MELALUI PINTU NUR MUHAMMAD ....
Nur muhammad adalah makhluk pertama
yang diciptakan oleh Allah swt yang
kemudian menjadi DASAR TERCIPTANYA
SELURUH ALAM SEMESTA ...
Diriwayatkan dari Abdurrazak ra yang
diterimanya dari jabir ra , bahawa jabir
pernah bertanya kepada rasulullah saw :
" ya rasulullah , beritahu lah kepada ku
apakah yang mula - mula sekali Allah
jadikan ? Rasulullah saw menjawab :
" sesungguh Allah ciptakan sebelum adanya
sesuatu adalah nur nabimu dar nurnya ....
2 / PENCIPTAAN NUR MUHAMMAD YANG
DIMAKSUDKAN OLEH HADIS TERSEBUT
BUKANLAH SEPARTI DARI SESUATU
MENJADI SESUATU , " TETAPI IA
TERBIT DARI ZAT MAHA MUTLAK
ALLAH SWT SENDIRI ...
Jadi faham lah kita zat yang maha mutlak
yang bwrsifat RAHASIA menjadi
nur muhammad disebut juga sebagai
hayat@hidup yg bersifat maha suci
atau sebagai " bapa segala ruh " yang
belum " berbentuk " .....
3 / kemudian daripada nur muhammad
itulah menjadi ruh sekalian manusia ...
4 / Jadi ruh pada manusia tidak lain
dari zat yang maha mutlak juga kerana
berasal dari nur muhammad yang tidak
lain adalah terbit dari zat yang maha mutlak ..
jadi ibaratkan : -
zat maha mutlak ibarat KAPAS ..
nur muhamad ibarat BENANG ...
Ruh ibarat KAIN .....
5 / Ketika dalam kandungan ibu
ruh@hayat@hidup itu
" menyatu dengan jasad " dan pada
ketika itu ia disebut nywa atau
nafs / jiwa , pada ketika ini hanya sebagai
istilah ruh berasal dari nur muhammad itu
sudah berbentuk ( sebenarnya ruh itu
bukan didalam atau diluar jasad )
6 / nafs / jiwa itulah yg memiliki
fikiran , perasaan , akal dan ia juga
memiliki penglihatan ( mata )
pendengaran ( telinga )
perasa ( lidah )
( JADI RUH MENYATU DENGAN JASAD
DAN MENGHIDUPKAN JASAD )
seterusnya menjadi nyawa , nafs / jiwa
pada tubuh@jasad dan menjadi tubuh
memiliki panca indera untuk
mendapat hidup dan berinteraksi ....
kata syekh Muhammad saman al -madari :
" sebenar-benar ruh adalah nafs / jiwa ...
sebenar - benar nafs / jiwa ada lah turun
naik nafas , dan turun naik nafas itu
adalah sir / rahasia dan yg dikatakan
sir/rahasia itu adalah nur muhammad ...
Ketika ruh dibungkus dengan jasad
dan pada ketika itu sudah mnjadi nyawa
pada manusia da ia juga menjadi
nafs / jiwa maka ia memiliki 7 tingkatan
nafsu...
1/ nafsu amarah
2 / nafsu lawamah
3 / nafsu mulhamah
4 / nafsu mutmainnah
5 / nafsu rodiah
6 / nafsu mardiah
dan yg ke
7 nafsu kamaliah ....
disamping perasaan , khayali kebaikan
atau keburukan dan " keakuan " yg
merupakan hijab terbesar ........
7 / deminkianlah maka untuk mencapai
tingkat muncullah guru - guru mursyid
dengan bbrp thorikat umpama qadariah
naksabandiah , sazaliah dan banyak lagi
serta dengan zikir - zikir tertentu , kerana
" zikir " itu dapat meleburkan nafsu amarah
seterusnya hingga mencapai nafsu mutmainnah
dan ketingkat seterusnya kamaliah ...
ketika berthorikat ( zikir ) dan mencapai
nafsu mutmainnah itu lah nafs / jiwa mencapai
sifat - sifat terpuji umpama sabar , zuhud
tawakkal , redha dan sebagainya ...
kebersihan jiwa itulah membuka hijab
" makrifatullah " disamping tunjuk ajar
guru mursyid , terbuka hijab dengan
ilmu laduni .....
8 / seterusnya ketika mencapai makrifat
maka " kenal lah ia dirinya "
berserah diri .. lenyap keakuan ...
dan seterusnya mencapai fana .....
fana yg ada hanya Allah ...
kembali kepada fitrah .........
Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Senin, 22 Januari 2018
Tarikat Samaniyyah di Minangkabau: Seputar Tokoh dan Literatur
Oleh : Apria Putra
1. Pendahuluan
Masuknya Islam ke Minangkabau, umumnya ke nusantara, tak terpungkiri diwarnai oleh unsur-unsur Tasawwuf yang sangat kental. Hal ini dikarenakan ulama-ulama yang pernah hadir menyebarkan Islam di Pulau perca ini merupakan ulama-ulama Sufi belaka. Memang sejarah tidak mencatat bagaimana aktifitas ulama-ulama tersebut ketika bermukim di negeri ini ketika awal penyebaran Islam di abad ke VII masehi tersebut. Namun fakta yang nyata kita peroleh ketika tertulisnya nama-nama besar ulama mulai dari abad ke-XV dalam sejarah, yang mana ulama-ulama tersebut terbilang sebagai ulama-ulama Sufi terkemuka.
Menurut keterangan Syekh Yusuf an-Nabhani mengutip kepada Ibnu Batutah dalam Tuhfatun Nazhar-nya, diabad-abad tersebut telah ada ulama Tasawwuf yang besar di negeri Aden (Yaman), mempunyai keramat yang masyhur sampai dikatakan beliau – ulama tersebut mampu bercakap-cakap dengan orang yang telah wafat , dan diakhir nama ulama tersebut tertulis “al-Jawi”, indikasi yang nyata bahwa beliau merupakan orang Melayu. Masa tersebut pula nama-nama Waliyullah yang sembilan orang di negeri Jawa, Wali Songo, yang merupakan penyebar-penyebar Islam dengan Tasawwuf tingkat tinggi, sebagai halnya tertulis dalam Primbon-primbon tua itu. Tak pula asing nama-nama seperti Hamzah Fansuri, pengarang sya’ir mistik Melayu yang indah menawan; Syamsuddin Sumatrani, sufi penganut martabat lima yang menjadi penasehat raja Aceh kala itu; Syekh Nuruddin ar-Raniri, ulama Ranir (India) yang memapankan karirnya di Aceh sebagai penolak wujudiyah; Syekh Abdurra’uf Singkel Syiah Kuala, ulama besar yang masyhur terbilang; dan yang fenomenal Tuan yang mulia Abu Muhassin Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Samalaka ri Goa (Mahkota Tharikat Khalwatiyah - Tuan guru yang agung dari Goa), berpuluh tahun menuntut ilmu di Mekkah belajar berbagai Tharikat sekaligus berjuang di tanah air hingga wafat di Tanjung Harapan – Afrika Selatan.
Sedang di Minangkabau sendiri, negeri yang masyhur dengan ulama-ulamanya, tersebut pula nama besar Syekh Burhanuddin Ulakan, sudah ratusan tahun lalu meninggal dunia, namun tak henti-hentinya orang berziarah ke makamnya (bershafar) sebagai bukti pengaruh beliau yang tiadakan pudar sama sekali. Tersebut pula Tuan Syekh Keramat – Taram Payakumbuh, masyhur bertuah, disebut sebagai teman seperjanan Syekh Abdurra’uf Singkel ketika mengaji di Madinah kepada Tuan Syekh Ahmad Qusyasi. Di aliran sungai Kampar, terdapat pula makam Syekh Burhanuddin Kuntu, yang terus diziarahi masyarakat banyak hingga sekarang. Kemudian terkemuka nama-nama besar di abad ke XVIII hingga abad XX, seperti Syekh Maoelana Soefi (1738-1818), Syekh Abdurrahman “Beliau Batu Hampar” Payakumbuh (w. 1899 – usia 120 th), Syekh Muhammad Thahir Barulak, Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan (w. 1914 – usia 150 th), Syekh Abdul Ghani Batu Bersurat (w. 1961 – usia 150 th), Syekh Ja’far Kampar dan lain-lainnya.
Berbicara mengenai Tasawwuf, maka kita tidak akan terlepas dari membicarakan Tarikat, karena Tarikat merupakan suatu kearifan ber-Tasawwuf, ibaratkan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Besarnya pengaruh Syekh-syekh Tasawwuf terkemuka tersebut, sehingga dikatakan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ketika membahas Tharikat dalam Izhar-nya bahwa Tarikat itu telah menjadi pakaian di negeri Minangkabau. Begitu pula laporan seorang petinggi Belanda saat itu, K. F. Holle, yang mengkhawatirkan kebangkitan Tarikat yang begitu pesat yang berpotensi menggeser kedudukan Belanda. Salah satu Tarikat terkemuka yang masih terlihat kabur dalam catatan-catatan yang ada ialah Tarikat Samaniyah. Sebuah Tarikat yang cukup berjasa ketika perlawanan dengan Belanda, bahkan menurut salah satu sumber merupakan salah satu Tarikat yang mula-mula masuk ke Indonesia dan memperoleh pengikut besar di bumi nusantara ini. Maka di sini kita akan melihat sekilas mengenai tokoh dan Literatur Tarikat Samaniyah di Minangkabau, negeri gudangnya ulama-ulama Tasawwuf itu.
2. Akar Samaniyah : Dari Perjalanan murid-murid Jawi ke Haramain hingga aktifitas Surau-surau Sufi di Minangkabau
Hingga beberapa dekade awal abad ke XX, Mekah merupakan tempat yang ramai dikunjungi untuk menuntut ilmu, selain untuk berhaji. Zawiyah-zawiyah termayhur banyak berdiri disekitar Mesjidil Haram, para Syekh-syekh ternama banyak yang membuka pengajian di kawasan Mesjid sendiri. Sehingga Mekah sejak dahulunya menjadi pusat ibadah dan ilmu pengetahuan, malah mungkin lebih dikenal ketimbang al-Azhar. Al-Haramain merupakan tempat berkumpulnya kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, beberapa banyak ulama-ulama yang datang ke Mekkah buat mengajar sekaligus memperoleh barokah di kota suci tersebut. Banyak dari kalangan muslim yang mengidolakan Mekah untuk tempat menuntut ilmu, walaupun hanya beberapa waktu saja, mengambil berkah istilahnya. Adapula yang hidup menahun di sana, memenuhi dada dengan ilmu, kemudian pulang dengan membawa berbagai ijazah tanda telah diakui keulamaannya. Hingga muncul pameo ditengah-tengah masyarakat, kalau belum mengaji ke Mekah, ilmunya belum sempurna, keulamaannya belum sah. Begitulah posisi Mekah bagi kalangan penuntut ilmu dan Muslim umumnya.
Dengan mengunjungi berbagai halaqah dan Zawiyah Sufi di Mekkah saat itu, yang banyaknya menjamur seantero tanah haram, para penuntut ilmu akan dihidangkan dengan berbagai ilmu pengetahuan agama, dari berbagai Mazhab, berbagai ulama dengan bidang keilmuannya masing-masing (takhussus) dan dari berbagai penjuru dunia. Sehingga dapat dikatakan mereka –para penuntut ilmu itu- telah bersinggungan dengan Jaringan Ulama Internasional, dengan pusatnya kala itu ialah Mekkah dan Madinah.
Posisi mereka setelah pulang ke kampung halamannya –Minangkabau- menjadi ulama terkemuka, dan ilmu yang mereka bawa pulang, tersimpan dalam sudur, bukan sekedar ilmu yang di dapat lingkungan bawah, kalangan lokal, lebih dari itu ilmu yang mereka peroleh ialah pengetahuan agama yang kosmopolitan sebagaimana jaringan global yang mereka bentuk ketika menuntut ilmu dari berbagai Syekh terkemuka di Haramain. Di samping itu, keilmuan mereka mencapai keotentikan yang bisa diuji, lewat sanad keilmuan dari para musnid, ulama-ulama besar di Mekkah dan Madinah. Dengannya mata rantai keilmuan itu bersambung (musalsil), tiada terputus (munqathi’), sampai kepada tokoh-tokoh ulama salaf yang shaleh, hingga sampai kepada Rasulullah.
Sudah menjadi tradisi tersendiri di Minangkabau, apabila ada seorang siak yang telah alim, apatah lagi yang telah pula menimba ilmu di Mekkah dan mendapat ijazah, maka masyarakat atau kaum sukunya akan bergotongroyong membuatkan surau buatnya untuk mengajar agama. Sampai beberapa dekade awal abad ke-20 tradisi itu masih berlaku. Hingga terkemukalah Minangkabau menjadi gudang ulama, setiap kampung dan pelosok-pelosok negeri mesti berdiri sebuah surau atau lebih, dengan berdirinya surau itu sendiri maka mesti ada ulama di daerah itu.
Di Mekkah sendiri, selain mempelajari hal ihwal syari’at sedalam-dalamnya, dengan berkhitmat kepada syekh-syekh terkemuka tersebut, adalah murid-murid Jawi juga memprioritaskan untuk mengikuti pondok-pondok sufi (zawiyah) yang ramai bertebaran di Haramain. Aktifitas mereka di pondok sufi itu belajar Tasawwuf, terutama sekali mengambil bai’at dan bersuluk dalam salah satu Tarikat mu’tabarah. Dan salah satu Tarikat yang digemari pada abad XVII dan XVIII itu ialah Tarikat Samaniyah, yaitu Tarikat yang dikembangkan oleh seorang Sufi masyhur, ulama selaku penjaga Makam Rasulullah di Madinah, yaitu Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman (1719-1770).
Mengenai pribadi Syekh Muhammad Saman sendiri, beliau merupakan seorang tokoh Sufi terkemuka di Abad XVIII, bahkan dikatakan bahwa Beliau merupakan Qutub Auliya’ (Pusaran Wali-wali) yang tersirat dalam berbagai kisah-kisah kekeramatan yang banyak tertulis dalam Hikayat Muhammad Saman. Syekh Saman mempelajari berbagai Tarikat kepada Syekh-syekh besar di zamannya. Selain sebagai Syekh Tarikat yang berpengaruh, beliau juga dikenal ‘alim dalam fiqih yang dipelajarinya dari lima ulama Fiqih terkemuka yaitu Muhammad ad-Daqaq, Sayyid ‘Ali al-Atthar, ‘Ali al-Kurdi, ‘Abdul Wahab al-Thantawi dan Sayyid Hilal al-Makki. Di bidang Tasawwuf dan Tauhid, guru Syekh Saman yang paling mengesankan adalah Mustafa bin Kamaluddin al-Bakri (w. 1749), seorang penulis produktif dan Syekh Tharikat Khalwatiyah dari Damaskus. Selain itu as-Samani juga pernah belajar Tharikat Khalwatiyah kepada dua orang syekh terkemuka di Mesir, yaitu Muhammad bin Salim al-Hifnawi dan Mahmud al-Kurdi. Syekh lain yang sangat berpengaruh terhadap ajaran dan praktek-praktek Syekh Saman ialah Syekh Abdul Karim an-Nablusi (w. 1731) , seorang Syekh Besar Naqsyabandiyah dan pembela jitu Ibnu al-‘Arabi dan al-Jili. Dari berbagai syekh terkemuka yang pernah menjadi gurunya, maka Syekh Muhammad Saman setidak telah mengambil 4 macam Tarikat, yaitu Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Dari berbagai teknik-teknik Tarikat inilah Syekh Muhammad Saman merumuskan sebuah metode Zikir, yang kemudian hari dikenal dengan Tarikat Saman, atau Tarikat Samaniyah.
Selain ulama terkemuka, Syekh Saman juga menjabat posisi penting di Madinah selaku penjaga Makam Rasulullah. Hal ini paling tidak telah membuat Syekh Saman untuk lebih leluasa mengajarkan Tarikat Saman-nya, karena setiap waktu beliau akan dikunjungi oleh berbagai tamu dari berbagai penjuru dunia jika akan menziarahi Makam Rasulullah. Maka tidak mengherankan bila dalam waktu singkat, Syekh Saman telah memiliki murid-murid dari berbagai benua; dari Maghrib, Afrika Timur sampai ke India dan Nusantara. Di berbagai kota di Hijaz dan Yaman berdirilah Zawiyah Samaniyah. Tak terpungkiri dengan posisi dan dedikasi Syekh Muhammad Saman yang sedemikian rupanya telah menarik beberapa murid jawi untuk mengambil ilmu dan berba’iat kepadanya, seperti salah seorang yang sangat terkemuka dan menjadi ulama serta tenar namanya lewat karya monumentalnya Siyarus Salikin ialah Arif billah Syekh Abdus Shamad al-Falimbani (abad 18), melalui ulama yang satu ini kita memperoleh gambaran terbaik tentang ajaran Syekh Saman dalam bahasa Melayu.
Di dalam Sairus Salikin ila Tariq Saadat Sufiyah disebutkan silsilah Tarikat Samaniyah dari Syekh Abdus Shamad al-Falimbani sebagai Berikut:
1. Syekh Abdus Shamad al-Jawi al-Falimbani, mengambil dari:
2. Sayyidi Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman al-Qadiri al-Khalwati al-Madani, mengambil dari:
3. Sayyidi Bakri, mengambil dari:
4. Syekh Abdul Latief, mengambil dari:
5. Syekh Mustafa Afandi al-Adarnawi, mengambil dari:
6. Syekh ‘Ali Afandi Qurabas, mengambil dari:
7. Syekh Isma’il al-Jarawi, mengambil dari:
8. Sayyidi Muhyiddin al-Qisthani, mengambil dari:
9. Syekh Sya’ban Afandi al-Qisthamuni, mengambil dari:
10. Syekh Halabi Sultanul Qura’ (Jamal Khalwati), mengambil dari:
11. Bir Muhammad Azibkhani, mengambil dari:
12. Syekh Abu Zakaria as-Syiruwani al-Bakuni, mengambil dari:
13. Bir Ashdaruddin, mengambil dari:
14. Syekh Izzuddin, mengambil dari:
15. Syekh Muhammad Mir Khalwati, mengambil dari:
16. Akha Muhammad al-Balisi, mengambil dari:
17. Syekh Abi Ishaq Ibrahim az-Zahid al-Bukalani, mengambil dari:
18. Syekh Jamal al-Ahuri, mengambil dari:
19. Syekh Syihabuddin at-Tibrisi, mengambil dari:
20. Syekh Rukanuddin Muhammad Nahas, mengambil dari:
21. Quthbuddin Abhari, mengambil dari:
22. Syekh Abi Najib As-Syuhuwardi, mengambil dari:
23. Syekh Umar al-Bakri, mengambil dari:
24. Syekh Wajihuddin al-Qaqithi, mengambil dari:
25. Syekh Muhammad al-Bakri, mengambil dari:
26. Syekh Muhammad ad-Dinuri, mengambil dari:
27. Sayyidi Mumsad ad-Dinuri, mengambil dari:
28. Sayyidi Junaid al-Baghdadi, mengambil dari:
29. Sayyidi Sirri Siqthi, mengambil dari:
30. Sayyidi Ma’ruf al-Kharkhi, mengambil dari:
31. Sayyidi Daud ath-Tha’i, mengambil dari:
32. Sayyidi Habibul ‘Ajami, mengambil dari:
33. Sayyidi Hasan al-Bashri, mengambil dari:
34. Amirul Mu’minin Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW, mengambil dari:
35. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitulah halnya murid-murid jawi. Niscaya sebahagian murid-murid ini sesampainya di nusantara membuka pula pengajian untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah sekian lama diperoleh di Haramain, tak terkecuali Tharikat Samaniyah, yang kala itu hanya dikenal dengan nama Zikir Samman saja. Tharikat Saman setelah itu sangat populer di tengah-tengah masyarakat. Sampai-sampai ketika masuknya penjajah ke nusantara, maka sebahagian para pejuang yang mencoba mengusir bangsa eropa itu ialah para ahli Tharikat Samman, sebagaihalnya yang diceritakan dalam Sya’ir Perang Menteng. Salah satu kutipan isinya yaitu:
Delapan Belas harinya sabtu
Bulan Sya’ban ketika waktu
Pukul empat jamnya itu
Haji berzikir di pememarakat tentu
Haji zikir di pengadapan
Berkampung bagai mengadap ayapan
Tidaklah ada malu dan sopan
Ratib berdiri berhadapan
La ilaha illallah dipalukan ke kiri
Kepada hati nama sanubari
Datanglah opsir meriksa berdiri
Haji berangkat opsirpun lari
Di Minangkabau sendiri, Tharikat Samaniyah sendiri telah menampakkan dirinya sejak awal abad ke-19. menurut catatan yang ada, salah seorang ulama yang mengembangkannya ialah Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus Pasaman , guru dari yang mulia Syekh Ibrahim Kumpulan. Lewat ulama-ulama dan surau-surau sufi setelah itu Tarikat Samaniyah berkembang pesat. Kehadiran Tarikat Saman semakin terlihat dengan tampilnya Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango, seorang ulama masyhur yang disegani kala itu. Dengan surau Kumango beliau mengajarkan Tarikat Saman dan salah satu teknik silat tradisional Minangkabau kepada murid-muridnya yang banyak datang dari segenap penjuru Minangkabau. Menurut cacatan M. Sanusi Latief, pusat-pusat Tarikat Samaniyah di Minangkabau antara lain:
1) Kumango, Batu Sangkar
2) Belubus
3) Labuah Gunuang, Tuanku Mudo Josan
4) Ateh Aka, Payo Basuang
5) Tarantang
6) Batu Tanyoh
7) Mungka
8) Lubuk Bangku, Sarilamak
9) Aia Putiah, Harau
10) Barulak, Salimpauang
11) Sungai Patai, Sungayang
12) Koto Panjang Lampasi
13) Salido, Painan
14) Padang Bubus, Bonjol
15) Kampung Melayu, Bayang
16) Bungo Pasang, Salido Kaciak, Painan
Dari aktifitas-aktifitas surau Tarikat itulah nantinya terbentuk jaringan guru-murid, yang memperkuat penyebaran Tarikat-tarikat di Minangkabau, begitupula Tarikat Samaniyah.
3. Melirik Jaringan Tarikat Samaniyah di Minangkabau : Sekilas mengenai Ulama Saman dan koneksi keilmuannya
Setiap ilmu mesti pula ada mata rantai yang saling berhubungan. Jika berbica mengenai mata rantai keilmuan itu maka kita tidak akan terlepas dari hubungan istimewa antara guru dan murid, bahkan karena sakin istimewanya hubungan ini tidak pisah terputus sama sekali, walaupun murid atau guru itu telah wafat. Salah satu sebab hubungan guru murid ini takkan terputus ialah karena hubungan ini dibentuk oleh ikatan rohani yang sangat kuat. Begitulah halnya yang berlaku dalam transmisi keilmuan islam sejak dahulunya, di mana murid-murid akan benar-benar menjaga isnad ilmu yang diperolehnya dari guru-gurunya itu. Namun akhir-akhir ini, zaman modern dikatakan orang, perhatian penuntut ilmu tidak lagi mementingkan hal tersebut. Salah satu keilmuan yang masih mempertahankan isnad (mata rantai) itu hingga sekarang ialah ilmu Tarikat sebagai sebuah kearifan bertasawwuf. Di mana melalui isnad atau silsilah inilah nantinya kita akan menemui jaringan keilmuan islam yang kompleks dan saling berkait.
Dalam hal Tarikat, yaitu Tarikat Samaniyah di Minangkabau yang kita bicarakan saat ini, untuk mengetahui jaringan keilmuannya mestilah kita mengenal tokoh-tokoh terkemuka dalam mengembangkan ajaran Samman di tanah Andalas ini. Di antara tokoh-tokoh Tarikat Samaniyah yang masyhur di Minangkabau itu ialah:
1. Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango (wafat 1927)
Beliau diimasyhurkan orang dengan “Beliau Kumango”. Beliau dikenal sebagai pembawa Tharikat Saman, walaupun sebelum masanya telah ada indikasi bahwa Samaniyah telah berkembang, namun dimasa “Beliau Kumango” inilah Tharikat Samaniyah mencapai kejayaannya, Samaniyah sering dipesertakan dengan pengajaran Tharikat Naqsyabandiyah. Ayah dari “Beliau Kumango” ini juga terkemuka alim, namanya Khatib ‘Alim Kumango.
Nama besar “Beliau Kumango” selain dalam bidang Tharikat Samaniyah, Beliau juga merupakan guru besar sekaligus pencipta Silat Tharikat “Silek Kumango”, silat terkemuka di Minangkabau. Perjalanan menuntut ilmu “Beliau Kumango” terlihat unik, pada mulanya beliau adalah parewa, dan akhirnya menjadi Syekh Besar dan Ulama yang dihormati.
Beliau mengambil Tharikat Samaniyah di Madinah, kepada Syekh Muhammad Ridhwan al-Madani. Murid-murid Beliau “Syekh Kumango” inilah yang memainkan peranan penting menyebarkan Tharikat Samaniyah di Dataran tinggi Minangkabau. Namun tak banyak ditemui cacatan perihal nama murid-murid Beliau ini.
Garis silsilah Tarikat Saman yang Beliau ajarkan ialah:
1) Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango, mengambil dari:
2) Sayyidina Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan Madinah, mengambil dari:
3) Sayyidina Abu Hasan, mengambil dari:
4) Syekh Hasib, mengambil dari:
5) Syekh Muhammad Saman al-Madani al-Khalwati, mengambil dari:
6) Arif Billah Sayyidi Muftafa Bakri, mengambil dari:
7) Al-Imam Syekh Abdul Latif, mengambil dari:
8) Syekh Muftafa Afandi, mengambil dari:
9) Syekh Ismail al-Jarawi, mengambil dari:
10) Sayyidi Muhammad ad-Din al-Qisthamuni, mengambil dari:
11) Syekh Sya’ban Afandi al-Qisthamuni, mengambil dari:
12) Al-Masyhur Jamal Khalwati, mengambil dari:
13) Bir Muhammad an-Nakhari, mengambil dari:
14) Syekh Abu Zakariya al-Syiruni, mengambil dari:
15) Bir Sadhruddin, mengambil dari:
16) Amir Khalwati, mengambil dari:
17) Akha Muhammad al-Basi, mengambil dari:
18) Syekh Abil Haq Ibrahim al-Kilani, mengambil dari:
19) Syekh Jamaluddin al-Haruwi, mengambil dari:
20) Syihabuddin at-Tibriri, mengambil dari:
21) Rakanuddin Muhammad an-Najasi, mengambil dari:
22) Qathbuddin al-Abhuri, mengambil dari:
23) Syekh Najib as-Suhrudi, mengambil dari:
24) Umar al-Bakri, mengambil dari:
25) Syekh Wajhuddin al-Qith’i, mengambil dari:
26) Syekh Muhammad al-Bakri, mengambil dari:
27) Syekh ad-Dinuri, mengambil dari:
28) Sayyid Junaid al-Baghdadi, mengambil dari:
29) Sayyid Sirri Siqthi, mengambil dari:
30) Sayyidi Ma’ruf al-Kharki, mengambil dari:
31) Sayyid Daud ath-Tha’i, mengambil dari:
32) Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mengambil dari:
33) Rasulullah Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Syekh Muhammad 'Arief Sampu (Syekh Sampu), Solok Selatan. (w. 1960)
Dalam sebuah catatan muridnya Mahyunar Malin Bagindo, beliau, Syekh Sampu mengambil tarekat Samaniyah di Madinah. Setelah mengambil ilmu Tarekat Samaniyah, beliau kembali ke kampung halamannya dan membuka pengajian serta mengajarkan ilmu Tarekat. Tepatnya di Rantau Dua Belas Koto, Sangir, Solok Selatan. Beliau mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam mengembangkan ilmu agama. setelah beliau berpulang ke Rahmatullah, murid-murid beliaulah yang memainkan peran besar dalam melanjutkan keilmuan Islam, termasuk tarekat. Murid-muridnya dikenal kuat memegang teguh Ahlus Sunnah wa Jama'ah, berjalan dengan menapaki ulama-ulama saleh di masa silam. Alhamdulillah, al-faqir (penulis) telah menziarahi makam beliau di Solok, dan telah pula menyaksikan bekas pengaruh ulama besar ini, meski telah berpuluh tahun beliau wafat.
3. Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (wafat 1957)
Beliau masyhur terbilang ulama atas jalur Tasawwuf yang besar, teman pula bagi tokoh ulama dari kaum Tua Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung. Pernah mengikuti pertemuan Syekh-syekh Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi tahun 1954. Beliau sangat terkemuka di Luak nan Bonsu Luak Limapuluh kota. Perjalanan menuntut Tasawwuf dijalaninya semasa masih belia, beliau pernah mengaji kepada Tuan Syekh Abdurrahman Batu Hampar (wafat 1899) yang terkenal itu. Dari Syekh Batu Hamparlah Beliau menerima kaji Naqsyabandiyah sampai memperoleh gelar “Syekh Mudo” sebagai prestasinya dibidang Tharikat. Kemudian secara berturut-turut belajar Tasawwuf atas jalur Naqsyabandiyah di-6 tempat terkenal, di antaranya di Kumpulan, yakninya kepada yang Mulia Syekh Ibrahim Kumpulan; Padang Bubus Bonjol; Padang Kandih; Simabur; Kumango dan lainnya. Di Kumangolah beliau menerima Tharikat Samaniyah. Muridnya sangat banyak dan umumnya menjadi ulama terkemuka.
4. Tuan Syekh Beringin (wafat pertengahan abad XX)
Beliau berasal dari Durian Gadang, Luak Limapuluh kota. Beliau salah satu di antara murid Syekh Mudo Abdul Qadim yang terkemuka, dari segi keilmuan dan kekeramatan. Paruh kedua hidupnya beliau menetap di Deli, Sumut. Beliaupun terkenal sebagai pejuang di zaman Jepang, ketika tentara Jepang mengepungnya di Surau Suluk Tebing Tinggi Deli, tiba-tiba saja hamparan halaman dan surau itu berubah menjadi danau, sehingga tentara Jepang itu pulang saja dengan tangan hampa.
5. Syekh Ibrahim Bonjol (masih hidup sampai era-80-an)
Beliau berasal Bonjol-Pasaman. Beliau merupakan khalifah Syekh Belubus yang cukup prestisius. Beliau memiliki komplek belajar Tharikat yang cukup makmur di Medan, diberinya nama “Baitul Ibadah”. Salah seorang khalifahnya juga terkemuka di Jakarta.
Foto : Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai
6. Khalifah Rajab Batu Bajarang Solok
Eksistensinya mengajar Tharikat Saman merupakan indikasi dari sebuah buku bertuliskan tangan beliau: Kitab Segala Rahasia yang halus-halus. Beliau pernah berguru kepada Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat di Sumut (asal Muara Labuh, Solok). Kemudian berguru secara khusus kepada yang Mulia Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsyabandi Rokan, akhirnya menerima gelar Khalifah dan mengajar di Batu Bajarang, dengan surau yang cukup besar.
7. Syekh Haji Mahmud Abdullah “Beliau Tarantang” (w. 1986)
Beliau ulama terkemuka di Tarantang, Harau, Luak Limapuluh kota. Dalam hal Tarikat Beliau mengambil dari Syekh Yahya Magek (guru Syekh Sulaiman ar-Rasuli). Selain alim dalam kitab-kitab Kuning dan Tarikat, beliau juga masyhur pandeka. Murid-murid beliau juga banyak, yang setiap tahunnya mengadakan pertemuan besar dalam acara Penutupan Khalwat dengan mengundang pejabat-pejabat limapuluh kota.
8. Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah (w. 1989)
Beliau masyhur di Luak nan Bungsu selaku ulama. Beliau mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Batu Tanyoh sebagai wadah mengajarkan ilmu-ilmu islam. Pada usia mudanya mengaji kepada Syekh Ibrahim Harun Tiakar, dan secara khusus belajar Tarikat kepada Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus. Selain Samaniyah, beliau juga merupakan Syekh Naqsyabandiyah yang kuat memegang prinsip. salah satu karangannya ialah kitab Izzatul Qulub bima ja’a bihin Naqsyabandiyah. Murid-muridnya banyak, sampai saat ini dimasa kepemimpinan anaknya Buya Zed Dt. Bungkuak. Bahka sebahagian orang-orang yang bersuluk berasal dari Banten.
4. Tarikat Samaniyah dalam Literatur keagamaan di Minangkabau
Sampai saat ini hanya sedikit referensi Tharikat Saman yang kita temui, ataukah banyak diantara naskah-naskah itu yang tak sampai ke tangan kita. Mengenai Manaqib Saman, begitu pula Ratib Saman belum lagi diperoleh keberadaannya di Minangkabau, ada indikasi dulunya Ratib Saman berkembang luas mengingat penuturan oral orang tua-tua dulu ada orang yang berzikir sambil berdiri. Tapi untuk Palembang naskah Manaqib Saman sangat populer. Hingga saat ini beberapa Literatur yang khusus berbicara Samaniyah, yang dapat ditulis di sini yaitu:
1) Kaifiyah Khatamul Qur’an
sebuah kitab anonim kumpulan karangan-karangan ulama Melayu yang tidak diketahui lagi siapa penulisnya. Di dalamnya ditemui ritual ringkas Ratib Saman, selain itu juga ada penjelasan mengenai Tharikat Syathariyah. Kitab ini masih di cetak di Jakarta, oleh al-Haramain.
2) Sairus Salikin fi Tharikatis Saadat as-Sufiyyah
karangan Syekh Abdus Shamad al-Palimbani. Kitab yang sangat populer di Indonesia dalam bidang Tasawwuf, terutama dalam hal Tharikat Samaniyah. Kitab ini terdiri dari dua jilid tebal, dengan 4 juzu’ (bagian); beraksara Arab berbahasa Melayu. Sumber penulisan karya ini mencakup puluhan kitab-kitab populer di kalangan ahli Tasawwuf, terutama karya-karya Syekh Saman seumpama an-Nafahat Ilahiyah. Kitab ini terbit di berbagai wilayah, dari Kairo hingga Indonesia. Dipakai luas, dari Pattani (thailand), Malaysia dan Indonesia.
3) Risalah Tsabitul Qulub
Karangan Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh. Risalah ini terdiri dari beberapa jilid kecil, namun sangat padat isi, hampir mencakup selurus masalah-masalah Tharikat, khususnya Saman. Kitab ini masih tersembunyi, belum terpublikasi secara umum, sebab banyak murid-murid Syekh Belubus yang menyimpannya secara rahasia. Sampai saat ini, baru ditemui 3 jilid buku ini. Isinya:
a. Risalah Tsabitul Qulub (jilid I). Secara praktis buku ini ditulis untuk menolak keraguan dalam mengamalkan zikir-zikir dan wirid-wirid dalam Tharikat, sehingga si murid tetap hati, kuat memegang Tharikat, tidak goyah diterpa perkataan-perkataan kaum muda yang membathalkan Tharikat. Kitab ini berisi dalil-dalil yang tersirat untuk mempertahankan amal Tharikat, serta memperkokoh hati murid, supaya tidak terpecah-pecah akibat faham yang bergitu rupanya. Penulisan sumber rujukan dalam kitab ini cukup variatif, menunjukkan kealiman Syekh Muda yang masyhur itu. Diantar sumber-sumber kitab yang menjadi rujukannya ialah Tanwirul Qulub (sangat populer saat ini), Shahifatus Shafa (besar kemungkinan karangan Syekh Sulaiman Zuhdi Jabal Qubis), Manzhirul A’ma, Khazinatul Asrar, ar-Rahmatul Habithah, Hadist Arba’in, Sairus Salikin, al-Minhul Nisbah, Husnul Husain, al-Qusyairi, Lathifatul Asrar, Hidayatus Salikin, Aiqazhul Manam, Hidayatul Hidayah, Mawahib Sarmadiyah, al-Asymuni dan lain-lainnya.
Selain menjadi penguat hati si murid, risalah ini juga memuat kaifiyah Tharikat Saman dan Tharikat Muhammad Yaman (pecahan Saman) beserta wirid-wirid dan zikir-zikirnya. Risalah ini kemudian ditutup dengan sebuah fasal yang cukup panjang berisi tentang “Pengajaran tatakala nyawa akan berpulang ke hadirat Allah”. (cetakan ke-6, pada percetakan as-Sa’adiyah Bukittinggi, t. th)
b. Risalah Tsabitul Qulub (jilid ke II). Kajian dalam kitab ini tak kalah menariknya. Kitab ini baru dijumpai penulis dalam bentuk manuskrip, salinan tangan oleh Marnis Dt. Bangso Dirajo. Di antara isi kitab ini ialah:
• Himpunan akidah lima puluh
• Sebab zikir la ilaha illallahu tidak pakai muhammadur rasulullah
• Masalah Nur Muhammad dan Nur Allah
• Kelebihan manusia dari pada segala alam
• Masalah Najis dan hadast
• Pembahasan Muqarinah Niat
• Tentang martabat Ahadiyah, wahdah dan wahidiyah
• Menyatakan syari’at dan tharikat di dalam sembahyang
• Rabithah dalam sembahyang
• Asal suluk 40 hari, dan lainnya banyak lagi.
c. Risalah Tsabitul Qulub (jilid ke III). Jilid ke-3 ini memuat pengajaran Tharikat yang cukup istimewa, yakni membicarakan perhubungan shalat dengan Tharikat. Di mana di dalamnya ada tertulis:
Maka dari itu nyatalah bagi kita bahwa ilmu Tharikat itu bersuanya di dalam sembahyang. Sepatutnya kita mahir ilmu tharikat itu dengan beberapa martabatnya.
………………
Maka apabila hilang hamba dan hilang kalimat dan tinggal nur, maka nur itulah yang dinamakan dengan zikir Hakikat. Maka apabila hilang hamba hilang kulimah hilanglah pula nur maka pulanglah hak kepada yang mepunyai, dan kembalilah hamba kepada Tuhannya. (Tsabitul Qulub jilid ke-III)
Kemudian kitab ini disambung dengan pembahasan mengenai “nafsu yang tujuh”, dijabarkan dengan kalimat jelas dan ringkas. Kemudian kitab ini disudahi dengan wirid-wirid dalam tharikat Saman.
Asal naskah kopiannya masih ada tersimpan di surau Belubus, yakni cetakan Islamiyah – Medan. Dengan cover yang dipakaikan foto Syekh Muda dan muridnya Syekh Beringin.
4) Pertahanan Tharikat Naqsyabandiyah
Tulisan Syekh Haji Djalaluddin (1950). Buku ini terdiri dari 5 jilid, bertuliskan Arab Melayu. Walau judul besarnya “Naqsyabandiyah”, namun pada sampulnya penulis juga menuliskan untuk Tharikat Samaniyah. Namun buku ini hanya berisi tentang pertahanan Tharikat secara umum saja, tampaknya tidak membahas aspek teoritis Tharikat Saman secara Khusus.
5) Sya’ir Saman (manuskrip).
Naskah berupa manuskrip. Ditemukan dua salinan, satu di Simpang Tonang Pasaman, dan satu lagi di Koto Baru Sungai Pagu. Penulisnya belum diketahui pasti. Walau judul Besarnya Sya’ir Saman, namun isinya merupakan pengajian Tasawwuf yang bersifat filosofis.
6) Kitab Segala Rahasia-rahasia yang halus-halus
Manuskrip ini ditulis oleh Khalifah Rajab Batu Bajarang Solok Selatan. Selain berisi tentang Tarikat Naqsyabandiyah, Syadziliyah dan lainnya, juga berisi tentang amalan-amalan Tarikat Saman. Beliau berguru kepada Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi, setelah menimba ilmu beberapa saat kepada Tuan Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat.
5. Penutup
Sebagai salah satu Tarikat Sufiyah yang berkembang di Minangkabau, begitu juga wilayah-wilayah lain di nusantara, Tarikat Samaniyah telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam kehidupan keberagamaan masyarakatnya. Namun karena sedikitnya referensi yang berbicara langsung mengenai Tarikat mu’tabar yang satu ini, membuat kita merasa kesulitan untuk memperoleh gambaran mengenai perkembangan dan sumbangsihnya, walaupun ada selentingan cacatan-cacatan lama, kebanyakannya masih tersimpan rapi di tangan para pengikutnya. Ada juga di kalangan peneliti luar yang mengungkapkan bahwa bentuk Tarikat Saman di Minangkabau banyak digabungkan dengan Tarikat Naqsyabandiyah, seperti yang terjadi di Belubus, namun bagi orang arif dia tidak akan gegabah beranggapan demikian. Tarikat Saman dan Naqsyabandi bukanlah dua berbeda yang kemudian satu. Tapi keduanya ialah metode mengingat Allah dan mensucikan hati yang pada hakikatnya satu, Cuma soal kaifiyah yang berbeda. Begitulah prasangka orang yang melihat Cuma dari luar belaka.
Untuk saat ini, di beberapa wilayah ada kecendrungan untuk berbai’at Saman di usia yang muda. Padahal dulunya, hanya orang-orang tualah yang mahir bersaman. Kecendrungan ini telah membawa dampak makin betahnya para pemuda di surau, karena mereka merasa senang bertahlil. Namun arah positif ini hanya di sebahagian kecil tempat yang ditemui sekarang, wilayah lainnya malah tidak kenal lagi dengan Samman, apatah lagi dengan banyak wafatnya orang yang tua-tua yang memangku Tarikat Saman itu.
Begitulah keadaannya. Demikianlah sekilas mengenai Tokoh dan Literatur Tarikat Saman di Minangkabau yang telah penulis kumpulkan beberapa tahun lamanya. Dengan cacatan, walaupun kita merasa sulit menemui sumber-sumber yang berbicara langsung tentang Tarikat Saman di Minangkabau, namun kita mesti tahu bahwa Tarikat Samaniyah dengan segala hal ihwalnya telah lama memberikan sumbangsih yang sangat berharga, apakah di zaman perang dulunya sebagai tameng pengusir Kompeni, ataupun dalam pembentukan moral masyarakat banyak. Tokoh-tokoh ulama Saman akan tetap terkenang, akan tetap di ziarahi, dan Tarikat Saman akan selalu berjaya sebagai halnya dulu, di ranah Minang, ranahnya ulama-ulama.
Kepustakaan
Hamka, Tasawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004)
Masduki HS, Intelektualisme Pesantren: (Jakarta: Diva Pustaka, 2004)
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir: Mathba’ah at-Taqdum al-Ilmiyah, 1908)
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992)
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarikat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995)
Min Makkah ila Mishra (manuskrip, koleksi Madrasah al-Manar Batu Hampar Payakumbuh)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara dengan Kepulauan Nusantara: akar Pembaruan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Group, 2004)
Azyumardi Azra, Surau: Lembaga pendidikan Islam tradisional dalam transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003)
Ahmad Purwadaksi, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks (Jakarta: Djambatan, 2004)
‘Arif billah Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Siyarus Salikin fi Thariqat as-Saadat as-Sufiyyah (Jeddah: al-Haramain, t. th)
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988)
Syekh Muda Abdul Qadim Belubus, Risalah Tsabitul Qulub (Bukittinggi: as-Sa’adiyah, 1393 H) juz I
Khalifah Rajab, Kitab Segala Rahasia-rahasia yang halus-halus (Manuskript) Surau Batu Bajarang Solok Selatan
(Anonym), Ini Kaifiyat Khatam al-Qur’an (Jakarta: Syarikah Maktabah al-Madinah, t. th)
Syekh Mudo Abdul Qadim, Tsabitul Qulub, juz II (manuscript salinan Buya Marnis Dt. Bangso Dirajo
Naskah Simpang Tonang Pasaman (manuscript), bandingkan dengan Sya’ir Saman salinan Muhammad Ridhwan Dt. Tan Bijo Sungai Pagu.
H. Jalaluddin, Pertahanan Tarikat Naqsyabandiyah (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1950)
1. Pendahuluan
Masuknya Islam ke Minangkabau, umumnya ke nusantara, tak terpungkiri diwarnai oleh unsur-unsur Tasawwuf yang sangat kental. Hal ini dikarenakan ulama-ulama yang pernah hadir menyebarkan Islam di Pulau perca ini merupakan ulama-ulama Sufi belaka. Memang sejarah tidak mencatat bagaimana aktifitas ulama-ulama tersebut ketika bermukim di negeri ini ketika awal penyebaran Islam di abad ke VII masehi tersebut. Namun fakta yang nyata kita peroleh ketika tertulisnya nama-nama besar ulama mulai dari abad ke-XV dalam sejarah, yang mana ulama-ulama tersebut terbilang sebagai ulama-ulama Sufi terkemuka.
Menurut keterangan Syekh Yusuf an-Nabhani mengutip kepada Ibnu Batutah dalam Tuhfatun Nazhar-nya, diabad-abad tersebut telah ada ulama Tasawwuf yang besar di negeri Aden (Yaman), mempunyai keramat yang masyhur sampai dikatakan beliau – ulama tersebut mampu bercakap-cakap dengan orang yang telah wafat , dan diakhir nama ulama tersebut tertulis “al-Jawi”, indikasi yang nyata bahwa beliau merupakan orang Melayu. Masa tersebut pula nama-nama Waliyullah yang sembilan orang di negeri Jawa, Wali Songo, yang merupakan penyebar-penyebar Islam dengan Tasawwuf tingkat tinggi, sebagai halnya tertulis dalam Primbon-primbon tua itu. Tak pula asing nama-nama seperti Hamzah Fansuri, pengarang sya’ir mistik Melayu yang indah menawan; Syamsuddin Sumatrani, sufi penganut martabat lima yang menjadi penasehat raja Aceh kala itu; Syekh Nuruddin ar-Raniri, ulama Ranir (India) yang memapankan karirnya di Aceh sebagai penolak wujudiyah; Syekh Abdurra’uf Singkel Syiah Kuala, ulama besar yang masyhur terbilang; dan yang fenomenal Tuan yang mulia Abu Muhassin Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Samalaka ri Goa (Mahkota Tharikat Khalwatiyah - Tuan guru yang agung dari Goa), berpuluh tahun menuntut ilmu di Mekkah belajar berbagai Tharikat sekaligus berjuang di tanah air hingga wafat di Tanjung Harapan – Afrika Selatan.
Sedang di Minangkabau sendiri, negeri yang masyhur dengan ulama-ulamanya, tersebut pula nama besar Syekh Burhanuddin Ulakan, sudah ratusan tahun lalu meninggal dunia, namun tak henti-hentinya orang berziarah ke makamnya (bershafar) sebagai bukti pengaruh beliau yang tiadakan pudar sama sekali. Tersebut pula Tuan Syekh Keramat – Taram Payakumbuh, masyhur bertuah, disebut sebagai teman seperjanan Syekh Abdurra’uf Singkel ketika mengaji di Madinah kepada Tuan Syekh Ahmad Qusyasi. Di aliran sungai Kampar, terdapat pula makam Syekh Burhanuddin Kuntu, yang terus diziarahi masyarakat banyak hingga sekarang. Kemudian terkemuka nama-nama besar di abad ke XVIII hingga abad XX, seperti Syekh Maoelana Soefi (1738-1818), Syekh Abdurrahman “Beliau Batu Hampar” Payakumbuh (w. 1899 – usia 120 th), Syekh Muhammad Thahir Barulak, Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan (w. 1914 – usia 150 th), Syekh Abdul Ghani Batu Bersurat (w. 1961 – usia 150 th), Syekh Ja’far Kampar dan lain-lainnya.
Berbicara mengenai Tasawwuf, maka kita tidak akan terlepas dari membicarakan Tarikat, karena Tarikat merupakan suatu kearifan ber-Tasawwuf, ibaratkan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Besarnya pengaruh Syekh-syekh Tasawwuf terkemuka tersebut, sehingga dikatakan oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ketika membahas Tharikat dalam Izhar-nya bahwa Tarikat itu telah menjadi pakaian di negeri Minangkabau. Begitu pula laporan seorang petinggi Belanda saat itu, K. F. Holle, yang mengkhawatirkan kebangkitan Tarikat yang begitu pesat yang berpotensi menggeser kedudukan Belanda. Salah satu Tarikat terkemuka yang masih terlihat kabur dalam catatan-catatan yang ada ialah Tarikat Samaniyah. Sebuah Tarikat yang cukup berjasa ketika perlawanan dengan Belanda, bahkan menurut salah satu sumber merupakan salah satu Tarikat yang mula-mula masuk ke Indonesia dan memperoleh pengikut besar di bumi nusantara ini. Maka di sini kita akan melihat sekilas mengenai tokoh dan Literatur Tarikat Samaniyah di Minangkabau, negeri gudangnya ulama-ulama Tasawwuf itu.
2. Akar Samaniyah : Dari Perjalanan murid-murid Jawi ke Haramain hingga aktifitas Surau-surau Sufi di Minangkabau
Hingga beberapa dekade awal abad ke XX, Mekah merupakan tempat yang ramai dikunjungi untuk menuntut ilmu, selain untuk berhaji. Zawiyah-zawiyah termayhur banyak berdiri disekitar Mesjidil Haram, para Syekh-syekh ternama banyak yang membuka pengajian di kawasan Mesjid sendiri. Sehingga Mekah sejak dahulunya menjadi pusat ibadah dan ilmu pengetahuan, malah mungkin lebih dikenal ketimbang al-Azhar. Al-Haramain merupakan tempat berkumpulnya kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, beberapa banyak ulama-ulama yang datang ke Mekkah buat mengajar sekaligus memperoleh barokah di kota suci tersebut. Banyak dari kalangan muslim yang mengidolakan Mekah untuk tempat menuntut ilmu, walaupun hanya beberapa waktu saja, mengambil berkah istilahnya. Adapula yang hidup menahun di sana, memenuhi dada dengan ilmu, kemudian pulang dengan membawa berbagai ijazah tanda telah diakui keulamaannya. Hingga muncul pameo ditengah-tengah masyarakat, kalau belum mengaji ke Mekah, ilmunya belum sempurna, keulamaannya belum sah. Begitulah posisi Mekah bagi kalangan penuntut ilmu dan Muslim umumnya.
Dengan mengunjungi berbagai halaqah dan Zawiyah Sufi di Mekkah saat itu, yang banyaknya menjamur seantero tanah haram, para penuntut ilmu akan dihidangkan dengan berbagai ilmu pengetahuan agama, dari berbagai Mazhab, berbagai ulama dengan bidang keilmuannya masing-masing (takhussus) dan dari berbagai penjuru dunia. Sehingga dapat dikatakan mereka –para penuntut ilmu itu- telah bersinggungan dengan Jaringan Ulama Internasional, dengan pusatnya kala itu ialah Mekkah dan Madinah.
Posisi mereka setelah pulang ke kampung halamannya –Minangkabau- menjadi ulama terkemuka, dan ilmu yang mereka bawa pulang, tersimpan dalam sudur, bukan sekedar ilmu yang di dapat lingkungan bawah, kalangan lokal, lebih dari itu ilmu yang mereka peroleh ialah pengetahuan agama yang kosmopolitan sebagaimana jaringan global yang mereka bentuk ketika menuntut ilmu dari berbagai Syekh terkemuka di Haramain. Di samping itu, keilmuan mereka mencapai keotentikan yang bisa diuji, lewat sanad keilmuan dari para musnid, ulama-ulama besar di Mekkah dan Madinah. Dengannya mata rantai keilmuan itu bersambung (musalsil), tiada terputus (munqathi’), sampai kepada tokoh-tokoh ulama salaf yang shaleh, hingga sampai kepada Rasulullah.
Sudah menjadi tradisi tersendiri di Minangkabau, apabila ada seorang siak yang telah alim, apatah lagi yang telah pula menimba ilmu di Mekkah dan mendapat ijazah, maka masyarakat atau kaum sukunya akan bergotongroyong membuatkan surau buatnya untuk mengajar agama. Sampai beberapa dekade awal abad ke-20 tradisi itu masih berlaku. Hingga terkemukalah Minangkabau menjadi gudang ulama, setiap kampung dan pelosok-pelosok negeri mesti berdiri sebuah surau atau lebih, dengan berdirinya surau itu sendiri maka mesti ada ulama di daerah itu.
Di Mekkah sendiri, selain mempelajari hal ihwal syari’at sedalam-dalamnya, dengan berkhitmat kepada syekh-syekh terkemuka tersebut, adalah murid-murid Jawi juga memprioritaskan untuk mengikuti pondok-pondok sufi (zawiyah) yang ramai bertebaran di Haramain. Aktifitas mereka di pondok sufi itu belajar Tasawwuf, terutama sekali mengambil bai’at dan bersuluk dalam salah satu Tarikat mu’tabarah. Dan salah satu Tarikat yang digemari pada abad XVII dan XVIII itu ialah Tarikat Samaniyah, yaitu Tarikat yang dikembangkan oleh seorang Sufi masyhur, ulama selaku penjaga Makam Rasulullah di Madinah, yaitu Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman (1719-1770).
Mengenai pribadi Syekh Muhammad Saman sendiri, beliau merupakan seorang tokoh Sufi terkemuka di Abad XVIII, bahkan dikatakan bahwa Beliau merupakan Qutub Auliya’ (Pusaran Wali-wali) yang tersirat dalam berbagai kisah-kisah kekeramatan yang banyak tertulis dalam Hikayat Muhammad Saman. Syekh Saman mempelajari berbagai Tarikat kepada Syekh-syekh besar di zamannya. Selain sebagai Syekh Tarikat yang berpengaruh, beliau juga dikenal ‘alim dalam fiqih yang dipelajarinya dari lima ulama Fiqih terkemuka yaitu Muhammad ad-Daqaq, Sayyid ‘Ali al-Atthar, ‘Ali al-Kurdi, ‘Abdul Wahab al-Thantawi dan Sayyid Hilal al-Makki. Di bidang Tasawwuf dan Tauhid, guru Syekh Saman yang paling mengesankan adalah Mustafa bin Kamaluddin al-Bakri (w. 1749), seorang penulis produktif dan Syekh Tharikat Khalwatiyah dari Damaskus. Selain itu as-Samani juga pernah belajar Tharikat Khalwatiyah kepada dua orang syekh terkemuka di Mesir, yaitu Muhammad bin Salim al-Hifnawi dan Mahmud al-Kurdi. Syekh lain yang sangat berpengaruh terhadap ajaran dan praktek-praktek Syekh Saman ialah Syekh Abdul Karim an-Nablusi (w. 1731) , seorang Syekh Besar Naqsyabandiyah dan pembela jitu Ibnu al-‘Arabi dan al-Jili. Dari berbagai syekh terkemuka yang pernah menjadi gurunya, maka Syekh Muhammad Saman setidak telah mengambil 4 macam Tarikat, yaitu Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Dari berbagai teknik-teknik Tarikat inilah Syekh Muhammad Saman merumuskan sebuah metode Zikir, yang kemudian hari dikenal dengan Tarikat Saman, atau Tarikat Samaniyah.
Selain ulama terkemuka, Syekh Saman juga menjabat posisi penting di Madinah selaku penjaga Makam Rasulullah. Hal ini paling tidak telah membuat Syekh Saman untuk lebih leluasa mengajarkan Tarikat Saman-nya, karena setiap waktu beliau akan dikunjungi oleh berbagai tamu dari berbagai penjuru dunia jika akan menziarahi Makam Rasulullah. Maka tidak mengherankan bila dalam waktu singkat, Syekh Saman telah memiliki murid-murid dari berbagai benua; dari Maghrib, Afrika Timur sampai ke India dan Nusantara. Di berbagai kota di Hijaz dan Yaman berdirilah Zawiyah Samaniyah. Tak terpungkiri dengan posisi dan dedikasi Syekh Muhammad Saman yang sedemikian rupanya telah menarik beberapa murid jawi untuk mengambil ilmu dan berba’iat kepadanya, seperti salah seorang yang sangat terkemuka dan menjadi ulama serta tenar namanya lewat karya monumentalnya Siyarus Salikin ialah Arif billah Syekh Abdus Shamad al-Falimbani (abad 18), melalui ulama yang satu ini kita memperoleh gambaran terbaik tentang ajaran Syekh Saman dalam bahasa Melayu.
Di dalam Sairus Salikin ila Tariq Saadat Sufiyah disebutkan silsilah Tarikat Samaniyah dari Syekh Abdus Shamad al-Falimbani sebagai Berikut:
1. Syekh Abdus Shamad al-Jawi al-Falimbani, mengambil dari:
2. Sayyidi Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman al-Qadiri al-Khalwati al-Madani, mengambil dari:
3. Sayyidi Bakri, mengambil dari:
4. Syekh Abdul Latief, mengambil dari:
5. Syekh Mustafa Afandi al-Adarnawi, mengambil dari:
6. Syekh ‘Ali Afandi Qurabas, mengambil dari:
7. Syekh Isma’il al-Jarawi, mengambil dari:
8. Sayyidi Muhyiddin al-Qisthani, mengambil dari:
9. Syekh Sya’ban Afandi al-Qisthamuni, mengambil dari:
10. Syekh Halabi Sultanul Qura’ (Jamal Khalwati), mengambil dari:
11. Bir Muhammad Azibkhani, mengambil dari:
12. Syekh Abu Zakaria as-Syiruwani al-Bakuni, mengambil dari:
13. Bir Ashdaruddin, mengambil dari:
14. Syekh Izzuddin, mengambil dari:
15. Syekh Muhammad Mir Khalwati, mengambil dari:
16. Akha Muhammad al-Balisi, mengambil dari:
17. Syekh Abi Ishaq Ibrahim az-Zahid al-Bukalani, mengambil dari:
18. Syekh Jamal al-Ahuri, mengambil dari:
19. Syekh Syihabuddin at-Tibrisi, mengambil dari:
20. Syekh Rukanuddin Muhammad Nahas, mengambil dari:
21. Quthbuddin Abhari, mengambil dari:
22. Syekh Abi Najib As-Syuhuwardi, mengambil dari:
23. Syekh Umar al-Bakri, mengambil dari:
24. Syekh Wajihuddin al-Qaqithi, mengambil dari:
25. Syekh Muhammad al-Bakri, mengambil dari:
26. Syekh Muhammad ad-Dinuri, mengambil dari:
27. Sayyidi Mumsad ad-Dinuri, mengambil dari:
28. Sayyidi Junaid al-Baghdadi, mengambil dari:
29. Sayyidi Sirri Siqthi, mengambil dari:
30. Sayyidi Ma’ruf al-Kharkhi, mengambil dari:
31. Sayyidi Daud ath-Tha’i, mengambil dari:
32. Sayyidi Habibul ‘Ajami, mengambil dari:
33. Sayyidi Hasan al-Bashri, mengambil dari:
34. Amirul Mu’minin Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW, mengambil dari:
35. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitulah halnya murid-murid jawi. Niscaya sebahagian murid-murid ini sesampainya di nusantara membuka pula pengajian untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah sekian lama diperoleh di Haramain, tak terkecuali Tharikat Samaniyah, yang kala itu hanya dikenal dengan nama Zikir Samman saja. Tharikat Saman setelah itu sangat populer di tengah-tengah masyarakat. Sampai-sampai ketika masuknya penjajah ke nusantara, maka sebahagian para pejuang yang mencoba mengusir bangsa eropa itu ialah para ahli Tharikat Samman, sebagaihalnya yang diceritakan dalam Sya’ir Perang Menteng. Salah satu kutipan isinya yaitu:
Delapan Belas harinya sabtu
Bulan Sya’ban ketika waktu
Pukul empat jamnya itu
Haji berzikir di pememarakat tentu
Haji zikir di pengadapan
Berkampung bagai mengadap ayapan
Tidaklah ada malu dan sopan
Ratib berdiri berhadapan
La ilaha illallah dipalukan ke kiri
Kepada hati nama sanubari
Datanglah opsir meriksa berdiri
Haji berangkat opsirpun lari
Di Minangkabau sendiri, Tharikat Samaniyah sendiri telah menampakkan dirinya sejak awal abad ke-19. menurut catatan yang ada, salah seorang ulama yang mengembangkannya ialah Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus Pasaman , guru dari yang mulia Syekh Ibrahim Kumpulan. Lewat ulama-ulama dan surau-surau sufi setelah itu Tarikat Samaniyah berkembang pesat. Kehadiran Tarikat Saman semakin terlihat dengan tampilnya Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango, seorang ulama masyhur yang disegani kala itu. Dengan surau Kumango beliau mengajarkan Tarikat Saman dan salah satu teknik silat tradisional Minangkabau kepada murid-muridnya yang banyak datang dari segenap penjuru Minangkabau. Menurut cacatan M. Sanusi Latief, pusat-pusat Tarikat Samaniyah di Minangkabau antara lain:
1) Kumango, Batu Sangkar
2) Belubus
3) Labuah Gunuang, Tuanku Mudo Josan
4) Ateh Aka, Payo Basuang
5) Tarantang
6) Batu Tanyoh
7) Mungka
8) Lubuk Bangku, Sarilamak
9) Aia Putiah, Harau
10) Barulak, Salimpauang
11) Sungai Patai, Sungayang
12) Koto Panjang Lampasi
13) Salido, Painan
14) Padang Bubus, Bonjol
15) Kampung Melayu, Bayang
16) Bungo Pasang, Salido Kaciak, Painan
Dari aktifitas-aktifitas surau Tarikat itulah nantinya terbentuk jaringan guru-murid, yang memperkuat penyebaran Tarikat-tarikat di Minangkabau, begitupula Tarikat Samaniyah.
3. Melirik Jaringan Tarikat Samaniyah di Minangkabau : Sekilas mengenai Ulama Saman dan koneksi keilmuannya
Setiap ilmu mesti pula ada mata rantai yang saling berhubungan. Jika berbica mengenai mata rantai keilmuan itu maka kita tidak akan terlepas dari hubungan istimewa antara guru dan murid, bahkan karena sakin istimewanya hubungan ini tidak pisah terputus sama sekali, walaupun murid atau guru itu telah wafat. Salah satu sebab hubungan guru murid ini takkan terputus ialah karena hubungan ini dibentuk oleh ikatan rohani yang sangat kuat. Begitulah halnya yang berlaku dalam transmisi keilmuan islam sejak dahulunya, di mana murid-murid akan benar-benar menjaga isnad ilmu yang diperolehnya dari guru-gurunya itu. Namun akhir-akhir ini, zaman modern dikatakan orang, perhatian penuntut ilmu tidak lagi mementingkan hal tersebut. Salah satu keilmuan yang masih mempertahankan isnad (mata rantai) itu hingga sekarang ialah ilmu Tarikat sebagai sebuah kearifan bertasawwuf. Di mana melalui isnad atau silsilah inilah nantinya kita akan menemui jaringan keilmuan islam yang kompleks dan saling berkait.
Dalam hal Tarikat, yaitu Tarikat Samaniyah di Minangkabau yang kita bicarakan saat ini, untuk mengetahui jaringan keilmuannya mestilah kita mengenal tokoh-tokoh terkemuka dalam mengembangkan ajaran Samman di tanah Andalas ini. Di antara tokoh-tokoh Tarikat Samaniyah yang masyhur di Minangkabau itu ialah:
1. Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango (wafat 1927)
Beliau diimasyhurkan orang dengan “Beliau Kumango”. Beliau dikenal sebagai pembawa Tharikat Saman, walaupun sebelum masanya telah ada indikasi bahwa Samaniyah telah berkembang, namun dimasa “Beliau Kumango” inilah Tharikat Samaniyah mencapai kejayaannya, Samaniyah sering dipesertakan dengan pengajaran Tharikat Naqsyabandiyah. Ayah dari “Beliau Kumango” ini juga terkemuka alim, namanya Khatib ‘Alim Kumango.
Nama besar “Beliau Kumango” selain dalam bidang Tharikat Samaniyah, Beliau juga merupakan guru besar sekaligus pencipta Silat Tharikat “Silek Kumango”, silat terkemuka di Minangkabau. Perjalanan menuntut ilmu “Beliau Kumango” terlihat unik, pada mulanya beliau adalah parewa, dan akhirnya menjadi Syekh Besar dan Ulama yang dihormati.
Beliau mengambil Tharikat Samaniyah di Madinah, kepada Syekh Muhammad Ridhwan al-Madani. Murid-murid Beliau “Syekh Kumango” inilah yang memainkan peranan penting menyebarkan Tharikat Samaniyah di Dataran tinggi Minangkabau. Namun tak banyak ditemui cacatan perihal nama murid-murid Beliau ini.
Garis silsilah Tarikat Saman yang Beliau ajarkan ialah:
1) Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango, mengambil dari:
2) Sayyidina Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan Madinah, mengambil dari:
3) Sayyidina Abu Hasan, mengambil dari:
4) Syekh Hasib, mengambil dari:
5) Syekh Muhammad Saman al-Madani al-Khalwati, mengambil dari:
6) Arif Billah Sayyidi Muftafa Bakri, mengambil dari:
7) Al-Imam Syekh Abdul Latif, mengambil dari:
8) Syekh Muftafa Afandi, mengambil dari:
9) Syekh Ismail al-Jarawi, mengambil dari:
10) Sayyidi Muhammad ad-Din al-Qisthamuni, mengambil dari:
11) Syekh Sya’ban Afandi al-Qisthamuni, mengambil dari:
12) Al-Masyhur Jamal Khalwati, mengambil dari:
13) Bir Muhammad an-Nakhari, mengambil dari:
14) Syekh Abu Zakariya al-Syiruni, mengambil dari:
15) Bir Sadhruddin, mengambil dari:
16) Amir Khalwati, mengambil dari:
17) Akha Muhammad al-Basi, mengambil dari:
18) Syekh Abil Haq Ibrahim al-Kilani, mengambil dari:
19) Syekh Jamaluddin al-Haruwi, mengambil dari:
20) Syihabuddin at-Tibriri, mengambil dari:
21) Rakanuddin Muhammad an-Najasi, mengambil dari:
22) Qathbuddin al-Abhuri, mengambil dari:
23) Syekh Najib as-Suhrudi, mengambil dari:
24) Umar al-Bakri, mengambil dari:
25) Syekh Wajhuddin al-Qith’i, mengambil dari:
26) Syekh Muhammad al-Bakri, mengambil dari:
27) Syekh ad-Dinuri, mengambil dari:
28) Sayyid Junaid al-Baghdadi, mengambil dari:
29) Sayyid Sirri Siqthi, mengambil dari:
30) Sayyidi Ma’ruf al-Kharki, mengambil dari:
31) Sayyid Daud ath-Tha’i, mengambil dari:
32) Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mengambil dari:
33) Rasulullah Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Syekh Muhammad 'Arief Sampu (Syekh Sampu), Solok Selatan. (w. 1960)
Dalam sebuah catatan muridnya Mahyunar Malin Bagindo, beliau, Syekh Sampu mengambil tarekat Samaniyah di Madinah. Setelah mengambil ilmu Tarekat Samaniyah, beliau kembali ke kampung halamannya dan membuka pengajian serta mengajarkan ilmu Tarekat. Tepatnya di Rantau Dua Belas Koto, Sangir, Solok Selatan. Beliau mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam mengembangkan ilmu agama. setelah beliau berpulang ke Rahmatullah, murid-murid beliaulah yang memainkan peran besar dalam melanjutkan keilmuan Islam, termasuk tarekat. Murid-muridnya dikenal kuat memegang teguh Ahlus Sunnah wa Jama'ah, berjalan dengan menapaki ulama-ulama saleh di masa silam. Alhamdulillah, al-faqir (penulis) telah menziarahi makam beliau di Solok, dan telah pula menyaksikan bekas pengaruh ulama besar ini, meski telah berpuluh tahun beliau wafat.
3. Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (wafat 1957)
Beliau masyhur terbilang ulama atas jalur Tasawwuf yang besar, teman pula bagi tokoh ulama dari kaum Tua Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung. Pernah mengikuti pertemuan Syekh-syekh Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi tahun 1954. Beliau sangat terkemuka di Luak nan Bonsu Luak Limapuluh kota. Perjalanan menuntut Tasawwuf dijalaninya semasa masih belia, beliau pernah mengaji kepada Tuan Syekh Abdurrahman Batu Hampar (wafat 1899) yang terkenal itu. Dari Syekh Batu Hamparlah Beliau menerima kaji Naqsyabandiyah sampai memperoleh gelar “Syekh Mudo” sebagai prestasinya dibidang Tharikat. Kemudian secara berturut-turut belajar Tasawwuf atas jalur Naqsyabandiyah di-6 tempat terkenal, di antaranya di Kumpulan, yakninya kepada yang Mulia Syekh Ibrahim Kumpulan; Padang Bubus Bonjol; Padang Kandih; Simabur; Kumango dan lainnya. Di Kumangolah beliau menerima Tharikat Samaniyah. Muridnya sangat banyak dan umumnya menjadi ulama terkemuka.
4. Tuan Syekh Beringin (wafat pertengahan abad XX)
Beliau berasal dari Durian Gadang, Luak Limapuluh kota. Beliau salah satu di antara murid Syekh Mudo Abdul Qadim yang terkemuka, dari segi keilmuan dan kekeramatan. Paruh kedua hidupnya beliau menetap di Deli, Sumut. Beliaupun terkenal sebagai pejuang di zaman Jepang, ketika tentara Jepang mengepungnya di Surau Suluk Tebing Tinggi Deli, tiba-tiba saja hamparan halaman dan surau itu berubah menjadi danau, sehingga tentara Jepang itu pulang saja dengan tangan hampa.
5. Syekh Ibrahim Bonjol (masih hidup sampai era-80-an)
Beliau berasal Bonjol-Pasaman. Beliau merupakan khalifah Syekh Belubus yang cukup prestisius. Beliau memiliki komplek belajar Tharikat yang cukup makmur di Medan, diberinya nama “Baitul Ibadah”. Salah seorang khalifahnya juga terkemuka di Jakarta.
Foto : Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai
6. Khalifah Rajab Batu Bajarang Solok
Eksistensinya mengajar Tharikat Saman merupakan indikasi dari sebuah buku bertuliskan tangan beliau: Kitab Segala Rahasia yang halus-halus. Beliau pernah berguru kepada Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat di Sumut (asal Muara Labuh, Solok). Kemudian berguru secara khusus kepada yang Mulia Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsyabandi Rokan, akhirnya menerima gelar Khalifah dan mengajar di Batu Bajarang, dengan surau yang cukup besar.
7. Syekh Haji Mahmud Abdullah “Beliau Tarantang” (w. 1986)
Beliau ulama terkemuka di Tarantang, Harau, Luak Limapuluh kota. Dalam hal Tarikat Beliau mengambil dari Syekh Yahya Magek (guru Syekh Sulaiman ar-Rasuli). Selain alim dalam kitab-kitab Kuning dan Tarikat, beliau juga masyhur pandeka. Murid-murid beliau juga banyak, yang setiap tahunnya mengadakan pertemuan besar dalam acara Penutupan Khalwat dengan mengundang pejabat-pejabat limapuluh kota.
8. Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah (w. 1989)
Beliau masyhur di Luak nan Bungsu selaku ulama. Beliau mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Batu Tanyoh sebagai wadah mengajarkan ilmu-ilmu islam. Pada usia mudanya mengaji kepada Syekh Ibrahim Harun Tiakar, dan secara khusus belajar Tarikat kepada Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus. Selain Samaniyah, beliau juga merupakan Syekh Naqsyabandiyah yang kuat memegang prinsip. salah satu karangannya ialah kitab Izzatul Qulub bima ja’a bihin Naqsyabandiyah. Murid-muridnya banyak, sampai saat ini dimasa kepemimpinan anaknya Buya Zed Dt. Bungkuak. Bahka sebahagian orang-orang yang bersuluk berasal dari Banten.
4. Tarikat Samaniyah dalam Literatur keagamaan di Minangkabau
Sampai saat ini hanya sedikit referensi Tharikat Saman yang kita temui, ataukah banyak diantara naskah-naskah itu yang tak sampai ke tangan kita. Mengenai Manaqib Saman, begitu pula Ratib Saman belum lagi diperoleh keberadaannya di Minangkabau, ada indikasi dulunya Ratib Saman berkembang luas mengingat penuturan oral orang tua-tua dulu ada orang yang berzikir sambil berdiri. Tapi untuk Palembang naskah Manaqib Saman sangat populer. Hingga saat ini beberapa Literatur yang khusus berbicara Samaniyah, yang dapat ditulis di sini yaitu:
1) Kaifiyah Khatamul Qur’an
sebuah kitab anonim kumpulan karangan-karangan ulama Melayu yang tidak diketahui lagi siapa penulisnya. Di dalamnya ditemui ritual ringkas Ratib Saman, selain itu juga ada penjelasan mengenai Tharikat Syathariyah. Kitab ini masih di cetak di Jakarta, oleh al-Haramain.
2) Sairus Salikin fi Tharikatis Saadat as-Sufiyyah
karangan Syekh Abdus Shamad al-Palimbani. Kitab yang sangat populer di Indonesia dalam bidang Tasawwuf, terutama dalam hal Tharikat Samaniyah. Kitab ini terdiri dari dua jilid tebal, dengan 4 juzu’ (bagian); beraksara Arab berbahasa Melayu. Sumber penulisan karya ini mencakup puluhan kitab-kitab populer di kalangan ahli Tasawwuf, terutama karya-karya Syekh Saman seumpama an-Nafahat Ilahiyah. Kitab ini terbit di berbagai wilayah, dari Kairo hingga Indonesia. Dipakai luas, dari Pattani (thailand), Malaysia dan Indonesia.
3) Risalah Tsabitul Qulub
Karangan Syekh Muda Abdul Qadim Belubus Payakumbuh. Risalah ini terdiri dari beberapa jilid kecil, namun sangat padat isi, hampir mencakup selurus masalah-masalah Tharikat, khususnya Saman. Kitab ini masih tersembunyi, belum terpublikasi secara umum, sebab banyak murid-murid Syekh Belubus yang menyimpannya secara rahasia. Sampai saat ini, baru ditemui 3 jilid buku ini. Isinya:
a. Risalah Tsabitul Qulub (jilid I). Secara praktis buku ini ditulis untuk menolak keraguan dalam mengamalkan zikir-zikir dan wirid-wirid dalam Tharikat, sehingga si murid tetap hati, kuat memegang Tharikat, tidak goyah diterpa perkataan-perkataan kaum muda yang membathalkan Tharikat. Kitab ini berisi dalil-dalil yang tersirat untuk mempertahankan amal Tharikat, serta memperkokoh hati murid, supaya tidak terpecah-pecah akibat faham yang bergitu rupanya. Penulisan sumber rujukan dalam kitab ini cukup variatif, menunjukkan kealiman Syekh Muda yang masyhur itu. Diantar sumber-sumber kitab yang menjadi rujukannya ialah Tanwirul Qulub (sangat populer saat ini), Shahifatus Shafa (besar kemungkinan karangan Syekh Sulaiman Zuhdi Jabal Qubis), Manzhirul A’ma, Khazinatul Asrar, ar-Rahmatul Habithah, Hadist Arba’in, Sairus Salikin, al-Minhul Nisbah, Husnul Husain, al-Qusyairi, Lathifatul Asrar, Hidayatus Salikin, Aiqazhul Manam, Hidayatul Hidayah, Mawahib Sarmadiyah, al-Asymuni dan lain-lainnya.
Selain menjadi penguat hati si murid, risalah ini juga memuat kaifiyah Tharikat Saman dan Tharikat Muhammad Yaman (pecahan Saman) beserta wirid-wirid dan zikir-zikirnya. Risalah ini kemudian ditutup dengan sebuah fasal yang cukup panjang berisi tentang “Pengajaran tatakala nyawa akan berpulang ke hadirat Allah”. (cetakan ke-6, pada percetakan as-Sa’adiyah Bukittinggi, t. th)
b. Risalah Tsabitul Qulub (jilid ke II). Kajian dalam kitab ini tak kalah menariknya. Kitab ini baru dijumpai penulis dalam bentuk manuskrip, salinan tangan oleh Marnis Dt. Bangso Dirajo. Di antara isi kitab ini ialah:
• Himpunan akidah lima puluh
• Sebab zikir la ilaha illallahu tidak pakai muhammadur rasulullah
• Masalah Nur Muhammad dan Nur Allah
• Kelebihan manusia dari pada segala alam
• Masalah Najis dan hadast
• Pembahasan Muqarinah Niat
• Tentang martabat Ahadiyah, wahdah dan wahidiyah
• Menyatakan syari’at dan tharikat di dalam sembahyang
• Rabithah dalam sembahyang
• Asal suluk 40 hari, dan lainnya banyak lagi.
c. Risalah Tsabitul Qulub (jilid ke III). Jilid ke-3 ini memuat pengajaran Tharikat yang cukup istimewa, yakni membicarakan perhubungan shalat dengan Tharikat. Di mana di dalamnya ada tertulis:
Maka dari itu nyatalah bagi kita bahwa ilmu Tharikat itu bersuanya di dalam sembahyang. Sepatutnya kita mahir ilmu tharikat itu dengan beberapa martabatnya.
………………
Maka apabila hilang hamba dan hilang kalimat dan tinggal nur, maka nur itulah yang dinamakan dengan zikir Hakikat. Maka apabila hilang hamba hilang kulimah hilanglah pula nur maka pulanglah hak kepada yang mepunyai, dan kembalilah hamba kepada Tuhannya. (Tsabitul Qulub jilid ke-III)
Kemudian kitab ini disambung dengan pembahasan mengenai “nafsu yang tujuh”, dijabarkan dengan kalimat jelas dan ringkas. Kemudian kitab ini disudahi dengan wirid-wirid dalam tharikat Saman.
Asal naskah kopiannya masih ada tersimpan di surau Belubus, yakni cetakan Islamiyah – Medan. Dengan cover yang dipakaikan foto Syekh Muda dan muridnya Syekh Beringin.
4) Pertahanan Tharikat Naqsyabandiyah
Tulisan Syekh Haji Djalaluddin (1950). Buku ini terdiri dari 5 jilid, bertuliskan Arab Melayu. Walau judul besarnya “Naqsyabandiyah”, namun pada sampulnya penulis juga menuliskan untuk Tharikat Samaniyah. Namun buku ini hanya berisi tentang pertahanan Tharikat secara umum saja, tampaknya tidak membahas aspek teoritis Tharikat Saman secara Khusus.
5) Sya’ir Saman (manuskrip).
Naskah berupa manuskrip. Ditemukan dua salinan, satu di Simpang Tonang Pasaman, dan satu lagi di Koto Baru Sungai Pagu. Penulisnya belum diketahui pasti. Walau judul Besarnya Sya’ir Saman, namun isinya merupakan pengajian Tasawwuf yang bersifat filosofis.
6) Kitab Segala Rahasia-rahasia yang halus-halus
Manuskrip ini ditulis oleh Khalifah Rajab Batu Bajarang Solok Selatan. Selain berisi tentang Tarikat Naqsyabandiyah, Syadziliyah dan lainnya, juga berisi tentang amalan-amalan Tarikat Saman. Beliau berguru kepada Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi, setelah menimba ilmu beberapa saat kepada Tuan Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat.
5. Penutup
Sebagai salah satu Tarikat Sufiyah yang berkembang di Minangkabau, begitu juga wilayah-wilayah lain di nusantara, Tarikat Samaniyah telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam kehidupan keberagamaan masyarakatnya. Namun karena sedikitnya referensi yang berbicara langsung mengenai Tarikat mu’tabar yang satu ini, membuat kita merasa kesulitan untuk memperoleh gambaran mengenai perkembangan dan sumbangsihnya, walaupun ada selentingan cacatan-cacatan lama, kebanyakannya masih tersimpan rapi di tangan para pengikutnya. Ada juga di kalangan peneliti luar yang mengungkapkan bahwa bentuk Tarikat Saman di Minangkabau banyak digabungkan dengan Tarikat Naqsyabandiyah, seperti yang terjadi di Belubus, namun bagi orang arif dia tidak akan gegabah beranggapan demikian. Tarikat Saman dan Naqsyabandi bukanlah dua berbeda yang kemudian satu. Tapi keduanya ialah metode mengingat Allah dan mensucikan hati yang pada hakikatnya satu, Cuma soal kaifiyah yang berbeda. Begitulah prasangka orang yang melihat Cuma dari luar belaka.
Untuk saat ini, di beberapa wilayah ada kecendrungan untuk berbai’at Saman di usia yang muda. Padahal dulunya, hanya orang-orang tualah yang mahir bersaman. Kecendrungan ini telah membawa dampak makin betahnya para pemuda di surau, karena mereka merasa senang bertahlil. Namun arah positif ini hanya di sebahagian kecil tempat yang ditemui sekarang, wilayah lainnya malah tidak kenal lagi dengan Samman, apatah lagi dengan banyak wafatnya orang yang tua-tua yang memangku Tarikat Saman itu.
Begitulah keadaannya. Demikianlah sekilas mengenai Tokoh dan Literatur Tarikat Saman di Minangkabau yang telah penulis kumpulkan beberapa tahun lamanya. Dengan cacatan, walaupun kita merasa sulit menemui sumber-sumber yang berbicara langsung tentang Tarikat Saman di Minangkabau, namun kita mesti tahu bahwa Tarikat Samaniyah dengan segala hal ihwalnya telah lama memberikan sumbangsih yang sangat berharga, apakah di zaman perang dulunya sebagai tameng pengusir Kompeni, ataupun dalam pembentukan moral masyarakat banyak. Tokoh-tokoh ulama Saman akan tetap terkenang, akan tetap di ziarahi, dan Tarikat Saman akan selalu berjaya sebagai halnya dulu, di ranah Minang, ranahnya ulama-ulama.
Kepustakaan
Hamka, Tasawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004)
Masduki HS, Intelektualisme Pesantren: (Jakarta: Diva Pustaka, 2004)
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir: Mathba’ah at-Taqdum al-Ilmiyah, 1908)
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992)
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarikat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995)
Min Makkah ila Mishra (manuskrip, koleksi Madrasah al-Manar Batu Hampar Payakumbuh)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara dengan Kepulauan Nusantara: akar Pembaruan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Group, 2004)
Azyumardi Azra, Surau: Lembaga pendidikan Islam tradisional dalam transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003)
Ahmad Purwadaksi, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks (Jakarta: Djambatan, 2004)
‘Arif billah Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Siyarus Salikin fi Thariqat as-Saadat as-Sufiyyah (Jeddah: al-Haramain, t. th)
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988)
Syekh Muda Abdul Qadim Belubus, Risalah Tsabitul Qulub (Bukittinggi: as-Sa’adiyah, 1393 H) juz I
Khalifah Rajab, Kitab Segala Rahasia-rahasia yang halus-halus (Manuskript) Surau Batu Bajarang Solok Selatan
(Anonym), Ini Kaifiyat Khatam al-Qur’an (Jakarta: Syarikah Maktabah al-Madinah, t. th)
Syekh Mudo Abdul Qadim, Tsabitul Qulub, juz II (manuscript salinan Buya Marnis Dt. Bangso Dirajo
Naskah Simpang Tonang Pasaman (manuscript), bandingkan dengan Sya’ir Saman salinan Muhammad Ridhwan Dt. Tan Bijo Sungai Pagu.
H. Jalaluddin, Pertahanan Tarikat Naqsyabandiyah (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1950)
30 TANDA-TANDA HATI KOTOR
BismillahiRahmanirRahim,
1. Gelisah walaupun tiada masalah.
2. Selalu berbangga dengan diri sendiri.
3. Angkuh serta sombong dengan pandang hina terhadap orang lain.
4. Tidak amanah dan mungkir janji.
5. Selalu mengintai keaiban orang dan sebarkannya.
6. Suka mengumpat dan membuka aib orang lain.
7. Gembira melihat orang lain susah dan rendah daripada dirinya.
8. Lidah yang tajam atau tidak menjaga hati orang.
9. Suka menyakiti hati orang dengan sindiran.
10. Berlagak alim semata-mata untuk dipuji orang
11. Menyampaikan ilmu dengan riak.
12. Menganggap diri lebih hebat daripada orang lain.
13. Berpakaian elok untuk dipuji Serta menunjuk-nunjuk.
14. Derhaka kepada kedua-dua ibu bapa.
15. Talam dua muka (manis di depan tapi jahat di belakang)
16. Suka menjatuhkan dan memijak orang dengan kuasa yang ada
17. Solat yang tidak khusyuk.
18. Kagum terhadap diri sendiri. Merasa diri bagus serta cerdik.
19. Selalu mengeluh serta tidak redho dgn suratan takdir.
20. Cinta kepada duniawi dan materialistik.
21. Mudah bersangka buruk terhadap orang.
22. Membesar besarkan hal yang remeh temeh.
23. Suka bergosip dan menabur fitnah.
24. Menggunakan agama dan berdengki atas perkara duniawi.
25. Cinta dunia melebihi cintanya pada akhirat. Membesarkan dunia serta berangan-angan untuk dunia.
26. Pendendam.
27. Penting diri dalam semua hal.
28. Berpura-pura dan suka membodek.
29. Tamak haloba serta bakhil serta sangat berkira dengan orang lain.
30. Nafsu serta kehendak syahwat yang tidak terbendung.
*Kesemua sifat diatas adalah sifat Mazmumah (terkeji). Mari bermuhasabah diri samada hati masih terhijab kepada Allah dengan sifat-sifat buruk diatas atau tidak, jika masih maka hendaklah membersihkannya dengan mengenal Allah, banyak mengingati Allah, berdamping dengan guru pembimbing dan sentiasa bersangka baik kepada Allah dan makhlukNya.
1. Gelisah walaupun tiada masalah.
2. Selalu berbangga dengan diri sendiri.
3. Angkuh serta sombong dengan pandang hina terhadap orang lain.
4. Tidak amanah dan mungkir janji.
5. Selalu mengintai keaiban orang dan sebarkannya.
6. Suka mengumpat dan membuka aib orang lain.
7. Gembira melihat orang lain susah dan rendah daripada dirinya.
8. Lidah yang tajam atau tidak menjaga hati orang.
9. Suka menyakiti hati orang dengan sindiran.
10. Berlagak alim semata-mata untuk dipuji orang
11. Menyampaikan ilmu dengan riak.
12. Menganggap diri lebih hebat daripada orang lain.
13. Berpakaian elok untuk dipuji Serta menunjuk-nunjuk.
14. Derhaka kepada kedua-dua ibu bapa.
15. Talam dua muka (manis di depan tapi jahat di belakang)
16. Suka menjatuhkan dan memijak orang dengan kuasa yang ada
17. Solat yang tidak khusyuk.
18. Kagum terhadap diri sendiri. Merasa diri bagus serta cerdik.
19. Selalu mengeluh serta tidak redho dgn suratan takdir.
20. Cinta kepada duniawi dan materialistik.
21. Mudah bersangka buruk terhadap orang.
22. Membesar besarkan hal yang remeh temeh.
23. Suka bergosip dan menabur fitnah.
24. Menggunakan agama dan berdengki atas perkara duniawi.
25. Cinta dunia melebihi cintanya pada akhirat. Membesarkan dunia serta berangan-angan untuk dunia.
26. Pendendam.
27. Penting diri dalam semua hal.
28. Berpura-pura dan suka membodek.
29. Tamak haloba serta bakhil serta sangat berkira dengan orang lain.
30. Nafsu serta kehendak syahwat yang tidak terbendung.
*Kesemua sifat diatas adalah sifat Mazmumah (terkeji). Mari bermuhasabah diri samada hati masih terhijab kepada Allah dengan sifat-sifat buruk diatas atau tidak, jika masih maka hendaklah membersihkannya dengan mengenal Allah, banyak mengingati Allah, berdamping dengan guru pembimbing dan sentiasa bersangka baik kepada Allah dan makhlukNya.
Langganan:
Postingan (Atom)