Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil Abu Bakr
tidak banyak membantu untuk mengenai pribadinya dalam situasi kehidupan
saat itu. Cerita sekitar masa anak-anak dan remajanya tidak juga
memuaskan. Apa yang diceritakan tentang kedua orangtuanya tidak lebih
daripada sekedar menyebut nama saja. Setelah Abu Bakr menjadi tokoh
sebagai Muslim yang penting, baru nama ayahnya disebut-sebut. Ada
pengaruh Abu Bakr dalam kehidupan ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam
kehidupan Abu Bakr tidak ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan
sejarawan waktu itu justru yang menyangkut kabilahnya serta
kedudukannya di tengah-tengah masyarakat Kuraisy. Tak bedanya mereka
itu dalam hal ini dengan sejarah Arab umumnya. Dengan melihat
pertaliannya kepada salah satu kabilah,1 (
1 Kabilah atau suku
merupakan susunan masyarakat Arab yang berasal dari satu moyang,
lebih kecil dari sya'b dan lebih besar dari 'imarah, kemudian
berturut-turut batn, 'imarah dan fakhz. — Pnj.) sudah cukup
untuk mengetahui watak dan akhlak mereka. Adakalanya yang demikian ini
baik, dan kadang juga mereka yang percaya pada prinsip keturunan itu
berguna untuk menentukan kecenderungan mereka, kendati yang lain
menganggap penilaian demikian sudah berlebihan, dan ini yang membuat
mereka tidak cermat dalarn meneliti.
Kabilahnya dan kepemimpinannya
Abu Bakr dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka'b. Nasabnya bertemu
dengan Nabi pada Adnan. Setiap kabilah yang tinggal di Mekah punya
keistimewaan tersendiri, yakni ada tidaknya hubungannya dengan
sesuatu jabatan di Ka'bah. Untuk Banu Abd Manaf tugasnya siqayah dan
rifadah, untuk Banu Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah, yang sudah
berjalan sejak sebelum Hasyim kakek Nabi lahir. Sedang pimpinan tentara
di pegang oleh Banu Makhzum, nenek moyang Khalid bin Walid, dan Banu
Taim bin Murrah menyusun masalah diat (tebusan darah) dan segala macam
ganti rugi. Pada zaman jahiliah masalah penebusan darah ini di tangan
Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang
pimpinan kabilahnya. Oleh karena itu bila ia harus menanggung sesuatu
tebusan dan ia meminta bantuan Kuraisy, mereka pun percaya dan mau
memberikan tebusan itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya orang lain
yang memintanya.
Banyak buku yang ditulis orang kemudian menceritakan adanya pujian
ketika menyinggung Banu Taim ini serta kedudukannya di tengahtengah
kabilah-kabilah Arab. Diceritakan bahwa ketika Munzir bin
Ma'as-Sama' menuntut Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia mendapat
perlindungan Mu'alla at-Taimi (dari Banu Taim), sehingga dalam hal ini
penyair Imru'ul-Qais berkata:
Imru'ul-Qais bin Hujr
Telah didudukkan oleh Banu Taim, "Masabihuz-Zalami"
Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami" (pelita-pelita di waktu gelap).
Tetapi sumber-sumber yang beraneka ragam yang melukiskan
sifatsifat Banu Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan
untuk kabilah-kabilah lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa
dibedakan dan dapat digunakan oleh penulis sejarah atau menunjukkan
suatu sifat tertentu kepada kabilah mana ia dapat digolongkan.
Sumber-sumber itu melukiskan Banu Taim dengan sifat-sifat terpuji:
pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong dan melindungi tetangga
dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah Arab yang
hidup dalam iklim jazirah Arab.
Nama dan julukannya
Para penulis biografi Abu Bakr itu tidak terbatas hanya pada
kabilahnya saja seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi mereka
memulai juga dengan menyebut namanya dan nama kedua orangtuanya. Lalu
melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan masa remaja, sampai pada
apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa namanya Abdullah bin Abi
Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama sebenarnya Usman bin Amir, dan
ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma bint Sakhr bin Amir.
Disebutkan juga, bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul Ka'bah. Setelah
masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang
mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq, karena dari pihak ibunya
tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia
melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka'bah dan akan
disedekahkan kepada Ka'bah. Sesudah Abu Bakr hidup dan menjadi
besar, ia diberi nama Atiq, seolah ia telah dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan
namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih.
Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika Aisyah putrinya
ditanyai: mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq ia menjawab: Rasulullah
memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang dibebaskan Allah dari
neraka; atau karena suatu hari Abu Bakr datang bersama
sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang siapa ingin melihat
orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini. Mengenai gelar Abu
Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu tidak
menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang
menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini (
Bakr berarti dini (A). — Pnj.)dalam Islam dibanding dengan yang lain.
Masa mudanya
Semasa kecil Abu Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah.
Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang
pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin
dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan
Asma'. Asma' inilah yang kemudian dijuluki Zatun-Nitaqain. Sesudah
dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman bint Amir bin
Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abdur-Rahman dan Aisyah.
Kemudian di Medinah ia kawin dengan Habibah bint Kharijah, setelah itu
dengan Asma' bint Umais yang melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha
dagangnya berkembang pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba
yang cukup besar.
Perawakan dan perangainya
Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh
pribadi dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang
bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai
dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas —
begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai
perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah
ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu
tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak
kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya.
Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah minum minuman keras, di zaman
jahiliah atau Islam, meskipun penduduk Mekah umumnya sudah begitu
hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi —
ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul.
Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya,
disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Kuraisy yang paling
dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik
dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup
terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering
datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya
atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."
Kecintaannya pada Mekah dan hubungannya dengan Muhammad
Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint
Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa
perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam1 dan
ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung itu, itulah yang
membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Muhammad
kawin dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Hanya dua tahun
beberapa bulan saja Abu Bakr lebih muda dari Muhammad. Besar sekali
kemungkinannya, usia yang tidak berjauhan itu, persamaan bidang usaha
serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya
pada kebiasaan-kebiasaan Kuraisy — dalam kepercayaan dan adat —
mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan
Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai
berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul.
Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah
begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula
yang membuat Abu Bakr cepat-cepat menerima Islam.
Ada pula yang
lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa
keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya
kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali
karena kecenderungan Muhammad yang suka menyendiri dan selama
bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang banyak. Setelah
Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakr dan
kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut
ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu
terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian
keimanan Abu Bakr makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan
risalahnya pun bertambah kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang
kuketahui kedua orangtuaku sudah memeluk agama ini, dan setiap kali
lewat di depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami,
pagi atau sore."
Menerima dakwah tanpa ragu dan sebabnya
Sejak hari pertama Abu Bakr sudah bersama-sama dengan Muhammad
melakukan dakwah demi agama Allah. Keakraban masyarakatnya dengan
dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan pembicaraannya, besar
pengaruhnya terhadap Muslimin yang mula-mula itu dalam masuk Islam
itu. Yang mengikuti jejak Abu Bakr menerima Islam ialah Usman bin
Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi
Waqqas dan Zubair bin Awwam. Sesudah mereka yang kemudian menyusul
masuk Islam — atas ajakan Abu Bakr — ialah Abu Ubaidah bin larrah
dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.
Adakalanya
orang akan merasa heran betapa Abu Bakr. tidak merasa ragu
menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya
itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu kemudiaYi Rasulullah
berkata:
"Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak
tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr
bin Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika
kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala
Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu
menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad
menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya,
ia mempercayainya tanpa ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau
berkurang, bila kita ketahui bahwa Abu Bakr adalah salah seorang
pemikir Mekah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan
dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar Muhammad — kejujurannya,
kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya. Semua itu tidak memberi
peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan
kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang
diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai
dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia
sudah mempercayainya dan menerima semua itu.
Keberaniannya menerima Islam dan menyiarkannya
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah
penghargaan kita atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam situasi
ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat berhati-hati.
Keberanian Abu Bakr ini patut sekali kita hargai, mengingat dia
pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan perhitungan guna
menjaga hubungan baik dengan orang lain serta menghindari konfrontasi
dengan mereka, yang akibatnya berarti menentang pandangan dan
kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan kelak akan berpengaruh buruk
terhadap hubungan dengan para relasi itu.
Berapa banyak orang
yang memang tidak percaya pada pandangan itu dan dianggapnya suatu
kepalsuan, suatu cakap kosong yang tak mengandung arti apa-apa, lalu
dengan sembunyi-sembunyi atau berpura-pura berlaku sebaliknya hanya
untuk mencari selamat, mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga
hubungan dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai
bukan di kalangan awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan
terpelajarnya juga. Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang
menamakan diri pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran.
Kedudukan Abu Bakr yang sejak semula sudah dikatakan oleh Rasulullah
itu, patut sekali ia mendapat penghargaan, patut dikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan dakwah Islam itulah yang patut dikagumi.
Barangkali ada juga orang yang berpandangan semacam dia, merasa sudah
cukup puas dengan mempercayainya secara diam-diam dan tak perlu
berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan
lancar. Dan barangkali Muhammad pun merasa cukup puas dengan sikap
demikian itu dan sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan
terang-terangan keislamannya itu, lalu mengajak orang kepada ajaran
Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum
Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran
agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang; kecuali
mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada
tingkat membela kebenaran demi kebenaran. Orang demikian ini sudah
berada di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. Kita lihat,
dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran
dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka. Demikianlah
keadaan Abu Bakr dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia
memeluk Islam, hingga Rasulullah berpulang ke sisi Allah dan Abu Bakr
pun kemudian kembali ke sisi-Nya.
Abu Bakr orang pertama yang memperkuat agama
Teringat saya tatkala Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin
Khattab masuk Islam, betapa besar pengaruh mereka itu dalam memperkuat
Islam, dan bagaimana pula Allah memperkuat Islam dengan kedua mereka
itu. Keduanya terkenal garang dan berpendirian teguh, kuat, ditakuti
oleh lawan. Juga saya ingat, betapa Abu Bakr ketika ia masuk Islam.
Tidak ragu kalau saya mengatakan, bahwa dialah orang pertama yang
ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya. Orang yang begitu damai
jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan perkasa. Matanya mudah
berlinang begitu melihat kesedihan menimpa orang lain. Ternyata orang
ini menyimpan iman yang begitu kuat terhadap agama baru ini, terhadap
Rasul utusan Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan.
Adakah
suatu kekuatan di dunia ini yang dapat melebihi kekuatan iman! Adakah
suatu kemampuan seperti kemampuan iman dalam hidup ini! Orang yang
mengira, bahwa kekuatan despotisma dan kekuasaan punya pengaruh besar
di dunia ini, ia sudah terjerumus ke dalam jurang kesalahan. Jiwa
yang begitu damai, begitu yakin dengan keimanannya akan kebenaran, yang
mengajak orang berdakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang
baik, dengan cara yang lemah lembut, yang bersumber dari akhlak yang
mulia dan perangai yang lembut, bergaul dengan orang-orang lemah,
orang-orang papa dan kaum duafa, yang dalam penderitaannya sebagai
salah satu sarana dakwahnya — jiwa inilah yang sepantasnya mencapai
sasaran sebagaimana dikehendaki, karena ia mudah diacu dan keluar
sesuai dengan pola yang ada padanya.
Itulah jejak Abu Bakr r.a.
pada tahun-tahun pertama dakwah Islam, dan terus berjalan sampai
pada waktu ia memangku jabatan selaku Khalifah, dan berlangsung terus
sampai akhir hayatnya.
Melindungi golongan lemah dengan hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan
kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa
dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuhmusuh
dakwah, tidak hanya dengan kedamaian jiwanya, dengan sifatnya yang
lemah lembut, tetapi ia menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya
hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orangorang tak punya,
yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu
dianiaya oleh musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa
ketika ia masuk Islam, hartanya tak kurang dari empat puluh ribu
dirham yang disimpannya dari hasil perdagangan. Dan selama dalam Islam
ia terus berdagang dan mendapat laba yang cukup besar. Tetapi setelah
hijrah ke Medinah sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal
lima ribu dirham. Sedang semua harta yang ada padanya dan yang
disimpannya, kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang
ke jalan Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu
digunakan untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk
Islam, yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain
hanya karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat
Bilal yang negro itu oleh tuannya dicampakkan ke ladang yang sedang
membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu
dibiarkannya agar ia mati dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam
keadaan semacam itu tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata:
Ahad, Ahad. Ketika itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian
dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan
ditugaskan menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu
yang disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu
dibebaskan.
Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama
halnya dengan Muhammad sendiri yang juga tidak lepas dari gangguan itu
dengan kedudukannya yang sudah demikian rupa di kalangan kaumnya
serta perlindungan Banu Hasyim kepadanya. Setiap Abu Bakr melihat
Muhammad diganggu oleh Kuraisy ia selalu siap membelanya dan
mempertaruhkan nyawanya untuk melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan,
bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap
Rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka dicela. Suatu
hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama lain mereka berkata:
"Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari kalian dan apa yang
kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu apa yang tak
kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam
keadaan serupa itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi
wasallam. Sekaligus ia diserbu bersama-sama oleh mereka dan
mengepungnya seraya berkata: Engkau yang berkata begini dan begini?
Maksudnya yang mencela berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku
yang mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik
bajunya. Abu Bakr sambil menangis menghalanginya seraya katanya:
Kamu mau membunuh orang yang mengatakan hanya Allah Tuhanku! Mereka
kemudian bubar. Itulah yang kita lihat perbuatan Kuraisy yang luar
biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan
dengan peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan
keteguhan iman Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit
pun tak pernah goyah. Dan iman itu jugalah yang membuat tidak
sedikit kalangan Orientalis tidak jadi melemparkan tuduhan kepada
Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka
berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang
demikian rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi, kalau
ia tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh dari
segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah sedang menjadi
sasaran penindasan masyarakatnya. Iman yang mengisi jiwa Abu Bakr ini
jugalah yang telah mempertahankan Islam, sementara yang lain banyak
yang meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka
mengenai peristiwa Isra.
Sikapnya mengenai kisah Isra
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah
memperjalankannya malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaksa dan
bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh orang-orang musyrik kisah itu
diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam pun merasa ragu. Tidak
sedikit orang yang berkata ketika itu: Soalnya sudah jelas.
Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu
sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja
Muhammad pergi pulang ke Mekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah
Islam kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih
merasa sangsi. Mereka pergi menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui
keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad. Mereka menceritakan
apa yang telah dikatakannya kepada mereka itu mengenai Isra. Terkejut
mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi, "tentu
ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada
berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang,
aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakr
lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan
keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr sudah pernah mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata: "Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "as-Siddlq". (
Siddiq,
orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan
perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam al-Wasit);
orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris
(Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj.)
Pernahkah suatu kali orang
bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain
mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa
pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini,
akibat kesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak
jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati
kaum Muslimin yang lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu
Bakr ini memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika
itu ia telah memperkuat kedudukan Islam?
Kalau dalam hati orang
sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat,
niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang
sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini,
lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus.
Kata-kata Abu Bakr itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi
demi agama yang benar ini. Katakata itulah sebenarnya yang merupakan
pertolongan dan dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan
oleh kekuatan Hamzah dan Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan
apabila di dalam seja-
rah Islam Abu Bakr mempunyai tempat
tersendiri sehingga Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba
Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu
Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam
iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita."
Kata-kata
Abu Bakr mengenai Isra itu menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang
wahyu dan risalah, yang tidak dapat ditangkap oleh kebanyakan orang.
Di sinilah pula Allah telah memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala
Rasulullah memilih seorang teman dekatnya saat ia dipilih oleh Allah
menjadi Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia.
Itulah pula bukti yang kuat, bahwa kata yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya tertanam kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia Allah. Ia tak
akan dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.
Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup berpengalaman
akan seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap menjalankan usaha
dagangnya. Sebagian besar waktunya ia gunakan menemani Rasulullah dan
untuk menjaga orang-orang lemah yang sudah masuk Islam, melindungi
mereka dari gangguan Kuraisy di samping mengajak mereka yang mulai
tergugah hatinya kepada Islam.
Sementara Kuraisy begitu keras
mengganggu Nabi dan Abu Bakr serta kaum Muslimin yang lain, belum
terlintas dalam pikiran Abu Bakr akan hijrah ke Abisinia bersama-sama
kaum Muslimin yang lain yang mau tetap bertahan dengan agama mereka.(
Ada
juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr bermaksud pergi
bersama-sama mereka yang hijrah ke Abisinia; tetapi ia bertemu dengan
Rabiah bin ad-Dugunnah yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut
hijrah. Engkau penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan
peristiwa Isra, membantu orang tak punya dan engkau yang mengatur
pasang surutnya keadaan." Ia lalu diberi perlindungan keamanan oleh
Kuraisy. Abu Bakr tetap tinggal di Mekah dan di serambi rumahnya ia
membangun sebuah mesjid. Di tempat itu ia sembahyang dan membaca
Qur'an. Sekarang Kuraisy merasa khawatir, perempuan-perempuan dan
pemuda-pemuda mereka akan tergoda. Mereka mengadu kepada Ibn
ad-Dugunnah. Abu Bakr mengembalikan jaminan perlindungan itu dan ia
tetap tinggal di Mekah menghadapi segala gangguan.) Malah ia
tetap tinggal di Mekah bersama Muhammad, berjuang mati-matian demi
dakwah di jalan Allah sambil belajar tentang segala yang diwahyukan
Allah kepada Nabi untuk disiarkan kepada umat manusia. Dan dengan
segala senang hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta
pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah masuk Islam
dan demi mereka yang diharapkan mendapat petunjuk Allah bagi yang
belum masuk Islam.
Kaum Muslimin di Mekah ketika itu memang
sangat memerlukan perjuangan serupa itu, memerlukan sekali perhatian
Abu Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima wahyu dari Allah dan
ia sudah tidak lagi mengharapkan penduduk Mekah akan menyambut
ajakannya itu. Maka ia mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah. Ia
menawarkan diri dan mengajak mereka kepada agama Allah. Ia telah
pergi ke Ta'if, meminta pengertian penduduk kota itu. Tetapi ia ditolak
dengan cara yang tidak wajar. Dalam hubungannya dengan Tuhan selalu
ia memikirkan risalahnya itu dan untuk berdakwah ke arah itu serta
caracaranya untuk menyukseskan dakwahnya itu.
Dalam pada itu
Kuraisy juga tak pernah tinggal diam dan tak pernah berhenti
mengadakan perlawanan. Di samping semua itu, Abu Bakr juga selalu
memikirkan nasib kaum Muslimin yang tinggal di Mekah, mengatur segala
cara untuk ketenteraman dan keamanan hidup mereka.
Usaha mencegah gangguan Kuraisy
Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakr
tidak menyebutkan usahanya, apa yang disebutkan itu sudah memadai
juga. Tetapi sungguhpun begitu dalam hati saya terbayang jelas segala
perhatiannya itu, serta hubungannya yang terus-menerus dengan Hamzah,
dengan Umar, dengan Usman serta dengan pemukapemuka Muslimin yang
lain untuk melindungi golongan lemah yang sudah masuk Islam dari
gangguan Kuraisy. Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan
kalangan luar Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada
kepercayaan mereka, tetapi berpendapat bahwa Kuraisy tidak berhak
memusuhi orang yang tidak sejalan dengan kepercayaan mereka dalam
menyembah berhala-berhala itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah
kita sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela kaum
Muslimin dari gangguan Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang
telah bertindak membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang
Kuraisy sepakat hendak memboikot Muhammad dan sahabat-sahabatnya
serta memblokade mereka selama tiga tahun terus-menerus di
celah-celah gunung di pinggiran kota Mekah, supaya tak dapat
berhubungan dan berbicara dengan orang di luar selain pada bulan-bulan
suci. Saya yakin, bahwa Abu Bakr, dalam menggerakkan mereka yang
bukan pengikut-pengikut agama Muhammad, namun turut marah melihat
tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu, punya pengaruh besar, karena
sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang ramah serta
pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu Bakr dalam melindungi kaum
Muslimin ketika agama ini baru tumbuh, itu pula yang menyebabkan
Muhammad lebih dekat kepadanya. Inilah yang telah mempertalikan kedua
orang itu dengan tali persaudaraan dalam iman, sehingga Muhammad
memilihnya sebagai teman dekatnya (khalilnya).
Setelah dengan
izin Allah agama ini mendapat kemenangan dengan kekuatan penduduk
Yasrib (Medinah) sesudah kedua ikrar Aqabah, Muhammad pun mengizinkan
sahabat-sahabatnya hijrah ke kota itu. Sama halnya dengan sebelum itu,
ia mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia. Orang-orang
Kuraisy tidak tahu, Muhammad ikut hijrah atau tetap tinggal di Mekah
seperti tatkala kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia.
Tahukah
Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak diketahui? Segala
yang disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa Abu Bakr meminta izin
kepada Muhammad akan pergi hijrah, dan dijawab: "Jangan tergesa-gesa,
kalau-kalau Allah nanti memberikan seorang teman kepadamu." Dan tidak
lebih dari itu.
Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang
begitu kuat kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu Bakr sudah
mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin hijrah ke Yasrib, pihak
Kuraisy memaksa mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah harus
dikembalikan, dipaksa meninggalkan agama itu. Kemudian mereka disiksa,
dianiaya. Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang musyrik itu berkumpul
di DarunNadwah, berkomplot hendak membunuh Muhammad. Kalau ia
menemani Muhammad dalam hijrahnya itu lalu Kuraisy bertindak membunuh
Muhammad, tidak bisa tidak Abu Bakr juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun
begitu, ketika ia oleh Muhammad diminta menunda, ia pun tidak ragu.
Bahkan ia merasa sangat gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia
hijrah bersama Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini suatu
kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh bersama
dia, itu adalah mati syahid yang akan mendapat surga.
Sejak itu
Abu Bakr sudah menyiapkan dua ekor unta sambil menunggu perkembangan
lebih lanjut bersama kawannya itu. Sementara sore itu ia di rumah
tiba-tiba datang Muhammad seperti biasa tiap sore. Ia memberitahukan
bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah ke Yasrib. Abu Bakr
menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat menemaninya
dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan.
Khawatir Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke rumahnya,
pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya. Muhammad membisikkan kepada
Ali bin Abi Talib supaya ia mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau
dan berbaring di tempat tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat
tengah malam, dengan tidak setahu pemudapemuda Kuraisy ia keluar pergi
ke rumah Abu Bakr. Ternyata Abu Bakr memang sedang jaga menunggunya.
Kedua orang itu kemudian keluar dari celah pintu belakang dan bertolak
ke arah selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka
bersembunyi. Pemuda-pemuda Kuraisy itu segera bergegas ke setiap
lembah dan gunung mencari Muhammad untuk dibunuh. Sampai di Gua
Saur salah seorang dari mereka naik ke atas gua itu kalau-kalau dapat
menemukan jejaknya. Saat itu Abu Bakr sudah mandi keringat ketika
terdengar suara mereka memanggil-manggil. Ia menahan nafas, tidak
bergerak dan hanya menyerahkan nasib kepada Allah. Tetapi Muhammad
masih tetap berzikir dan berdoa kepada Allah. Abu Bakr makin
merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan Muhammad berbisik di
telinganya:
"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."
Pemuda-pemuda
Kuraisy itu melihat ke sekeliling gua dan yang dilihatnya hanya
laba-laba yang sedang menganyam sarangnya di mulut gua itu. la kembali
ke tempat teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk.
"Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum
Muhammad lahir." Dengan perasaan dongkol pemuda-pemuda itu pergi
meninggalkan tempat tersebut. Setelah mereka menjauh Muhammad
berseru: "Alhamdulillah, Allahu Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakr
itu sungguh makin menambah kekuatan imannya.
Apa penyebab ketakutan Abu Bakr ketlka dalam gua?
Adakah rasa takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi keringat
dan merapatkan diri kepada Rasulullah karena ia sangat mendambakan
kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa bencana? Atau karena ia tidak
memikirkan dirinya lagi tapi yang dipikirkannya hanya Rasulullah dan
jika mungkin ia akan mengorbankan diri demi Rasulullah? Bersumber
dari Hasan bin Abil-Hasan al-Basri, Ibn Hisyam menuturkan: "Ketika
malam itu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr
memasuki gua, Abu Bakr radiallahu 'anhu masuk lebih dulu sebelum
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk
mengetahui kalau-kalau di tempat itu ada binatang buas atau ular. Ia
mau melindungi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dengan
dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan begitu
genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia berbisik di
telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah, pasti
mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan menimpa dirinya,
tetapi yang dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan agama, yang
untuk itu ia berdakwah atas perintah Allah, kalau sampai
pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya. Bahkan barangkali pada saat itu
tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang ibu yang khawatir akan
keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah. Tak lagi ia
dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun melemparkan
diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi atau mati demi
anaknya itu. Ataukah Abu Bakr memang lebih gelisah dari ibu itu, lebih
menganggap enteng segala bahaya yang datang, karena imannya kepada
Allah dan kepada Rasulullah memang sudah lebih kuat dari cintanya
kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang ibu dan dari segala yang
dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa yang terlintas dalam
pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman itu menjelma di
depannya, dalam diri Rasulullah, dan dengan itu segala makna yang
kudus menjelma pula dalam bentuk kekudusan dan kerohaniannya yang agung
dan cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakr sedang
duduk dan Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya
yang sedang mengancam kedua orang itu. Imajinasi saya tak dapat
membantu mengugkapkan segala yang terkandung dalam lukisan hidup yang
luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk yang bagaimanapun.
Apa artinya pengorbanan raja-raja dan para pemimpin dibandingkan dengan pengorbanan Rasulullah
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang telah
mengorbankan diri demi seorang pemimpin atau raja. Dan pada zaman
kita ini pun banyak pemimpin yang dikultuskan orang. Mereka lebih
dicintai daripada diri mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakr dalam
gua jauh berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat analisis
yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat melukiskan
keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang kepada seorang pemimpin dan
raja dibandingkan dengan keyakinan Abu Bakr kepada Rasulullah yang
telah menjadi pilihan Allah dan mewahyukannya dengan agama yang
benar!? Dan apa pula artinya pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin
dan raja-raja itu dibandingkan dengan apa yang berkecamuk dalam
pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu khawatir terjadi bahaya
menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi jika tak sampai dapat
menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang sungguh cemerlang, yang
rasanya sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi. Itulah sebabnya
penulis-penulis biografi tak ada yang menyinggung soal ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya keluar dari
tempat persembunyian dan meneruskan perjalanan. Dalam perjalanan
itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang pula dari bahaya yang
mengancam mereka selama di dalam gua.
Abu Bakr masih dapat
membawa sisa laba perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di
Medinah dan orang menyambut Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr
memulai hidupnya di kota itu seperti halnya dengan kaum Muhajirin
yang lain, meskipun kedudukannya tetap di samping Rasulullah,
kedudukan sebagai khalil, sebagai asSiddlq dan sebagai menteri
penasehat.
Abu Bakr di Madinah Abu Bakr
tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin
Zaid dari Banu al-Haris dari suku Khazraj. Ketika Nabi
mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Ansar Abu Bakr
dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakr kemudian disusul oleh
keluarganya dan anaknya yang tinggal di Mekah. la mengurus keperluan
hidup mereka. Keluarganya mengerjakan pertanian — seperti juga
keluarga Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib — di tanah orang-orang
Ansar bersama-sama dengan pemiliknya. Bolehjadi Kharijah bin Zaid
ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini lambat laun makin
dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan putrinya — Habibah —
dan dari perkawinan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang ditinggalkan
wafat oleh Abu Bakr ketika ia sedang dalam kandungan Habibah.
Keluarga Abu Bakr tidak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid
di Sunh, tetapi Umm Ruman dan putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakr
yang lain tinggal di Medinah, di sebuah rumah berdekatan dengan rumah
Abu Ayyub al-Ansari, tempat Nabi tinggal. Ia mundarmandir ke tempat
mereka, tetapi lebih banyak di tinggal di Sunh, tempat istrinya yang
baru.
Terserang demam Tak lama tinggal di
Medinah ia mendapat serangan demam, yang juga banyak menyerang penduduk
Mekah yang baru hijrah ke Medinah, disebabkan oleh perbedaan iklim
udara tempat kelahiran mereka dengan udara tempat tinggal yang
sekarang. Udara Mekah adalah udara Sahara, kering, sedang udara
Medinah lembab, karena cukup air dan pepohonan. Menurut sumber dari
Aisyah disebutkan bahwa demam yang menimpa ayahnya cukup berat,
sehingga ia mengigau. Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru
ini, dan setelah bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak
memerlukan lagi bantuan Ansar, seluruh perhatiannya sekarang
dicurahkan untuk membantu Rasulullah dalam memperkuat Muslimin, tak
peduli betapa beratnya pekerjaan itu dan besarnya pengorbanan.
Kemarahan Abu Bakr
Orang yang begitu damai dan tenang ini tak pernah mengenal
marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah yang terdiri dari
orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu mulai berolok-olok dan main
tipu muslihat. Rasulullah dan kaum Muslimin dengan pihak Yahudi sudah
membuat perjanjian, masing-masing menjamin kebebasan menjalankan
dakwah agamanya serta bebas melaksanakan upacara-upacara keagamaannya
masing-masing. Orang-orang Yahudi itu pada mulanya mengira bahwa
mereka mampu mengambil keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari
Mekah dalam menghadapi Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak
berhasil mereka memecah belah kaum Muhajirin dengan kaum Ansar,
mulailah mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama.
Beberapa orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka
yang bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka.
Ketika Abu Bakr datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas
ini: "Finhas, takutlah engkau kepada Allah dan terimalah Islam.
Engkau tahu bukan bahwa Muhammad Rasulullah. Dia telah datang kepada
kita dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu
dalam Taurat dan Injil."
Dengan berolok dan senyum mengejek di bibir Finhas berkata:
"Abu Bakr, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang
memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya, tetapi Dia
yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, tapi
Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu tidak akan minta
dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia
melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau
Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini."
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah:
Siapakah
yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang
akan Ia lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya." (Qur'an, 2. 245).
Setelah Abu Bakr melihat orang ini memperolok firman Allah serta
wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan diri, dipukulnya muka
Finhas itu keras-keras seraya katanya:
"Demi Allah, kalau tidak
karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, kupukul
kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!"
Bukanlah aneh juga Abu Bakr
menjadi begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati
itu. Ia menjadi sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima
puluh tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mengingatkan kita
kepada kemarahan yang sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu
ketika Persia mengalahkan Rumawi, Persia Majusi dan Rumawi Ahli
Kitab. Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena diejek kaum
musyrik yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah karena juga Ahli Kitab
seperti mereka. Ada seorang musyrik menyinggung soal ini di depan Abu
Bakr dengan begitu bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakr naik
pitam. Diajaknya orang itu bertaruh dengan sepuluh ekor unta bahwa
kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak Majusi sebelum habis tahun
itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakr akan sangat marah jika sudah
mengenai akidah dan keimanannya yang begitu tulus kepada Allah dan
Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia berusia empat puluh, dan tetap
itu juga setelah sekarang usianya lima puluh tahun sampai kemudian
ketika ia sudah menjadi Khalifah dan memegang pimpinan kaum Muslimin.
Kekuasaan iman pada Abu Bakr
Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr, menguasai
segala perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi pengikut
Rasulullah. Orang akan dapat menganalisis segala peristiwa
kejiwaannya dan perbuatannya serta segala tingkah lakunya itu kalau
orang mau melihatnya dari segi moral. Sebaliknya, semua yang di luar
itu, tak ada pengaruhnya dan segala keinginan yang biasa mempengaruhi
hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika itu yang
terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa terhadap dirinya
— hati nuraninya, pikiran dan jiwanya — semua hanyalah demi Allah dan
Rasul-Nya. Semua itu adalah iman, iman yang sudah mencapai tingkat
tertinggi, tingkat siddiqin, yang sudah begitu baik tempatnya.
Ketika Rasulullah di Badr
Kemudian kita lihat apa yang terjadi dalam perang Badr. Pihak Mekah
sudah menyusun barisan, Nabi pun sudah pula mengatur kaum Muslimin
siap menghadapi perang. Seperti diusulkan oleh Sa'd bin Mu'az, ketika
itu pihak Muslimin membangun sebuah dangau di barisan belakang,
sehingga jika nanti kemenangan berada di pihak mereka, Rasulullah
dapat kembali ke Medinah. Abu Bakr dan Nabi tinggal dalam dangau itu
sambil mengawasi jalannya pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai dan
Muhammad melihat jumlah pihak musuh yang begitu besar sedang anak
buahnya hanya sedikit, ia berpaling ke arah kiblat, menghadapkan diri
dengan seluruh hati sanubarinya kepada Allah. Ia mengimbau Tuhan akan
segala apa yang telah dijanjikan-Nya. Ia membisikkan permohonan dalam
hatinya agar Allah memberikan pertolongan, sambil katanya:
"Allahumma
ya Allah! Inilah Kuraisy sekarang datang dengan segala
kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah,
pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan
ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadah kepada-Mu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan
tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Dalam keadaan serupa
itu ia terangguk sejenak terbawa kantuk, dan ketika itu juga tampak
olehnya pertolongan Allah itu datang. Ia sadar kembali, kemudian ia
bangun dengan penuh rasa gembira. Ia keluar menemui sahabat-sahabatnya
sambil berkata kepada mereka:
"Demi Dia yang memegang hidup
Muhammad. Setiap seorang yang sekarang bertempur dengan tabah,
bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas,
maka Allah akan menempatkannya di dalam surga."
Abu Bakr di Badr
Demikianlah keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan kemenangan anak
buahnya yang hanya sedikit itu dalam menghadapi lawan yang iauh lebih
banyak, dengan diam-diam jiwanya mengadakan hubungan dengan Allah
memohon pertolongan. Kemudian terbuka di hadapannya tabir hari yang
amat menentukan itu dalam sejarah Islam.
Abu Bakr, ia tetap di
samping Rasulullah. Dengan penuh iman ia percaya bahwa Allah pasti
akan menolong agama-Nya, dan dengan hati penuh kepercayaan akan
datangnya pertolongan itu, dengan penuh kekaguman akan Rasulullah dalam
imbauannya kepada Allah, dengan perasaan terharu kepada Rasulullah
karena kekhawatiran yang begitu besar menghadapi nasib yang akan
terjadi hari itu, ketika itulah Rasulullah berdoa, mengimbau,
bermohon dan meminta kepada Allah akan memenuhi janji-Nya. Itulah yang
diulangnya, diulang sekali lagi, hingga mantelnya terjatuh, Itulah
yang membuatnya mengimbau sambil ia mengembalikan mantel itu ke bahu
Nabi: "Rasulullah, dengan doamu Allah akan memenuhi apa yang telah
dijanjikan-Nya kepadamu."
Kebenaran dan kasih sayang menyatu dalam dirinya
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak
ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya
itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang
berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus
fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang
begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu, jauh
dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf, penuh kasih bila
iman itu sudah mendapat kemenangan. Dengan begitu, dalam hatinya
terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling mendasari: mencintai
kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan
apa-apa baginya, terutama masalah hidup duniawi.» Apabila kebenaran
itu sudah dijunjung tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan
ia akan berpegang teguh pada prinsip ini seperti pada yang pertama.
Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air
mata yang deras mengalir.
Sikapnya terhadap tawanan Badr
Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin kembali ke
Medinah dengan membawa tawanan perang Kuraisy. Mereka ini masih ingin
hidup, ingin kembali ke Mekah, meskipun dengan tebusan yang mahal.
Tetapi mereka masih khawatir Muhammad akan bersikap keras kepada mereka
mengingat gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya selama
beberapa tahun dahulu yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka
berkata satu sama lain: "Sebaiknya kita mengutus orang kepada Abu
Bakr. Ia paling menyukai silaturahmi dengan Kuraisy, paling punya rasa
belas kasihan, dan kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain
lebih dari dia." Mereka lalu mengirim delegasi kepada Abu Bakr.
"Abu Bakr," kata mereka kemudian, "di antara kita ada yang masih
pernah orangtua, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu
kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita. Bicarakanlah
dengan sahabatmu itu supaya ia bermurah hati kepada kami atau
menerima tebusan kami."
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan
berusaha. Tetapi mereka masih khawatir Umar bin Khattab akan mempersulit
urusan mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar seperti
pcmbicaraannya dengan Abu Bakr. Tetapi Umar menatap muka mereka dengan
mata penuh curiga tanpa memberi jawaban. Kemudian Abu Bakr sendiri
yang bertindak sebagai perantara kepada Rasulullah mewakili orang-orang
Kuraisy musyrik itu. la mcngharapkan belas kasihannya dan sikap yang
lebih lunak terhadap mereka. la menolak alasan-alasan Umar yang mau
main keras terhadap mereka. Diingatkannya pertalian kerabat antara
mereka dengan Nabi. Apa yang dilakukannya itu sebenarnya karena
memang sudah bawaannya sebagai orang yang lembut hati, dan kasih
sayang baginya sama dengan keimanannya pada kebenaran dan keadilan.
Barangkali dengan mata hati nuraninya ia melihat peranan kasih sayang
itu juga yang akhirnya akan menang. Manusia akan menuruti kodrat yang
ada dalam dirinya dan dalam keyakinannya sclama ia melihat sifat
kasih sayang itu adalah peri kemanusiaan yang agung, jauh daii segala
sifat lcmah dan hawa nafsu. Yang menggerakkan hatinya hanyalah
kekuatan dan kemampuan. Atau, kekuasaan manusia terhadap dirinya
ialah kckuasaan yang dapat meredam bengisnya kekuatan, dapat
melunakkan kejamnya kekuasaan.
Arah hidupnya sesudah Badr
Sebenarnya Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru buat
kaum Muslimin, juga merupakan permulaan arah baru dalam hidup Abu
Bakr. Kaum Muslimin mulai mengatur siasat dalam menghadapi Kuraisy dan
kabilah-kabilah sekitarnya yang melawan mereka. Abu Bakr mulai
bekerja dengan Nabi dalam mengatur siasat itu berlipat ganda ketika
masih tinggal di Mckah dulu dalam melindungi kaum Muslimin. Pihak
Muslimin semua sudah tahu, bahwa Kuraisy tidak akan tinggal diam
sebelum mereka dapat membalas dendam kejadian di Badr itu. Juga mereka
mengetahui bahwa dakwah yang baru tumbuh ini perlu sekali mendapat
perlindungan dan perlu mempertahankan diri dari segala scrangan
terhadap mereka itu. Jadi harus ada perhitungan, hams ada pengaturan
siasat. Dengan posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah
kita lihat, Abu Bakr tak akan dapat bekerja tanpa adanya perhitungaji
dan pengaturan serupa itu, supaya jangan timbul kekacauan di dalam kota
Medinah atas hasutan pihak Yahudi dan golongan munafik, dan supaya
jangan ada serangan pihak luar ke Madinah.
Abu Bakr dan Umar; pembantu Rasulullah
Kemenangan Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah mengangkat
martabat mereka. Inilah yang telah menimbulkan kedengkian di pihak
lawan. Pada pihak Yahudi timbul rasa sakit hati yang tadinya
biasa-biasa saja. Dalam hati kabilah-kabilah di sekitar Medinah yang
tadinya merasa aman kini timbul rasa khawatir. Tidak bisa lain, untuk
mencegah apa yang mungkin timbul dari mereka itu, diperlukan suatu
siasat yang mantap, suatu perhitungan yang saksama. Musyawarah yang
terus-menerus antara Nabi dengan sahabat-sahabat telah diadakan. Abu
Bakr dan Umar oleh Nabi diambil sebagai pembantu dekat (wazir) guna
mengatur siasat baru, yang sekaligus merupakan batu penguji mengingat
adanya perbedaan watak pada kedua orang itu, meskipun mereka sama-sama
jujur dan ikhlas dalam bermusyawarah. Di samping dengan mereka ia
juga bermusyawarah dengan kaum Muslimin yang lain. Musyawarah ini
memberi pengaruh besar dalam arti persatuan dan pembagian tanggung
jawab demikian, sehingga masing-masing mereka merasa turut memberikan
saham.
Sebagai penangkal akibat dendam kesumat pihak Yahudi
itu kaum Muslimin sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan mengeluarkan
mereka dari Medinah. Begitu juga akibat rasa kekhawatiran
kabilah-kabilah yang berada di sekeliling Medinah, mereka berkumpul
hendak mengadakan serangan ke dalam kota. Tetapi begitu mendengar
Muhammad keluar hendak menyongsong mereka, mereka sudah lari ketakutan.
Dalam perang Uhud
Berita-berita demikian itu tentu sampai juga ke Mekah, dan ini
tidak menutup pikiran Kuraisy hendak membalas dendam atas kekalahan
mereka di Badr itu. Dalam upaya mereka hendak menuntut balas itu mereka
akan berhadapan dengan pihak Muslimin di Uhud. Di sinilah terjadi
pertempuran hebat. Tetapi hari itu kaum Muslimin mengalami bencana
tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Mereka meninggalkan
posnya, pergi memperebutkan harta rampasan perang. Saat itu Khalid
bin Walid mengambil kesempatan, Kuraisy segera mengadakan serangan dan
kaum Muslimin mengalami kekacauan. Waktu itulah Nabi terkena lemparan
batu yang dilakukan oleh kaum musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan
wajahnya, sehingga Kuraisy berteriakteriak mengatakan Nabi sudah
meninggal. Kalau tidak karena pahlawanpahlawan Islam ketika itu
segera mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan nyawa mereka,
tentu Allah waktu itu sudah akan menentukan nasib lain terhadap
mereka.
Sejak itu Abu Bakr lebih sering lagi mendampingi Nabi, baik dalam peperangan maupun ketika di dalam kota di Medinah.
Orang masih ingat sejarah Muslimin — sampai keadaan jadi stabil
sesudah pembebasan Mekah dan masuknya Banu Saqif di Ta'if ke
dalam pangkuan Islam — penuh tantangan berupa peristiwa-peristiwa
perang, atau dalam usaha mencegah perang atau untuk mempertahankan diri
dari serangan musuh. Belum lagi peristiwa-peristiwa kecil lainnya
dalam bentuk ekspedisi-ekspedisi atau patroli. Waktu itu orang-orang
Yahudi — dipimpin oleh Huyai bin Akhtab — tak henti-hentinya
menghasut kaum Muslimin. Begitu juga Kuraisy, mereka berusaha
matimatian mau melemahkan dan menghancurkan kekuatan Islam. Terjadinya
perang Banu Nadir, Khandaq dan Banu Quraizah dan diselang seling
dengan bentrokan-bentrokan lain, semua itu akibat politik Yahudi dan
kedengkian Kuraisy.
Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu Abu
Bakr lebih banyak mendampingi Nabi. Dialah yang paling kuat
kepercayaannya pada ajaran Nabi. Setelah Rasulullah merasa aman
melihat ketahanan Medinah, dan tiba waktunya untuk mengarahkan langkah
ke arah yang baru — semoga Allah membukakan jalannya untuk
menyempurnakan agama-Nya — maka peranan yang dipegang Abu Bakr itu
telah menambah keyakinan kaum Muslimin bahwa sesudah Rasulullah,
dialah orang yang punya tempat dalam hati mereka, orang yang sangat
mereka hargai.
Sikapnya di Hudaibiyah Enam
tahun setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah Muhammad mengumumkan
kepada orang banyak untuk mengerjakan ibadah haji ke Mekah. Berita
perjalanan jemaah ini sampai juga kepada Kuraisy. Mereka bersumpah
tidak akan membiarkan Muhammad memasuki Mekah secara paksa. Maka
Muhammad dan para sahabat pun tinggal di Hudaibiyah, di pinggiran kota
Mekah. Ia berpegang teguh pada perdamaian dan ia menolak setiap usaha
yang akan menimbulkan bentrokan dengan Kuraisy. Diumumkannya bahwa
kedatangannya adalah akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk
berperang. Kemudian dilakukan tukar-menukar delegasi dengan pihak
Kuraisy, yang berakhir dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus
pulang dan boleh kembali lagi tahun depan.
Kaum Muslimin banyak
yang marah, termasuk Umar bin Khattab, karena harus mengalah dan
harus pulang. Mereka berpendapat, isi perjanjian ini merendahkan
martabat agama mereka. Tetapi Abu Bakr langsung percaya dan yakin akan
kebijaksanaan Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath (48) bahwa
persetujuan Hudaibiyah itu adalah suatu kemenangan yang nyata, dan
Abu Bakr dalam hal ini, seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain,
ialah as-Siddiq, yang tulus hati, yang segera percaya.
Kekuatan Muslimin dan mengalirnya para utusan
Integritas dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan
Muslimin di Medinah juga makin kuat. Salah satu manifestasi
kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung pihak Yahudi di Khaibar,
Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada kekuasaan Muslimin,
sebagai pendahuluan untuk kemudian mereka dikeluarkan dari tanah
Arab. Di samping itu, manifestasi lain kuatnya Muslimin waktu itu serta
tanda kukuhnya dakwah Islam ialah dengan dikirimnya surat-surat oleh
Muhammad kepada raja-raja dan para amir (penguasa) di Persia,
Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan negeri-negeri Arab di sekitarnya
atau yang termasuk amirat-nya..
Adapun gejala yang paling
menonjol tentang sempurna dan kuatnya dakwah itu ialah bebasnya Mekah
dan pengepungan Ta'if. Dengan itu cahaya agama yang baru ini sekarang
sudah bersinar ke seluruh Semenanjung, sampai ke perbatasan kedua
imperium besar yang memegang tampuk pimpinan dunia ketika itu: Rumawi
dan Persia. Dengan demikian Rasulullah dan kaum Muslimin sudah
merasa lega atas pertolongan Allah itu, meskipun tetap harus waspada
terhadap kemungkinan adanya serangan dari pihak-pihak yang ingin
memadamkan cahaya agama yang baru ini.
Bersinarnya cahaya Islam
Setelah orang-orang Arab melihat adanya kekuatan ini delegasi
mereka datang berturut-turut dari segenap Semenanjung, menyatakan
keimanannya pada agama baru ini. Bukankah pembawa dakwah ini pada
mulanya hanya seorang diri?! Sekarang ia sudah dapat mengalahkan
Yahudi, Nasrani, Majusi dan kaum musyrik. Bukankah hanya kebenaran
yang akan mendapat kemenangan? Adakah tanda yang lebih jelas bahwa
memang dakwahnya itulah yang benar, yang mutlak mendapat kemenangan
atas mereka semua itu? Ia tidak bermaksud menguasai mereka. Yang
dimintanya hanyalah beriman kepada Allah, dan berbuat segala yang
baik. Inilah logika yang amat manusiawi, diakui oleh umat manusia pada
setiap zaman dan mereka beriman di mana pun mereka berada. Ini juga
logika yang diakui oleh akal pikiran manusia. Kekuatan argumentasinya
yang tak dapat dikalahkan itu sudah dibuktikan oleh sejarah.
Abu Bakr memimpin jamaah haji
Allah telah mengizinkan kaum Muslimin melengkapi kewajiban
agamanya, dan ibadah haji itulah kelengkapannya. Oleh karena
itu dengan adanya delegasi yang berturut-turut itu tidak memungkinkan
Rasulullah meninggalkan Medinah pergi ke Baitullah. Maka dimintanya
Abu Bakr memimpin jamaah pergi menunaikan ibadah haji. la berangkat
bersama tiga ratus orang. Mereka melaksanakan ibadah itu,
melaksanakan tawaf dan sai. Dalam musim haji inilah Ali bin Abi Talib
mengumumkan — sumber lain menyebutkan Abu Bakr yang mengumumkan —
bahwa sesudah tahun itu tak boleh lagi kaum musyrik ikut berhaji.
Kemudian orang menunda empat bulan lagi supaya setiap golongan dapat
kembali ke tempat tinggal dan negeri masing-masing. Sejak hari itu,
sampai sekarang, dan sampai waktu yang dikehendaki Allah, tak akan
ada lagi orang musyrik pergi berhaji ke Baitullah, dan tidak akan
ada.
Haji Perpisahan dan keberangkatan Usamah
Tahun kesepuluh Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji
perpisahan. Abu Bakr juga ikut serta. Rasulullah Sallallahu 'alaihi
wasallam berangkat bersama semua istrinya, yang juga diikuti oleh
seratus ribu orang Arab atau lebih. Sepulang dari melaksanakan ibadah
haji, Nabi tidak lama lagi tinggal di Medinah. Ketika itu
dikeluarkannya perintah supaya satu pasukan besar disiapkan berangkat
ke Syam, terdiri dari kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr
dan Umar. Pasukan itu sudah bermarkas di Jurf (tidak jauh dari
Medinah) tatkala tersiar berita, bahwa Rasulullah jatuh sakit.
Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit Rasulullah bertambah
keras, orang makin cemas.
Abu Bakr memimpin salat
Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu Bakr
memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah mengatakan:
"Setelah sakit Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam semakin berat
Bilal datang mengajak bersembayang: 'Suruh Abu Bakr memimpin salat!'
Kataku: Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu dan mudah menangis. Kalau
dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau
perintahkan kepada Umar saja! Katanya: 'Suruh Abu Bakr memimpin
sembahyang!' Lalu kataku kepada Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa
Abu Bakr orang yang cepat terharu dan kalau dia menggantikanmu
suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar
saja! Usul itu disampaikan oleh Hafsah. Tetapi kata Nabi lagi: Kamu
seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu
Bakr memimpin sembahyang. Kemudian kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku
tidak lebih baik dari yang kaulakukan."
Sekarang Abu Bakr
bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari,
karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak
bersembahyang, maka Umar yang diminta mengimami salat. Suara Umar cukup
lantang, sehingga ketika mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh
Muhammad dari rumah Aisyah, maka katanya:
"Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai
penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda
pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Sementara masih
dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad keluar ke tengah-tengah kaum
Muslimin di mesjid, dan antara lain ia berkata:
"Seorang hamba
oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka
ia memilih berada di sisi Allah." Kemudian diam. Abu Bakr segera
mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat menahan
air mata dan ia menangis, seraya katanya:
"Kami akan menebus Tuan
dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Setelah itu Muhammad minta semua
pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Kemudian
katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakr: "Aku belum tahu ada orang yang
lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada
dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu
Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman,
sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Pada
hari ketika ajal Nabi tiba ia keluar waktu subuh ke mesjid sambil
bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl bin al-Abbas. Abu Bakr
waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Ketika kaum
Muslimin melihat kehadiran Nabi, mereka bergembira luar biasa. Tetapi
Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salat. Abu Bakr merasa
bahwa mereka berlaku demikian karena ada Rasulullah. Abu Bakr surut
dari tempatnya. Tetapi Nabi memberi isyarat agar diteruskan. Lalu
Rasulullah duduk di sebelah Abu Bakr, salat sambil duduk.
Lepas salat Nabi kembali ke rumah Aisyah. Tetapi tak lama kemudian
demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakan sebuah bejana berisi air
dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam bejana itu dan dengan begini
ia mengusap air ke wajahnya. Tak lama kemudian ia telah kembali kepada
Zat Maha Tinggi, kembali ke sisi Allah.
Rasulullah telah
meninggalkan dunia kita setelah Allah menyempurnakan agama ini bagi
umat manusia, dan melengkapi kenikmatan hidup bagi mereka. Apa pulakah
yang dilakukan orang-orang Arab itu kemudian? Ia tidak meninggalkan
seorang pengganti, juga tidak membuat suatu sistem hukum negara yang
terinci. Hendaklah mereka berusaha (berijtihad) sendiri. Setiap
orang yang berijtihad akan mendapat bagian.