Ditinggal Setahun Bolehkah Menikah lagi
Pernah
kan melihat kasus seperti ini, dimana suami istri, istrinya ditinggal suami
selama setahun tanpa diberi nafkah lahir dan batin.
Kasus serupa dialami salah seorang temanku berinisial WT.
Dalam Ajaran Islam.
Ada Hadits, Rasulullah SAW bersabda,
"Mereka (istri) berhak mendapatkan dari kamu sekalian, berupa makanan dan pakaian dengan cara yang baik."
(HR. Muslim).
Dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa suami wajib memberi nafkah lahir dan batin kepada istri dan anak-anaknya (sesuai kemampuan) sebagai pertanggungjawaban suami serta menjaga kehormatan rumah tangga.
Sebaliknya,
jika suami meninggalkan istri dalam waktu 3 bulan berturut-turut tanpa memberi nafkah lahir dan batin, berarti pernikahan itu batal.
Artinya,
hubungan suami istri tidak ada, namun perlu dipertegas bahwa si istri harus menggugat cerai di pengadilan agama untuk mendapatkan surat cerai.
Lalu bagaimana kalau si istri disukai atau akan dipinang oleh lelaki lain.
Ya harusnya istri mengurus surat cerai dulu agar statusnya menjadi janda, karena Islam melarang seorang wanita untuk berpoligami.
Meski si suami tak memberi kabar apalagi nafkah, wanita itu tetap berstatus sebagai istri.
Jadi, penyelesaiannya.
Ditinggal setahun tanpa memberi nafkah lahir batin, istri boleh menikah lagi dengan catatan kalau sudah mendapatkan surat cerai.
Sebagai saran saja, sebaiknya si wanita tadi menikah lagi dengan lelaki yang statusnya sudah duda atau masih perjaka, karena pernikahan poligami itu sulit untuk berbagi dan adil secara fisik dan ekonomi.
Kasus serupa dialami salah seorang temanku berinisial WT.
Dalam Ajaran Islam.
Ada Hadits, Rasulullah SAW bersabda,
"Mereka (istri) berhak mendapatkan dari kamu sekalian, berupa makanan dan pakaian dengan cara yang baik."
(HR. Muslim).
Dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa suami wajib memberi nafkah lahir dan batin kepada istri dan anak-anaknya (sesuai kemampuan) sebagai pertanggungjawaban suami serta menjaga kehormatan rumah tangga.
Sebaliknya,
jika suami meninggalkan istri dalam waktu 3 bulan berturut-turut tanpa memberi nafkah lahir dan batin, berarti pernikahan itu batal.
Artinya,
hubungan suami istri tidak ada, namun perlu dipertegas bahwa si istri harus menggugat cerai di pengadilan agama untuk mendapatkan surat cerai.
Lalu bagaimana kalau si istri disukai atau akan dipinang oleh lelaki lain.
Ya harusnya istri mengurus surat cerai dulu agar statusnya menjadi janda, karena Islam melarang seorang wanita untuk berpoligami.
Meski si suami tak memberi kabar apalagi nafkah, wanita itu tetap berstatus sebagai istri.
Jadi, penyelesaiannya.
Ditinggal setahun tanpa memberi nafkah lahir batin, istri boleh menikah lagi dengan catatan kalau sudah mendapatkan surat cerai.
Sebagai saran saja, sebaiknya si wanita tadi menikah lagi dengan lelaki yang statusnya sudah duda atau masih perjaka, karena pernikahan poligami itu sulit untuk berbagi dan adil secara fisik dan ekonomi.
Hukum Suami Meninggalkan Istri Dalam Islam
Al-Qur’an
memberi batasan bahwa suami tidak boleh meninggalkan istri lebih dari empat
bulan.
Mengenai
hal ini, Syaikh Utsaimin memberikan pendapat [Fatawa Nir 'Aladarb Syaikh
Utsaimin, hal 17, Majalatul Buhuts 9/60. Durus wa Fatawa Haramul Makky, juz 3
hal.270] :Pertama : Tidak benar bahwa Al-Qur’an tidak membolehkan suami meninggalkan istri lebih dari empat bulan sebab tidak ada satu ayatpun yang menyebutkan demikian. Akan tetapi yang terdapat di dalam Al-Qur’an hanyalah pembatasan tentang orang yang ila’ yaitu suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya, kemudian Allah memberikan waktu empat bulan kepadanya, sebagaimana firman Allah “Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah : 226]
Dibolehkan suami pergi meninggalkan istrinya, lebih dari empat bulan, enam bulan, setahun atau dua tahun dengan syarat tempat tinggal istri aman dan rela ditinggalkan, jika tempat tinggalnya tidak aman atau tempat aman tapi istri tidak merelakan, maka dalam kondisi seperti itu, suami tidak boleh meninggalkan istrinya. Wajib bagi setiap suami untuk menggauli istrinya secara baik.
Jika suami pergi setelah sekian lama tanpa memberi kabar kepada istrinya (keluarganya), apakah sang suami harus memberikan surat talaq kepada istrinya ?
Syaikh Shalih Fauzan memberikan pendapat [Kitabut Muntaqa Syaikh Fauzan, juz 3/242] :
Tidak perlu sang suami mengirimkan surat untuk menjatuhkan talak kepada istrinya, jika dia berhalangan secara syari’at yang mengakibatkan dia tidak bisa pulang. Maka tidak boleh bagi istri menuntut secara paksa terhadap suaminya agar pulang melainkan setelah ada kemampuan.
Dalam kondisi seperti ini istri berhak memilih diantara dua pilihan ; bersabar menunggu kedatangan suaminya atau menuntut hak dengan cara mengajukan talak. Dan sebaiknya suami harus tetap bersabar hingga datang kesempatan untuk pulang. Insya Allah jika ikhlas dan bersungguh-sungguh, maka akan mendapatkan jalan keluar dan pertolongan.
Dalam hal ini orang tua sang suami tetap harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap sang istri.
Sumber :
Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita jld-2, hal 111-112 Darul Haq
Suamiku Tak Memberi
Nafkah
Assalamu'alaikum
Saya ibu dari 2 anak dan saya juga bekerja. Dalam dua
tahun terakhir, kehidupan rumah tangga saya tidak harmonis, bahkan sudah 1,5
tahun kami tidak melakukan hubungan suami istri. Nafkah lahir dari suami juga
amat minim, bahkan 6 bulan terakhir suami tidak memberi nafkah sama sekali
dengan alasan sekarang saya pulang ke rumah orangtua. Menurut saya, jika memang
dia tidak ingin memberi nafkah buat saya, biar saja. Tapi, bagaimana dengan
anak-anaknya yang juga butuh biaya pendidikan. Anak pertama saya sudah kelas 5
SD dan yang kedua SD kelas 1.
Yang ingin saya tanyakan bagaimana hukum dari perkawinan
kami yang seperti ini? Sepengetahuan saya jika seorang suami tidak memberi
nafkah lahir batin selama 3 bulan berturut-turut padahal dia mampu, maka
hukumnya sudah jatuh talak. Dengan begitu, saya menganggap bahwa saya sudah
ditalak oleh suami meski tidak ada ucapan dari dia. Saya juga sudah
menyampaikan kepada suami bahwa saya minta cerai, tetapi suami tidak mau
mengabulkannya. Katanya, dia ingin memperbaiki keadaan, tetapi saya tidak mau
lagi karena ada beberapa hal yang tidak bisa saya jalani lagi bersama dia.
Bagaimana menyelesaikan masalah ini, Ummi?
Wassalamu'alaikum
Andrie, via
e-mail
Jawaban
Syariah
Nanda Andrie yang Ummi sayangi, keluarga sakinah,
mawaddah dan rahmah adalah idaman setiap pasangan suami istri. Rumah
tangga seperti ini terbangun atas dasar pemenuhan hak-hak dan kewajiban suami
istri. Kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin tehadap istri
dan anak-anaknya, sementara istri mempunyai kewajiban untuk taat kepada suami.
Allah Ta’ala
berfirman, “...dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS Al
Baqarah: 233). Rasulullah saw juga bersabda, “Kewajiban
kalian (suami) atas mereka (istri) memberikan makanan dan pakaian dengan baik.”
Jika suami dengan sengaja menelantarkan dan menzhalimi
istri dan anaknya dengan tidak memberikan nafkah, maka itu adalah kesalahan dan
dia berdosa karena telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah
bagi anak-anaknya. Istri dapat menuntut hak-haknya. Jika nafkah tersebut tidak
dapat dipenuhi dan diberikan oleh suami maka istri pun dapat menuntutnya dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Gugatan ini dapat berakibat kepada
perceraian yang disebut dengan tafriq qadha’i (perceraian
melalui Pengadilan Agama), sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq yang
diikrarkan oleh suami saat setelah akad nikah berlangsung. Di antara
poin-poinnya adalah sebagai berikut:
Meninggalkan istri selama
dua tahun berturut-turut. Atau tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama tiga
bulan lamanya. Atau menyakiti badan/jasmani istri. Atau membiarkan (tidak
memedulikan) istri selama enam bulan.
Jika suami melakukan salah satu dari keempat poin
tersebut dan istri tidak ridha, maka istri dapat mengadukannya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu.
Pengaduannya bisa dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas
tersebut dan istri membayar uang pengganti atau ‘iwadh kepada
suami. Jika proses ini berjalan dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya.
Dalam masalah Nanda ini belum jatuh talak, karena yang
memutuskannya adalah Pengadilan Agama setelah melakukan proses persidangan.
Jadi, sebaiknya Nanda menyelesaikannya melalui Pengadilan Agama yang memang
berhak memperkarakannya sesuai pengaduan istri.
Jawaban
Psikologi
Nanda Andrie, salah satu tujuan pernikahan adalah
terbangunnya suasana sakinah, mawaddah, dan rahmat dalam keluarga. Dengan
suasana tersebut, maka seorang istri akan merasa terayomi karena perlindungan
yang diberikan suaminya; sebaliknya seorang suami merasa nyaman berada bersama
istrinya dan bersemangat untuk mencari nafkah bagi keluarga. Dalam suasana
tersebut, anak-anak dibesarkan dan tumbuh sehingga mereka siap menjadi pribadi
yang sehat.
Tetapi, memang tidak semua kondisi ideal tersebut bisa
tercapai dengan mudah. Buat sebagian pasangan jalan menuju kondisi ideal ini
sangat sulit. Meski dalam surat ini Nanda tidak menjelaskan faktor apa yang
menyebabkan Nanda tidak bisa lagi menerimanya, beberapa saran berikut ini ada
baiknya Nanda pertimbangkan sebelum mengambil keputusan:
-
Pertimbangkan dengan matang kondisi kejiwaan anak-anak yang telah diamanahkan
pada Nanda. Mereka adalah generasi masa depan yang akan menjadikan kehidupan
orangtuanya sebagai contoh dalam kehidupan yang mereka jalani kelak serta dalam
menata cita-citanya. Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang kurang harmonis,
akan tumbuh dengan kasih sayang yang terbatas.
-
Ingat-ingatlah kebaikan dan sisi positif yang dimiliki suami, jangan terfokus
pada keburukannya saja. Harapan yang terlalu besar terkadang berubah menjadi
tuntutan tersendiri yang akan membuat kecewa manakala tuntutan tersebut tidak
terpenuhi. Karena itu, cobalah Nanda bersikap realistis.
-
Lakukanlah introspeksi untuk mengevaluasi perjalanan pernikahan Nanda dan
sejauh mana Nanda masih mencintainya. Setiap orang tentu pernah melakukan
kesalahan, jika memang kesalahan tersebut bukan merupakan sesuatu yang fatal,
bukakanlah pintu maaf. Semoga dengan kesabaran yang Nanda berikan, Allah berkenan
menggantinya dengan karunia lain yang lebih besar.
-
Pertimbangan dari anggota keluarga besar, perlu dijadikan masukan. Mintalah
pendapat pada keluarga Nanda yang memiliki wawasan dan bijak dalam memberi
pandangan. Liku-liku persoalan rumah tangga dialami hampir oleh setiap orang
yang sudah berkeluarga dengan intensitas yang berbeda-beda. Nanda dapat
mengambil pelajaran sebelum akhirnya mengambil keputusan.
- Apapun
langkah yang akan Nanda tempuh, tentunya Nanda pun memiliki hak untuk
mendapatkan kebahagiaan bagi diri sendiri. Bila semua langkah sudah dijajaki,
serta Nanda sudah berpikir secara matang mempertimbangkan konsekuensinya bila
berpisah, lakukan shalat istikharah agar Allah memberikan kemantapan hati
kepada Nanda untuk memilih mana jalan yang akan diambil.
Jawaban
Hukum
Menurut pasal 39 dari UU No. 1 tahun 1974, perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Kemudian untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
dan istri itu tidak akan dapat hidup sebagai suami istri lagi.
Kemudian pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan :
Salah satu pihak berbuat
zina, menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan; Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain; Salah satu pihak mendapat cacat bawaan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri. Antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kemudian, dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam keenam
alasan tersebut di atas ditambah lagi menjadi :
Suami melanggar taklik
talak Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Bagaimana hukum perkawinan Nanda? Menurut Ummi dalam
situasi tersebut dan dengan melihat alasan-alasan di atas, talak belum jatuh.
Apalagi pihak suami sendiri belum menyatakannya, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
Namun demikian, dalam kasus Nanda, sebenarnya cukup
alasan untuk berpisah dengan suami. Kendati ini juga mungkin bukan pilihan
terbaik, utamanya bagi masa depan anak. Keputusan untuk bercerai adalah suatu
pilihan dari suami istri bersangkutan. Dalam arti, pihak pengadilan agama akan
bersikap pasif dan tak akan memaksakan terjadinya perceraian tersebut, selama
kedua pihak tidak menginginkannya.
Memang talak adalah hak dan kewenangan suami, namun
hukum perkawinan Indonesia juga memberi peluang kepada pihak istri untuk
menggugat cerai suaminya dengan alasan-alasan yang sama seperti tersebut di
atas. Gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Agama dimana istri berdomisili atau
sesuai dengan KTP dari istri.
Selanjutnya, semuanya terpulang kepada Nanda dan
suami. Semoga Allah swt memberikan jalan keluar yang terbaik bagi rumah tangga
Nanda.