Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rosullullah SAW bersabda: “Siapa pun anak yang dilahirkan, kemudian diberi nama Muhammad dalam rangka mendapatkan berkah darinya, maka ia dan anaknya berada di syurga.”
Hadits mulia ini mengandung rahasia cinta kepada Rasulullah Saw, yang bisa difahami oleh kalangan khusus yang dekat dengan Allah Swt. Mereka senantiasa menyebut namanya yang penuh berkah, yang kemudian memberikan hasrat untuk berakhlaq dengan akhlaq beliau yang suci, dalam rangka bersiteguh dengan jejak langkahnya. Sehingga anda tidak melihat mereka berhenti dalam stasiun dunia, ketika mereka menempuh jalan napak tilas Rasul Saw. Bahkan mereka senantiasa sadar dan [penuh] khusyu’, senantiasa takut kepada Allah Swt, mengikuti jejak Nabi mereka, mengamalkan sunnah Nabinya, dan merekalah yang disebut para ‘arifun.
Anak-anak sekalian. Ketahuilah kaum arifin senantiasa menangis, ketika kaum yang alpa sedang tertawa. Dan mereka sedang susah ketika kaum yang terpedaya dunia sedang gembira. Allah Swt, berfirman:
“Wajah-wajah mereka hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya terus memandang.”
“Wajah-wajah mereka berseri, riang penuh gembira.”
Ragam orang menangis:
Sesungguhnya Allah Swt, telah menyebutkan bukti-bukti menuju ma’rifat. Dan diantara tanda kaum arifin senantiasa lebih banyak menangis dan mengalir air matanya karena Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “Dan mereka sujud gelisah dengan menangis.”
Allah Swt mencerca kaum alpa, karena mereka lebih banyak bersendagurau dan tidak pernah menangis.
“Apakah dari kisah ini mereka heran dan mereka tertawa-tawa dan tidak menangis?”
Menangis itu ada kalanya:
Menangis mata
Menangis hati
Menangis rahasia batin.
Menangis mata adalah tangisan kaum ma’rifat yang kembali hatinya kepada Allah Swt.
Menangis hati adalah tangisan kaum ma’rifat yang sedang menempuh jalan menuju Allah Swt.
Menangis rahasia batin, adalah kaum ma’rifat yang menangis karena mereka menjadi pecinta Allah Swt.
Perlu diketahui, bahwa kalangan ahli ma’rifat mempunyai kesusahan yang tersembunyi di bawah rahasia batin mereka, tertutupi oleh pemikiran mereka, maka, ketika rahasia batinnya memuncah, berhembuslah angina rasa takut penuh cinta karena Kharisma Ilahi. Sedangkan hatinya begolak jilatan api kegelisahan, yang membakar seluruh remuk redamnya kealpaan dan kelupaan kepada Tuhannya Azza wa-Jalla.
Derajat Tangis
Tangisan itu terdiri enam arah:
Menangis karena malu, seperti tangisan Nabi Adam as.
Menangis karena kesalahan, seperti tangisan Nabi Dawud as.
Menangis karena takut, seperti tangisan Nabi Yahya bin Zakaria.
Menangis karena kehilangan, seperti tangisan Nabi Ya’qub as.
Menangis karena Kharisma Ilahi, seperti tangisan seluruh para Nabi as, yaitu dalam firmanNya: “Ketika dibacakan ayat-ayat Sang Rahman kepada mereka, maka mereka bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)
Menangis karena rindu dan cinta, seperti tangisan Nabi Syu’aib as, ketika beliau menangis sampai matanya buta, kemudian Allah Swt, mengembalikan menjadi sembuh, lalu beliau menangis lagi hingga buta kembali sampai tiga kali. Lalu Allah Swt, memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Syu’aib, bila tangisanmu karena engkau takut neraka, Aku sudah benar-benar mengamankan dirimu dari neraka. Dan jika tangismu karena syurga, Aku telah mewajibkan dirimu syurga.” Ayub menjawab, “Tidak Ya Tuhan, namun aku menangis karena rindu ingin memandangmu…”
Kemudian Allah Swt, menurunkan wahyu kepadanya, ”Sungguh wahai Syu’aib! Sangat benar orang yang menghendakiKu, menangis dari dalam rindu kepadaKu. Untuk penyakit ini tidak ada obatnya, kecuali bertemu denganKu.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, bersabda: “Bila seorang hamba menangis karena takut kepada Allah atas masalah ummat, sungguh Allah Swt memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba tadi.”
Rabi’ah ra, berkata, “Aku menangis selama sepuluh tahun karena merasa jauh dari Allah Swt, dan sepuluh tahun lagi menangis karena bersama Allah Swt, kemudian sepuluh tahun menangis karena menuju kepada Allah Swt. Menangis karena bersama Allah, disebabkan sangat berharap padaNya. Sedangkan menangis jauh dari Allah Swt, karena takut kepadaNya. Adapun menangis karena menuju Allah Swt, karena sangat rindu kepadaNya.”
Salah satu Sufi berkata, “Aku masuk ke rumah abi’ah al-Bashriyah, ketika itu ia sedang sujud. Lalu aku duduk di sisinya, hingga ia bangun mengangkat kepalanya. Kulihat ditempat sujudnya menggenang air matanya. Aku bersalam kepadanya, dan ia jawab salamku. Ia berkata, “Apa kebutuhanmu?” tanyanya.
“Aku ingin datang kepadamu..” kataku.
Lalu ia menangis, dan memalingkan wajahnya dariku. Ketika ia menangis, ia mengatakan, “Sejuknya matahatiku harus datang dariMu? Sungguh mengherankan orang yang mengenalMu, bagaimana ia bisa sibuk dengan selain DiriMu? Mengherankan sekali! Orang yang menghendakiMu, bagaimana ia menginginkan selain DiriMu?”
Atha’ as-Sulamy ra, ketika menagis banyak berungkap: “Oh Tuhan, kasihanilah diriku yang putus menujuMu, kasihanilah berpalingku dari selain DiriMu, kasihanilah keterasinganku di NegeriMu, kasihanilah rasa takutku pada hamba-hambaMu dan berhentinya diriku di hadapanMu.”
Al-Fudhail bin Iyadh menegaskan, “Ketika aku sedang thawaf, aku bertemu seseorang yang roman mukanya berubah dan tubuhnya kurus kering, ia menangis dengan menderu, lalu aku dekati ia. Tiba-tiba ia berkata, “Oh Tuhanku!betapa mesranya hati para pecinta,betapa ringannya hati para airfin, sungguh tak akan putus harapan perindumu.”
Tiba-tiba kudengar bisikan suara mengatakan, “Wahai Waliyullah, sungguh tujuh langit ikut menangis. Diam! Sekarang apa yang kamu pinta!.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Adam as, ketika diturunkan dari syurga, ia menangis sampai airmatanya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu Allah Swt, mewahyukan padanya, “Tangisan ini karena kehilangan syurga, lalu mana tangisan karena meninggalkan khidmah bakti padaKu?”
Lalu Nabi Adam as, terkejut, hingga sampai pada kalimat ikhlas. Lalu berucap”Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka…” (Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau!)
Allah Swt, berfirman, : “Maka Adam mendapatkan kalimat-kalimat dari Tuhannya, lalu ia taubat kepadaNya.”
Dzun Nuun al-Mishry –semoga Allah Swt, merahmatinya– mengatakan, “Aku melihat lelaki di Makkah sedang menangis dengan tangisan ahli ma’rifat, lalu aku mendekat,
“Apakah engkau punya kekasih?” tanyaku.
“Betul!” jawabnya.
“Jauh apa dekat kekasihmu itu?”
“Dekat,” katanya.
“Selaras denganmu apa tidak?”
“Sungguh selaras denganku.”
“Subhanallah! Lalu kenapa engkau menagis?”
“Ketahuilah, siksaan karena dekat dan serasi itu lebih pedih, ketimbang siksaan karena jauh dan kontra…!”
Dikisahkan bahwa Rabiah –Rahimahallahu Ta’ala– suatu hari sedang lewat di salah satu jalan di Bashrah. Tiba-tiba ada tetesan yang menetes dari kesdihan, lalu ia bertanya, “Tetesan apakah itu?” Lalu dijawab, “Itu dari tangisan Hasan.” Rabi’ah lalu berkata, “Katakanj semua ya pada Hasan, seandainya airmata bertambah terus hingga sampai ke Arasy sana, sebagai rasa cinta kepada Allah Swt, sungguh airmata itu sangat sedikit sekali.”
Abbad bin Syumaid bin Ujlan berkata:”Apakah orang munafiq itu menmangis?”
Lalu dijawab, “Menangis dari mata kepala, memang. Tapi tangisan dari hati, tidak!”
Fudhail ra, mengatakan, “Bila anda melihat seseorang menangis tapi hatinya alpa, maka itulah tangisan munafiq. Tangisan yang sesungguhnya adalah tangisan qalbu.”
Malik bin Dinar ra, ditanya, “Tidakkah engkau datang dengan seorang qari’ yang membaca di hadapanmu?”
“Kematian kekasih tidak butuh pada peratap tangisan.”
Ka’b al-Ahbar ra, menandaskan, “Suatu tangisanku setets karena takut kepada Allah Ta’ala, lebih kucintai disbanding sedekah segunung emas.”
Dalam tangisan Malik bin Dinar ra, seringkali munajat, “Duh diriku! Engkau ingin bersanding pasa Sang Maha Jabbar, dan menjadi orang yang terpilih, lalu mana engkau tinggalkan syahwat nafsumu? Sudah sejauh mana engkau mendekat kepada Allah? Wali mana yang engkau cintai karena Allah? Musuh mana yang engkau benci karena Allah? Menahan diri yang mana yang engkau lakukan karena Allah? Tidak! Jika semua itu tidak karena ampunan dan rahmat Allah!”. Tiba-tiba ia pingsan.
Diriwayatkan, bahwa Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as,: “Tak ada yang lebih dekat kepadaKu dibanding orang-orang yang menangis karena takut dan cinta kepadaKu.”
Tsabit an-Nasaj, ra berkata, “Nabi Dawud as, tidak pernah minum setegukpun setelah berbuat kesalahan, melainkan ia hanya menyerap airmatanya, hingga beliau menemui Allah Azza wa-Jalla (wafat).”
Ketika suatu hari melihat airmatanya banyak yang mengalir, ia berkata, “Ya Ilahi, apakah Engkau tidak kasihan atas tangisanku?”
Lalu ada suara dari langit, “Hai Dawud! Engkau masih ingat airmatamu, sedangkan engkau tidak mengingat dosa-dosamu?!”
Lantas Nabi Dawud as mengambil debu yang dipanaskan, lalu mengusap-usap kepalanya dengan debu pasir itu, sembari berkata, “Duh hilanglah air mukaku di hadapan Tuhanku.”
Di masa Hasan al-Bashry ra ada seorang lelaki yang punya anak perempuan sedang menangis, hingga matanya buta. Lelaki itu datang kepada Hasan agar didoakan dan dinasehatinya, siapa tahu ia menyadari dirinya. Lalu Hasan mendatangi gadis itu, dan berkata, “Kasihanilah dirimu!”
“Oh, guru! Mataku tidak lepas dari dua wajah, apakah layak untuk memandang Tuhanku atau tidak. Jika tidak layak maka sudah benar kalau mataku buta! Jika benar layak, maka ribuan seperti mataku ini pantas menjadi tebusan untuk memandangNya,” jawabnya.
“Aku datang untuk mengobati, malah aku yang diobati. Aku datang untuk jadi dokternya, malah aku menemukan dokterku.”
Salamah bin Khalid al-Makhzumy ra mengatakan, “Suatu hari perempuan dari Syam ada di Baitullah al-Haram, ia bisaa dipanggil Khazinah (Sang duka), karena selamanya menangis akibat rindunya kepada Allah Swt. Saat ia memandang pintu Ka’bah, selalu ia berucap, “Oh rumah Tuhanku, oh, rumah Tuhanku…”
Suatu saat pintu Ka’bah dibuka, lalu wanita itu melihat orang-orang sedang thawaf sembari menangis, dan berucap, “Diraja kami dan matahati kami…betapa panjang rindu kami kepadaMu…Kapan kami bertemu?” Wanita itu mendengarkan ucapan itu, lalu menjerit pingsan, hingga membuatnya mati.
Yahya bin Ashfar menandaskan, “Kami masuk bersama jamaah kami ke rumah Ufairah, perempuan ahli ibadah –semoga Allah Ta’ala merahmatinya-. Ia seorang yang buta karena banyaknya menangis, lalu salah satu dari kami mengatakan, “Betapa sedihnya kebutaan setelah sebelumnya bisa melihat!”.
Rupanya ia mendengar ucapan itu, dan berkata, “Hai hamba Allah! Butanya hati dari Allah Swt lebih pedih ketimbang butanya mata kepala! Aku sangat senang jika Allah memberikan kenyataan cintaNya kepadaku, dan sama sekali aku tidak ada kesedihan melainkan Allah Ta’ala mengambilnya dariku.”
Malam gelap gulita
Sedang pemaksiat lelap tidurnya.
Sang Arifun berdiri di hadap Tuhannya
Membacakan Ayat-ayat hidayah
Airmata mereka mengalir bercucuran
Tak sabar sedetik pun untuk tidak mengingatNya
Deru rindu bergelora
Sungguh pecinta tak pernah tidur.