Oleh : Saifuddin, M.A
Dalam
Ilmu Tasawuf Syari’at meruapakan peraturan, Tarekat meruapakan jalan, Hakikat
merupakan keadaan dan Makrifat itu adalah tujuan akhir. Jadi sunnah harus
dilakukan dengan Tarekat, jikalau tidak dilihat pekerjaan dan cara
melakukannya, yang melihat itu adalah sahabat-sahabatnya, yang menceritakan
kepada tabi’in, lalu kepada tabi-tabi’in dan selanjutnya sebagaimana yang
dituliskan dalam Hadis, Atsar, dan dalam kitab-kitab ulama.
Jadi, bukan berarti Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ilmu Fiqh itu tidak sempurna, tetapi masih perlu penjelasan lebih
lanjut dan bimbingan yang lebih teratur, agar pelaksanaan peraturan Allah dan
Nabi itu dapat dilakukan semestinya, tidak menurut penangkapan otak orang yang
hanya membaca dan melakukan sesuka-sukanya.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin
Syari’at hanyalah ilmu yang mempelajari tentang ucapan dan perbuatan. Batas
Ilmu Syari’at sampai yang dapat dilihat dan didengar. Sedangkan Hakikat
merupakan pelajaran yang di dalam hati. Ilmu Hakikat berhubungan dengan yang
ghaib. Adapun tujuan Ilmu Hakikat dipelajari adalah untuk mengenal Allah. Jadi
Syari’at adalah pekerjaan zahir
sedangkan Hakikat adalah pekerjaan batin.
Demikian halnya dengan amal manusia,
juga terdiri dari amal zahir dan amal batin. Amal zahir berhubungan dengan
ucapan (qauli) dan perbuatan (fikli), sedangkan amal batin
berhubungan dengan hati (qalb). Amal zahir adalah amal yang berwaktu dan
hanya dapat dilaksanakan apabila kita memiliki kemampuan. Sebagai contoh adalah
ibadah puasa, zakat, dan haji hanya dapat dilakukan apabila telah tiba waktunya
dan mampu melaksanakannya. Sedangkan amal batin adalah amal yang tidak berwaktu
karena pekerjaan mengingat Allah dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan di
mana saja. Adapun mengingat Allah merupakan amal yang paling besar pahalanya di
sisi Allah sebagaimana firman Allah :
وَلَذِكْرُاللهِ
اَكْبَرِ
Artinya
: “Sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar faedahnya”. (Q.S. 29
al-Ankabut: 45).
Bahkan di dalam sebuah Hadis disebutkan :
تَفَكَّرُ
سَاعَةِ خَيْرُ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةِ
“Tafakkur (mengingat
Allah) satu detik lebih baik daripada beribadah setahun hati yang tidak
mengingat Allah”.
Demikianlah
keutamaan amal Hakikat bila dibandingkan dengan amal Syari’at. Bahkan Hadis di
atas menjelaskan bahwa mengingat Allah satu detik saja lebih baik dari pada
beramal ibadah selama setahun tetapi hatinya tidak mengingat Allah.
Sesungguhnya Allah tidak memberikan penilaian apa-apa terhadap amal ibadah yang
dilakukan tanpa mengingat-Nya dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata sebagaimana firman Allah :
فَوَيْلٌ
لِلْقَسْيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ, أُوْلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنِ.
Artinya : “Maka celakalah bagi orang yang
hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”.
(Q.S. 39 az-Zumar: 22).
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang
berada dalam kesesatan yang nyata adalah dikarenakan mereka hanya pandai
mengatakan tetapi tidak pandai memperbuatnya. Sebagai contoh kita selalu
membaca do’a iftitah :
إِنِّى
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ...
Lisan berkata: Kuhadapkan wajahku
kepada Allah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.
Akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, sebab ia tidak tahu
wajah mana yang harus dihadapkannya kepada Allah. Kalau wajah yang zahir
dihadapkan kepada Allah berarti Allah itu mempunyai tempat dan tidak mungkin
Allah melihat wajah manusia sebab Allah itu Maha Suci. Itulah sebabnya orang
yang tidak berilmu akan terlihat olehnya macam-macam bahkan ia berkeliling
dunia di dalam sholatnya. Mengenai hal ini para Sufi berkata bahwa segala
sesuatu yang dilihat olehnya di dalam sholatnya, maka itulah yang menjadi
Tuhannya. Jika di dalam sholat ia teringat dengan anak istrinya, maka anak dan
istrinya menjadi Tuhan baginya di dalam sholatnya. Itulah sebabnya Allah tidak
menerima sholat orang yang tidak mempunyai ilmu, karena orang yang sholat itu
mensyarikatkan Tuhannya.
Keadaan seperti ini pernah dialami
oleh Imam al-Ghazali seorang professor Ahli Filsafat, Fuqaha, Maha Guru, dan
Dosen pada Universitas Nizamul Muluk pada masa Daulah Bani Abbasiyah berkuasa
di Baghdad. Pada suatu hari beliau sedang jadi imam dalam sholat berjamaah
bersama-sama murid beliau lebih kurang 300 banyaknya berdatangan dari seluruh
penjuru dunia Islam yang mana adik kandungnya yang bernama Ahmad al-Ghazali
ikut pula di dalamnya. Tiba-tiba saja di tengah sembahyang tadi adiknya
muparakah (memisahkan diri) sendirian tidak mengikuti abangnya lagi, sebab
sudah nampak dalam kasyafnya bahwa abangnya tidak lagi sah sembahyangnya,
karena tidak ingat akan Allah dan hanya ingat akan darah haid yang menjadi
masalah pengajiannya yang dibahas sebelum sembahyang tadi.
Alangkah malunya Imam al-Ghazali
bahwa sembahyangnya dibatalkan oleh adiknya yang tidak sampai kemana
pengajiannya dan tidak pula popular nama gurunya. Inilah yang menjadi penyebab
utama Imam al-Ghazali meninggalkan kemewahan hidup duniawi yang menyelimutinya
selama ini di tengah-tengah kota Baghdad menuju masjid Baitul Maqdis di
Palestina setelah belajar Tasawuf kepada Syekh Imam Zahid Abu Ali al-Farmazi
dan berkhalwat di sana lebih kuarang sebelas tahun di puncak menara. Di sanalah
beliau tersungkur sujud ke hadirat Allah karena nampak diri beliau berlumur
najis takbur semata-mata oleh karena banyaknya ilmu yang tak bersari tadi, dan
dari sanalah juga beliau meneropong dengan kasyafnya ke seluruh dunia Islam
melihat akan apa yang ada dalam hati para ulama-ulama itu.
Dengan izin Allah Taala nampaklah
isi hati ulama-ulama itu bermacam-macam. Ada yang ingin jadi Qadhil Qudha yaitu
hakim tertinggi dalam Daulah Bani Abbasiyah dan ada pula yang ingin
berebut-rebut jadi Qadhi biasa (Qadhi Daerah) dan tidak jarang pula yang suka
bertengkar dan berhujjah yang masing-masing dengan dalilnya dan keterangan yang
lengkap pada berbagai macam masalah yang menunjukkan di hadapan umum bahwa
dialah yang paling alim dan layak mengepalai madrasah-madrasah tertinggi dalam
dunia Islam (rektor universitas).
Berdasarkan kasyaf inilah
lahirnya di puncak menara itu kitab Ihya Ulumuddin bagi Imam al-Ghazali
yang isinya mengikis habis sifat-sifat mazmumah yang berpangkalan dalam hati
sanubari manusia itu. Kemudian berikutnya lahir pula kitab Bidayatul Hidayah
Minhajul Abidin, Kimia as-Sa’adah, dan kitab-kitab lainnya.
Mengenai hal ini para Sufi berkata
bahwa segala sesuatu yang dilihat olehnya di dalam sholatnya, maka itulah yang
menjadi Tuhannya. Jika di dalam sholat ia teringat dengan anak istrinya, maka
anak dan istrinya menjadi Tuhan baginya di dalam sholatnya. Itulah sebabnya
Allah tidak menerima sholat orang yang tidak mempunyai ilmu, karena orang yang
sholat itu mensyarikatkan Tuhannya. Oleh karena itu Allah melarang kita beramal
ibadah kalau kita tidak mempunyai ilmu sebagaimana firman Allah :
وَلاَتَقْفُ
مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً.
Artinya : “Dan janganlah
kamu melakukan sesuatu apabila kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati sesungguhnya akan
dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. 17 al-Isra’: 36).
Itulah sebabnya Allah melarang orang yang shalat yang
tidak berilmu karena tidak tahu bagaimana menggunakan pandangan, pendengaran,
dan hati mereka di dalam sholatnya. Sesungguhnya orang yang tidak dapat
menggunakan pandangan, pendengaran, dan hati mereka di dalam sholat pada
hakikatnya mereka adalah orang-orang yang mabuk di dalam sholatnya. Oleh sebab
itu Allah melarang mereka menghampiri sholat sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُواْ لاَتَقْرَبُواْ الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَرَى
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk”. (Q.S. 4 an-Nisa: 43).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan kepada hamba-hambanya agar terlebih dahulu mensucikan lahir dan
batinnya sebelum melaksanakan sholat. Makna suci batin adalah dapat menggunakan
pandangan, pendengaran, dan hatinya untuk mengingat Allah di dalam sholatnya.
Apabila orang itu belum dapat mensucikan batinnya, maka Allah melarang
hamba-hamba-Nya untuk menghampiri sholat, apalagi melaksanaknnya, bahkan Allah
mengancam orang-orang yang sholat sebagaimana firman Allah :
فَوَيْلٌ
لِّلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ.
Artinya : “Maka celakalah
orang-orang yang sholat, mereka itu lalai di dalam sholatnya”. (Q.S. 107
al-Ma’un: 4-5).
Adapun makna lalai di sini adalah pandangan, pikiran,
pendengaran, dan hatinya tidak dapat digunakan untuk mengingat Allah. Itulah
sebabnya Allah menyediakan neraka Jahannam bagi orang-orang yang sholat. Bahkan
Allah menyebut mereka lebih sesat dari pada binatang karena mempunyai akal
tetapi tidak dapat diperguakan untuk mengenal Allah, sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَّ
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَذَانٌ
لاَيَسْمَعُوْنَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُلَئِكَ هُمُ
الْغَفِلُونَ.
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan isi
neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakan dan mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan, dan mempunyai
telinga tetapi tidak dipergunakan. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat dari pada binatang, mereka itu orang-orang yang lalai”. (Q.S.
7 al-A’raf: 179).
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa mengamalkan Syari’at tanpa Hakikat adalah
sia-sia belaka. Mengingat begitu pentingnya pemaduan antara Syari’at dan
Hakikat ini maka Imam Mazhab yang empat: Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi
tentang pentingnya pemaduan antara Syari’at dan Hakikat, meskipun mereka
berbeda pendapat dalam masalah fiqh.
وَمَنْ
تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ تَفَصَّخْ وَمَنْ يَتَصَوَّفُ وَلَمْ يَتَفَقَّ
تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَهَا بَيْنَهُمَا فَقَدْ فَحَقَّقَ
“Barangsiapa
bersyari’at tanpa bertasawuf tidak sah dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa
bersyari’at adalah zindiq dan barangsiapa yang menyatukan keduanya maka itulah
(Islam) yang sebenarnya.”
Ijma’ Imam Mazhab yang empat tersebut idasarkan
pada Hadis Nabi SAW:
الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ
بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ وَمَنْ فَرَقَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ عَلَى الْكَافِرِيْنَ
Artinya: “Bersyariat tanpa
berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak
sah) dan barangsiapa yang memisahkan keduanyan maka ia adalah kafir”.
Jadi sesungguhnya hanya orang-orang yang mengamalkan
Syari’at dan Hakikatlah yang merupakan Islam yang sebenar-benarnya dan
merekalah yang disebut oleh Nabi sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah. Untuk
lebih jelasnya mengenai pengertian Ahlu Sunnah Waljamaah, berikut akan penulis
kutipkan pendapat Syekh Ahmad Arifin mengenai hal ini.
Menurutnya secara etimologi kata ahli bermakna
pintar atau pandai. Sunnah bermakna perintah, dan jamaah bermakna
menggabungkan. Adapun makna kata menggabungkan di sini menurutnya adalah
memadukan antara Syari’at dan Hakikat. Jadi menurutnya yang dimaksud dengan
Ahlu Sunnah Waljamaah adalah golongan yang ahli atau pandai menggabungkan
perintah Syari’at dan Hakikat. Namun menurut Syekh Muda Ahmad Arifin kebanyakan
umat Islam saat ini keliru dalam memahami makna Ahlu Sunnah Waljamaah. Menurut
mereka yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah Waljamaah adalah berpegang teguh atau
kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga masing-masing golongan umat Islam
mengklaim diri mereka sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah, sehingga
terkadang sebahagian umat Islam yang awam menjadi bingung, golongan mana yang
harus mereka ikuti, karena semua golongan mengatakan bahwa golongan merekalah
yang paling benar.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, yang menjadi penyebab
perpecahan umat Islam saat ini adalah karena kebanyakan umat Islam, apabila
mereka menjumpai berbagai persoalan yang mereka hadapi, maka mereka kembalikan
kepada Al-Qur’an dan Sunnah padahal Allah berfirman :
فَإِنْ
تَنَزَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ
Artinya
: “Apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul, jika kamu memang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian.” (Q.S. 4 an-Nisa: 59).
Oleh karena umat Islam saat ini
kebanyakan tidak dapat mengenal Allah, maka bila mereka menghadapi segala
sesuatu persoalan maka dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang mereka pahami
berdasarkan penangkapan otak mereka belaka. Sehingga tidak heran bila di
kalangan umat Islam banyak timbul berbagai macam paham, aliran dan golongan,
seperti: Islam Sunni, Islam Syi’ah, Islam Ahmadiyah, Islam Darul Arqam, Islam
Muhammadiyah, Islam Kaum Tua, Islam Kaum Muda, dan sebagainya. Masing-masing
golongan tersebut berpendapat bahwa hanya golongan merekalah yang paling benar
dan masing-masing mereka mengklaim diri mereka sebagai golongan Ahlu Sunnah
Waljamaah.
Namun dari berbagai golongan itu Syekh
Muda Ahmad Arifin berpendapat bahwa secara umum umat Islam di muka bumi ini
dapat dikelompokkan kepada empat golongan:
- Golongan pertama adalah Islam di sisi masyarakat, kafir di sisi Allah. Yang dimaksud adalah bersyari’at tetapi tidak berhakikat. Mereka adalah Ahli Ibadah yang ketat mengamalkan Syari’at Nabi, namun Allah tidak memberikan penilaian apa-apa atas amal ibadah yang telah mereka lakukan. Hal ini disebabkan mereka tidak mengenal yang mereka sembah. Mereka sesungguhnya segolongan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.
- Golongan yang kedua adalah Islam di sisi Allah, kafir di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah berhakikat namun tidak bersyari’at. Mereka adalah orang-orang yang mengambil Hakikat dan mengabaikan Syari’at, seperti sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang zindiq yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah.
- Golongan yang ketiga adalah kafir di sisi Allah dan kafir di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah tidak bersyari’at dan tidak berhakikat. Mereka adalah orang-orang yang disebut sebagai Islam KTP. Mereka sesunggunya adalah orang-orang yang fasiq.
- Golongan yang keempat adalah Islam di sisi Allah dan Islam di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah bersyari’at dan berhakikat. Mereka adalah Ahli Hakikat yang beribadah secara zahir dan batin dan merekalah yang disebut oleh Nabi SAW sebagai Ahlus Sunnah Waljamaah yaitu golongan yang memadukan antara Syari’at dan Hakikat.