akrab tetapi
dalam kenyataannya tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah ma’rifat.
Sebenarnya ma’rifat bukan sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam
tahapan akrab. Terbelenggulah dengan ikatan kata-kata.” “Ya.” Kebo
Kenongo menghentikan langkahnya seiring dengan Syekh Siti Jenar. “Adakah
perbedaan antara ma’rifat dengan akrab? Atau memang sama ma’rifat
adalah akrab, sedangkan akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu akrab. Orang yang sudah akrab tentu
sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti Jenar, jubahnya yang berwarna hitam
berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?”
kerut Kebo Kenongo. “Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak. “Namun tidak
cukup itu, tentu saja harus diurai dengan maksud dan makna yang terarah.
Mengetahui tentang apa? Tahu tentang apa? Tentu saja tentang dirinya
dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan makna akrab. Sehingga ada istilah
kalau ingin mengenal Gustimu, Allahmu, maka harus mengenal dirimu
sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar. “Saya pernah mendengar, Syekh.” Kebo
Kenongo merenung. “Bukankah Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher
dan lehernya, bola mata putih dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti
Jenar melirik ke samping. “Namun itu sifatnya umum. Tidak masuk ke dalam
makna akrab. Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.” “Bukankah untuk
menuju ma’rifat pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu
Syariat, hakikat, tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar Kebo Kenongo.
——————- “Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring
dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti
orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi
pun orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar
kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tentang sebuah istilah,
yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.”
“Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh
sendiri.” tambah Kebo Kenongo. “Sedangkan dalam agama yang saya pahami
tentu saja punya nama yang berbeda.” “Benar,” timpal Syekh Siti Jenar.
“Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda.
Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.” “Ya.” Kebo Kenongo
menganggukkan kepala. *** “Ki, saya sudah berhasil mengumpulkan
orang-orang untuk dijadikan pengikut kita.” ujar Loro Gempol menjatuhkan
patatnya di atas kursi rotan. “Saya juga sama, Ki.” timpal Lego
Benongo. “Mau kita apakan mereka, Ki?” “Menurut kalian?” Kebo Benowo
balik bertanya. “Ki, bukankah andika masih keturunan dari raja-raja yang
ada di tanah Jawa?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo. “Siapa
turunan raja? Raja rampok yang andika maksud?” Kebo Benowo tersenyum.
“Kenapa andika pun berbicara seperti itu, Gempol?” “Maksud saya, tidak
lain mengumpulkan banyak pengikut tidak untuk dijadikan rampok, tapi
mereka kita jadikan prajurit yang tangguh.” terang Loro Gempol. “Jadikan
prajurit? Memang andika mau mengadakan pemberontakan pada raja Demak
yang sah?” tatap Kebo Benowo. “Benar, rajanya andika, Ki.” Loro Gempol
menganggukan kepala. “Saya jadi patih, sedangkan Lego Benongo sebagai
Senapati. Joyo Dento kita angkat sebagai Panglima.” terangnya. “Andika
ini tidakkah sedang bermimpi disiang bolong, Gempol.” Kebo Benowo
terkekeh. “Mengapa bertanya seperti itu, Ki?” Loro Gempol mengerutkan
dahinya. “Bukankah andika layak menjadi seorang raja. Kita sudah banyak
pengikut. Kita punya kesaktian dan uang, yang belum kita miliki adalah
kekuasaan dan wilayah, karena saat ini sedang dikuasai Demak. Tidak ada
salahnya jika Raden Patah kita taklukan, berada dalam perintah kita.”
urainya. “Gempol, andika jangan berpikir terlampau jauh.” Kebo Benowo
bangkit dari duduknya. “Kenapa aki selalu berbicara seperti itu.
Tidakkah aki yakin pada kekuatan kita, bukankah banyak pengikut, bisa
menciptakan uang, dan ilmu yang tinggi.” Loro Gempol meninggi. “Bukan
demikian maksud saya, Gempol.” Kebo Benowo diam sejenak. “Meski kita
punya banyak pengikut, menciptakan uang dan emas, serta ilmu tinggi,
tentu saja semuanya tidak sebanding dengan kekuatan Penguasa Demak,
Raden Patah. Selain itu mereka memiliki para wali yang selalu
mendampingi dan memakmurkan masjid demak. Mereka semua memiliki ilmu
yang cukup tinggi, kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka.” urainya.
“Benar juga ya, Ki.” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Namun untuk
menghadapi para wali bukankah kita punya guru yang hebat, Syekh Siti
Jenar, beliau bisa menghadapi para wali.” “Andika jangan berpikir
seperti itu, Gempol.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Karena Syekh
Siti Jenar bukan orang yang gila kekuasaan. Mana mungkin dia mau
melakukan pemberontakan dan meraih kekuasaan. Syekh Siti Jenar adalah
orang yang sangat bersahaja, tidak tertarik pada urusan duniawi apalagi
kedudukan dan kekuasaan. Beliau adalah ulama yang telah menyatu dengan
Sang Pencipta. Mustahil tertarik dengan hal-hal yang berbau lahiryah.
Karena menurut beliau kesenangan lahiryah hanyalah sekejap, yang paling
nikmat adalah ketika beliau berada dalam tahap manunggaling kawula
gusti. Bukan begitu? Tentu berbeda dengan kecenderungan kita.”
terangnya. “Baru terpikirkan, Ki.” Loro Gempol membetulkan duduknya.
“Namun aki sendiri apakah punya keinginan untuk meraih kekuasaan dan
menikmati kesenangan dunia?” ——————- “Tentu saja. Karena saya orang
biasa dan seperti halnya orang lain, punya ambisi. Sebab saya bukanlah
Syekh Siti Jenar.” ujar Kebo Benowo. “Namun seandainya kita memiliki
keinginan seperti andika jelaskan tadi tentunya harus dengan cara lain.”
“Cara lain?” Loro Gempol meletakan telunjuk di keningnya. “Ya, karena
jika ingin memberontak. Kita harus mengukur kekuatan pasukan kita, lalu
bandingkan dengan kekuatan Demak. Pikirkan pula tentang logistik kita
selama berperang, selain itu ilmu kadigjayaan kita sudah sejauhmana,
mungkinkah bisa mengalahkan para wali yang berilmu tinggi?” ujar Kebo
Benowo. “Benar juga, Ki.” Loro Gempol mengangguk-anggukan kepala.
“Itulah yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak.” timpalnya.
“Kita haruslah berpikir matang jika tidak ingin mati sia-sia, seperti
halnya anai-anai menyambar api.” “Jika demikian harus bagaimana caranya,
Ki?” Loro Gempol menatap Kebo Benowo, seraya dahinya mengkerut. “Itulah
yang mesti kita pikirkan…” Kebo Benowo memijit dahinya. Keadaan hening
sejenak, pikiran mereka menerawang ke alam kejadian yang akan datang.
Berbagaimacam cara mereka olah dan cerna, demi tercapainya ambisi
kekuasaan.
***
“Lantas ketika Syekh melayang apa yang terjadi?” tanya Kebo Kenongo.
“Saya bisa melayang karena bisa mengatur berat tubuh.” Syekh Siti Jenar
menatap langit, “Lihatlah di sana, Ki Ageng! Mengapa burung itu bisa
beterbangan, lalu saling kejar di ketinggian yang tidak bisa kita
jangkau karena keterbatasan.” “Tapi kenapa syekh sendiri bisa meloncati
keterbatasan tadi?” “Sebenarnya bukan saya bisa meloncati keterbatasan,
namun kita bisa mengatur batas, menjauh dan mendekatkan.” terang Syekh
Siti Jenar. ——————- “Maksud Syekh?” kerut Kebo Kenongo. “Samakah dengan
yang saya dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?” “Ya, namun
berbeda.” “Maksudnya?” “Jika Rasululah Isra Mi’raj dengan kehendak dan
kekuasaan Allah. Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya
kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya. “Ya, saya tidak
bisa seperti Rasulullah. Sebab saya bukan beliau…” terang Syekh Siti
Jenar. “Namun saya bisa menyatu dengan kekuatannya dan dzatnya. Hingga
ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri Demak dengan sekejap itu
bukan persoalan yang mustahil.” tambahnya. “Benarkah itu, Syekh?” Kebo
Kenongo semakin mengkerutkan dahinya. “Jika Ki Ageng Pengging ingin
bukti, maka tataplah saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip! Karena
kepergian saya ke pusat kota Demak Bintoro bagaikan kedip, kembali pun
dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro
akan membawa makanan segar.” usai berkata-kata, samarlah wujud Syekh
Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo Kenongo. “Lha,”
Kebo Kenongo menggosok-gosok kedua matanya. “Benarkah yang sedang
terjadi dan kuperhatikan ini?” “Inilah makan segar dari pusat kota Demak
Bintoro, Ki Ageng.” “Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika
dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali seraya menyodorkan
makanan hangat dengan bungkus daun pisang. “Itulah yang bisa saya
lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas
hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua bungkus makanan hangat
yang beralaskan daun pisang. “Sekarang marilah kita makan alakadarnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak sanggup
untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa andika hanya dalam kedip pergi ke
pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan hidangan makan pagi. Padahal
jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat kota Demak memakan waktu
satu hari satu malam?” ——————- “Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti
Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita tidak sedang berbicara tentang
perjalanan jasad?” “Maksud, Syekh?” “Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika
saya pernah bercerita tentang Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar Syekh
Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari ayat suci Alquran itu? Saya
agak lupa.” Kebo Kenongo menempelkan telunjuk didahinya. “Ketika Kanjeng
Nabi Sulaiman meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan
kursi Ratu Balqis ke istananya. Siapakah yang bisa memindahkan
singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang sangat cepat, hingga jin Iprit
menyanggupi.” “Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun
bukankah Jin Iprit itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman,
karena dia meminta waktu saat Baginda Nabi bangkit dari tempat duduk
maka singgasana akan pindah…” “Benar, waktu seperti itu lama menurut
Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit dari duduk memerlukan waktu
beberapa saat. Hingga berkatalah seorang ulama serta mengungkapkan
kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng Nabi Sulaiman berkedip maka
Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia bawa. Hanya satu kedipan.”
terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.” “Ya,
benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana mungkin bisa
dicerna dan dipahami dengan keterbatasan berpikir manusia.” “Tidak semua
manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang Syekh Siti Jenar. “Itulah
manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan pendalamannya dibidang
ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang
dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh dan sombongnya. Jika hal itu
terjadi maka akan gelap untuk meraba dan meraih yang saya maksud.”
——————- “Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa
membukakan kebodohan dan kekurangan diri kita…” timpal Kebo Kenongo.
“Namun dalam uraian tadi apa yang membedakan kehebatan ilmu yang
dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?” “Tentu saja sangat berbeda.” Syekh
Siti Jenar bangkit dari duduknya, seraya menatap langit. “Jin itu
makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa mereka terbang, melayang-layang di
angkasa, melesat secepat angin, menembus lubang sekecil lubang jarum,
bahkan merubah wujud berbentuk apa pun yang dikehendakinya.” “Bisa pula
tidak terlihat oleh manusia?” “Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat
ghaib itulah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menembus alam
jin. Sebaliknya hanya jin tertentulah yang bisa menampakan diri pada
manusia.” terang Syekh Siti Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya
tidak bisa melebihi manusia.” “Bukankah pada zaman ini banyak pula
orang-orang yang memiliki ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin
mendapat kesaktiannya.” timpal Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya
rasa tidak terlepas dari kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin
yang dijadikan tuannya.” “Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng.
Mereka tidak melihat asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling
mulia di banding yang lainnya. Termasuk jin.” “Jika demikian, Syekh.
Berarti kita harus menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan
memanpaatkan kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”
“Kenapa tidak mungkin. Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri
prajuritnya terdiri dari bangsa jin, selain binatang dan manusia?” “Tapi
untuk menaklukan bangsa jin tentu saja ilmu kita harus di atas mereka,
Syekh?” “Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita
sudah memiliki ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu
memiliki dan menaklukan jin. Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi
Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan
balatentara dan membangun negara, dengan arsitek-arsitek yang kokoh. Jin
dijaman Nabi Sulaiman di suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara,
di suruh membangun keraton berlantaikan kaca yang membatasi kolam
dibawahnya.” “Meski bukan raja kita juga butuh prajurit pengawal,
Syekh?” “Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang dijadikan prajurit
pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak dikawal oleh bangsa
jin, namun selalu disertai oleh Malaikat Jibril kemana pun beliau
pergi.” “Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukkan Malaikat agar
mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?” “Tentu
saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena yang mencabut
nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia. Kanjeng Nabi
Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan sendirinya
Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang-orang shalih.
Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang disampaikan
kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar. “Syekh sendiri
siapa yang mengawal?” “Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga
keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah mengutus
Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas saya
tidak dikawal oleh bangsa jin…” Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila.
“Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?” ——————- “Ya, itu sedikit ilmu
yang saya pelajari dari keMaha Besaran Allah. Mungkin yang mengawal saya
kemana pun pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu
saya pun bisa memanggil prajurit Allah yang empat.” tambah Syekh Siti
Jenar. “Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo. “Apakah para Malaikat?
Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa
triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan berbicara
tentang para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya menyapu wajah
Kebo Kenongo. “Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat
bukan Malaikat,” “Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat bisa mencabut
nyawa manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo Kenongo. “Meskipun
demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita. Hanya
yang membedakan kita dengan Malaikat, dia adalah goib. Malaikat memiliki
keimanan tetap dan tidak pernah berubah, berbeda dengan bangsa manusia
dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia makhluk yang
paling mulia, tetapi sebaliknya derajat kemulian yang diberikan Allah
kepada manusia akan lenyap. Bahkan manusia akan didapati sebagai makhluk
yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” urai Syekh Siti Jenar.
“Lalu prajurit yang dimaksud?” ”Yang dimaksud prajurit tentu saja
penyerang, penghancur, perusak, dengan segala tugas yang diembannya.”
“Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?” “Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti
Jenar berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit Allah yang empat disini pun
fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan, merusak, dengan tujuan manusia
berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan yang pernah diperbuat
oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja menyadarkan, jika yang
menedapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan siksa bagi mereka yang tidak
pernah mau bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus.” “Lalu siapa
yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?” ——————-
“Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh Siti Jenar
melangkahkan kakinya perlahan. “…pertama adalah angin. Lihatlah angin
yang lembut dan sepoi-sepoi, namun perhatikan pula jika angin itu mulai
dahsyat serta bisa memporak-porandakan bangunan sehebat apa pun,
menghancurkan pohon-pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan segala hal
yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau
perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa membendung
dan menghalang-halangi?” “Tidak ada, Syekh.” “Itulah kehebatan prajurit
Allah yang disebut manusia, angin pada syariatnya. Padahal angin itu
hakikatnnya membawa pesan pada manusia, pada para khalifah bumi, agar
menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnya. Manusia yang melakukan
keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada perbuatannya, akibatnya.
Namun dalam hal ini manusia hanya memandang sebelah mata pada hakikat
angin. Mereka lebih banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau
logika dan penalaran semata, karena itu semua akibat dari keterbatasan
ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki tidak mencakup berbagai
hal, namun terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia
terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan ilmu.” urai Syekh Siti
Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di tepi jalan,
matanya menyapu tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang
berlapis-lapis. “Bukankah manusia akan selalu merasa pintar jika
seandainya berhasil menangani sedikit persoalan saja, Syekh?” “Itulah
manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi itulah watak orang
kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu berikutnya,
terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.”
ujar Syekh Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan dengan manusia yang
batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat congkak, apalagi sombong,
yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan
selamanya sanggup memahami segala hal dengan jernih….” ——————- “…sangat
sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam. “…pantas saja
diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup
membersihkan batin dari noda-noda tadi. Mungkin saya sulit mencapai
ma’rifat tadi karena batin ini masih dijejali dan dikotori hal-hal yang
membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada intinya masih
berbau keangkuhan, kesombongan, angkara, rasa iri dan dengki. Namun
rasanya sulit untuk melepaskan hal-hal tadi, Syekh. Mungkin karena
kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk kemewahan
duniawi, yang selalu hadir di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang
kita?” “…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah setiap manusia hidup
memerlukan kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh Siti Jenar. “Duniawi
adalah kebutuhan lahiriyah, sedangkan menuju ma’rifat adalah proses
perjalanan batin menuju akrab.” “Benar, Syehk. Namun jika gangguan
duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata batin. Sehingga kita
selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa kendali dan melupakan
kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat
sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu
berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab
bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal
mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam
genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya
dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki
Ageng inginkan?” “Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan
batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.”
Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya.
***
“Sudahkah andika menemukan cara yang tepat untuk menguasai Demak?” Loro
Gempol menatap wajah Kebo Benowo. ——————- “Meski saya telah berkali-kali
memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo
Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya,
menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya berkerut-kerut, kakinya
melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?” “Bolehkah saya berbicara?”
Joyo Dento mengangkat kepalanya. “Apa yang akan andika katakan, Dento?
Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo. “Menurut hemat saya, negara
Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti
ketenangan ini tidak bisa diusik.” “Semua orang tahu! Apa maksud
andika!” timpal Loro Gempol meninggi. “Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah
saya belum selesai bicara?” “Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo
mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi
kesempatan bicara pada Joyo Dento. “Negeri Demak Bintoro kini dalam
keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan
pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun bukan berarti
suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau
dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap
mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo
Benowo. “Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar. “Maksud saya, untuk
merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan
sebaliknya.” “Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika
itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah
tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena
mereka tahu bahwa kita pengacau. Sedangkan yang kita harapkan dukungan
rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan
kita harus mendapat simpati dari rakyat.” “Benar, maksud saya itu.” ujar
joyo Dento. “Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika
membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya
mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol. “Tentu, jika
kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun
sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya
untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah
mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang
politik dan ketatanegaraan. Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau
lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak
Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi
berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih
hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.” Mendengar uraian Joyo
Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo,
Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan
itu terkagum-kagum. “Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo
menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar
pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat
saya dan yang lainnya.” ——————- “Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento
menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang
ingin melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan
terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang
benar-benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi tidak ada
salahnya jika saya pun mendukung gerakan ini.” “Kita tidak salah
bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo. “Hanya sayang, yang semestinnya Ki
Ageng Pengging yang harus maju dan bergabung dengan kita sama sekali
tidak tertarik. Ki Ageng Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang
sangat kuat, karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento
berhenti sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata
berani maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya
dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang saya
uraikan pertama kali.” ”Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa
rencana tadi?” pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento.
***
”Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo Benowo, matanya menyapu para
pengemis yang bersila di pinggir jalan menuju pasar. “Kenapa andika
semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah hidup mewah seperti para
penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah kalian menjadi orang kaya,
seperti para pejabat negara? Bukankah mereka itu manusia seperti kita?
Harus sadar pula bahwa kita pun memiliki hak yang sama seperti mereka.
Tidak sadarkah jika para pejabat Negeri Demak telah mendzalimi kalian
semua? Membiarkan kalian terlantar dipinggiran jalan. Sementara mereka
bersenang- senang di pusat kota Demak Bintoro. Tidak sadarkah bahwa
mereka telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka telah menelantarkan
kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan. Kalian harus paham akan
semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah dirampas oleh mereka.” “Jadi
kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami pun tidak ingin menjadi orang
miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya. “Ingatlah, bahwa kalian
memiliki hak yang sama seperti para penguasa negeri ini. Mintalah hak
kalian!” ujar Kebo Benowo. “Tidak mungkin? Mustahil keinginan kita
dikabulkan oleh para penguasa dzalim yang tidak peduli akan nasib
rakyatnya, yang miskin seperti kami.” ujar si pengemis paruhbaya. “Jika
tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal dengan nasib yang
dialami. Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap, setelah itu kita
akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu menikmati hidupnya sebagai
penguasa, karena mereka hanyalah mayat-mayat hidup yang menunggu
kematian. Sedangkan kematian merupakan pertemuan kita dengan Sang
Pencipta, untuk menemui kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo.
“Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan
dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati kesenangan?” kerut
pengemis paruhbaya. “Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati
maka ditangisi oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung-agungkan
ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa artinya
harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati dan meninggalkan
semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap. Bayangkanlah kesenangan
setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin
kembali ke dunia ini dari kuburnya? Mengapa demikian? Karena mereka
menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo
Benowo yang memahami secara dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba
mengurai sesuka hatinya. “Benar juga yang andika katakan, Ki.” si
pengemis paruhbaya mengagguk-anggukan kepala, begitu juga yang lainnya.
“Memang kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat
membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai penderitaan.”
”Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya. “lihatlah
mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat,
akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri segala penderitaan dengan
kematian. Untuk apa kita hidup di negeri mayat, jika itu bukan mayat
yang sesungguhnya. Mereka semua hanyalah mayat-mayat berjalan, tidak
memiliki rasa dan kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun
tidak bisa mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan
setiap manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.” ——————- “Saya
setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita
songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh
para pengemis lainnya. Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya
berjalan-jalan keliling sambil berteriak-teriak menyongsong kematian.
Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan
meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan.
“Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo
mengawasi para pengemis sambil tersenyum.
***
“Hebat andika Joyo Dento.” puji Kebo Benowo seraya menepuk-nepuk
bahunya. “Sekarang keadaan negeri Demak Bintoro akan dilanda oleh
kekacauan, serta krisis kepercayaan. Itu semua alhasil dari hasutan kita
agar masyarakat miskin antipati terhadap penguasa. Benar-benar cerdik
daya pemikiran andika, Dento.” “Itulah yang harus kita ciptakan.
Strategi pertama untuk menggoncang keaadaan negara. Setelah ini berhasil
dan di dengar beritannya oleh para penguasa negeri Demak Bintoro, maka
pertama-tama mereka akan mencari tahu penyebabnya.” ujar Joyo Dento.
“Mungkinkah mereka akan menangkap kita sebagai penghasut?” tanya Loro
Gempol. “Sangat tidak mungkin, Ki.” jawab Joyo Dento yakin. “Kenapa?
Bukankah kita penghasutnya?” timpal Kebo Benowo. “Karena kita bukan
menghasut tapi berbicara berdasarkan kenyataan. Mereka pun tidak mudah
menuduh kita sebagi pengasut, dalam menciptakan kekacauan di negeri
Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang kuat.” terang Joyo Dento. “Benar
juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan kepala. “Jika keadaan negara
sudah kacau balau, rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, maka mereka
akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah kita mengadakan tindakan.” Joyo
Dento mengepalkan tangannya. “Melakukan kudeta?” celetuk Loro Gempol.
“Apa mungkin kita mampuh menggulingkan kekuasaan Raden Patah?” kerut
Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini tidak seberaba, jika
dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro yang sesungguhnya. Lalu
kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan kita sudah cukup untuk
melakukan penyerangan?” ——————- “Apa salahnya jika kita mencoba? Siapa
tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya menggenggam gagang goloknya.
“Benar, kita mesti mencoba dan berusaha. Untuk mengukur kekuatan kita,
sudah semestinya begitu.” terang Joyo Dento. “Namun dalam tindakan
percobaan kita harus menciptakan strategi penyerangan yang berbeda. Agar
kita pada waktunya tidak konyol dan membahayakan diri sendiri.” “Jika
demikian ijinkan saya menyiapkan pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro,
Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit dari duduknya, langkahnya berat dan
pasti. “Tunggu dulu, Gempol!” Kebo Benowo berteriak. “Kenapa mesti
menunggu lagi? Bukankah kita akan mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol
terhenti di depan pintu. “Benar, Ki Gempol. Namun ingatlah yang saya
katakan tadi. Meski dikalangan rakyat miskin sedang terjadi kekacauan,
namun itu belum seberapa.” terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya
bersifat lokal, sangat kurang berpengaruh terhadap stabilitas keamanan
negeri Demak Bintoro. Sebaiknya sebelum melakukan penyerangan sebarkan
dulu kekacauan tadi hingga merebak seantero negeri Demak Bintoro.”
urainya. “Benar, Gempol. Apa yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya
diikuti, karena dia sudah saya angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo
Benowo, seraya menepuk bahu Loro Gempol. “Baiklah jika itu perintah Ki
Benowo.” Loro Gempol menganggukan kepalanya, seraya kembali ke tempat
duduknya. ——————- “Baguslah jika andika setuju.” Kebo Benowo tersenyum
bahagia, lalu melirik ke arah Joyo Dento, dalam benaknya menaruh berjuta
harapan demi cita-citanya menggenggam kekuasaan di negeri Demak
Bintoro. “Apa rencana berikutnya, Dento?” “Baiklah, kita menyusun
strategi berikutnya.” Joyo Dento menempelkan jari dikeningnya
seakan-akan berpikir sangat keras.
***
“Syekh, rasanya sangat berat untuk menempuh jalan ma’rifat.” Kebo
Kenongo nampak tidak ceria. “Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus
bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?” “Tidak selalu, Ki Ageng
Pengging.” Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari duduknya. “Bukankah
saya menyarankan jika seandainya andika kesulitan mengikuti ilmu Islam,
hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut. Bukankah andika
tinggal satu atau dua langkah lagi menuju ma’rifat, setelah itu akrab.
Orang yang akrab dengan Allah itulah seperti yang pernah saya uraikan
sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah
mudah, Syekh. Namun untuk melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk
membuka tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah terbuka tentulah
berikutnya akan lebih mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak,
matanya yang sejuk dan tajam beradu tatap dengan Kebo Kenongo. “Ya,
hanya Sunan Kalijaga yang bisa…” gumamnya. “Sunan Kalijaga?” “Tidak
perlu dipikirkan! Apalagi mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali
ke tempat duduknya. *** “Kanjeng Sunan Giri, tahukah anda tentang Syekh
Siti Jenar?” tanya seorang jemaah paruhbaya, usai melaksanakan sholat
zuhur di masjid Demak. “Ya,” Sunan Giri menatapnya, “Memang kenapa
dengan Syekh Siti Jenar, Ki Demang?” “Dia telah meresahkan.” jawab Ki
Demang. “Meresahkan?” “Ya,” “Memang apa yang telah dia perbuat, Ki
Demang?” “Syekh Siti Jenar telah mengacaukan keadaan rakyat negeri Demak
Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri mengerutkan dahinya.
——————- “Namun sebelumnya saya ingin tahu dulu.” “Tentang apa?” “Apakah
Syekh Siti Jenar juga seorang wali seperti anda?” “Bukan! Dia hanyalah
sosok yang tidak jelas asal usulnya. Juga ilmu yang didalaminya entah
dari mana sumbernya.” “Tapi bukankah dia juga seorang ulama yang
memiliki ilmu tinggi?” “Mungkin saja, Ki Demang. Tetapi dia bukan wali
seperti saya dan yang lainnya. Selain asal usulnya tidak jelas, dia juga
mempelajari ajaran Islamnnya entah dari mana?” “Berkaitan dengan itulah
yang kini meresahkan dikalangan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.”
“Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri menatap tajam wajah Demang Bintoro,
dahinya dikerutkan. “Apakah Syekh Siti Jenar membuat ulah?” “Kemungkinan
besar itulah yang sedang terjadi, Kanjeng.” “Tolong jelaskan, Ki
Demang! Apa yang terjadi?” “Syekh Siti jenar telah menyebarkan ajaran
sesat, Kanjeng.” “Ajaran sesat?” Sunan Giri terperanjat. “Benar,”
“Maksud Ki Demang ajaran sesat seperti apa?” “Kehidupan ini adalah
kematian…kematian adalah keabadian….” “Lalu?” “Lantas mereka banyak yang
melakukan bunuh diri. Karena punya anggapan bahwa kehidupan ini adalah
penderitaan. Buktinya mereka banyak yang miskin dan menjadi gelandangan.
Sedangkan kematian itu adalah indah dan menyenangkan.” Demang Bintoro
menghela napas, “Mereka punya anggapan dengan jalan kematian bisa
terlepas dari semua penderitaan dan kesengsaraan…” “Celaka!” Sunan Giri
menepuk keningnya. “Sehingga banyak yang berteriak-teriak seperti orang
gila mencari kematian dan keindahan abadi yang diharapkannya. Lalu bunuh
diri…” tambah Demang Bintoro. “Saya pun datang ke mesjid Demak dari
kademangan tidak lain hanya ingin menyampaikan kabar ini kepada para
wali.” “Ini merupakan hal yang sangat serius yang bisa mengancam
ketentraman dan keamanan negeri Demak Bintoro.” Sunan Giri bangkit dari
duduknya, lalu matanya menatap para wali lain yang sedang melakukan
wirid. Dipanggilnnya mereka untuk berundingsejenak. “Jangan dulu pulang
Ki Demang, andika harus menyampaikan kejadian ini pada para wali.”
——————- “Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya
menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai
permintaan Sunan Giri.
***
‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap Ki Ageng Pengging. Meskipun dia
tidak berambisi untuk menjadi penguasa negeri Demak Bintoro. Namun aku
tidak rela jika bekas para abdi Majapahit berada dibawah bayang-bayang
kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati Joyo Dento, seraya tangannya
menggenggam tali kendali kuda yang ditungganginya, berjalan pelan
mendekati padepokan Syekh Siti Jenar. ‘Siapa tahu Ki Ageng berubah
pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi jika Syekh Siti Jenar turun
tangan untuk membantu. Aku yakin pemberontakan ini tidak akan terlalu
berat, karena mereka orang-orang sakti dan cerdas. Jauh berbeda
dibanding dengan Kebo Benowo mantan rampok bego, hanya punya ambisi
semata dan kekuatan yang belum tentu bisa menandingi para wali.’ Joyo
Dento menghentikan langkah kuda, lalu dikatnya pada sebuah pohon di tepi
jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda. Karena tidak mungkin sanggup
menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar aku berjalan kaki saja untuk
menemui mereka. Joyo Dento meluruskan pandangannya ke depan, usai
mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah pelan, menaiki jalan yang
dipapas menyerupai tangga. ‘Banyak juga jumlah anak tangga ini,’
tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi keningnya. ‘…tapi
akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih ada jalan lurus
membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti sejenak menikmati
sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya dedaunan, serta
pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih. “Indah!” gumamnya.
“Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang kerasan. Kanan kiri
jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh Siti Jenar menyukai
keindahan dan keasrian alam.” Joyo Dento menghentikan langkahnya di
depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!” “Masuklah Joyo Dento!”
terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan wujudnnya entah dimana.
“Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo Dento memutar
pandanganya, suara itu seakan-akan datang dari segala arah. “Bukankah
aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?” gumamnnya.
“Benar,” “Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya berdiri di
depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam tidak ada
orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?” “Bukalah mata
hati andika, Dento!” “Ki Agengkah itu?” Joyo Dento membelalakan matanya,
menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat hamparan tikar.
“Benar, ini saya.” “Namun Ki Ageng tidak saya temukan, begitu juga Syekh
Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan saya.” Joyo Dento
memijit-mijit dahinya. “Tataplah dengan mata terbuka, jangan dengan mata
tertutup.” “Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata terbuka, Ki Ageng
Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan andika selain
suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?” Joyo Dento
semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada dua hamparan
tikar yang berada dihadapannya. ——————- “Bukankah saya ada dihadapan
andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya hamparan
terusik angin sepoi tikar. Pelan-pelan wujud keduanya yang sedang duduk
bersila mulai tampak. “Ki Ageng, terimalah sembah hormat hamba!” Joyo
Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan kedua tangannya
menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang wali yang
memiliki kesaktian tinggi. Ijinkanlah hamba pada saat ini menghadap!”
“Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum. “Terimakasih, Ki Ageng.”
lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak memancarkan
cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup menatapnya. Joyo
Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar karena telah
lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena hamba punya
maksud dan tujuan….” “Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan dari
kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu serta
bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan Raden
Patah.” terang Syekh Siti Jenar. “Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata andika
memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan kawan-kawannya
sakti.” Joyo Dento semakin merunduk dan tercengang, atas kehebatan
Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun tidakah
Syekh….” “Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja yang
mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan-kawan mantan rampok yang memiliki
ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta bermimipi ingin
menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah taqdir.” Syekh Siti
Jenar seakan-akan sudah mengetahui setiap rencana, bahkan yang belum
terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa diketahuinya. Lebih dari
itu dia pun seakan-akan tahu masa depan yang akan terjadi. “Baik saya
atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang tindakan andika, merestui
pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki Ageng Pengging adalah
bagian dari taqdir andika semua.” “Lantas?” Joyo Dento bergumam, sudah
kehabisan kata-kata. Sebab semua yang akan diucapkannya sudah mereka
ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini mungkin tidak akan berkunjung
ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya minta restu.” “Andika tidak
perlu menyesal datang ke padepokan ini. Karena ini adalah perjalanan
lahiriyah andika selaku manusia.” Syekh Siti Jenar menatap. “Sedangkan
keinginan andika untuk membangkitkan kembali kekuatan Majapahit yang
telah runtuh itu pun hak andika. Ki Ageng Pengging junjungan andika
tidak mau terlibat bahkan memilih sebagai petani dan hidup di pedesaan
itu pun bagian dari taqdir. Ki Ageng dan saya berbuat seperti ini karena
sudah tahu apa yang akan terjadi dan teralami berikutnya.” “Saya tidak
paham, Syekh.” Joyo Dento Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang
paham akan semuanya. Saya tidak akan surut untuk terus berjuang bersama
yang lainnya demi kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya
mengetahui apa yang akan terjadi pada saya dan lainnya?” “Tidak hanya
andika yang terbunuh. Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami
hukuman mati.” jelas Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang. “Kenapa?
Benarkah itu? Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?”
Joyo Dento garuk-garuk kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara
percaya dan tidak terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini
orang sakti? Tidak bisakah menghentikan taqdir itu?” ——————- “Sudahlah!
Andika tidak perlu bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan
rencana semula. Jika ingin berhenti silahkan!” “Tapi tidak mungkin saya
menghentikan rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti
sekarang hanya datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo
juga para pejuang Majapahit yang tidak menyukai bayang-bayang kekuasaan
Raden Patah.” “Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?”
“Terjawab?” Joyo Dento semakin mengkerutkan dahinya. “Dento,” ujar Kebo
Kenongo lirih. “Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke
arah Kebo Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan
rencana saya sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi
kembalinya kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya.
Joyo Dento sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya
pelan mulai menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak
lepas dari tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya. Hingga
akhirnya habis dan kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat
menambat kudanya. Sejalan dengan itu benaknya terus berpikir, mencerna
setiap perkataan Syekh Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka
berdua seakan-akan sudah tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan.
Padahal mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar
benar tidak habis pikir. Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa
bisa bilang akan kena hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang
pengecut? Belum bertindak sudah takut pada hukuman mati yang dicap
sebagai pemberontak dan mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga
menyebut bahwa aku akan bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak
mungkin? Bukankah aku suda memiliki strategi yang cukup hebat. Demak
Bintoro sebentar lagi akan kacau dan goncang….” Joyo Dento telah berada
di atas punggung kuda, lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun
dicambuk hingga berlari kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar.
Seiring dengan terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat
singkat, ditandai warna langit yang memerah laksana darah peperangan.
Taubah angkara yang mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas
lapisan awan putih.
***
“Para wali yang saya hormati, itulah alasannya kenapa pada hari ini ada
persidangan.” ujar Sunan Giri. “Haruskah kita melaporkan hal ini pada
Sinuhun agar langsung mengirim prajurit ke Kademangan Bintoro untuk
menangkap mereka.” timpal Sunan Muria. “Menurut hemat saya, sebaiknya
kita selidiki dulu.” Sunan Kalijaga memutar pandanganya, lalu beradu
tatap dengan Sunan Bonang. ‘Kanjeng, terjadi juga hal yang akan
menyulitkan Syekh Siti Jenar. Rasanya perjalan waktu terlalu cepat untuk
hal ini.’ batinnya. ‘Benar, Kanjeng.’ Sunan Bonang membalas tatapan
Sunan Kalijaga, seraya bercakap dengan batin. ‘Cepat atau lambat itulah
taqdir Syekh Siti Jenar. Namun bukan hari ini…masih ada beberapa saat..’
“Ada apa Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan
Giri. “Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya pun sependapat dengan Kanjeng
Sunan Kalijaga, alangkah lebih baiknya sebelum bertindak dan melakukan
penangkapan diadakan penyelidikan terlebih dahulu.” ujar Sunan Bonang.
“Saya setuju, Kanjeng.” timpal Sunan Kudus. Ucapan itu diikuti oleh para
wali yang sedang bersidang. “Ki Demang,” Sunan Giri memutar pandanganya
ke arah Demang Bintoro. “Itulah keputusan kami selaku para wali. Semoga
Ki Demang memaklumi.” “Terimakasih, Kanjeng.” Demang Bintoro mengagukan
kepala, seraya menunduk hormat. “Laporan saya telah ditanggapi dan
langsung dibawa ke mahkamah persidangan para wali. Serta kami sangat
memaklumi sekali atas segala putusan yang telah para wali ambil.
Sehingga saya pun akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam,
mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di Kademangan. Namun
dalam hal ini kami bukanlah seorang ulama dan tidak terlalu paham akan
ajaran Islam. Semoga bersedia kiranya para wali mengutus seorang ulama
atau siapa saja yang paham betul akan ajaran Islam, sehingga dalam
mengukur kesesatan ajaran yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar tahu
batasannya.” ——————- “Baiklah, Ki Demang.” ujar Sunan Giri, seraya
memutar pandangannya pada para wali dan ulama yang berkumpul dalam
persidangan di dalam masjid Demak. “Mungkin tidak wali yang pergi ke
kademangan. Siapakah di antara ulama yang siap melakukan tugas ini,
menyertai Ki Demang?” Keadaan hening sejenak, para wali dan ulama saling
tatap satu sama lain. Etah apa yang terbersit dalam benak dan pikiran
mereka masing-masing, seraya mengelus dada dan menarik napas
dalam-dalam. Sepertinya dalam hati mereka ada sesuatu yang mengganjal,
seandainya Syekh Siti Jenar dan pengikutnya benar-benar menyebarkan
ajaran sesat dan menyesatkan, tentu saja akan mendapat hukuman yang
sangat berat. Lantas yang mereka pikirkan, tegakah berbuat seperti itu?
Meski disisi lain mungkin harus juga kebenaran itu ditegakan. Lalu
barometer kesalahan dan kebenaran yang berlandaskan pada apa? “Adakah
yang sanggup?” suara Sunan Giri memecah keheningan. “Saya kira para
ulama merasa berat hati untuk menyampaikannya, Kanjeng.” Sunan Kalijaga
menatap Sunan Giri. “Bagaimana jika saya saja?” “Jangan dulu, Kanjeng!”
potong Sunan Giri. “Mengapa persoalan kecil ini mesti seorang yang
berpangkat wali turun tangan? Jika yang lain tidak ada yang mampu saya
kira barulah wali turun tangan. Masa diantara para ulama yang hadir
disini tidak ada yang sanggup?” “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri.” ujar
Demang Bintoro. “Mungkin saya telah merepotkan yang hadir disini.
Biarlah saya saja dan ahli agama yang ada di Kademangan melakukan
penyelidikan ini. Semoga ilmu dia bisa saya andalkan, sehingga kami
tidak keliru memberikan laporan. Selanjutnya saya mohon diri.” tanpa
menunggu perkataan lebih lanjut dari Sunan Giri Demang Bintoro bangkit
dari duduknya, setelah mengucapkan salam menghilanglah dibalik pintu
masjid Demak Bintoro. ‘Bukankah tidak hari ini, Kanjeng?’ batin Sunan
Bonang, matanya beradu dengan tatapan Sunan Kalijaga. ‘Ya, itulah sebuah
kenyataan. Itu juga ada rentang waktu dan perjalanan bagi semuanya…..’
balas batin Sunan Kalijaga. ‘Bukankah Syekh Siti Jenar juga….’ ‘Ya, saya
sangat paham akan dia…’ “Baiklah, para wali yang saya hormati. Mungkin
untuk tindakan selanjutnya kita menunggu penyelidikan Ki Demang
Bintoro.” Sunan Giri menutup persidangan.
***
“Ki Benowo,” Joyo Dento duduk di atas kursi yang berada di samping Loro
Gempol, tatapan matanya menyapu wajah Kebo Benowo. “Seperti yang saya
duga, ternyata benar.” “Heran?” Kebo Benowo memijit keningnya. “Mengapa
Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging tidak tertarik pada kekuasaan.
Padahal kalau seandainnya kita berhasil meruntuhkan kekuasaan Raden
Patah, sudah barang tentu mereka berdua akan mendapat kedudukan yang
pantas. Disamping dukungan mereka yang sangat kita butuhkan dalam
lingkaran perjuangan ini.” “Jangankan andika, Ki Benowo. Saya sendiri
sangat kaget akan prilaku junjungan saya sendiri Ki Ageng Pengging.”
ujar Joyo Dento. “Dia seakan-akan tidak peduli lagi pada tanah
leluhurnya yang telah dikuasai Raden Patah, meski hampir ada keterkaitan
darah. Namun Ki Ageng sendiri punya wewenang untuk menjadi penguasa,
mengapa beliau rela berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah,
yang seharusnnya kebalikannya.” “Mungkinkah Junjunganmu itu terpengaruh
oleh ilmu Syekh Siti Jenar, sehingga dia tunduk dan setia sebagai
pengikutnya?” timpal Loro Gempol. ——————- “Janganlah andika berkata
demikian, Gempol!” tatap Kebo Benowo. “Bukankah Syekh Siti Jenar juga
guru kita dan telah mengajarkan ilmu yang kita pinta, sehingga memiliki
kesaktian tak terbatas.” “Namun menurut hemat saya, mereka itu telah
benar-benar mempelajari ilmu yang di anut Syekh Siti Jenar?” kerut Joyo
Dento. “Bukankah kita juga mempelajari ilmu beliau?” tukas Loro Gempol,
“Tapi kita tidak berlaku seperti mereka?” “Karena jiwa kita belum
sempurna, Gempol.” “Maksud, Ki Benowo?” “Yang kita pelajari dari Syekh
Siti Jenar bukanlah ilmu kebhatinan menuju jalan ma’rifat. Tetapi yang
kita pelajari dari beliau adalah ilmu kesaktian dan keduniawian,
bagaimana kita menjadi perkasa dan penguasa.” terang Kebo Benowo. “Ya,
benar itu, Ki Benowo.” Joyo Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya
hanya sebentar berada di padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul
keadaan di sana. Mereka tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di
dunia ini. Saya yakin mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak
berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang
mereka rasakan pada saat ini.” “Tidak masuk akal!” Loro Gempol
garuk-garuk kepal. “Bukankah orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu
demi kekuasan, harta berlimpah, dan mendapatkan perempuan-perempuan
cantik?” “Sudahlah, Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka.
Karena kita bukan mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda,
mereka mendapatkan ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan
dengan Gusti. Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat
dihati, yang harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.”
tandas Kebo Benowo. “Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.”
Joyo Dento mengacungkan jempolnya.
***
Matahari senja di langit sebelah barat tampak menyipratkan warna merah,
mengubah putihnya awan menjadi jingga. Seakan-akan cipratan darah di
atas serpihan kain putih. Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, Ki
Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid lainnya menyaksikan
peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju padepokan Syekh Siti
Jenar. “Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap Ki Donoboyo pada
rekannya. “Namun pertanda apakah gerangan jika memang itu sebuah
pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya. “Saya kira itu hal biasa, Ki.”
Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam tersebut.
“Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya mengkerut.
“Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja matahari akan
menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….” “Maksud, Ki Ageng
Tingkir?” Ki Bisono menatap. “Seperti sebuah pertanda.” “Pertanda?”
para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya, jiwa dan pikirannya
terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir. “Tafsirkanlah dengan batin,
sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap langit jingga. Sejenak
tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya mengangkat kepala mendongak
ke langit. Mata dan batinnya mulai terusik untuk menoba mentafsirkan
fenomena alam yang sedang terjadi. Raga mereka seakan-akan tidak
merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri laksana patung.
Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya berdiri, namun
jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha keras membuka tabir
dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan mencoba menafsirkan dan
menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana, setelah berupaya memakmurkan
bumi, maka jiwa menyatu dengan bumi. Sukma meresap dengan alam, batin
menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di alam raya. Pertautan
antara alam raya dan ruh. “Ya, rasanya ini benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki
Bisono memecah keheningan. “Begitu juga yang saya rasakan, Ki Bisono.”
Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam-dalam, jasadnya mulai merasakan
lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa dengan alam telah kembali
pada raganya masing-masing. ——————- “Meskipun kita bisa merasakan
belumlah bisa mentafsirkan tentang pesan yang alam sampaikan.” tambah Ki
Ageng Tingkir. “Benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Chantulo menarik napas
dalam-dalam. “Meski sukma kita sanggup berkomunikasi dengan alam,
bertaut, dan bergumul. Rasanya sulit untuk meterjemah dan menafsirkan
sabda alam?” “Padahal kita tahu maksud alam dengan kabaran dan berita
yang dibawanya?” tambah Ki Donoboyo, “…itu sebuah pertanda buruk. Namun
dalam hal ini kita sangat kesulitan untuk mengurai pesan tadi.” “Meski
kita tidak bisa mengurai pesan yang disampaikan alam, yang penting kita
paham pada pesan yang disampaikannya.” tukas Ki Bisono, “Disamping kita
pun sudah sanggup mengamalkan ilmu hamamayuning bawana yang diajarkan
Syekh Siti Jenar. Kekurangan kita kembali pada diri kita sendiri, karena
tahapan kita belumlah bisa menyamai guru kita Syekh Siti Jenar.” “Ya,
walau pun beliau sangat murah hati untuk memberikan ilmu apa saja yang
kita pinta.” tambah Ki Ageng Tingkir, mulai melangkahkan kaki pelan,
disampingnya Ki Bisono dan Ki Chantulo, yang lainnya mengikuti
dibelakang. “Hanya kita yang menerimanya ternyata berat untuk
mengamalkan dan menguasainya, meski pun kita secara bertahap dan
berangsur-angsur sanggup menggenggamnya.” “Tidak ada salah, Ki Ageng
Tingkir. Jika sekalian dalam pertemuan hari ini di aula padepokan
fenomena alam yang kita lihat tadi, juga pesannya kita kemukakan kepada
Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Donoboyo. “Saya setuju, Ki.” Ki Chantulo
mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya. “Saya juga.” begitu pun Ki
Pringgoboyo dan yang lainnya menyetujui, seiring dengan langkah kakinya
yang dipercepat menuju aula padepokan. Matahari semakin merendah,
perlahan menyelinap di balik punggung gunung dengan warnanya yang
semakin memerah. Para murid Syekh Siti Jenar satu persatu mulai memasuki
aula padepokan, dan mengambil tempat duduk masing-masing bersila di
atas tikar pandan yang terhampar. “Sebentar lagi senja berganti malam.”
ujar Syekh Siti Jenar, matanya menyapu setiap wajah yang duduk bersila
memenuhi aula padepokan. “…warna jingga, merah darah yang menciprat di
antara serpihan awan pun akan hilang…semuanya ditelan gelap malam. Tanpa
cahaya, tanpa ada redup, tanpa ada remang, sama sekali dalam gelap
tidak akan pernah ada yang terlihat setitik bentuk pun. Kecuali hanya
warna pekat yang disebut gelap gulita.” “Sungguh hebat beliau, Ki Ageng
Tingkir?” Ki Bisono berbisik pada Ki Ageng Tingkir yang duduk
disampingnya. ——————- “Benar, Ki Bisono. Baru saja kita akan bertanya
tentang sabda alam dan pesannya, beliau sudah mengawali kalimat dengan
yang akan kita tanyakan.” bisik Ki Ageng Tingkir, “Syekh Siti Jenar
benar-benar waspada permana tinggal.” berdecak kagum. “Hamamayu hayuning
bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun
tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah
sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar
memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya
yang penuh wibawa seakan-akan sanggup menembus relung hati para
muridnya. Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada
setiap sela-sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya
tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat
penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya
malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal
yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal
selangkah.” “Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun
sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau
belum, Syekh?” “Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian
dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung
menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang
memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan
barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning
bawana.” “Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia
yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya,
“…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin. Padahal
banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin,
tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan
kehancuran.” “Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono,
kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya
kontroversi.” tambah Ki Chantulo. “Andika tidak harus membicarakan orang
lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam, “Biarlah mereka
seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan
mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan
hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….” “Maksud,
Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut.
——————- “Tidakkah andika melihat sabda alam tadi?” Syekh Siti Jenar
membelokkan tatapannya melalui jendela padepokan ke arah mentari yang
hampir menghilang di balik punggung gunung. “Alam memberikan pesan
berdarah?” “Saya belum paham?” Ki Chantulo garuk-garuk kepala. “Artinya
berujung pada kematian. Namun andika jangan takut akan kematian, sebab
cepat atau pun lambat pasti akan datang.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah
murid-muridnya dengan tatapan mata tenang dan penuh wibawa, “Makanya
saya ajarkan hamamayu hayuning bawana, agar memudahkan jiwa ini menyatu
dengan alam dan kembali padanya. Orang takut akan kematian karena mereka
menduga bahwa mati itu sangat sakit dan mengerikan. Padahal itu semua
tidak benar, mereka yang merasakan sakit akan mati karena sebuah
ketakutan dan ketidaksiapan. Padahal kapan pun dan dimana pun kita bisa
menemuinya. Tidak harus sakit atau menyakiti. Hal mati itu sangatlah
nikmat dan menyenangkan. Karena kematian itu sesungguhnya menyatunya
kembali jiwa kita pada dzat sebelumnya. Bukankah ketika kita belum lahir
ke dunia ini, apalagi belum beranjak menjadi manusia dewasa yang
mengerti baik dan buruk, ilmu dan akal, miskin dan kaya, senang dan
duka, bukankah hal itu tidak pernah kita rasakan sebelumnya? Itulah
karena kita berada dalam dzatnya, yang teramat tentram dan tidak terusik
oleh sesuatu dan apa pun.” urainya. “Bukankah kematian itu banyak orang
yang tidak mengharapkannya?” ujar Ki Pringgoboyo. “Ya,” Syekh Siti
Jenar berhenti sejenak, “Karena mereka tidak paham dan mengerti akan
kematian.” “Mungkin mereka takut mati karena terlalu sayang pada istri,
anak-anak, dan jabatannya?” Ki Bisono angkat bicara, “Sehingga dirinya
diliputi rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya,
serta harta benda dan kedudukannya. Akhirnya mati itu dibuatnya menjadi
sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan, Syekh.” “Andika tidak salah, Ki
Bisono.” Syekh Siti Jenar menyapa wajah Ki Bisono dengan sorot matanya
yang teduh dan tenang. “Terlalu mencintai kehidupan duniawi, yang
bersifat fana dan sejenak. Lalu mereka lupa pada kehidupan hakiki,
kehidupan yang sesungguhnya, setelah melewati pintu mati. Padahal
kematian itu hanyalah sebuah pintu menuju keabadian yang didalamnya bisa
berbalut dengan kenikmatan, penderitaan, kesedihan, tawa, duka,
nestapa, itu semua tergantung kita menanamnya pada kehidupan sebelumnya,
yaitu di dunia ini. Hasil pekerjaan apa pun yang pernah kita perbuat di
dunia fana ini akan kembali kita tuai dan nikmati di alam sana. Bisa
bermacam-macam. Namun bagi kita yang mempelajari hamamayu hayuning
bawana tidaklah seperti itu. Apalagi kematian itu bukanlah suatu hal
yang menakutkan apalagi menyakitkan, tetapi kematian itu sesuatu yang
teramat indah dan menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menemui ajal
kapan pun dan dimana pun, tetapi kita sebaliknya.” “Bisakah kita
menentukan ajal sendiri? Setidaknya mengetahui datangnya ajal?” tanya Ki
Bisono. “Tentu saja. Karena kita berbeda dengan orang kebanyakan yang
tidak mengetahui sama sekali akan ilmu hamamayu hayuning bawana.” Syekh
Siti Jenar menghela napas sejenak, “Bukankah telah saya katakan bahwa
ketika kita berada pada tahapan ma’rifat semuanya menjadi tampak. Lalu
kita berada dalam akrab. Setelah itu barulah manunggaling kawula gusti.”
“Ya, saya telah merasakannya pada tahapan ma’rifat. Semuanya jadi
tampak, tetapi saya kesulitan menuju tahapan akrab dan manunggaling
kawula gusti.” Kebo Kenongo berucap, “Meski pun demikian saya sedang
berupaya menuju ke tahap yang ingin saya capai.” ——————- “Itu pasti akan
tercapai, Ki Ageng Pengging. Selama kita tidak berhenti berusaha.”
terang Syekh Siti Jenar. “Syekh, saya ingin kembali menanyakan tentang
sabda alam tadi.” “Silahkan, Ki Chantulo!” “Maksud dari berita kematian
itu seperti apa? Bukankah kita semua pasti akan mati?””Benar, Ki
Chantulo. Namun maksudnya disini ada keterkaitan dengan Kerajaan Demak.
Kematian yang dimaksud disini terkait dengan para penguasa negeri Demak
Bintoro.” Syekh Siti Jenar menghentikan bicaranya, seraya jari-jemari
tangannya memainkan untaian mata tasbih, dari mulutnya meluncur dzikir,
istigfar, tahmid, tahlil dan tasbih. “Terkait pula dengan persoalan
keyakinan, terkait pula dengan kekacauan yang mengancam keamanan dan
ketentraman negara, terkait pula dengan banyak persoalan.” “Kenapa mesti
beritanya sampai kepada kita? Seakan-akan itu semua akan kita alami?”
“Ya,” “Jadi?” “Tidak perlu takut, bukankah saya sudah membekali andika
semua dengan ilmu sehingga tidak menjadikannya aneh dan menakutkan.
Sebaliknya kenikmatanlah yang akan kita sambut.” “Mengapa hal itu mesti
harus menimpa kita, Syekh? Bukankah kita tidak melakukan kesalahan?”
“Lupakah andika pada uraian saya tadi. Disini tidak lagi berbicara siapa
yang benar dan salah? Karena ini semua sudah menjadi kehendak alam,
sunatullah. Karena kehendak alam, makanya ilmu hamamayu hayuning bawana
sebagai penyempurnanya.” “Saya kurang paham?” Ki Biosono memijit
keningnya yang dikerutkan, lalu menatap tikar pandan yang didudukinya.
——————- “Rasanya, tidak perlu dipahami untuk saat ini. Pemahaman tentang
hal tadi akan andika genggam menjelang peristiwa itu mendekat.” terang
Syekh Siti Jenar tenang. “Meski andika tahu akan hal tadi, amalkanlah
hamamayu hayuning bawana. Bertebaranlah seperti sebelumnya andika di
atas tanah jawa dwipa ini untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam.”
“Baiklah, Syekh. Saya tetap akan menebar rahmat bagi sekalian alam.
Rahmatan lil alamin, hamamayu hayuning bawana.” ujar Ki Bisono. “Karena
apa pun yang saya lakukan dalam penyebaran agama Islam ini bukan untuk
mencari popularitas, bayaran, apalagi jabatan atau kekuasaan, serta
pengaruh, namun itu semua saya dasari dengan keikhlasan dan
keridlaannya. Semoga pula Allah SWT. meridloinya.” “Amin.”
***
“Malam ini cuaca cerah. Lihatlah bintang-gemintang berkedap-kedip di
langit!” Joyo Dento mengangkat kepalanya mendongak ke langit, ”
Persiapkanlah diri kalian, senjata, kuda, dan akal.” lalu menatap
pasukan berpakaian serba hitam yang berbaris rapih. Mereka sejumlah
pasukan pemberontak yang telah mendapat gemblengan olah kanuragan dari
para pendekar berlatar rampok, Kebo Benowo dan kawan-kawan. Disamping
ilmu keprajuritan dari Joyo Dento. “Bagaimana kesiapan andika semua?”
Kebo Benowo keluar dari sebuah pendopo yang dijadikan markas. Tempat
yang mereka diami terpencil dari penduduk, karena berada tepat di
pinggiran hutan. “Saya kira mereka suda siap, Ki Benowo.” ujar Joyo
Dento mendekat. “Baguslah jika telah siap.” Kebo Benowo
mengangguk-angukan kepala. “Sasaran pertama?” “Tentu saja sesuai dengan
rencana.” Joyo Dento setengah berbisik, “Malam ini kita harus bisa
melumpuhkan Kademangan Bintoro. Jika sudah berhasil, langsung kita
duduki dan kuasai. Disanalah selanjutnya pusatkan sebagian kekuatan
kita, lalu perlebar sayap.” “Hahaha….andika memang cerdas, Dento.” raut
wajah Kebo Benowo berseri, “Namun sudah memungkinkankah kita menggempur
Kademangan Bintoro?” “Saya kira mungkin, Ki Benowo. Sebab kekuatan
Kademangan Bintoro sudah melemah. Daya pikir rakyatnya sudah terpengaruh
dengan ajaran hidup untuk mati. Yang andika ajarkan dari Syekh Siti
Jenar itu, sehingga mereka banyak yang bunuh diri dan tidak semangat
hidup.” terang Joyo Dento, “Apalagi membela negerinya dari serangan
kita, memikirkan diri sendiri pun sudah tidak tenang.” “Benar, Dento.”
seringai Kebo Benowo, “Hebat juga pengaruh ilmu Syekh Siti Jenar jika
demikian…terutama untuk membuat kekacauan.” “Kapan kita akan berangkat?”
Loro Gempol menyilangkan golok di dadanya, “Rasanya saya sudah tidak
sabar ingin memenggal leher penguasa Kademangan Bintoro!” ——————- “Kita
akan melakukan penyerangan jelang tengah malam.” jawab Joyo Dento.
“Ketika mereka lengah dan baru saja menuju tempat tidur untuk
bercengkrama dengan mimpi-mimpinya.” “Ya, saya setuju!” ujar Loro Gempol
diiringi tawanya yang berderai. “Hai, para pasukan gelap sewu! Andika
dalam penyerangan nanti jangan ragu-ragu untuk membunuh. Tidak perlu
kalian mengasihani musuh sebelum mereka bertekuk lutut!” “Siap!” jawab
pasukan gelap sewu serempak. “Hahaha…bagus jika andika semua sudah siap!
Kita akan bergerak dan bertindak sesuai rencana yang telah disusun Joyo
Dento.” terang Loro Gempol. Mereka percaya sepenuhnya pada setiap
nasehat Joyo Dento. Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin,
mengusik pori-pori kulit meski berpakaian tebal tetap terasa. Meski
berada dalam ruangan tetap angin malam menyelinap melalui lubang-lubang
angin yang membentengi pendopo Kademangan Bintoro. Di ruang pendopo
Kademangan Bintoro tampak Ki Demang, Ki Sakawarki, ulama yang dianggap
berilmu paling tinggi di Kademangan, juga beberapa santrinya, dan
ditambah beberapa prajurit senior. “Itulah hasil perundingan saya dengan
para wali dan ulama di masjid Demak, Ki Sakawarki.” ujar Ki Demang
Bintoro. “Jika memang demikian keputusan sidang para wali, insya Allah
saya mulai besok akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang
ajaran Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Sakawarki. “Mohon maaf, Guru.” ujar
Santri penuh hormat, “Menurut yang saya ketahui, sesungguhnya bukan
hanya rumor. Namun benar bahwa ajaran Syekh Siti Jenar yang menyesatkan
telah tersebar di Kademangan Bintoro.” “Benarkah?” “Benar, Guru. Kemarin
saya melewati pasar, di sana banyak orang miskin yang berbicara
ngelantur. Serta dari mulutnya komat-kamit menyebut nama syekh Siti
Jenar.” “Apa yang dibicarakannya?” Ki Sakarwaki menyapu wajah santri
dengan tatapan matanya, “Ngelanturnya seperti apa sehingga andika
menyimpulkan sesat?” “Mereka berbicara bahwa hidup itu lebih indah dari
pada mati. Tidak ada artinya kita hidup jika hak kita dirampas oleh
penguasa Demak. Hidup untuk mati, mati itu indah, hidup Syekh Siti
Jenar!” ki santri berhenti sejenak, “Itulah yang saya dengar dan lihat,
Guru.” “Mati itu indah? Celaka!” Ki Sakawarki terperanjat. “Yang paling
celaka, mereka telah berani mengatakan bahwa hak hidup mereka dirampas
oleh penguasa Demak.” Ki Demang tersentak, mukanya berubah angker,
“Beraninya Syekh Siti Jenar mengajari rakyat Kademangan Bintoro untuk
berkata lancang! Jelas selain menyesatkan juga punya tujuan makar
terhadap pemerintahan yang syah.” “Benar pendapat, Ki Demang!” Ki
Sakawarki menganggukkan kepala, tangannya terkepal giginya gemeretak.
“Sudah sepantasnya kita mengadakan tindakan dengan segera!” “Ya, Ki
Sakawarki. Saya kira alasan seperti itu sudah cukup untuk melakukan
penangkapan terhadap Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.” Ki Demang
Bintoro bangkit dari duduknya, tangannya dikepalkan sekuat tenaga.
“Karena mereka telah melakukan dua kesalahan. Pertama menyampaikan
ajaran sesat, kedua telah berani mempengaruhi rakyat untuk berbuat
makar.” “Apakah kita akan langsung menangkap Syekh Siti Jenar? Atau
segera melaporkan hal ini pada Para Wali dan Raden Patah?” “Sebelum
melaporkan ke kerajan Demak dan para Wali sebaiknya kita melakukan
penangkapan terlebih dahulu pada pengikutnya. Agar pelaporan kita
disertai oleh bukti yang meyakinkan.” ujar Ki Demang. “Besok pagi saya
akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk melakukan penangkapan!
Saya minta agar Ki Sakawarki beserta para santri menyertainya!”
“Baiklah, Ki Demang. Besok pagi akan saya kerahkan para santri menyertai
para prajurit kademangan untuk melakukan penangkapan.” ——————- “Bagus.”
“Serbuuuuuuu!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan di halaman kademangan,
dibarengi suara benturan senjata. “Ada apa diluar sana?” Ki Demang
Bintora tersentak kaget, belum juga mulutnya terkatup sudah diusik oleh
suara yang menganggetkan. “Sepertinya ada peretempuran, Ki Demang?” Ki
Sakawarki bangkitdari duduknya seraya menghunus keris, begitu juga para
santrinya. “Ke….” belum juga Ki Demang melanjutkan perkataannya, dengan
tergesa masuklah seorang prajurit penjaga. Langsung merunduk di hadapan
Ki Demang seraya menghaturkan sembah. “Mohon ampun, Ki Demang.” “Apa
yang terjadi diluar sana?” “Celaka, Ki Demang. Kademangn kita telah
diserbu para murid Syekh Siti Jenar….” “Murid Siti Jenar?” Ki Sakawarki
tercengang. “Itulah yang mereka sebut-sebut ketika melakukan penyerangan
di luar sana.” terang prajurit. “Berarti itu bukan hanya dugaan, Ki
Sakawarki. Tetapi benar yang kita simpulkan tadi. Mau tidak mau sekarang
juga harus bertindak dan mengadakan perlawanan.” Ki Demang segera
memasuki kamarnya, seraya kembali menghunus pedang dan mengenakan
pakaian perang. “Seluruh prajurit harus berperang dan menumpas
antek-antek Syekh Siti Jenar. Jangan segan-segan untuk bertindak tegas!”
selanjutnya keluar dari ruangan, diikuti Ki Sakawarki beserta para
santrinya dan pasukan prajurit. ——————- Dalam keremangan malam yang
diterangi kerlap-kerlipnya bintang di langit. Bulan belum lagi menjadi
purnama, di pelataran kademangan Bintoro tampak berkelebatannya bayangan
prajurit dan pasukan Gelap Sewu yang sedang bertarung. “Hahaha…..jangan
sisakan yang tidak mau menyerah. Ilmu Syekh Siti Jenar menyertai kita!”
teriak Loro Gempol yang berada di atas punggung kuda, menerobos pasukan
lawan sambil membabatkan goloknya. “Tobaattttt….!” teriak seorang
prajurit yang terkena sabetan golok Loro Gempol, terhuyung dan roboh
dengan luka parah di lambungnya. “Hahaha….perlihatkanlah kehebatan
kalian para prajurit dan petinggi negeri Demak! Saya yakin ilmu para
wali tidak akan bisa mengalahkan ilmu guru kita, Syekh Siti Jenar yang
agung.” Loro Gempol terus mengamuk, menerjang gelombang pasukan prajurit
Kademangan Bintoro yang berlapis-lapis. “Ki Demang, dengarlah teriakan
lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha menerobos lapisan prajurit
kita!” bisik Ki Sakawarki. “Benar, ternyata dia murid Syekh Siti Jenar.”
Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Betapa angkuhnya dengan
kesaktian yang dimilikinya, Ki Sakawarki?” “Mengagunggkan Syekh Siti
Jenar dan merendahkan para wali terhormat, Ki Demang.” “Sanggupkah
kiranya kita mengalahkan mereka?” “Tidak perlu ragu, Ki Demang. Saya
punya keyakinan Allah SWT. akan melindungi kita. Lihatlah jumlah pasukan
kita lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pasukan musuh yang
berpakaian serba hitam.” “Saya kira pasukan mereka harus ditutup ruang
geraknya. Lalu robohkan pimpinannya yang sedang mencoba menembus lapisan
pertahanan para prajurit. Jika pimpinannya roboh mereka akan mundur.”
ujar Ki Demang Bintoro. “Biar saya yang akan loncat dan merobohkannya!”
ujar Ki Sakawarki seraya bersiap-siap untuk loncat. “Kelihatannya dia
bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Karena tebasan senjata para
prajurit seakan-akan tidak bisa melukai tubuhnya.” “Ki Demang, saya kira
di dunia ini tidak ada orang yang hebat kecuali Allah. Tidak ada
salahnya jika saya mencoba menghadapinya demi mempertahankan tanah
tercinta dari kedzaliman. Maka jihadlah jalan keluarnya.” Ki Sakawarki
tanpa menunggu ucapan Ki Demang berikutnya, seraya dirinya menghunus
keris dan melesat ke angkasa melewati barisan prajurit yang
berlapis-lapis. “Hiaaaaattttt…….!!!!” “Pasukan pemanah bersiaplah kalian
di belakangku! Jika pasukan terdesak, bertindaklah kalian!” “Siap, Ki
Demang!” pasukan pemanah bersiap, untuk melepas anak panah. Busurnya
sudah dipegang dengan kuat, talinya ditarik, anak panahnya dipasangkan,
tinggal melepas sesuai perintah. Tubuh Ki Sakawarki yang melayang di
angkasa terlihat sangat enteng dan ringan, bagaikan burung elang dengan
sorot matanya yang tajam. Lalu menukik ke bawah, berbarengan dengan
tendangan kaki kanannya yang menghantam dada Loro Gempol. ——————-
“Aduhhhh….!!!” betapa terperanjatnya Loro Gempol, ketika ada lelaki
berjubah putih yang turun dari langit dan mengirimkan tendangan keras ke
arah dadanya, hingga dirinya terpental dan jatuh dari punggung kuda.
“Makhluk apakah yang menendang dadaku hingga terasa sesak dan
panas….membakar sekujur tubuhku….” “Bukankah andika murid Syekh Siti
Jenar yang sakti?” Ki Sakawarki melayang dan berdiri dihadapan Loro
Gempol yang terhuyung, seraya tangan kirinya memegang dada. “Siapa
andika? Mengapa bisa terbang seperti Syekh Siti Jenar guru saya?” “Saya
Sakawarki, muridnya Sunan Kalijaga. Andika mengaku muridnya Syekh Siti
Jenar dan menganggap remeh para wali. Ternyata ilmu yang andika pelajari
dari Syekh Siti Jenar tidak seberapa?” Ki Sakawarki mendekat, “Andika
harus ditangkap karena telah berani melakukan pemberontakan dan……”
Hiatttt….belum juga Ki Sakawarki selesai berbicara, Kebo Benowo dengan
cepat menyambar tubuh Loro Gempol yang terhunyung-huyung. Dinaikan ke
atas kuda dan melarikan diri dari pertempuran. “Mundurrrrrrr!!!!” teriak
Kebo Benowo, seraya memacu kudanya dengan cepat. “Jangan lari keparat!”
Ki Sakawarki bersiap untuk mengejar, namun Lego Benongo menghadangnya.
“Kematian itu indah, kehidupan ini adalah penderitaan. Karena kematian
lebih baik dari hidup miskin dan terjajah, hamamayu hayuning bawana.”
ujar Lego Benongo, seraya menyilangkan golok di dadanya. “Tidak salah
yang andika ucapkan, Ki Sanak?” Ki Sakawarki mengurungkan gerakan
silatnya, sejenak berdiri dan mencerna ucapan Lego Benongo. “Mungkin
inikah yang dinamakan sesat?” “Siapa yang sesat? Andikalah dan para
wali, juga penguasa negeri Demak Bintoro yang sesat?” lalu Lego Benongo
menyelinap di antara lautan prajurit yang merangsek, setelah itu
melarikan diri. “Aku jadi kehilangan kejaran.” Ki Sakawarki mengincar
salah seorang pasukan gelap sewu untuk ditangkap. Mereka terlihat
berlarian dari medan tempur setelah pimpinannya menghilang ditelan
gelapnya malam. “Sulit juga menangkapnya. Mereka pintar menyelinap!”
“Kademangan Bintoro telah terbebas dari pemberontak!” teriak para
prajurit. Sebagian berjaga-jaga, yang lainnya menolong yang terluka,
serta mengangkut korban tewas. “Ki Sakawarki, benar bukan mereka
muridnya Syekh Siti Jenar?” Ki Demang Bintoro berdiri di samping Ki
Sakawarki. “Ya, namun mungkinkah beliau mengajarkan ajaran seperti ini?”
“Mengapa tidak mungkin?” ujar Ki Demang, “Bukankah kita sudah berhasil
menangkap hidup-hidup salah seorang muridnya yang mengaku anggota
pasukan gelap sewu. Orang ini kita bawa ke pusat kota Demak untuk
memasuki persidangan para wali sebagai saksi dan bukti.” “Dimana dia?”
“Dia berada dalam penjagaan para prajurit.” Ki Demang menunjuk ke utara,
seraya kakinya melangkah pelan. “Mari kita tanyai!” ——————- “Baiklah,
mudah-mudahan bisa memperkuat dugaan kita dalam persidangan di majelis
para wali.” Ki Sakawarki melangkah pelan disamping Ki Demang Bintoro.
Ketika langkah keduanya hampir mendekat, para prajurit penjaga
berteriak. Menyampaikan kabar bahwa, murid Syekh Siti Jenar bunuh diri
dengan membenturkan kepalanya ke dinding hingga kepalanya pecah.
Mendengar kabar demikian, Ki Sakawarki dan Ki Demang terkejut. Keduanya
saling tatap seraya mengurut dada dan menarik napas dalam-dalam. “Sangat
kuat pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Sakawarki.” Ki Demang Bintoro
menggeleng-gelengkan kepala saat melihat jasad anggota pasukan Gelap
Sewu yang terbujur kaku dengan kepala pecah, berlumuran darah. “Ajaran
hidup mati, mati hidup.” “Ki Demang, kita sudah bisa mengambil
kesimpulan bahwa benar ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat dan
menyesatkan.” Ki Sakawarki berjongkok disamping jasad. “Cukup bukti kita
untuk kembali melaporkan hal ini ke hadapan para wali, Ki Sakawarki.”
“Benar, kita harus segera melapor ke pusat kota Demak!” Demang Bintoro
menganggukan kepala. “Sebagai bukti tidak ada salahnya jika jasad ini
dibawa.” “Menurut hemat saya sebaiknya jasad ini kuburkan saja di sini
selayaknya. Kasihan jika harus dibawa ke Demak, sebab perjalanan kita
memakan waktu hampir seharian. Setelah itu baru keesokan harinya kita
bisa menguburkan setelah diperiksa para wali.” terang Ki Sakawarki.
“Tidak ada salahnya jika jasad ini dikuburkan berbarengan dengan korban
lainnya.” “Tapi dia beraliran sesat, Guru?” ujar seorang santri yang
berjongkok disampingnya. “Ajarannya yang kita anggap sesat. Bukankah
jasadnya tetap perlu kita hormati dengan penguburan yang selayaknnya.”
terang Ki Sakawarki. “Saya setuju,” Demang Bintoro menganggukan kepala,
“Prajurit kuburkanlah mereka dengan layak, begitu juga para korban tewas
lainnya.” lalu memerintah.
***
Padepokan Syekh Siti Jenar yang berada di kaki bukit Desa Khendarsawa,
tampak hening. Matahari pagi mulai meninggi, kirimkan sinar terang dan
kehangatannya. Cahayanya menerobos setiap celah dan ruang yang berada di
atas bumi, tidak ada kecuali, tidak pula membeda-bedakan, seluruhnya
terbagi sesuai dengan ketinggian matahari berada. Nun jauh di atas jalan
yang terbentang panjang dan penuh kelokan, dua orang penunggang kuda
bergerak cepat. Jalan yang membelah Desa Khendarsawa akan melintas ke
arah padepokan Syekh Siti Jenar. ——————- Penunggang kuda yang berada
disampingkanannya tampak tegap dan kuat, tangan kirinya menuntun kuda
disebelahnya, tampak terhuyung. Meringis kesakitan, tangannya
berkali-kali memijit dadanya. “Aduhhhhh…..sakit…sesak….” keluhnya.
“Tenang, Gempol. Padepokan Syekh Siti Jenar telah dekat.” ujar Kebo
Benowo, mempercepat langkah kuda yang ditungganginya. “Saya sudah tidak
kuat lagi, Ki Benowo.” keluh Loro Gempol, “Punya ajian apa sesungguhnya
Kiai Kademangan Demak itu?” “Saya juga tidak tahu, Gempol.” terang Kebo
Benowo, “Kita tanyakan semua ini pada guru kita di padepokan nanti.
Hussss…hiahhh!” Kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gempol,
berhenti di kaki bukit, persis di depan jalan menanjak. Tanah bukit yang
dipapas menyerupai anak tangga bertingkat itu tepat berada di bawah
padepokan Syekh Siti Jenar. Kebo Benowo loncat dari atas kuda, perlahan
menurunkan Loro gempol yang terhuyung. Keduanya menaiki tangga dengan
berat, setelah mengikat kedua kuda tunggangannya di bawah pohon rindang.
“Keparat!” geram Loro Gempol, “Keterlaluan Syekh Siti Jenar ini,
tinggal di dataran tinggi…..” keningnya meneteskan keringat dingin,
tangannya memijat dada, langkahpun tidak seimbang. “Tidak perlu bicara
seperti itu, Gempol.” bisik Kebo Benowo. “Adikan masih tidak menyadari
juga kalau guru kita ini memiliki kesaktian tinggi? Apa pun yang kita
bicarakan meskipun jauh beliau bisa mendengarnya.” “Omong kosong! Jika
memang demikian tentu dia tahu ketika kita berada dalam kesulitan….”
gerutu Loro Gempol. “Sssssssttttttt…” Kebo Benowo meletakan telunjuk
dimulutnya. “Andika belum paham juga dengan ajaran hamamayu hayuning
bawana.” terdengar suara Syekh Siti Jenar tepat ditelinga keduanya,
“….bukankah kalian tidak boleh menebar kerusakan dimuka bumi ini, justru
harus sebaliknya.” “Syekh?” Kebo Benowo terperanjat, begitu juga Loro
Gempol. “Tuh, benar yang saya katakan, Gempol?” “Ya,…..” wajah Loro
Gempol mendadak pucat dan cemas. “Maafkan saya, Syekh. Tidak ada maksud
untuk menjelekan…” lalu memutar kepalanya, mencari wujud yang memiliki
suara. ——————- “Andika tidak akan bisa melihat saya di sana. Karena
wujud saya tidak di sana.” suara Syekh Siti Jenar semakin menempel di
dalam gendang telinga keduanya. “Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo,
tidak menghentikan langkahnya. Hingga keduanya telah berada di atas
tangga terakhir, dalam jarak beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu
beliau, sedang berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya
terbelalak. “Lalu suara tadi?” Loro Gempol menggeleng-gelengkan kepala.
“Bukankah yang berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki
Ageng pengging? Sedang bercakap-cakap. Mengapa suaranya…..” “Syekh,
ketika saya sudah berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk
mengungkapkannya dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh
Siti Jenar. “Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.” “Ya, itulah
ma’rifat.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat
dibanding berada pada tahapan thariqat.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo
menganggukan kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah.
Dunia ini terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….” “Ma’rifat itu
berada dalam alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan
jubah hitam yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita
sekarang berada dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus
pakaian dan jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang
dinamakan kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad
itu, maka disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.” “Jadi ma’rifat
yang saya alami belum utuh, Syekh?” “Tentu.” Syekh Siti Jenar
menganggukan kepala. “Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab,
hendaklah mengenali dulu diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah
masuk pada tahapan yang saya maksud.” “Jadi saya baru mengenal diri?”
“Setelah itu kenalilah Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah
seutuhnya.” terang Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik,
genapkanlah yang ganjil, dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang
renggang. Hingga manunggaling kawula wujud.” “Manunggaling kawula
wujud?” “Maunggaling kawula wujud, ma’rifat seutuhnya. Tahapan orang
yang mengenal dirinya, hingga berikutnya manunggaling kawula gusti.
Wujud adalah jiwa, jiwa adalah jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud
jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, perlahan tubuhnya menembus
pohon, lalu mengeluarkan sebelah tanganya dari dalam. “Saya berada dalam
pohon, setelah itu kembali.” “Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum-kagum,
matanya seakan-akan tidak bisa berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar
yang telah keluar dari dalam batang pohon. “Betapa hebatnya ilmu yang
Syekh miliki.” “Ilmu itu milik Allah. Saya adalah manusia biasa, itu
hanya menjelaskan manunggaling kawula wujud. Hingga wujud ini bisa
menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun bisa keras seperti wujud.” lalu
Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas rumput hijau, tidak bergerak.
Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti Jenar lain, lalu melangkah
mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa, inilah jasad, maka menyatu,
manunggaling kawula wujud.” ——————- “Subhanallah…..” Kebo Kenongo
terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun seakan-akan hilang dari
kelopak matanya. “Itulah manunggaling kawula wujud. Dalam tahapan
ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa dengan jasad,
menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab jasad yang saya
lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya berada di luar.”
“Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan mengeluarkan tenaga dalam,
membuat musuh terpental, berada pada tahapan apa?” “Dalam tahapan
syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas seukuran kelapa,
diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah yang dilatih akan
menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar tenaga dalam.”
lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang pohon. Krak,
patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan Loro Gempol
sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan ilmunya yang
tinggi sangat sulit mencari bandingannya. “Harus selalukah mengeluarkan
tenaga dalam dengan batin?” “Maksud batin disini bukanlah ada pada
tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan.
Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan
dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai
ma’rifat.” “Termasuk hakikat dan thariqatnya?” “Benar, karena kanuragan
masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional,
semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.” “Saya paham,
Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya, “Meskipun sangat
hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan
sewenang-wenang mempertontonkan kesaktiannya, karena segala hal dalam
dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.” “Ki Ageng Pengging, jangan
melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat
seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup,
meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar. Namun kita
makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan
kebutuhannya.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat
itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala
arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….”
“Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar
melangkah pelan. “Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat.
“Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.” “Andika mendapat
tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan
panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa
sakit yang di derita Loro Gempol. “Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol
dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali
pulih. Syekh, benar-benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki
diturunkan pada saya?” “Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat
bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup
menjalaninya.” “Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung
diturunkan pada saya?” “Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun
untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi
petunjuk.” “Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang
turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.”
“Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.” “Benarkah itu, Syekh?”
“Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya
pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman
padepokan. ——————- “Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya
menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping-keping.
“Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang
juga saya mohon pamit.” “Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya
menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah
turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan
ketinggian. “Masih ada orang seperti dia? Kenapa pula Syekh memberikan
ilmu dengan mudah kepada mereka?” “Tidak sepantasnya kita sebagai
makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo
Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita
bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan
Maha Penyayang. Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun
demikian. Bergerak luruslah dengan sipat-sipat Allah, menyatulah
didalamnya. Karena sipat-sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan
dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.” “Mengamalkan
itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia
terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang
dimilikinya?” “Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan
sipat-sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti
sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu,
betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan
harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan
cuma-cuma?” “Syekh sendiri?” “Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging
lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat-sipat Allah jika kita sudah
berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar
Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?” “Meski saya kurang
begitu paham maksudnya, sedikit-demi sedikit akan berusaha
mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja
sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada
dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga
saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada
dalam genggaman.” “Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan
sebelumnya.” “Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya
dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?” “Itu bukan
tujuan mereka untuk meraih kekuasaan. Terutama Sunan Kalijaga, jika dia
ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki
Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan
Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan
keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya.
Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan
syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa
untuk mendapatkan keuntungan. Dia lebih cenderung untuk menterjemahkan,
menyampaikan, mengamalkan, ajaran tadi dalam tahapan syariat, juga ilmu
politik, sosial, dan budaya.” “Apakah dia mengajarkan pula ilmu
ma’rifat?” “Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga
tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan
wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..” “Saya paham,
Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Dia tidak mudah
memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….” “Lihatlah tangga yang
menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!” ——————- “Bertahap?” gumam
Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang
tanpa melalui tahapan?” “Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak
jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih,
dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.” “Hhhhhmmmmmm….” Kebo
Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala
uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang
dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha
sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula
Gusti menurut Syekh?” “Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar
lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama
manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.” “Maksudnya?” “Manunggaling
sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu
melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng
Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?” “Tentu saja gula
manis, dan garam asin.” “Berikan pula gula dan garam ini pada seratus
orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Ageng
Pengging.” “Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski
dikasihkan pada seribu orang.” “Itulah yang dikatakan manunggaling
sifat.” “O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya.
***
“Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu
duduk bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki
dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang
disebutnya, duduk berhadapan. “Terimakasih, saya mendengar kabar burung
tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran
Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?” “Sampaikanlah
kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki
Demang!” ujar Sunan Giri. ——————- “Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan
yang saya hormati, ajaran itu benar-benar menyesatkan. Hidup itu untuk
mati, mati itu untuk hidup, akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro
yang bunuh diri.” Ki Demang berhenti sejenak, “Saya selanjutnya
melakukan penyelidikan bersama Ki Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan
jempol belaka tentang kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar itu.” “Saya
semula tidak percaya tentang ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki
Sakawarki, “Tapi ketika mendengar langsung dan menyaksikan barulah
percaya.” “Adakah penyimpangan lain dari ajaran Islam yang berkaitan
dengan aqidah?” tanya Sunan Giri. “Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki
menganggukan kepala, “Mereka tidak mesyariatkan shalat lima waktu,
begitu pula kewajiban lainnya.” “Menyimpang dan sesat secara aqidah!”
Sunan Giri geram. “Benarkah mereka juga melakukan tindakan makar? Selain
menyebarluaskan ajaran sesatnya?” tanya Pangeran Bayat. “Itulah yang
kami saksikan.” jawab Demang Bintoro. “Dengan bukti melakukan
penyerangan terhadap Kademangan.” “Keparat!” muka Pangeran Bayat merah
padam, “Saya kira dibelakang semua ini Ki Ageng Pengging juga punya
kepentingan?” “Mungkin? Karena merasa masih keturunan Majapahit, Gusti?”
tambah Demang Bintoro. “Yang paling mencolok mereka menyebut nama
pimpinan pemberontak Kebo Ben….” “Jika itu Kebo Kenongo, maka dugaan
saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena Kebo Kenongo nama lain dari
Ki Ageng Pengging….” “Disini telah berbaur antara aqidah islam dan
politik…..” “Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!” potong Pangeran Bayat,
“Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Sebab jika
dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak Bintoro.” ‘Padahal maksud
saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan Kalijaga beradu tatap dengan
Sunan Bonang, memulai percakapan dengan batinnya. ‘Saya kira tidak perlu
mencampuri persoalan ini terlalu jauh, Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang.
‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan, seakan-akan kitalah yang
memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa beranjak dari tempat duduk
mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’ ‘Betapa sombong dan
angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan kepala. ‘Namun
tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’ “Politik macam apa yang
terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?” tanya Demang Bintoro.
“Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan umat beragama, Ki
Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik untuk melakukan
makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat. ——————- “Itulah yang terjadi
di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang Bintoro menganggukan
kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat kademangan dengan ajaran yang
menyesatkan, hingga pada suatu malam terjadi penyerbuan. Namun yang
paling aneh, ketika salah satu diantara mereka tertangkap, membenturkan
kepalanya pada batu hingga tewas.” “Itulah yang mereka anggap jihad!”
ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja mereka akan memilih mati ketimbang
tertangkap, karena mati telah memenuhi panggilan jihad.” berusaha
menyimpulkan. “Pantas saja?” Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala.
“Jika demikian kesimpulannya sudahlah jelas persoalan ini, Gusti
Pangeran.” Ki Sakawarki penuh hormat, “Syekh Siti Jenar beserta
pengikutnya harus ditangkap. Mereka telah berani merusak ajaran Islam
yang sesungguhnya. Selain telah berani-berani mencampurbaurkan
kepentingan politik dengan agama. Sehingga agama dijadikan alat politik
dan kekuasaan.” “Itulah yang terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya
berksimpulan.” Pangeran Bayat mengaggukan kepala. “Namun sebelum
bertindak saya akan meminta dulu pendapat para wali agung tentang
batasan sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar. Bagaimana menurut
pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata Pangeran Bayat menyapu wajah para
wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku ketua Dewan Wali. ——————-
“Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar tatapannya, “Saya menyimpulkan,
jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap shalat lima waktu tidak wajib,
puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup untuk mati, mati untuk hidup.
Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.” “Tidakah
kita menelisiknya terlebih dahulu, Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga
beradu tatap. “Apa lagi yang mesti kita selidiki, Kanjeng Sunan
Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran ajaran sesat harus segera
dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah, kesetabilan negeri Demak
Bintoro akan terancam.” “Tidakkah kita ingin memastikan sekali lagi
tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan mengutus seorang wali?”
tatap Sunan Kalijaga. “Bukankha Ki Sakawarki saja sudah cukup sebagai
seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?” “Apakah Ki Sakawarki sudah
secara langsung mendengar dan melihat jika ajaran Syekh Siti Jenat itu
sesat?” “Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga, saya belum bertemu dengan Syekh
Siti Jenar. Namun saya hanya melihat dan mendengar dari para muridnya,
ketika beberapa malam lalu melakukan pemberontakan.” “Bisakah itu
dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga memutar tatapannya ke arah
Pangeran Bayat dan Sunan Giri. “Dari Segi politik, yakin tujuan utamanya
ingin makar. Bukan semata menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran
Bayat mengerutkan dahinya, “Yang memperkuat tuduhan saya dengan adanya
nama Kebo Kenongo. Jelas-jelas dia masih keturunan Majapahit dan
memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden Patah. Hanya dia tidak
seberuntung junjungan kita.” “Pangeran, bagaimana jika kita pisahkan
dulu masalah politik dan agama?” “Maaf, Kanjeng. Saya rasa persoalan
politik dan agama dalam hal ini sudah menyatu.” tukas Pangeran Bayat.
“Saya menduga jika kepentingan politik yang ditebarkan Kebo Kenongo
dibungkus rapih dengan agama. Dengan tujuan orang terfokus pada
persoalan agama, padahal politis.” “Makanya saya tadi berpendapat, untuk
menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna yang sesungguhnya, kita
pisahkan dulu…” “Kanjeng Sunan Kalijaga, sebaiknya perdebatan ini
dihentikan. Saya takut di antara para wali terjadi perbedaan paham yang
runcing, begitu pula dengan kalangan pemerintah.” potong Sunan Giri.
“Selanjutnya kita renungkan sejenak sebelum mengambil keputusan.
Bagaimana jika kita memperbincangkannya dengan Raden Patah, semoga dari
hasil persidangan nanti ada keputusan. Jika Syekh Siti Jenar perlu
ditangkap, kita tangkap!” ——————- “Saya setuju!” ujar Pangeran Bayat.
“Apa pun yang terjadi jika itu keputusan raja, sudah semestinya kita
taati.” “Baiklah.” Sunan Kalijaga menganggukan kepala, tatapan matanya
tertuju pada Sunan Bonang, mata hatinya mulai bersentuhan dan
bercakap-cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang, saya secara syariat tidak bisa
melawan kehendak Allah.’ ‘Ya, karena itu sudah menjadi sebuah taqdir dan
ketentuan yang mesti dijalani. Kita lihat dan ikuti saja…meski secara
lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya kira Syekh Siti Jenar juga paham
perjalanan hidupnya…’ batin Sunan Bonang, tatapan matanya menerbar sinar
kemerah-merahan beradu dengan sorot mata pancaran jingga Sunan
Kalijaga. “Ada apa?” Sunan Drajat tersentak dari duduknya, “Mengapa ada
pancaran sinar dari…” “Disini tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan
Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa Kanjeng tersentak?” tatapan matanya
mengikuti sudut pandang Sunan Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang
perlu dikejutkan. “Tidakkah Kanjeng me…” “Benar, Kanjeng Sunan Drajat.”
tatap Sunan Bonang. Seakan-akan menembus batin hingga tidak berdaya.
——————- “Kanjeng Sunan Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski
tidak mengerti. Hatinya seakan-akan disusupi nasihat yang sebelumnya
tidak pernah diketahui. “Saya harus menafsirkannya…” “Apa yang telah
terjadi? Kenapa saling memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan.
“Kanjeng Sunan Giri?” “Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.”
bisiknya, lalu menatap Sunan Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?” “Tidak ada
hal yang perlu dikhawatirkan, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang,
“Putusan terbaik dalam menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita
mesti menunggu keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng.
Kami berisyarah setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.” “Baiklah
jika demikian. Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil
keputusan.” Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari
duduknya. “Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang
Bintoro. “Karena tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan
merupakan wewenang para wali dan pemerintah.” “Baiklah, Ki Demang.”
Sunan Giri menerima kedua telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak
bersalaman. “Semoga kalian selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan
kami tindaklanjuti, agar tidak terlanjur dan terlunta-lunta hingga
mengakibatkan kesesatan bagi umat.”
***
Matahari mulai merayap, perlahan meredup seakan-akan terlihat lelah dan
ngantuk. Seharian memelototi bumi beserta isinya, menatap setiap tingkah
dan laku manusia yang beragam. Matahari sudah waktunya kembali dan
beristirahat di peraduannya, seiring dengan datangnya gelap malam. Namun
penghuni jagat raya seakan tidak peduli meski matahari tidak lagi
memelototi dan menerangi, biar kerlip gemintang sebagai pengganti, saksi
mereka bertingkahlaku. Malam hanya perpindahan dari terang pada gelap,
dari benderang pada kremangan. Hingga tidak pernah menghalangi dan
menyurutkan niat dan langkah manusia dengan segenap tekad dan
keinginannya untuk berbuat. Pinggir hutan di halaman pendopo milik Kebo
Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan tubuh yang sedang berlatih
silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo bergantian mengajarkan setiap jurus
dan strategi perang. ——————- Tidak lama berselang terdengar suara kuda
yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo
dan Loro Gembol telah berada di tengah-tengah pengikutnya. “Ki Gempol,”
ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….” “Benar, Dento.”
Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar
hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat
tendangan Ki Sakawarki.” “Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala.
“Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?” “Tentu
saja, Dento.” Loro Gempol menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah
mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki
tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya
mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu. “Seperti
apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo. “Lihatlah! Saya akan
menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali
tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang-ancang, seraya loncat dan
mengarahkan tendangannya pada batu. Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol
menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping-keping.
Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento
dan Kebo Benongo. “Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu
kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya. “Bukankah dia
orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum. “Sayang, Ki Gempol?”
“Kenapa, Dento?” “Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita
dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan
Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang
terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging,
sangatlah sulit untuk diajak serta.” “Jangankan Kademangan, Demak pun
jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol.
“Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya,
semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada
kekuasaan?” lalu menghela napas dalam-dalam. “Itulah keanehan mereka,
Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu
lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk
berkuasa.” “Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari
duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….” ——————- “Bagus,” ujar
Loro Gempol, “Sekarang kesaktian saya telah bertambah. Mengapa tidak
digunakan untuk kembali mengadakan penyerangan terhadap Kademangan
Bintoro?” “Haruskah malam ini?” tanya Kebo Benongo. “Tidakah merasa
lelah sepulang dari padepokan?” “Tidak!” “Gempol, bukannya saya tidak
percaya pada tendangan maut yang baru saja andika miliki.” Kebo Benowo
mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita untuk menggempur Kademangan
Bintoro?” “Benar!” Joyo Dento meletakan kedua tangannya di belakang,
“Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki Sakawarki, tidak ada salahnya
kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita miliki. Sebenarnya ada taktik
perang gelap…” “Maksud andika?” Loro Gempol menatap tajam. “Harus
menghindari perang terbuka. Mengingat jumlah pasukan kita lebih sedikit
di banding musuh.” dahinya dikerutkan, “Serangan kita harus bersifat
memecah konsentrasi musuh, lantas menyerang, lalu menghilang.” terang
Joyo Dento. “Berhasilkah dengan cara demikian?” tanya Kebo Benowo,
“Tidak lebih baikah jika kita menambah jumlah pasukan?” “Bisa saja,
menambah pasukan. Artinya untuk sementara kita menghentikan
penyerangan….” “Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru dalam waktu
dekat?” Loro Gempol garuk-garuk kepala.
***
Dewan wali yang di pimpin Sunan Giri mulai memasuki istana kerajaan
Demak Bintoro. Mereka menginjakan kakinya di atas karpet berwarna hijau,
kiriman dari Bagdad. Di setiap sudut istana berdiri para prajurit
dengan tombak dan tameng di tangannya. Raden Patah sudah berada di atas
singgasananya, perlahan bangkit menyambut kedatangan para wali. Pangeran
Bayat, serta para abdi kerajaan lainnya berdiri, menyalami. Hari itu
tampaknya ada pertemuan penting antara Raden Patah dan Walisongo.
“Selamat datang di keraton, Kanjeng Sunan.” Raden Patah menyalami dan
memeluk Sunan Giri, lalu yang lainnya. “Silahkan…” ——————- “Terimakasih
atas sambutannya, Raden.” Sunan Giri lalu duduk di atas kursi yang telah
disediakan. Diikuti para wali lain menempati kursi yang telah
disediakan. “Rasanya sangat bahagia hati ini, batin pun terasa tentram
jika sudah bertemu dengan para wali yang terhormat.” Raden Patah
perlahan duduk kembali di atas singgasana kerajaannya, para abdi pun
mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan tidak menyempatkan diri
memasuki istana yang megah ini.” “Tidaklah harus terlena dengan
kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum tipis, “Singgasana
berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan kita untuk
bermalas-malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan istirahat,
terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita mendapatkan
kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi ketentramannya, demi
ketenangannya, demi melayaninya?” “Alhamdulillah, Kanjeng.” Raden Patah
sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan matanya, “Saya sudah
berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan ajaran Islam. Namun
saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..” “Jika Raden terlena
dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah istigfar.” Sunan Giri
mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini tidak abadi, kekuasaan
akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan dan kemewahan hanya bisa
dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan ketika diri kita tidak
sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat sakit mengusik kita.
Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski sekejap. Itu semua
mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki akan ditinggalkan,
semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh. Bukankah kehidupan
di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa pun dunia tetaplah
fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan. Tidak ada bedanya saat
kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah rasa lapar
tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.” “Jika perut
sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski masih
terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah
mengangguk-anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah
datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?” “Andai lapar itu
berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil
pelayan kerajaan. Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah
terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri. “Ya, saya paham, Kanjeng.”
Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini
ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran
Bayat. “Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran
Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur
Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?” “Benarkah, Dimas?” “Hamba
yakin, Gusti.” “Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah
menundukan kepala dihadapan Sunan Giri. “Seandainya masih ada rakyat
yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di
akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat
negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain
mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan
Giri. ——————- “Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat
kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro,
mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat.
Mudah-mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi
di negeri ini….” “Yakinkah, Raden?” “Saya percaya pada Dimas Bayat,
Kanjeng Sunan.” “Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan
pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat. “Baguslah jika
yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari
duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan
utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?” “Tentu saja, Kanjeng.”
Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki
Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait
dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?” “Benar,” Sunan Giri
menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar
jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat. Pengikutnya terutama
rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.” “Mereka
bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati
lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada
pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.”
“Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang
ajaran Syekh Siti Jenar!” “Kenapa, Kanjeng?” “Lihat dan perhatikan, jika
yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…” “Mengapa harus dipisahkan
persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah
dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang
menyesatkan ini.” “Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi
dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin
dan kelaparan?” “Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua
telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba
telah berbuat hilap….” dari sela-sela jemarinya menetes buliran air
mata, semakin lama semakin banyak. ——————- Suasana istana yang hening
terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan-akan mengubah dan
memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya
seakan-akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar-ketir, jika seandainya
Raden Patah marah. Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali,
termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan
Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski
hanya sepatah kata penghibur. “Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak
Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi
rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah
berdosa dan menyia-nyiakan amanah…”
***
Matahari mulai menyelinap di balik bukit Desa Kendharsawa, awan tipis
berlapis-lapis laksana serpihan sutra merah. Angin senja bertiup
sepoi-sepoi mengusik setiap daun dan ranting kering, selanjutnya jatuh
di atas tanah, tanpa daya. Sorot mata Ki Chantulo tidak beranjak dari
jatuhnya daun dan ranting kering di hadapannya. Lalu duduk dan
memungutnya. “Ranting dan daun kering, rupanya usiamu telah berakhir
senja ini.” perlahan bangkit, seraya mengangkat kepalanya, tatapan mata
menyapu awan jingga berlapis dan berarak laksana kereta kencana. “Betapa
indah, taqdir kepergianmu diiringi warna keemasan….” “Ya, sangat indah
kematian daun dan ranting kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri
disampingnya. Tatapan matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman
seperguruannya. “Mungkin itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan
dzat yang maha kuasa?” “Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah
pelan menuju padepokan Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi. Di
halaman padepokan Syekh Siti Jenar sedang bercakap-cakap dengan Kebo
Kenongo. Kebo Kenongo seakan-akan larut pada setiap perkataan dan
nasehat gurunya, terkadang berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya.
“Syekh, manunggaling sifat Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya
mengerti dan memahami…” ujar Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini
mulai bisa saya capai. Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui
tahapan yang dulu pernah Syekh ungkapkan.” “Bukankah saya pernah
mengatakan, menuju ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat,
hakikat, thariqat, lantas ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang
yang beragama Islam saja yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha
yang sebelumnya Ki Ageng Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan
itu. Bisa saja namanya berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar
menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua
agama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat
Yang Maha Kuasa. Yang membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan,
dan nama-nama proses pencapainya.” ——————- “Ya,” Kebo Kenongo
tersenyum, “Pencapaian itulah yang memerlukan proses yang cukup lama dan
panjang. Hingga terkadang orang merasa putus asa…” “Putus asa, penyebab
petaka. Itu tidak perlu terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk
menghindari keputusasaan dalam hal pencapaian diperlukannya guru yang
selalu membimbing dan mengarahkan.” “Benar, supaya tidak kesasar dan
gila?” “Ya, mungkin kata lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau
kesasar pada orang lain, karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia
milki bahwa jalan menuju Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa
Ki Ageng Pengging lalui beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya
ada banyak jalan menuju Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara,
bisa berbelok dulu ke Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai
Syekh Siti Jenar, “Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke
Utara atau ke Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak
pernah mengambil jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?” “Saya
kira tidak,” “Mengapa?” “Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa
Kendharsawa. Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat,
lambat, dan alon-alon.” “Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar
Syekh Siti Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan
jalan itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap
orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski
sebenarnya punya tujuan sama.” “Maksudnya?” “Bukan tidak tahu jalan
umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya
maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena
ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka
semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?” “Sampai?” “Mengapa harus
bertengkar dan saling menyalahkan?” “Karena jalannya tidak diketahui
umum,” “Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan
bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?” “Tidak,” “Mengapa?” “Karena pasti
sampai.” “Kenapa pula dipertengkarkan?” “Bertengkar karena tidak saling
memahami akan persoalan yang sesungguhnya.” ——————- “Nah, itulah Ki
Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan, “Makanya Islam
mengajarkan jika di antara kita terjadi perbedaan paham sebaiknya
dikembalikan pada alquran dan assunnah. Semua perbedaan pendapat dan
pemahaman bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak semestinya
melakukan tindakan yang tidak diridhoi Allah, apalagi menciptakan
laknat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menebar
rakhmat, hamamayu hayuning bawanna? Seandainya orang tadi belum mengenal
Desa Kendharsawa, maka bisa dikatakan tersesat. Salah jalan. Jika salah
jalan karena ketidaktahuan itulah yang sesat.” urainya. “Ya, karena
tidak akan mungkin sampai pada tujuan.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan
kepala, “Jadi makna “sesat” disini bisa diartikan berbeda?” “Tentu,”
Syekh Siti Jenar mengiyakan, “Bisa saja kita yang salah karena
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Bisa juga orang yang kita anggap
sesat benar-benar sesat. Atau bahkan sebaliknya.” “Syekh,” Ki Chantulo
mendekat, dibelakangnya berdiri Ki Donoboyo. “Kita telah jauh
memperdalam ilmu hamamayu hayuning bawanna, ma’rifat mungkin hampir saya
capai. Namun saya khawatir ada akibat….lihatlah daun dan ranting kering
ini, sangat mudah terlepas dari batang pohon meski hanya tertiup angin
sepoi-sepoi.” “Jika kita sebagai manusia tentu saja harus punya rasa
khawatir.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, tatapan matanya menyapu
wajah Ki Chantulo. “Kekhawatiran muncul karena keterbatasan ilmu dan
ketidaktahuan perjalanan hidup. Ketidaktahuan akan ketidakjelasan
kabar.” “Maksudnya?” “Saat orang bilang, awas jangan lewat jalan
Kendharsawa karena ada rampok kejam, apa yang akan andika lakukan?”
“Saya akan menertawakan orang tadi, karena setahu saya jalan menuju Desa
Kendharsawa aman.” “Karena andika tahu betul.” ujar Syekh Siti Jenar,
“Tapi sebaliknya bagi orang yang belum mengenal Kendharsawa tentu akan
merasa khawatir. Mengenai kabar yang tidak jelas tadi, bahkan akan
menimbulkan rasa was-was.” “Ya,” Ki Chantulo mengangguk, “Mungkin karena
keterbatasan ilmu saya yang menyebabkan khawatir dan takut.”
“Sebenarnya apa yang menjadi kekhawatiran andika, Ki Chantulo?” tanya
Kebo Kenongo. “Saya mendengar kabar ditangkapinya orang-orang yang
menganut ajaran Syekh Siti Jenar. Jika tidak salah dewan wali menganggap
ajaran kita sesat.” Ki Chantulo menundukan kepala. “Syekh?” Kebo
Kenongo menatap Syekh Siti Jenar, belum juga kering mulutnya ketika
berbincang tentang sesat. ——————- “Tidak perlu khawatir, Ki Angeng
Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah,
daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak
ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di
atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin
saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak
lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi
itu.” sejenak menghentikan perbincangannya. Senja hening di padepokan
Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam
keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh
Siti Jenar, berkelebat. “Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh
sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang
disampaikannya berlaku pada kita…..” “Jika ya? Meskikah kita mengambil
tindakan?” tatap Ki Chantulo. “Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo
mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri. Mungkin caranya
berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan
diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?” “Begitukah, Syekh?” Ki
Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Saya
tidak mengharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah
andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.”
“Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya. “Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang?
Sebatas mana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam
keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah
tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi
hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan
bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat,
bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami
akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.”
urai Syekh Siti Jenar. “Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki
Donoboyo memijit-mijit keningnya. *** “Saya menyadari akan keteledoran
dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga
timbul penyesalan yang teramat dalam….” “Tidak cukup dengan sebuah kata
dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa
kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu
memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat,
meminta maaf pun harus pada mereka…” “Bukankah rakyat negri Demak
Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?” “Meminta maaf pada rakyat tidak
cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.”
Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada
lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah.
Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara.
Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat
juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia
bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali
mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.” “Saya
sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk,
“Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?” “Mana mungkin
bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah
yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat,
berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.” ——————-
“Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang
Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah
ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap
Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk
mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin
mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena
miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah
berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.”
***
“Raden,” Sunan Giri perlahan duduk di atas kursi. “Ada persoalan yang
lebih penting ketimbang rasa lapar dan kemiskinan.” “Persoalan apa,
Kanjeng?” tatap Raden Patah, “Bukankah miskin dan lapar yang bisa memicu
orang berbuat nekad? Merampas hak orang lain? Merampok? Mungkin juga
bunuh diri?” “Benar Raden, seakan-akan persoalan perutlah yang
terpenting dalam kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali
orang melakukan penyelidikan lebih mendalam.” “Maksud, Kanjeng?”
“Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan
Giri berhenti sejenak, tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah,
terkadang Pangeran Bayat. “Karena hanya jalan itulah yang dianggap
penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya
mereka kenyang dan serba berkecukupan. Tidak akan mungkin berbuat
demikian.” “Orang miskin merampok hanya butuh makan untuk satu hari,
Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan
Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin
menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.” “Ya, saya mengerti,
Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya,
yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya
menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.” “Terkait dengan
hal itulah kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah
para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama. Lihatlah
khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan.
Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya
tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.”
“Benar, Kanjeng.” “Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak
Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang
dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas,
“Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat
kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh
ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat. Sehingga mereka dengan
ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.” “Gusti, menurut
hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula
dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng
Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar,
disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki
hak yang sama untuk meraih tahta.” “Tidakkah sebaiknya persoalan
politik dipisahkan dulu…” “Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini
telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat
sarat dengan muatan politik.” “Dimas Bayat, untuk menjernihkan
persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap
Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi
pemberontakan di Kademangan Bintoro?” “Bukankah dugaan saya telah
terjadi, Gusti?” “Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden,
terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri,
“Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran
sesat ini semakin meluas….” “Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala,
pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup. “Haruskah saya seret
Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran
Bayat. “Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga,
“Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan
Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?” ——————- “Untuk apa, Kanjeng?”
tanya Sunan Giri. “Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.”
jawab Sunan Kalijaga. “Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar
mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Maaf,
Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.”
Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya
utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng.
Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang
wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup
menilai sesat atau tidaknya ajaran Syekh Siti Jenar.” “Baiklah, Raden.
Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali
yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus,
Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.”
“Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?”
tanya Pangeran Bayat. “Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah
Sunan Giri. “Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran
sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri.
“Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya. “Hamba kira hukuman mati
sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat. “Hukuman apa pun layak diberikan
pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan
Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan
memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta
pembuktian.” “Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah
dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita
menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke
Desa Khendarsawa.
***
Sore itu matahari tertutup mega hitam, berlapis-lapis. Seakan-akan
tatapan matanya yang bersinar sengaja dihalangi untuk menatap padepokan
Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat kencang, mega pekat membumbung
dan berputar-putar, semakin cepat. “Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo
yang berada di halaman padepokan bangkit dari duduknya, kepalanya
mendongak ke atas. “Apa yang akan terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan
keningnya, “Angin puting beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh
Siti Jenar yang berdiri di samping Kebo Kenongo. “Pernahkah kita
merusak alam? Menebang pohon sembarangan, membabad batu padas
seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar. “Tidak,” “Bahkan sebaliknya kita
memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran
hamamayu hayuning bawanna…” ——————- “Jika demikian kita tidak perlu
takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Puting beliung
biasanya menghancurleburkan rumah, dan bangunan. Mungkin saja padepokan
yang kita diami….” “Saya kurang paham?” tanya Ki Chantulo, “Apa
kaitannya dengan memakmurkan bumi?” “Bukankah beberapa waktu lalu saya
pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?” “Yang kita bicarakan pada
waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.” kerut Ki Chantulo, “Sabda
alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin saja puting beliung bisa
menghancurkan padepokan kita? Mengapa?” “Mungkin disini, bukan berarti
akan terjadi, atau tidak sama sekali, bahkan bisa saja terjadi.” ujar
Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini saya tegaskan, kemarahan alam
sedahsyat apa pun tidak akan pernah menyentuh padepokan kita.” “Termasuk
puting beliung?” tanya Ki Chantulo. “Meskipun rumah penduduk disekitar
Desa Khendarsawa porak-poranda?” “Benar, justru akan saya usahakan agar
enyah dari Desa Khendarsawa.” “Mengapa, Syekh?” “Bukankah saya sedang
menjelaskan hal yang terkait dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….”
“….” Ki Chantulo dan yang lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya
saya belum paham…” “Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya
kira bencana akan datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa
akan kekeringan dan kekurangan air pada musim panas, seandainya
pohon-pohon besar yang berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin
saja akan terjadi longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap
gurunya. “Ya, itu sebuah contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar,
“Seandainya kita telah mengamalkan ilmu hamamayu hayuning bawanna,
memakmurkan bumi. Tidak akan pernah kita dimurkai alam atau hidup dalam
kesusahan.” “Maksudnya?” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya. “Alam
sebenarnya akan memberikan imbalan pada kita. Seandainya kita ikut
memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah,
“Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki Chantulo itu. Bukankah Ki
Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil, menanamnya, merawatnya,
hingga menghasilkan buah?” “Ya, saya baru mengerti, Syekh.” Ki Chantulo
mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali dengan perawatan dan
pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan imbalan pada saya berupa
makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan memakannya, saya baru
ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya, mengerti.” “Itu salah satu
contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka alam akan memberi imbalan.
Lihatlah para petani dengan jerihpayah menamam padi, lihat pula para
petani membuat pematang sawah, menciptakan saluran air dengan teratur,
dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah pohon jambu tadi, tebas dan
biarkan merana, biarkan pula padi disawah tidak harus dirawat dan diberi
pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi sampah. Apa yang akan terjadi?
Memeliharakah pada kita? Murkakah mereka?” “Tentu saja murka, Syekh.
Saya paham,” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu,
tadi Syekh bisa mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari
Khendarswa?” “Bukankah andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa
membelah lautan. Lantas menjinakkan air laut, sehingga dengan sebilah
tongkat kayunya bisa menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng
Nabi Sulaiman menundukan angin kencang?” “Bukankah itu mukjijat, Syekh?”
tatap Ki Chantulo. “Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak
mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan
mukjijat.” “Tentu saja,” ——————- “Bersandarlah kita pada ke Maha
Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar
hal itu bisa terjadi.” “Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?”
“Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah
rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk
dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan
Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang
menyebutnya Kharamah?” “Mengapa bisa muncul Kharamah?” “Ya, karena kita
telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.” “Jika tidak
sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?” “Tentu, asalkan hati
kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak
sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar,
tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang
tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat
tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar. “Maksudnya?” tanya Ki
Donoboyo. “Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah
catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati
timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah
dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika Islam itu
hanya tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya……..” “Keberkahannya
yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran
Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang.
Kadangkala Alquran dan agama hanya dijadikan alat…” “Ya, dijadikan alat
untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para
penguasa negeri Demak Bintoro…” “Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak
mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika
demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa
benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya
seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal
kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang
bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.” “O…” Ki Donoboyo
mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa
saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya
jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan
agama yang saya anut.” “Menurunkan penilaian jelek pada orang lain,
karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar
Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu
menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca,
memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri
manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah.
Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa
introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut
banyak orang.” “Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya,
“Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?” “Benar, sehingga
hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan
dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain
meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan
menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya
dibelakang, jadi bahan obrolan.” “Itulah para pejabat negeri Demak
Bintoro….” “Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar
menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai
ma’rifat?” “Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit
menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan
benci akan penyimpangan, terutama dari…..” “Sudahlah, bukankah tadi saya
telah mengurainya?” “Jika andika berupaya, insya Allah akan sampai pada
tujuan.” terang Syekh Siti Jenar. “Sampurasun…” terdengar suara dari
kaki bukit, menggema. “Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki
tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo. ——————- “Tahukah andika siapa
yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar. “Belum terlihat, sama sekali tidak
tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah
jalan yang akan dilewati tamu. “Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi
menajamkan penglihatan…” “Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo,
begitu juga yang lainnya. “Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.”
“Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi. Belum juga Ki
Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demak Bintoro telah terlihat
menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar. Paling Depan Pangeran
Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan
Muria dan yang lainnya. “Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan
para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar
dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika
dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga
padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan
melelahkan?” “Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami
dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju
padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.”
“Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika
semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan
yang berikutnya….” “Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram,
lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan
Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!” ——————- “Apakah sikap saya tidak
ramah? Bukankah dari tadi sudah mempersilahkan? Butakah Pangeran pada
tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya
yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu
tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang
memancarkan cahaya. “Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang
semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris. “Pangeran,
tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan
Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang
geram. “Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya.
“Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana
menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya. “Dimas
Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat. “Baiklah, Kakang.” lalu
menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan
sorot mata tajam. Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam
beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung
telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis
mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin
menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani
matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan
kejadian penting di Desa Khendarsawa. Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah
setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran
Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki
Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan
menebar senyum. Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada
dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu
dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan
memahaminya pun akan beragam. “Syekh, saya mendengar kabar jika andika
dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap
Sunan Kudus. “Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu
wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika
seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari
ajaran Islam yang sesungguhnya.” “Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus,
“Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus.
Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan.
Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….” “Tapi meskipun andika
telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus
dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk
bertobat…” “Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.
“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja
membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan
hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat. “Kenapa
andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat
tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah
saya mendiamkannya?” “Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang
menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak
menghindar meski sejengkal tanah. “Diamlah andika!” ujar Syekh Siti
Jenar. Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan
keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu
kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk
bergerak. “Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang
dilakukannya terhadap Dimas Modang?” “Jangan khawatir, Pangeran.” lirik
Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan
tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”
——————- “Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala.
“Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar. “Ya, Syekh.”
“Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?” “Hari inilah saya datang
ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.” “Bahwa saya telah
mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh
Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap
Sunan Kudus. “Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan
Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari
ajaran Islam yang sesungguhnya….” “Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum,
“Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya
saya telah murtad, kafir, mungkin juga musyrik. Tetapi benarkah tuduhan
itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya
sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya
memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak
bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap
benar dan harus disebarluaskan?” “Memang itu tidak salah! Sudah
seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan
kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi
andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.” “Mengapa saya dianggap
melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika?
Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?” “Tidak,” “Lantas?”
“Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan
ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi
Islam yang sesungguhnya.” “Andika dari tadi menuduh saya telah
menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan
Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang
saya sebarkan?” ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam
pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?” “Syariat
Islam?” “Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…” “Tidak,” “Mengapa? Bukankah
itu hukumnya wajib?” “Tentu saja.” “Disitulah salah satu kesesatan yang
andika ajarkan, Syekh!” “Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah
satu kesesatan yang saya ajarkan?” “Dimana ukuran sesatnya?” “Ya, itu
tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan
Ramadhan!” “Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada
bulan Ramadhan, tidakkah salah?” “Justru andika telah salah dan sesat,
Syekh!” “Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia
biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan,
apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak
seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima
waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan
Allah dalam Alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?” “Andika ini
melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?” “Saya tidak sedang melantur,
Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya
sebagai manusia biasa tidak bisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika
demikian artinya telah melebihi Allah….” “Bagamaina andika ini, Syekh?
Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata,
memutar-mutar kalimat!” “Bukankah manusia dalam kehidupannya hanya
memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi.
Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat
dan menyesatkan umat….” “Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran
Bayat mengerutkan keningnya. “Islam itu agama syariat!” ujar Sunan
Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat
yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu
melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.” “Tidak
bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”
——————- “Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu
ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika
mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!” “Bukankah saya
sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan
lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang
sebuah perintah terkait syariat…” “Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela
napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam
ini agama yang berdasarkan dalil dalam Alquran, bukan berdasarkan
pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…”
“Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.”
Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah
selesai…” “Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika
tidak bisa menghindar dari hukum…” “Hukum?” “Ya, hukum negara Demak
Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang
pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain
wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan
manunggaling kawula gusti.” “Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti,
Kanjeng?” “Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti
Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah
SWT….” “O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya
menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…” “Apa?” “Kanjeng,
tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya.
Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya
berdiri. “Menghilanglah kalian….” “E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang,
“Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?” “Tangkap dan
bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar
perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi
berhamburan. “Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak,
“E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala,
dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga
tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup
angin.” “Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat,
Kanjeng Sunan Kudus?” “Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan
tubuh. “Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang.
“Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di
sini.” “Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran
Bayat. “Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya
setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.” “Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu
dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya. Sunan Kudus, Pangeran
Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak
ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya
seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa
Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis
beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka. “Mereka
kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak
kemana-mana…” “Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan
mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. ——————-
“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakkah mereka
memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?” “Jika andika bertanya
tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar
menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia
dengan tingkatan. Semua manusia dihadapan Allah sama. Yang membedakan
hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.” “Maksudnya?”
“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….” “Masih bingung,
Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala. “Sang Pencipta telah menciptakan
tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo
Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”
“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti
Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata batin, tentu bisa memandang
keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah,
atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”
“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo. “Sebetulnya mereka
pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya
melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan
mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.” “O, Syekh tahapan
lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa
mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo,
“Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat,
berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…” “Hahahaha….” Ki
Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi
karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.” “Tidaklah perlu
terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti
sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…” “Siapakah
yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo. “Rasanya
saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu
saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya
mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari
padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita!
Meski jasad kita telah terkubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati.
Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….” Tiba-tiba kilat
membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang
telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan
kesaksian dari langit. “Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo
ternganga.
***
“Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh Siti Jenar.”
Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah. Sunan Giri, Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan
Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran Modang
dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam
batinnya masing-masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar ilmu
yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti Jenar.
“Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran Modang
mengacungkan sembah. “Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu sihir
apalagi mengamalkannya….” “Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus angkat
bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…” “Tapi,
Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya mematung
bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang. “Itu bukanlah ilmu sihir setahu
saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah satu ilmu
yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang kita menganggapnya sesat.
Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat Islam. Umat Islam
tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…” “Benar,” Sunan Kudus melirik,
“…mungkin itulah ajaran thariqatnya.” “Disitulah letak kesalahannya,
Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu seakan-akan ilmu yang
terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga ajaran yang disebarluaskannya
bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini kita berusaha membasmi
ajaran-ajaran yang berbau bid’ah, kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia
malah mengajarkan hal-hal aneh. Tidaklah sebaiknya mengajarkan
bagaimana…cara shalat yang benar…” “Ya, padahal keimanan rakyat Demak
Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden Patah, “Belum juga
memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke hal-hal yang berbau mistis.”
“Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang perbuatan menyimpang
dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ya, mungkin
inilah warna kehidupan. Saya kira sepenuhnya kebijakan milik negara dan
dewan wali…”“Untuk itu tetap, Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar
Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan Kalijaga saja yang berangkat?”
“Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun tidaklah sendiri…” “Seandainya
ini tugas negara dan perintah dari ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan
Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng,
meski bagaimanapun juga tetap hal ini akan terjadi.’ ‘Saya kira guratan
taqdir berkata demikian. Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan
Kalijaga harus melakukannya.’ tatap Sunan Bonang. “Ada apa Kanjeng Sunan
Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting
terkait dengan persoalan ini perlu diperbincangkan?” “Rasanya tidak ada,
Kanjeng.” ujar Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama
Kanjeng Sunan Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.” “Baiklah,” Sunan Giri
Menganggukan kepala. “Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang,
dan beberapa prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar
Raden Patah. “Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.”
ujar Sunan Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan
musuh. Tetapi kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang
dianggap sesat dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia
tidak bisa dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan
Kalijaga…” ——————- “Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita
harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya
takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat
kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.” “Mudah-mudahan,”
ujar Sunan Bonang. “Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa
manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran
Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng
Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu
politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika
hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan
negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun,
mempertahankan, dan membelanya.” “Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.”
tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali,
padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging
sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat
semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan
makar pun berjalan.” “Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan
Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.”
“Maaf, Kanjeng. Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan
politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar
Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil
penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?” “Masuk akal
juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya.
“Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua
kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng
Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah. “Untuk membuktikan
semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.”
tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang-bayang
dugaan…”
***
Langit mendung, awan hitam bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni
angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang
telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering
dari cabang pepohonan. Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir
menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya
berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti
Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata
tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap. “Pertanda
alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti
Jenar yang tampak tenang. “Kematian…” “Maksud, Syekh?” ——————- “Lihat
saja nanti.” melangkah pelan keluar dari ruang padepokan, seakan-akan
menyambut tamu yang akan datang. Para muridnya yang berada di dalam
ruangan belum juga keluar, mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan
tatapan mata penuh pertanyaan. Matahari semakin ketakutan, menyelinap
di antara gelapnya mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang
dibarengi petir dan kilat, seakan menjadi-jadi. Utusan Negeri Demak
Bintoro telah berada di gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga
berdampingan dengan Pangeran Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di
belakangnya Pangeran Modang, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung
Jati, dan Sunan Geseng. “Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk
langit, “Sihir Syekh Siti Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan
petir, angin kencang, dan guntur. Padahal sebelum memasuki Desa
Khendarsawa tidak ada.” “Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan
kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat. “Ya,” jawab Sunan Kalijaga,
matanya tertuju ke depan. “Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan
untuk menyambut kedatangan kita?” “Tidak, Pangeran.” “Tapi…bukankah…”
“Pertanda alam ini lahir dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat
langkah kudanya, “Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna
yang dimilikinya?” “Ya, namun saya kurang paham?” “Inilah bukti
kemanunggalan Syekh Siti Jenar dengan alam…” “Maksudnya?” Pangeran
Modang ikut bertanya, keningnya berkerut-kerut. “Jika kaki Pangeran
terantuk batu, yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau
mulut?” “Tentu saja mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak
kesakitan.” Pangeran Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu
sihir yang ditebarkan Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan
Kalijaga?” “Rayi Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat.
“Ah…bingung saya kakang…” Pangeran Modang garuk-garuk kepala. “Kita
telah sampai di wilayah Desa Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat
wajahnya ke atas, menatap langit yang tiba-tiba terang benderang. Tidak
ada angin kencang, petir, bahkan guntur. “Aneh?” Pangeran Modang
memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh Siti Jenar sudah tidak lagi
menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!” Matahari kembali bisa menunaikan
sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa, tanpa terhalang mega tebal yang
menggumpal. Hanya lapisan, serta lembaran awan putih tipis
menyertainya. Laksana lembaran kertas yang akan ikut serta mencatat
sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah tatapan matahari.
——————- Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di bawah pohon
rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang lainnya, matanya
menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam. Anak tangga
berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar siapa saja
yang hendak menemui penghuninya. “Kanjeng, itulah tangga susun menuju
padepokannya.” lirik Pangeran Bayat. “Sangat banyak anak tangganya!”
gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung jumlahnya…saking
banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes dikeningnya. “Ya,
itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti Jenar menggema.
“Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan matanya, “Mulai
lagi menggunakan ilmu sihir…” “Saya kira Syekh Siti Jenar sudah tahu
kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat, “Padahal keberadaan
kita masih jauh dari padepokannya…” “Bukan Syekh Siti Jenar jika gelap
mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum. “Kanjeng Sunan bisa
saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang di padepokan saya
saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Bonang dan lainnya.”
“Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap dengan Sunan Kalijaga.
“Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha mencari jejak Syekh Siti
Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng, dimanakah dia?” tatapnya pada
Sunan Bonang. “Tentu saja di padepokannya, Pangeran.” “Aneh….?”
tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih harus melewati beberapa
tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya sangat dekat, seakan-akan
berada dihadapan kita? Tidakah sedang menghilang menggunakan ilmu
sihirnya?” “Tidak,” “Heran?” tatap Pangeran Modang pada Sunan Bonang,
“Sangat tinggi ilmu sihirnya…” Setahap demi setahap Sunan Kalijaga dan
rombongan menginjak tangga yang terbuat dari pahatan batu padas.
Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya menyeka keringat.
Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak
tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya seakan-akan tidak
memiliki bobot. “Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki tangga? Tidak
sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema suara Syekh Siti
Jenar. “Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.” Sunan Kalijaga
melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat tidak
menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan tangga,
jika kaki saya tidak menyentuhnya….” “Kanjeng, apa maksud ucapan Syekh
Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua tidak
tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah Kanjeng
juga punya ilmu sihir?” “Mengapa pangeran bertanya demikian?” tatap
Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran menyentuh
tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….”
“O…pantas…” Pangeran Modang geleng-gelengkan kepala. “Memang saya malas
berolah raga…apalagi memanjat gunung…” Matahari semakin nampak, panasnya
terik menguliti tubuh. Seakan-akan ingin puas menyinari para penghuni
bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi-sepoi, mengusir sengat
dan keringat panas. “Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar
menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro.
Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang.
“Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika
tidak akan bisa lolos…” ——————- “Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus
meletakan jari telunjuk dibibirnya. “Saya akan berujar secara lahiryah…”
tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri
Demak Bintoro.” “Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti
Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri
Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai
utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.” “Ya, saya
kira demikian.” “Baiklah,” “Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan
rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak
Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua
Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun
alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan
ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?” “Mengapa tuduhan
seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut?
Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.” “Tentu saja,
sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam
hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah
berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan
Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang
telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya.
Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan
gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan
gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu,
namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga
lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang
mengajarkannya.” “Seperti itukah lelaku saya saat ini?” “Ya, dari sudut
pandang umum.” “Tidakkah disadari meski gendang pun bisa dipukul
menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun
gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?”
“Benar,” “Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?”
“Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.”
“Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan
esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.” “Mungkin menurut pandangan
khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya
hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap
sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar.
“Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam
Pangeran Modang. ‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan
kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam
jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta
manunggaling kawula gusti.’ ‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap
sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh
pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk
melukar syariat….’ “Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?”
Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang. “Mereka
berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau
kebatinan.” “Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat.
“Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan
mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.
‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan
belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu
berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada
tangga yang lebih atas…’ “Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling
tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala,
“Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…” “Kanjeng
Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat. ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus
menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika
pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.” “Hehhhhmmmm…”
Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan
Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh,
lahirkanlah pembicaraan andika berdua!” Keduanya masih belum melahirkan
setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya
masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang
meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar
hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup
angin pegunungan. “Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya
tertuju pada Sunan Kalijaga. “Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga
tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak
setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan
secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat
dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu?
Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan
melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus
dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’ “Mengapa mereka
masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan. “Baiklah,
Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang
adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih
tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap
pemikiran saya?” “Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak,
“…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak
nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam. “Andika berkata demikian,
Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya
mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.”
“Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami.
Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan
dan menyudutkan semisal saya dan para murid.” “Apa yang andika
bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan
terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan
ajaran sesat dan menyesatkan?” “Perlukah saya bicara panjang lebar
dengan andika, Pangeran?” “Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa
lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya,
kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan
andika akan lebih melantur kemana-mana. Memutar balikan fakta, serta
membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah
mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar
terlepas dari hal yang dituduhkan.” “Baiklah, saya terima tantangan
itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat
penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju.
Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin
menangkap saya dan menjatuhkan hukuman. Untuk itu tangkaplah saya!”
“Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh
Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa
mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang
segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya
menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan.
“Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya
mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan
Pangeran Bayat.
***
Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung Lawu. Matahari berbinar
kemerah-merahan, mungkin marah atau terusik dengan suara bising di tepi
hutan. Teriak lantang, dentingan senjata begitu nyaring. Nun jauh dari
keramaian rakyat negeri Demak Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat
dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya yang luas dipagari pepohonan
sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan
tumbuh. Loro Gempol berdiri di depan para lelaki telanjang dada, tubuh
kekar serta berotot. Setiap tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan
saling serang. Di sudut lain Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento,
dihadapannya berdiri pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus
keris, menggenggam tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan
busur di tangan dan anak panah. “Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo
Benowo. “Hanya saja kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento
mengkerut. “Maksud andika?” “Kita perlu pasukan berkuda.” “Kenapa
tidak?” “Persoalannya kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar?
Selain membeli kuda juga merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang
bersama kita.” “Bukankah itu soal mudah, Dento?” “Maksud aki?” “Taklukan
lagi para rampok dan paksa orang-orang kampung, terutama para pemudanya
agar mengikuti kita. Perlu kuda kita melakukan perampasan…” “Saya
kurang setuju dengan cara demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya.
“Meski dulu pernah melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi
para perampok. Bagi penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.”
“Takutkah andika, Dento?” “Sama sekali tidak, Ki.” “Lantas?” “Tidakkah
aki pikirkan seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang
tidak akan pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah
kita,” “Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup
modal untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas
cipataan?” “Tidak,” ——————- “Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa
kali ini yang bersemayam di benak andika, Dento?” “Doktrin!”
“Maksudnya?” dahi Kebo Benowo mengkerut. “Bukankah siasat ini berhasil?”
sungging Joyo Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan
kacau…” “Ajaran hidup untuk mati itukah?” “Itulah!” “Bukankah mereka
sudah menganggap mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan
dan memiliki niat bergabung dengan kita?” “Hahahaha…Ki Benowo! Jangan
khawatir, bukankah orang-orang yang akan kita pengaruhi tidak lain
hanyalah masyarakat miskin dan bodoh?” “Benar,” “Mudah.”
***
“Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah
untuk saya seret ke hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang
mengurai gemerisiknya dedaunan tertiup angin. “Dimas, Modang!” kerut
Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak
beranjak dari wujud Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered-sered
Pangeran Modang. “Tentu saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang
gara-gara berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu
tinggi.” “Bukankah tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?”
“Entahlah…bukankah ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih
sempat menghilang dengan sihirnya ketika akan ditangkap?” “Benar juga?”
“Kenapa andika malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan
andika berdua menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah
diperdebatkan. Bawalah saya dan hadapkanlah pada Gustimu!” “Andika
menantang!” geram Pangeran Modang. ——————- “Mengapa saya harus
menantang? Andai benar itu tujuan andika?” “Baiklah!” dorong Pangeran
Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.”
“Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?” “Bicara apa?” “Masa kisanak
tidak dengar?” “Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan
sekali-kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan
Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina
pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!” “Apa
artinya hukum manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?” “Mengapa mesti
takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.”
desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk
senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba.
Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya
malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di
dunia ini.” Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan
Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada
salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak
boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh
Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan
hukuman. “Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan
sejenak. “Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang
kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring
ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!” “Pangeran?” sela Sunan
Geseng pelan. ——————- “O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah
menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal
dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?” ”Jangan salah arti, Syekh!”
ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan
nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!”
“Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang
kisanak anggap sebagai musuh Negara?” “…tidak…” “Mengapa tidak? Bukankah
setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah
pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya
kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?” ”Apa
bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan?
Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?”
“Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?”
“Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari
dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang
sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…” “Pangeran,” desis
Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah
pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan
Gusti Sinuhun?” ”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah
sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit
penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya.
Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…” “Hahahaha….” Syekh Siti
Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…” “Diam,
Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti
Jenar hingga terhuyung. ——————- ”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga
keseimbangan. “Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran
Bayat. “Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti
nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan
Pejabat.” “Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran,
Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si
kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?” “Siapa
bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan
Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat
andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat
Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?” “Benar…benar kisanak
telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.”
sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal
sendiri, apalagi hakikat hidup. Lantas tidakkah ingat bahwa Allah
menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena
jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia
dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan,
serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu
ketika kita ber…” “Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya
andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar
marah. Kepalan tangannya menghantam lambung. “Akhhh…” jerit lirih Syek
Siti Jenar, merunduk. “Rupanya andika harus mendapat pelajaran!”
ketusnya. ——————- “Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan
Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?” “Sadarlah, Dimas? Tidak
semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah
dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?” “Tapi,”
“Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin
keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat
berantakan sistem hukum di negara ini.” “Diam, andika, pesakitan!”
bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal
mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai
seorang terpelajar dan sosok pejabat…” “Mulai lagi andika! Bukannya diam
dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang
terpelajar, juga pejabat negara. Beraninya bersikap tidak diam, malah
membantah terus…” “Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat
negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan
prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?” “Keparat!”
Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan
tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung. “Mau lagi?”
memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini
orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak
kesakitan?” “Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya
merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati
kesombongan dan keadigungan adiguna….” “Brengsek! Menantang rupanya
andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya
ke arah perut. Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya
menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak
bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut. ——————- ”Eeh…sihir apalagi
yang andika gunakan, Syekh?” ”Pangeran, tidak semestinya seorang
terpelajar dan memiliki jabatan menduga-duga dan menuduh. Padahal
tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.” “Andika yang
menduga-duga?” ”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya
memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.”
berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus kelopak
mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit. ‘Keparat,
benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia
sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya
mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia
tahu saya merasa ciut…’ “Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?”
”Diam!” geramnya, jari-jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh
Siti Jenar. “Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama
dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah
tidak sanggup menarik simpati. Tidak salahkah para wali memungut
kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu
diayomi…” “Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika
tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti
ini.” ”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti
akan kita buktikan dalam persidangan…” ”Haruskah yang belum jelas
kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang
pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah. “Tidakkah kisanak dalam
keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.” ”Diam!”
Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat
untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat,
dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret lagi.
“Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…” “Diam!” lalu membalikan tubuh ke
belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali
ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya.
“Ada apa ini?” dahinya dikerutkan. ——————- “Kenapa Kakang Bayat
meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal
tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar
lembut dan menakutkan. “Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti
Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat
pesakitannya. Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi
sebongkah gedebog pisang. ”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan
sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam.
“Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya
yang telah terjadi pada diriku?” Berkali-kali telapak tangnya menepuk
dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut.
“Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para
Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu
saja?” ”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak
seharusnya berbuat sebodoh itu….” “Keparat! Siapa andika?”
berputar-putar mencari pemilik suara, terdengar seakan-akan menusuk
gendang telinganya. “Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi
buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan
mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi
saya sudah menasihati kisanak?” “Saya tidak perlu nasihat orang
pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga…”