Sebelum Adam ada, langit dan bumi telah diciptakan jauh sebelumnya.
Dari berbagai perbedaan pendapat, paling lama awal kehidupan Adam adalah
6000 tahun sebelum masehi, itu artinya Adam diciptakan 6000 ditambah
tahun masehi waktu kita membaca buku ini. Misalnya, sekarang tahun 2008,
berarti kira-kira Adam diciptakan 8008 tahun yang lalu. Sedangkan bumi
telah ada jutaan tahun sebelum Adam diciptakan.
Sebelum Adam diciptakan, bumi telah dihuni oleh salah satu kabilah
Al-Jinn, yaitu salah satu kabilah malaikat yang paling mulia. Dari Wahab
ibn Munabbih: Tuhan semesta alam menciptakan api Samûm. Dari api Sammum
ini Dia menciptakan Jinn. Samum adalah angin yang sangat panas
membakar, atau api yang tidak ada asapnya. Ketika Tuhan menghendaki
sesuatu maka terbakarlah satu hijab, dari api yang membakar hijab inilah
kabilah jin diciptakan.
Dinamakan Kabilah Al-Jinn karena kabilah ini menjadi khazanah
perbendaharaan surga [Khuzzan al-Jannah], untuk itulah disebut Al-Jannah
[taman atau surga]. Kata “jinn” dan “jannah” memiliki akar kata yang
sama. Dan miniatur surga yang paling memenuhi syarat dari kesekian
planet di jagad raya adalah bumi. Maka Tuhan memberi mereka bumi untuk
tinggal di tempat itu, dan mereka hidup dan beribadah di sana dalam
waktu yang lama.
Tersebutlah ia bernama Jann, nenek moyang bangsa jin yang menghuni
bumi. Banyaknya ibadah yang ia kerjakan membuat para malaikat merasa
kagum, dan berkata kepada Tuhan langit dan bumi, “Wahai Tuhan kami,
angkatlah mereka ke langit, sehingga kami mungkin belajar dari mereka
dan mengikuti contoh baik mereka”.
Maka Tuhan mengangkat dan mendidik Jann agar men-jadi salah satu
diantara para malaikat dan ia hidup dengan mereka di langit pertama,
kemudian Jann disebut dengan nama kemalaikatannya yang baru, yaitu
Azazil. Sementara kaum jin yang lain —yang masih tinggal di atas bumi—
sebagian hidup dalam kebenaran, sedangkan sebagian yang lain menjadi
pendosa dan melanggar hukum.
Bumi mulai mengeluhkan mereka kepada Tuhan, “Wahai Tuhanku, apakah Kau ciptakan aku untuk didiami oleh penghuni yang durhaka?”
Tuhan menjawab, “Wahai bumi, bersabarlah, Aku akan mengirimkan para
nabi diantara mereka untuk memimpin mereka kembali ke jalan yang lurus”.
Sampai waktu itu tidak ada nabi yang nampak diantara Jinn itu. Lalu
Tuhan mengirim kepada mereka 800 nabi dan masing-masing mereka bunuh.
Pada akhirnya Tuhan berkata kepada Azazil di langit pertama. Tuhan
berkata kepadanya, “Pergilah, Azazil! Pergi dan perangilah mereka yang
tak beriman dari kaummu yang tinggal di atas bumi”.
Azazil patuh, turun ke bumi dan memerangi kaum (jinn) yang tak
beriman itu, ia menaklukkan mereka, kemudian Tuhan menurunkan api dari
langit yang melahap habis mereka, yang tersisa dan dapat menyelamatkan
diri ke tengah-tengah samudera. Hanya Jinn yang beriman dan beribadah
yang dibiarkan hidup.
Azazil beribadah dengan sangat bersungguh-sungguh hingga ia diangkat
ke langit yang pertama, atau menurut satu riwayat, ia telah banyak
beribadah di langit pertama hingga ia diangkat ke seluruh tujuh
lapisan-lapisan langit dan yang di atasnya.
SANG KEKASIH TUHAN
Dari Hasan Al-Bashri, “Azazil beribadah di tujuh lapisan langit
hingga lebih dari 70.000 tahun, sampai ia diangkat ke Maqam Ridwan
—ialah maqam yang sangat tinggi, dimana Ridwan menjadi penjaga Surga.
Azazil menjadi penjaga Surga sampai ribuan tahun. Suatu ketia ia membaca
sebuah prasasti pada salah satu gerbang surga, di situ tertulis:
“Akan ada salah seorang hamba diantara hamba-hamba kekasih Tuhan Yang
Maha Perkasa, dalam jangka waktu yang lama ia akan taat dan menghamba
kepada Tuhannya dengan amat baik. Akan datang suatu hari, akhirnya ia
akan melawan dan menentang Tuhannya, dan ia akan diusir dari pintu-Nya
dan dilaknat”.
Azazil membaca dan heran pada ramalan ini. “Bagaimana mungkin itu
terjadi? Bahwa salah satu hamba yang terdekat kepada Tuhan akan durhaka
kepada Tuhan semesta alam dan diusir dari kedekatan dan kesucianNya?” ia
membela, “Ya Allah, Berilah aku ijin untuk mengutuk penentang itu,
siapapun ia”.
Tuhan memberinya ijin, dan Azazil mengutuki pendosa [yang telah
diramalkan] itu dalam waktu seribu tahun, tanpa ia tahu bahwa kutukan
itu adalah untuk dirinya sendirinya. Azazil lupa, dirinya adalah juga
hamba Allah dan tak menyadari bahwa kata “hamba” yang tertera pada
tulisan di pintu surga itu bisa menimpa kepada siapa saja, termasuk
dirinya.
Selama itu pula Azazil menjadi malaikat yang dikenal penduduk surga
karena do’anya selalu dikabulkan oleh Allah, bahkan para malaikat pernah
memintanya untuk mendoakan agar mereka tidak tertimpa laknat Allah.
Tersebutlah suatu ketika saat berkeliling di surga, malaikat Israfil
juga melihat dan membaca tulisan yang dibaca oleh Azazil tersebut.
Tulisan itu tak pelak membuat Israfil menangis. Ia takut, hamba yang
diramalkan itu adalah dirinya. Beberapa malaikat lain juga menangis dan
punya ketakutan yang sama seperti Israfil, setelah mendengar kabar
perihal tulisan di pintu surga itu dari Israfil. Mereka lalu sepakat
mendatangi Azazil dan meminta didoakan agar tidak tertimpa laknat dari
Allah. Setelah mendengar penjelasan dari Israfil dan para malaikat yang
lain, Azazil lalu memanjatkan doa. “Ya Allah. Janganlah Engkau murka
atas mereka”.
Dengan reputasi ibadahnya, Azazil semakin bebas berkelana ke seantero
lapisan langit. Tidak ada wilayah langit yang belum dikenalnya. Seluruh
malaikat kagum kepadanya. Azazil dikenal sebagai malaikat yang maqbul
doanya.
Di luar do’anya yang mustajab, Azazil dikenal juga sebagai penghulu
para malaikat, bendaharawan surga, malaikat yang paling hebat dalam hal
ijtihad dan paling banyak ilmunya, malaikat yang paling terang, malaikat
yang paling mulya yang memiliki empat pasang sayap.
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan [untuk mengurus bermacam urusan] yang
mempunyai sayap, masing-masing [ada yang] dua, tiga dan empat…” [QS.
Fâthir [35]: 1]
Jadilah Azazil sebagai pemimpin malaikat di langit terdekat [samâ’
ad-dunyâ], cakrawala langit yang dapat kita saksikan serta bumi dan
isinya diserahkan pengaturannya kepada Azazil. Karena memang ia bertugas
mengatur urusan yang termasuk dalam lingkup langit dunia, yaitu
makrokosmos yang termasuk juga bumi serta planet-planet lainnya,
matahari, seluruh bintang dan galaksi hingga supercluster.
Semua lapis langit dan para penghuninya menjuluki Azazil dengan sebutan penuh kemuliaan meski berbeda-beda:
Pada langit lapisan pertama ia berjuluk Al-‘Âbid, ahli ibadah yang
mengabdi luar biasa kepada Allah. Di langit kedua, julukan Azazil adalah
Ar-Râki’ atau ahli rukuk kepada Allah. As-Sâjid atau ahli sujud adalah
gelarnya di langit ketiga. Pada langit berikutnya ia dijuluki Al-Khâsyi’
karena selalu merendah dan takluk kepada Allah. Karena ketaatannya
kepada Allah, langit kelima menyebut Azazil sebagai Al-Qânit. Gelar
Al-Mujtahid diberikan kepada Azazil oleh langit keenam, karena ia
bersungguh-sungguh ketika beribadah kepada Allah. Pada langit ketujuh,
ia dipanggil Az-Zâhid, karena sederhana dalam menggunakan sarana hidup.
Selama 120 tahun, Azazil, si penghulu para malaikat menyandang semua
gelar kehormatan dan kemuliaan, yang dengan itu Azazil mulai merasa
bangga akan kedudukannya. Kesombongan mulai merasuki diri Azazil. Untuk
itu Tuhan hendak menjadikan kesombongan yang tersembunyi dalam diri
Azazil menjadi nyata dengan menciptakan makhluk baru yang justru
diciptakan dari tanah di bumi yang menjadi wilayah kekuasaan Azazil.
PENCIPTAAN ADAM AS
Tibalah saatnya ketika para malaikat melakukan musyawarah besar atas undangan Allah.
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menciptakan seorang khalifah di bumi”. Para malaikat berkata:
“Mengapa hendak Kau jadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan menyucikanMu?” Tuhan menjawab:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. [QS.
Al-Baqarah [2]:30]
Kekhawatiran malaikat ini karena memang sebelumnya telah terjadi pertumpahan darah di bumi oleh bangsa jinn.
Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah”. [QS.
Shâd [38]: 71]
Dalam Bahrul ‘Ulûm li As-Samarqandiy 1:35, disebutkan: Kemudian Allah
memerintahkan malaikat Jibril untuk mengambil tanah di bumi sebagai
bahan penciptaan Adam. Namun bumi berkata kepada Jibril: “Atas nama
Allah yang telah mengutusmu, jangan kau lakukan! karena aku takut dari
tanah ini akan diciptakan makhluk yang banyak durhaka kepada Allah,
sehingga aku akan malu kepadaNya”.
Demikianlah argumentasi bumi yang telah lama bersahabat dengan
Azazil, sehingga sangat pandai mengolah kata. Bumi menolak perintah
Allah dengan bersumpah atas nama Allah, sebuah kalimat kontradiktif yang
secara sepintas nampak tawadhu‘ namun terjadi pengingkaran perintah.
Namun karena Jibril di waktu itu tidak terlatih untuk berargumentasi,
maka kembalilah Jibril ke hadapan Allah. Dengan rasa sungkan, Jibril
menghadap Allah sambil berkata, “Demikianlah yang terjadi, ya Tuhan!
Namun jika diperintahkan turun lagi ke bumi, hamba pun akan turun”.
Lalu diutuslah malaikat Mika’il, namun kejadiannya sama dengan
Jibril. Begitu pula malaikat Israfil juga tak bisa berkelit dengan
argumentasi bumi, hingga Israfil pun juga kembali menghadap Allah. Ini
mengisyaratkan bahwa dari bumi akan tercipta dan lahir makhluk yang
kedudukannya di sisi Allah bisa melebihi para malaikat.
Lalu diutuslah malaikat Izra’il, dan sebagai kalimat ketundukan
sebelum melaksanakan perintah, Izrail memuji Allah dengan kalimat
Baqiyatush Shalihah sampai lima kali:
SUBHANALLAH WAL HAMDU LILLAH, WALA ILAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR
“Maha Suci Allah, segala puji untuk Allah, tidak ada tuhan selain Allah,
Allah Maha Besar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan [izin] Allah”.
Maka turunlah Izrail ke bumi, dan seperti halnya Jibril, Mikail dan
Israfil, bumi pun menggertak dengan argumentasi yang hebat. Namun Izrail
membalas gertakan bumi dengan berkata, “mâ amarallâh awlâ min qawlik
[Apa yang diperintahkan Allah lebih utama dari ucapanmu]”. Lalu Izrail
mengumpulkan tanah berwarna merah, kuning, hitam dan putih, lalu dibawa
kembali menghadap Allah.
Menurut versi lain, Izrail yang kemudian ditugasi Allah untuk
membentuk rupa Adam. Dan karena Izrail yang berhasil membawa tanah
sebagai bakal tubuh Adam, maka Izrail yang kemudian akan ditugasi untuk
mencabut nyawa Adam dan anak keturunannya, hingga nyawa Izrail sendiri.
Sesungguhnya Kami telah menciptakanmu [Adam], lalu Kami bentuk tubuhmu, … QS. Al-A’râf [7]: 11
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya [Adam], dan telah
Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya [Adam]
dengan bersujud”.
Lalu bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali
iblis, dia tidak termasuk yang ikut ber-sujud, dia membangkang dan
menyombongkan diri. [Selengkapnya lihat QS. Al-Baqarah [2]: 30-39;
Al-A’râf [7]: 11-25; Al-Hijr [15]: 26-31; Al-Isrâ’ [17]: 61-65; Al-Kahfi
[18]: 50-51, Thâhâ [20]: 115-124; dan Shâd [38]: 71-74]
Karena Azazil tidak mematuhi perintah Allah, maka serta merta Allah
tidak memanggil dengan nama Azazil lagi, tapi dengan nama barunya,
Iblis, karena ia telah berputus asa dari rahmat Allah. Ia menjadi sosok
yang diramalkan dan bahkan ia kutuk selama seribu tahun.
“Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tanganKu. Apakah kamu menyombongkan diri
ataukah kamu [merasa] termasuk yang [lebih] tinggi?” (QS. Shâd [38]: 75)
Kisah selanjutnya seputar bagaimana argumentasi Iblis atas
ketidakpatuhannya untuk bersujud kepada Adam hingga akhirnya Iblis
diusir dari surga, dan seterusnya, telah banyak dibahas. Sebagai
pelengkap, pada lampiran di akhir buku ini kami sertakan seputar kisah
Iblis setelah Adam diturunkan dari surga ke bumi.
NAMA-NAMA IBLIS
Nama ‘Azâzîl [عَزازِيلُ] berasal dari bahasa Ibrani ‘azaz’el [עזאזל],
yang berarti “Tuhan telah menjadi kuat” atau “Tuhan memperkuat” dari
kata ‘ãzaz yang berarti “menjadi kuat”, dan ‘el berarti “Tuhan”.
Pertama kali tercatat nama Azazil ini terdapat di Perjanjian Lama
Kitab Imamat [Leviticus] Pasal 16 ayat 8, 10 dan 26 —yang telah ada
lebih dari 2000 tahun sebelum masa Islam. Dalam Bibel versi King James
diterjemahkan dengan “The Scape-goat” bermakna “kambing yang disuruh
pergi”, atau dengan perkataan lain “kambing pengangkut dosa”. Dari
sinilah asal muasal istilah “scapegoat” atau “kambing-hitam”.
Sebagaimana juga posisi iblis atau setan selalu kita tempatkan sebagai
kambing hitam dari kesalahan yang kita buat sendiri. Ia kita laknat
terang-terangan tetapi kita jadikan sahabat secara diam-diam.
Azazil adalah nama yang enigmatik dari naskah-naskah Ibrani dan
apokripa, dimana nama Azazil sendiri digunakan kadang tertukar dengan
nama Rameel dan Gadriel. Atau dalam pembahasan lain ia disejajarkan
dengan Lucifer dan Beelzebub.
Nama Azazil juga sering dikenal dengan berbagai ejaan, seperti:
Azazel, Azaziel, Azazyel, Azael, Asael, Aziel atau Asiel. Azazil juga
mempunyai beberapa julukan [kunyah], seperti: Abu Murrah, Abu Kurdûs,
dan Abû Karûbiyyîn. Kemudian kata Azâzîl dikenal dan dipakai dalam
bahasa Arab, sebagaimana nama Jibrîl atau Jibrâ’îl [Gabriel], Mîkâ’il
[Michael], Isrâfîl [Raphael], Izrâ’îl [Uriel], Ismâ’îl [Ismael], Isrâ’îl
[Israel], yang kesemuanya juga berasal dari bahasa Ibrani [Hebrew]
Bahasa Ibrani serumpun dengan bahasa Arab dalam lingkup bahasa Semit,
sehingga kata ‘azza atau ‘azzaza dalam bahasa Arab juga berarti “kuat”
atau “perkasa”, dan salah satu nama Allah pun adalah Al-‘Azîz [Yang Maha
Perkasa] Namun oleh Ibnu Abbas dan lainnya, kata Azâzîl dalam bahasa
Arab disetarakan dengan kata Al-Hârits [(الحارث].
MANUSIA ANTARA SETAN DAN MALAIKAT
Bangsa jin diciptakan oleh Allah dari nyala api (min mârij min nâr),
sedangkan malaikat dari cahaya (nûr). Api (nâr) dan cahaya (nûr) dalam
bahasa Arab berasal dari akar kata yang sama, yaitu terdiri dari huruf
nûn-waw-râ’.
Iblis adalah bapaknya jin, sebagaimana Adam adalah bapaknya manusia.
Iblis yang sebelumnya termasuk malaikat yang tercipta dari cahaya (nûr),
karena ia berputus asa dari rahmat Allah (dengan tidak mau bersujud
kepada Adam) maka diturunkanlah derajat kecahayaannya dari nûr menjadi
nâr. Turun tingkat energi (frekuensi)nya namun meningkat pada panjang
gelombangnya.
Nûr (cahaya) dan nâr (api), keduanya sama-sama cahaya, hanya berbeda
spektrum. Sebagaimana dalam spektrum cahaya yang biasa kita sebut untuk
warna pelangi: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Semua
warna cahaya yang bisa kita sebut hanya berasal dari tiga cahaya:
merah-hijau-biru, yang biasa disebut dalam istilah teknologi warna
sebagai RGB (red-green-blue). Warna-warna lain adalah campuran dari dua
atau tiga cahaya tersebut dengan proporsi tertentu.
Manusia mempunyai potensi setan dan malaikat. Jika baik, ia bisa
melebihi malaikat. Jika buruk, ia bahkan bisa lebih rendah dari setan,
serendah-rendahnya (asfala safilin).
Kita hampir sering lupa bahwa kita adalah manusia yang bisa salah dan
juga bisa benar. Betapa sibuknya kita menuntut orang lain agar selalu
sempurna, selalu baik seperti malaikat. Di saat lain, kita hampir-hampir
merasakan nikmat mengutuk sesama saudara yang berbeda aliran,
seolah-olah mereka adalah setan.
FASTA’IDZ BILLAH (maka berlindunglah kepada Allah)
Kalimat ta’âwudz (kalimat meminta perlindungan yang biasa kita kenal adalah:
A’ÛDZU BILLÂHI MINASY SYAYTHÂNIR RAJÎM
“Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk”.
Dalam surah Al-A’râf [7]:200, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan
syetan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui (as-samî’ al-‘alîm)”.
Maka redaksi lain dari kalimat ta’âwudz adalah:
A’ÛDZU BILLÂHIS SAMÎ’IL ‘ALÎM, MINASY SYAYTHÂNIR RAJÎM
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari (godaan) setan yang terkutuk”.
Dari struktur kalimat ta’awudz, kita diperintahkan agar berlindung
kepada Allah dari setan yang terkutuk. Muncullah pertanyaan, “Mengapa
dari setan, bukan dari iblis? Bukankah makhluk pertama yang disebut
setan adalah Iblis yang asalnya bernama Azazil?”
Dalam beberapa ayat disebutkan persamaan figur antara iblis dan
setan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Iblis adalah
namanya, sedangkan setan adalah sifat dan perbuatannya. Iblis dari
golongan jin, dan setan bisa berasal dari golongan jin dan manusia.
Dalam perintah agar minta perlindungan kepada Allah ini tersirat
makna bahwa Iblis jelas lebih banyak dalam hal ilmu, iman, amal sampai
ibadah. Bahkan Iblis semasa masih bernama Azazil telah menghuni surga
dan seluruh lapisan langit telah ia ketahui dan jelajahi. Maka, hanya
Allah yang akan dapat melindungi kita dari tipu daya Iblis.
Namun, dalam struktur kalimat ta’awudz kita tidak diperintahkan untuk
berlindung dari Iblis, tetapi dari setan. Siapa setan dan siapa Iblis?
Iblis disebutkan dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 50, “kâna minal jinn”
(adalah dia (iblis, dulunya) dari golongan jin), termasuk golongan jin,
bukan manusia. Iblis adalah nama salah satu makhluk dari bangsa jin.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, Iblis adalah bapak moyangnya jinn
sebagaimana Adam adalah bapak moyangnya manusia.
Dalam surah Al-Jinn [72] ayat 1 sampai 15 banyak kita ketahui
informasi kehidupan bangsa jin. Bahwa sebelum Nabi Muhammad diutus
sebagai Rasul, bangsa jin masih dapat menempati beberapa tempat di
langit untuk mendengarkan berita-berita dari para malaikat. Bahwa
diantara bangsa jin juga ada yang mengikuti ajaran para nabi dari bangsa
manusia sejak Adam hingga Isa, ada yang saleh dan ada yang tidak.
Dengan demikian ada sebutan jin muslim dan jin kafir.
Sedangkan setan adalah sifat buruk yang bisa mungkin dimiliki oleh
bangsa jin maupun manusia. Kata “setan” (syaythân) berasal dari akar
kata yang terdiri dari huruf Syin-Thâ’-Nûn, yang bermakna “ba’uda”
(jauh) dan “khâlafa” (menyalahi, mengingkari). Jadi, siapapun, baik jin
atau manusia, jika menjauhkan diri, menyalahi atau mengingkari tujuan
penciptaan (yaitu untuk beribadah kepada Allah), maka ia bisa disebut
“setan”.
Dalam firman Allah surah Al-An’âm [6] ayat 112 disebut-kan frase
“syayâthîn al-ins wa al-jinn” (setan-setan dari golongan manusia dan
jin), dan merekalah yang menjadi musuh setiap para nabi. Sehingga pula
dalam surah An-Nâs kita disuruh berlindung kepada Allah dari bisikan
jahat setan-setan yang tersembunyi (khannâs) yang berasal dari golongan
jin dan manusia (minal jinnati wan nâs).
Telah ditegaskan dalam firman Allah QS. Adz-Dzâriyât [51] ayat 56,
bahwa jin dan manusia diciptakan untuk ya’budûn (menyembah, mengabdi,
beribadah dan menghamba). Jadi, hanya dua jenis makhluk yang diberi
kewajiban menyembah atau beribadah, yaitu bangsa jin dan bangsa manusia.
Artinya, yang memiliki pilihan baik-buruk, sehingga akan mendapat surga
atau neraka, adalah jin dan manusia. Sedangkan makhluk lain, malaikat,
tumbuhan, hewan dan benda-benda tidak termasuk yang diberi kewajiban,
tidak memiliki pilihan selain hanya beribadah, bertasbih dan bersujud
kepada Allah dengan caranya masing-masing.
Untuk itulah jika siapa saja dari bangsa jin dan manusia tidak berada
pada jalanNya, maka mereka akan menjadi supporter neraka, seperti
firman: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan
manusia bersama-sama”. (QS. As-Sajdah [32]: 13)
Setan disebut “musuh yang nyata” bukan nyata dalam hal pandangan
mata, bukan maksudnya bahwa setan itu bisa dilihat mata kepala. Karena
kata “nyata” yang menyifati setan tersebut dengan kata “mubîn”, yang
berarti nyata dan jelas duduk perkara dan masalahnya. Ketidakrelaan
iblis untuk mengakui keunggulan Adam sudah menjadi penjelasan (bayân)
dan bukti nyata (bayyinah) bahwa ia akan terus memusuhi Adam dan
keturunannya. Disebut jelas karena setan bisa berada diantara (bayna)
diri kita sendiri, bahkan bisa berada di dalam diri kita sendiri.
Jadi, dalam struktur kalimat ta’awudz tersirat makna bahwa ada yang
lebih berbahaya dan lebih mungkin menyesatkan daripada Iblis, yaitu
sifat-sifat syaithaniyyah (satanic) yang ada dalam diri manusia sendiri,
kesombongan, merasa paling baik ibadahnya, merasa paling benar, merasa
paling tahu segala hal, dan sebagainya yang ujungnya adalah penuhanan
diri sendiri. Dan inilah yang disebut jauh dan menyalahi/mengingkari
kadar kemakhlukannya, karena yang berhak sombong, yang paling sempurna,
yang paling tahu, yang paling benar, tentu adalah Sang Pencipta sendiri.
Pada puncaknya, yang paling kita takuti adalah jika tipudaya itu
berasal dari Allah sendiri. Karena Allah berbuat apa saja yang Dia
kehendaki, Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, atau memberi
petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki (lihat QS. 13:27, 14:4, 16:93,
35:8, 74:31).
Azazil, yang saat itu menjadi makhluk nomor satu di langit dan di
bumi, karena Allah telah menghendaki, ia pun tersesat oleh dirinya
sendiri, oleh sifat setan yang ada dalam dirinya tanpa ia sadari.
Karena melihat Azazil dikutuk oleh Allah pertama kalinya, maka
Jibril, Mikail, Izra`il dan Israfil menangis tersedu-sedu memohon
perlindungan kepada Allah.
Salah satu redaksi doa yang diajarkan Nabi SAW:
“Aku berlindung dengan ridhaMu dari amarahMu, dan aku berlindung
dengan ampunanMu dari murkaMu, dan aku berlindung kepadaMu dariMu”.
Demikianlah. Setelah manusia dapat mengendalikan syetan dalam
dirinya, maka ia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Karena
terhadap dirinya sendiri, manusia pun bisa sangat mudah menipu. Menipu
diri sendiri. Mencurangi diri sendiri. Menghibur diri sendiri.
Menganggap indah dan baik semua perbuatannya sendiri.
Bahkan setelah manusia mampu mengendalikan dirinya, yang terakhir
harus dihadapi adalah Allah. Kalau Allah sudah menghendaki, apapun
terjadi. 70 tahun kafir, tetapi 5 menit sebelum ajal ternyata bertobat,
Allah yang berkuasa melakukan itu. 70 tahun selalu beribadah, tetapi 5
menit sebelum ajal ternyata murtad, Allah yang berhak berbuat itu. Maka,
benarlah firmanNya yang sering diulang-ulang:
“Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya”. (QS. An-Nisâ’
[4]: 88; lihat juga: QS. An-Nisâ’ [4]: 143; Al-A’râf [7]: 178, 186;
Ar-Ra’d [13]: 33; Al-Isrâ’ [17]: 97; Al-Kahf [18]: 17; Az-Zumar [39]:
23, 36; Al-Mu’min [40]: 33; Asy-Syûrâ [42]: 44, 46)
Salah satu kesombongan terbesar adalah kita diam-diam bangga dengan
jumlah ibadah yang telah kita lakukan kemudian diam-diam merasa tidak
mungkin tersesat. Sedangkan Allah adalah Sebaik-baik pembuat tipudaya
(Khayrul Mâkirîn, QS. Ali Imrân [3]: 54 & Al-Anfâl [8]: 30).
Siapakah yang bisa lepas dari tipudaya Allah?
Oleh karena itu, dalam doa dari Nabi SAW diatas diakhiri dengan kalimat: “Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu”.
BERSUJUD KEPADA RUH-KU
Ketika Iblis ditanya oleh Allah mengapa ia tidak bersedia bersujud
kepada Adam, ia menjawab, “Aku lebih baik daripada dia, Kau ciptakan aku
dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah. Apakah aku akan
bersujud kepada manusia yang telah Kau ciptakan dari tanah? Terangkanlah
kepadaku, inikah orangnya yang telah Kau muliakan atas diriku?”
(Lihat QS. Al-A’râf [7]:12; Al-Isrâ` [17]:61; Al-Isrâ’ [17]:62).
Dari jawaban Iblis tersebut dapat dipahami bahwa ia sekedar melihat
sisi lahiriah Adam yang diciptakan dari tanah bumi, yang mana saat itu
masih menjadi wilayah kekuasaannya. Ia tidak (atau tidak mau) melihat
sisi baathiniyah Adam, bahwa Ruh Allah ada di dalam diri Adam. Kepada
Ruh-Nya inilah perintah sujud tertuju, bukan kepada daging Adam atau
Adam sebagai makhluk.
IBLIS HARUS SUJUD KEPADAMU (?)
Dengan mengenal kisah-kisah tersebut, maka sudah SEHARUSNYA Iblis
memang HARUS sujud kepada anak cucu Adam, karena Ruh Allah yang
menggerakkan kehidupannya. Namun mengapa kita mengutuki iblis secara
terang-terangan tetapi kita jadikan sahabat secara diam-diam?
Seorang pelacur yang memberi minum anjing dapat terampuni
dosa-dosanya. Hanya sekali, dan kepada anjing pula. apalagi jika
perbuatan baik itu kita berikan kepada sesama manusia, sesama saudara
seagama pula?
Namun mengapa sepertinya sulit memberikan ruang dan kesempatan bagi
sesama saudara seagama untuk beribadah sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Sekali lagi, hanya berbuat baik kepada anjing dapat
terampuni dosa-dosa kita.
Alangkah asyiknya kita mengutuki sesama saudara seolah-olah esok
pagi kita masih bisa menjamin bahwa iman kita akan selalu berada dalam
kebenaran.