CP: ILHAM FATKUR RAHMAN
Al-Habib Syech Bin Abdul Qadir Assegaf Berkata:
Ada seseorang yang bertanya kepada saya
mengenai cara bermimpi Rasululah SAW.
Awalnya
saya bingung untuk menjawab pertanyaan yang
satu ini. Pasalnya, saya sendiri belum pernah
mengalaminya sampai saat ini.
Maka saya
mencoba membuka beberapa literature dan
bacaan yang dapat membantu dalam
menjawabnya.
Semalam, saya membuka majalah Cahaya
Nabawiy Edisi 85 Bulan Rajab 1431 H/ Juli 2010.
Dalam rubrik Syakwah yang ada pada edisi itu,
ada pertanyaan berbunyi, “Bagaimana cara agar
kita bisa bermimpi Nabi SAW?”
Jawaban yang
diberikan cukup panjang lebar.
Selain dari majalah
Cahaya Nabawiy, saya juga berusaha mencari
jawaban tentang masalah ini dari kitab berjudul Al-
Fawaaid Al-Mukhtaarah Li Saalik Thariiq Al-
Aakhirah.
Saya coba meringkasnya dalam catatan
sederhana, seperti berikut ini.
Cara pertama untuk bisa bermimpi Nabi
Muhammad SAW adalah memperbanyak
membaca shalawat di waktu pagi, siang, sore, dan
malam. Paling sedikit dalam sehari kita membaca
1000 kali shalawat yang dibagi di dalam waktu-
waktu tersebut dan dalam berbagai keadaan, bisa
dalam keadaan duduk, berdiri, berjalan, berbaring,
dan sebagainya.
Sebagian para ulama berkata, “Membaca
shalawat Ibrahimiyyah sebanyak 1000 kali dapat
menjadi sebab bermimpi Nabi SAW.” Meski
demikian, usahakan cara pertama ini dilakukan
dalam keadaan hati yang khusyu`, hadir, dan
merenungi betul makna di balik shalawat yang
sedang dibaca.
Cara kedua, membaca maulid, sirah, kisah
perjalanan Rasulullah SAW. Membaca maulid
dengan memahami makna yang terkandung di
dalamnya, membuat kita berusaha menghadirkan
nabi dalam tiap langkah bahkan di tiap hembusan
nafas. Dengan membaca maulid disertai
pemahaman artinya, kita bisa belajar tentang
perjuangan, pengorbanan, dan akhlak yang telah
dicontohkan oleh nabi.
Habib Anis bin Alwi Al
Habsyi (Cucu Pengarang Maulid Simtud Duror)
berkata, “Jika seseorang membaca maulid maka
menangislah, jika dia tidak bisa menangis maka
belajarlah untuk menangis.”
Cara ketiga adalah mengikuti arahan dan
bimbingan Rasulullah SAW yang telah beliau
wariskan.
Tidak lain warisan itu adalah sunnah-
sunnah, tradisi-tradisi yang telah disiarkan kepada
kita. Kita dapat mengawalinya dari hal-hal yang
kecil, seperti meniru nabi dalam hal makan,
minum, berjalan, tidur, berdagang, berbicara,
bersin, masuk dan keluar kamar mandi, masuk
masjid, hormat pada ayah-ibu, mencintai majlis
ilmu, dan sebagianya.
Para Salafus Shaleh sangat memiliki ikatan kuat
dengan rasul. Salah satunya adalah Syaikh Abu
Bakar bin Salim yang pernah berkata,
“Jika satu
detik saja Rasulullah SAW hilang dari pikiranku,
maka aku tidak lagi menganggap diriku sebagai
seorang mukmin.” Dengan kata lain, Syaikh Abu
Bakar berusaha menyelaraskan ucapan dan
perbuatannya dengan ucapan dan perbuatan Nabi
Muhammad SAW.
Melihat keistiqamahan ulama
tersebut dalam menghidupkan sunnah rasul, tak
heran jika mereka bukan saja bermimpi nabi
namun juga bertatap muka secara langsung,
bertemu wajah dengan wajah yang mulia SAW.
Habib Alwi bin Syihab berkata bahwa sebagian
kaum arifin pernah ditanya, “Adakah sesuatu yang
lebih nikmat dari kenikmatan yang ada di surga?”
Dijawab, “Ada. Yaitu, bertemu Nabi Muhammad
SAW secara langsung dalam keadaan terjaga.”
Keempat, memiliki rasa rindu yang hebat kepada
Nabi Muhammad SAW. Orang yang mengaku cinta
pastilah ia akan selalu memikirkan dan merindukan
orang yang dicintai. Demikian halnya dengan orang
yang ingin bermimpi nabi, ia patut mencintai dan
merindukan nabi dalam segala kondisi. Kecintaan
itu akan lahir manakala dibuktikan lewat aksi nyata
di kehidupan sehari-hari, bukan sekadar di bibir
lalu hilang tak berbekas.
Dikisahkan, seorang murid meminta amalan
kepada gurunya untuk bisa bermimpi nabi.
Sang
guru mengatakan kepadanya agar memakan ikan
asing tanpa minum apa-apa. “Setelah kamu
makan ikan asing ini, kamu tidak boleh minum. Ini
bagian dari riyadhah (latihan) kamu untuk
bermimpi nabi.”
Si murid menuruti arahan gurunya. Ia makan ikan
asing tanpa minum. Setelah itu ia pulang ke
rumahnya, di tengah perjalanan pulangnya ia
bertemu dengan seorang penjual es, lalu
terbayang kenikmatan meminum es. Begitu
sampai di rumahnya, ia merebahkan tubuhnya dan
tidus pulas. Dalam tidurnya ia bermimpi minum es
dingin seperti yang ia idam-idamkan akibat haus
yang sangat. Usai terjaga dari tidurnya, si murid
betul-betul kecewa karena ia tak berhasil
bermimpi nabi justeru bermimpi minum es.
Ia temui gurunya dan mengisahkan semua yang
terjadi dalam perjalanan dari rumah gurunya
termasuk soal mimpi minum es-nya. Mendengar
uraiannya, sang guru berkata, “Andai saja
kerinduanmu untuk menikmati es tadi dapat
dikalahkan oleh kerinduan bermimpi nabi, maka
tentu engkau akan bermimpi nabi.”
Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita,
untuk bermimpi nabi Muhammad bukan sekadar
“ingin bermimpi” namun harus dilalui dengan
keinginan kuat dalam merindu, mencintai beliau.
Dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak bestari,
“Melihat wajah Rasulullah (baik dalam mimpi
maupun terjaga) merupakan anugerah dari Allah
yang tidak bisa diperoleh dengan banyak ibadah
atau ilmu.
Berapa banyak orang awam yang sering
bertemu dengan nabi dan sebaliknya berapa
banyak orang berilmu dan ahli ibadah yang sedikit
bermimpi nabi. Pada umumnya, bertemu dengan
rasul itu dapat terjadi dengan kekuatan hubungan,
rasa cinta, dan rasa rindu kepada beliau SAW.”
Setelah membaca uraian di atas, pertanyaannya
sekarang adalah , “Apakah kita Sudah Siap
Bermimpi Nabi Muhammad SAW.?
— Al-Habib Syech Bin Abdul Qadir Assegaf Berkata:
Ada seseorang yang bertanya kepada saya
mengenai cara bermimpi Rasululah SAW.
Awalnya
saya bingung untuk menjawab pertanyaan yang
satu ini. Pasalnya, saya sendiri belum pernah
mengalaminya sampai saat ini.
Maka saya
mencoba membuka beberapa literature dan
bacaan yang dapat membantu dalam
menjawabnya.
Semalam, saya membuka majalah Cahaya
Nabawiy Edisi 85 Bulan Rajab 1431 H/ Juli 2010.
Dalam rubrik Syakwah yang ada pada edisi itu,
ada pertanyaan berbunyi, “Bagaimana cara agar
kita bisa bermimpi Nabi SAW?”
Jawaban yang
diberikan cukup panjang lebar.
Selain dari majalah
Cahaya Nabawiy, saya juga berusaha mencari
jawaban tentang masalah ini dari kitab berjudul Al-
Fawaaid Al-Mukhtaarah Li Saalik Thariiq Al-
Aakhirah.
Saya coba meringkasnya dalam catatan
sederhana, seperti berikut ini.
Cara pertama untuk bisa bermimpi Nabi
Muhammad SAW adalah memperbanyak
membaca shalawat di waktu pagi, siang, sore, dan
malam. Paling sedikit dalam sehari kita membaca
1000 kali shalawat yang dibagi di dalam waktu-
waktu tersebut dan dalam berbagai keadaan, bisa
dalam keadaan duduk, berdiri, berjalan, berbaring,
dan sebagainya.
Sebagian para ulama berkata, “Membaca
shalawat Ibrahimiyyah sebanyak 1000 kali dapat
menjadi sebab bermimpi Nabi SAW.” Meski
demikian, usahakan cara pertama ini dilakukan
dalam keadaan hati yang khusyu`, hadir, dan
merenungi betul makna di balik shalawat yang
sedang dibaca.
Cara kedua, membaca maulid, sirah, kisah
perjalanan Rasulullah SAW. Membaca maulid
dengan memahami makna yang terkandung di
dalamnya, membuat kita berusaha menghadirkan
nabi dalam tiap langkah bahkan di tiap hembusan
nafas. Dengan membaca maulid disertai
pemahaman artinya, kita bisa belajar tentang
perjuangan, pengorbanan, dan akhlak yang telah
dicontohkan oleh nabi.
Habib Anis bin Alwi Al
Habsyi (Cucu Pengarang Maulid Simtud Duror)
berkata, “Jika seseorang membaca maulid maka
menangislah, jika dia tidak bisa menangis maka
belajarlah untuk menangis.”
Cara ketiga adalah mengikuti arahan dan
bimbingan Rasulullah SAW yang telah beliau
wariskan.
Tidak lain warisan itu adalah sunnah-
sunnah, tradisi-tradisi yang telah disiarkan kepada
kita. Kita dapat mengawalinya dari hal-hal yang
kecil, seperti meniru nabi dalam hal makan,
minum, berjalan, tidur, berdagang, berbicara,
bersin, masuk dan keluar kamar mandi, masuk
masjid, hormat pada ayah-ibu, mencintai majlis
ilmu, dan sebagianya.
Para Salafus Shaleh sangat memiliki ikatan kuat
dengan rasul. Salah satunya adalah Syaikh Abu
Bakar bin Salim yang pernah berkata,
“Jika satu
detik saja Rasulullah SAW hilang dari pikiranku,
maka aku tidak lagi menganggap diriku sebagai
seorang mukmin.” Dengan kata lain, Syaikh Abu
Bakar berusaha menyelaraskan ucapan dan
perbuatannya dengan ucapan dan perbuatan Nabi
Muhammad SAW.
Melihat keistiqamahan ulama
tersebut dalam menghidupkan sunnah rasul, tak
heran jika mereka bukan saja bermimpi nabi
namun juga bertatap muka secara langsung,
bertemu wajah dengan wajah yang mulia SAW.
Habib Alwi bin Syihab berkata bahwa sebagian
kaum arifin pernah ditanya, “Adakah sesuatu yang
lebih nikmat dari kenikmatan yang ada di surga?”
Dijawab, “Ada. Yaitu, bertemu Nabi Muhammad
SAW secara langsung dalam keadaan terjaga.”
Keempat, memiliki rasa rindu yang hebat kepada
Nabi Muhammad SAW. Orang yang mengaku cinta
pastilah ia akan selalu memikirkan dan merindukan
orang yang dicintai. Demikian halnya dengan orang
yang ingin bermimpi nabi, ia patut mencintai dan
merindukan nabi dalam segala kondisi. Kecintaan
itu akan lahir manakala dibuktikan lewat aksi nyata
di kehidupan sehari-hari, bukan sekadar di bibir
lalu hilang tak berbekas.
Dikisahkan, seorang murid meminta amalan
kepada gurunya untuk bisa bermimpi nabi.
Sang
guru mengatakan kepadanya agar memakan ikan
asing tanpa minum apa-apa. “Setelah kamu
makan ikan asing ini, kamu tidak boleh minum. Ini
bagian dari riyadhah (latihan) kamu untuk
bermimpi nabi.”
Si murid menuruti arahan gurunya. Ia makan ikan
asing tanpa minum. Setelah itu ia pulang ke
rumahnya, di tengah perjalanan pulangnya ia
bertemu dengan seorang penjual es, lalu
terbayang kenikmatan meminum es. Begitu
sampai di rumahnya, ia merebahkan tubuhnya dan
tidus pulas. Dalam tidurnya ia bermimpi minum es
dingin seperti yang ia idam-idamkan akibat haus
yang sangat. Usai terjaga dari tidurnya, si murid
betul-betul kecewa karena ia tak berhasil
bermimpi nabi justeru bermimpi minum es.
Ia temui gurunya dan mengisahkan semua yang
terjadi dalam perjalanan dari rumah gurunya
termasuk soal mimpi minum es-nya. Mendengar
uraiannya, sang guru berkata, “Andai saja
kerinduanmu untuk menikmati es tadi dapat
dikalahkan oleh kerinduan bermimpi nabi, maka
tentu engkau akan bermimpi nabi.”
Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita,
untuk bermimpi nabi Muhammad bukan sekadar
“ingin bermimpi” namun harus dilalui dengan
keinginan kuat dalam merindu, mencintai beliau.
Dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak bestari,
“Melihat wajah Rasulullah (baik dalam mimpi
maupun terjaga) merupakan anugerah dari Allah
yang tidak bisa diperoleh dengan banyak ibadah
atau ilmu.
Berapa banyak orang awam yang sering
bertemu dengan nabi dan sebaliknya berapa
banyak orang berilmu dan ahli ibadah yang sedikit
bermimpi nabi. Pada umumnya, bertemu dengan
rasul itu dapat terjadi dengan kekuatan hubungan,
rasa cinta, dan rasa rindu kepada beliau SAW.”
Setelah membaca uraian di atas, pertanyaannya
sekarang adalah , “Apakah kita Sudah Siap
Bermimpi Nabi Muhammad SAW.?