Mahabbatullah
Allah menerangkan Diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Batin (QS.
Al-Hadid 57 : 3). Dunia dan isinya adalah pancaran dan alamat dari
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir
dan aspek batin.
Demikian pula dengan kehidupan manusia,
kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun berpuas diri semata-mata
dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia
yang sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk
melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.
Bagi kaum
sufi, pendalaman dan pengalaman batin adalah sesuatu yang paling utama
dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk
membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan
perjuangan (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara perilaku
perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan senantiasa
merasa dihadapan Allah SWT. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa
melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang
diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari
pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Al-Ghazali mengumpamakan
jiwa manusia bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi
hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang
diperbuat manusia (QS. Al-Muthaffifin 83 : 14). Apabila seseorang
senantiasa menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan
niscaya cermin itu gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dari
pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan memiliki
kekuatan yang besar dan luar biasa.
Memang diakui oleh para ulama
tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan
hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa
nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu,
maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah
(latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk
melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan,
yakni tahap pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela
(takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji
(tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
Takhalli
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau
penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari,
betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul
kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa
dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS.
Asy-Syams 91 : 9-10).
Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat
hasud (dengki atau iri hati), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan),
takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin
di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan
Allah).
Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan
menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan
bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang
tepat untuk itu, serta melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a
kepada Allah SWT.
Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi
diri dengan sifat-sifat terpuji, dan akhlak karimah. Untuk membangun
benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi
gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid
(mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena Allah semata),
taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental lebih
mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (menjaga
diri dari hal-hal yang tidak jelas kehalalannya), sabar (tabah), faqr
(merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan
mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan
proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri
setelah berusaha) dan sebagainya.
Setelah seorang mampu menguasai
dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka
hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman memancar dari
hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam tasawuf disebut
tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan
demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik,
mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti
ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini adalah
puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul
qalb.
Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri manusia juga dapat dihilangkan dengan menggunakan cara teori mahabbah.
Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan.
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:
- Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
- Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
- Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.
Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) sebagai bagian
dari maqamat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana
keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.
Menurut as-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka
menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog
dengan Tuhan, serta senantiasa memuji Tuhan.
Cinta orang yang
shiddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta
tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan
sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada
Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
Cinta orang yang ‘arif
(العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini
timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa
bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Imam Junayd ketika
ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan
dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang
tertinggal kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia
melupakan sifatnya sendiri.
Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an, umpamanya:
...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...
“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.
Juga ada hadits yang membawa paham demikian, misalnya:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan
perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai
menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:
Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua
sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada
Allah
Berfikir tentang ciptaan Allah, dengan cara memikirkan
segala ciptaan-Nya maka pasti kita akan menyadari betapa besarnya
kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan
tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah.
Sufi yang termasyhur
dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang
bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan
memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam doanya ia
tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam
surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan. Ia mengatakan “aku
mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut terhadap neraka, bukan pula
karena ingin masuk surga, tapi aku mengabdi karena takut kepada-Nya”. Ia
bermunajat “Tuhanku jika aku puja Engkau karena takut kepada neraka,
bakarlah karena engkau”.
Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi
seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua tawaran kawin, dengan alasan
bahwa dirinya adalah milik Tuhan yang dicintainya, dan siapa yang ingin
kawin dengan dia haruslah meminta izin dari Tuhan.
Penulis sufi
menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu
keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap
kematian meskipun tahap cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang
dapat dicapai oleh seorang ahli yang menyelaminya. Termasuk di dalamnya
kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridho
mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan dari
seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintainya. Al-Hujwiri membagi
empat golongan manusia yang ridho kepada Allah.
- Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat
- Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini
- Mereka yang ridho terhadap penderitaan
- Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.
Syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih,
dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual
itu.
Adapun cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1. Cinta Ilahiyah: yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada
makhluk dimana ia menciptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat
dia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada
Khaliqnya yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam
makhluk, rindu untuk kembali pada Dia, setelah dia merindukan sebagai
makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog
abadi antara pasangan ilahi manusia.
2. Cinta spiritual:
terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya dia
cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu adalah
dia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan,
mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang kekasih.
3. Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.
Cinta dan pengampunan Allah kepada manusia adalah rahmat. Sedangkan
cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang dimanifestasikan
di dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berusaha memuaskan
kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat
memandang Allah serta tidak dapat dialihkan kepada siapapun kecuali
Allah. Akan selalu merasa akrab dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah
tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.
Para mukmin yang mencintai Allah terdapat dua macam:
1. Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada
mereka dan dibimbing oleh anggapan tersebut untuk mencintai sang
dermawan.
2. Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana
mereka berpendapat bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan sebuah
hijab dan menganggap Allah sebagai dermawan akan membimbing pada
perenungan kebaikan-kebaikan Allah.
Uraian di atas menjelaskan
bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti hasud, hirsh,
takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, yaitu
dengan cara pembinaan melalui tiga tahapan, yaitu takhalli, tahalli,
tajalli.
Selain ketiga tahapan tersebut, dapat juga dengan cara
menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta
kepada Allah, maka apapun perbuatan yang kita lakukan semata-mata karena
Allah. Jadi, untuk berbuat atau melakukan hal-hal yang tercela kita
akan berfikir bahwa perbuatan tercela itu dibenci oleh Allah, maka
karena rasa cinta kita kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela
itu. Dan atas dasar rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih
merasa dekat dengan Allah dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan
Allah semakin bertambah. Kita akan merasa apa yang diberikan Allah
kepada kita adalah karunia dan cobaan yang diberikan kepada kita itu
atas dasar Allah masih sayang kepada kita dan masih memperhatikan kita.