Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Sabtu, 25 Mei 2013
ALLAH SWT, Ciptakan Kita Semua Sama
Awal di tiupkan Ruh ke dlm rahim...
Lalu engkau hidup menjadi janin..
Tak beda, tidak berbentuk lain..,
Satu janin berkepala satu, tak berkepala seribu...
Dan tak bergolongan apapun...
Semua SAMA....
Awal engkau muncul dipermukaan dunia..
Engkau hidup menjadi manusia yg utuh..
Ada 2 mata, 1 hidung, 2 telinga, 1 mulut ..,
2 kaki, 2 tangan dan seluruh anggota tubuhmu..
Berjumlah yg sama, tdk ada yg lebih ataupun kurang..
Semua SAMA...menjadi makhluk sempurna.. Alhamdulilah.
Awal engkau diperjalankan ke bumi..
Untuk meramaikan seisi bumi ini..
Dengan tugas yg beragam corak..
Dengan lakon hidup yg berbeda2..
Ada petani, ada pejabat, ada pemasak makanan,
Ada pemasok barang, ada pula pengangguran..
Dan siapapun mereka para pelakon dunia...
Mereka semua SAMA..
Sama-sama mempunyai hati, akal dan pikiran..
Awal enggkau mengenal agama ..
Memahami makna dari semua agama..
Menelaah maksud beragama dan
Mencoba mengamalkan dari kaidah2 agama yg ada..
Lalu menjalankannya dgn indah dan khusyuk...
Nah itu yg Semua TIDAK SAMA...
Amalyiah masing2 manusia tergantung dari volumenya..
Ya amalyiah manusia itu berbeda-beda..
Semua sesuai dari pemahamannya, penghayatannya..
Pengertiannya, dan kelakuan apa yg di buatnya..
Besarkah atau kecilkah apa yg di kerjakannya.
Amalyiah manusia tdk semua manusia SAMA.
Sahabat Terkasih...
Jadi jelas apa yg membedakan itu semua..
Hanya amalyiah yg bisa membedakan
Yang bisa memisahkan dan yang bisa menentukan
Golongan mana dia berada...
Bukan harta-mu..
Bukan kekayaan-mu..
Bukan pula jabatan-mu..
Dan bukan kemiskinan-mu
Bukan Ke'minderan-mu..
Bukan ketiadaan diri-mu..
Juga bukan pula kehinaan-mu...
Tidak satu pun semua itu menjadi pokok terpenting di mata Allah..
Tidak satupun perkara itu di pandang Allah..
Dan tidak sezahra-pun status itu dalam hitungan-Nya..
Sadarlah wahai sahabat terkasih..
Kita semua SAMA..
Kita semua dalam produk yg SAMA..
Dalam Dzat yg SAMA...
Dalam naungan yg SAMA...
Dalam tempurung yg SAMA...
Semua dalam GENGGAMAN_NYA yg SAMA...
Hanya DIA lah yg menggenggamkan seluruh makhluk2Nya..
Sahabat Terkasih...
Plissss...
Bangkitlah dari rasa kegelisahan hati-mu..
Bangkitlah dari rasa Keminderan-mu..
Dari rasa tak berdaya atas kondisi-mu..
Dari semua rasa buruk yg tdk baik kau rasakan..
Aku Sulbi adalah sahabat-mu..
Sahabat dalam duka dan duka..
Sahabat dlm setiap pelakon2 dunia..
Sahabat dlm kegundahan dan kegelisahan-mu..
Ulurkan tangan-mu agar cepat ku gapai hati-mu...
Jangan kau gundah, resah dan sungkan...
Aku akan selalu ada pada setiap kesedihan-mu..
Semampu membantu keresahan-mu..
Akulah ibu-mu, kakak-mu..
Adik-mu, saudara-mu, tante-mu..
Apapun itu lakonnya..
Aku tetap sahabat kasih-mu..
Tak membeda-bedakan derajat diri manusia...
Sahabat terkasih.. KITA SEMUA SAMA....
Yaa kita semua SAMA...
Memang SAMA..
SAMA-SAMA mempunyai Tuhan yg SAMA yaitu 'ALLAH SWT..'
SAMA-SAMA mempunyai Nabi suci yg SAMA yaitu 'Rasulullah Saw- Muhammad Saw'..
SAMA-SAMA beragama yg SAMA namanya yaitu 'ISLAM'..
SAMA-SAMA Rahmatan Lil' Alamin..
Yaa kita semua SAMA hidup dalam Dunia-Nya..
Dan akan wafat masuk ke dalam Akherat-Nya..
Hanya Amalyiah kita yg membedakan..
Hanya amalyiah yg membedakan kita..
Golongan kanan 'kah atau golongan kiri 'kah..
Sadarlah sahabat.... Semua milik-Nya..
Tak ada satupun kepunyaan kita..
Kita SAMA-SAMA MISKIN...
Tak punya apa2.. Alhamdulilah....
"Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan" (QS 90:17-18)
"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh" (.QS 27:19)
Wassalamu'alaikum wr wb
APA KRITERIA MENJADI ULAMA DAN ILMUNYA
Assalamu'alaikum wr wb.
Saya punya beberapa pertanyaan.
1. Apakah definisi ulama? Kapankah seseorang bisa dikatakan ulama?
2. Misalkan mayoritas ulama berpendapat A dan ada beberapa ulama berpendapat B, bolehkah kita mengikuti pendapat B karena itu lebih mudah bagi kita? Apakah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai mengikuti hawa nafsu, karena kita mengambil sesuatu berdasarkan mudahnya saja?
Untuk itu saya meminta penjelasan juga dari Ustadz
Terima kasih atas jawaban Ustadz
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata 'aalim. 'Aalim adalah isim fail dari kata dasar:'ilmu. Jadi 'aalim adalah orang yang berilmu, maksudnya ilmu syariah. Dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu ke dalam di bidang ilmu-ilmu syariah.
Dan secara istilah, kata ulama mengacu kepada orang dengan spesifikasi penguasaan ilmu-ilmu syariah, dengan semua rinciannya, mulai dari hulu hingga hilir.
Keutamaan dan Kedudukan Para Ulama
Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama,
Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.
Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih)
Di dalam kitab Ihya'u Ulumud-din karya Al-Imam Al-Ghazali disebutkan bahwa manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah ahlul-ilmi (ulama) dan ahlul jihad (mujahidin). Karena ulama adalah orang yang menunjukkan manusia kepada ajaran yang dibawa para rasul, sedangkan mujahid adalah orang yang berjuang dengan pedangnya untuk membela apa yang diajarkan oleh para rasul.
Kerancuan Istilah Ulama
Namun istilah ulama di masa kini sering kali menjadi rancu dan tertukar-tukar dengan istilah lain yang nyaris beririsan. Padahal keduanya tetap punya perbedaan mendasar. Misalnya, seorang yang berprofesi sebagai penceramah, seringkali disebut-sebut sebagai ulama, meski tidak punya kapasitas otak para ulama. Kemampuannya di bidang ilmu syariah, jauh dari kriteria seorang ulama.
Penceramah adalah sekedar orang yang pandai berpidato menarik massa, punya daya pikat tersendiri ketika tampil di publik, mungkin sedikit banyak pandai menyitir satu dua ayat Quran dan hadits, tetapi begitu ditanyakan kepadanya, apa derajat hadits itu, ada di kitab apa, siapa saja perawinya, dan seterusnya, belum tentu dia tahu.
Bahkan tidak sedikit penceramah yang buta dengan huruf arab, alias tidak paham membaca kitab berbahasa arab. Padahal sumber-sumber keIslaman hanya terdapat dalam bahasa arab.
Namun penceramah tetap dibutuhkan oleh masyarakat awam, yang betul-betul kurang memiliki wawasan dan pemahaman atas agama Islam. Jadi meski seorang penceramah hanya punya ilmu agama pas-pasan, tetapi tidak ada rotan, akar pun jadilah.
Bahkan terkadang terjadi fenomena sebaliknya, banyak orang yang sudah sampai kepada level ulama, punya ilmu banyak dan mendalam, tetapi kurang fasih ketika berbicara di muka publik. Bahkan boleh jadi figurnya malah kurang dikenal. Sebab beliau tidak mampu berpidato di TV untuk menjaring iklan. Padahal dari sisi ilmu dan kedalamanannya atas kitabullah dan sunnah rasul-Nya, tidak ada yang mengalahkan.
Ulama Satu Bidang Ilmu
Di zaman sekarang ini, nyaris kita tidak lagi mendapatkan ulama dengan penguasaan di berbagai disiplin ilmu syariah. Kita hanya menemukan para ulama yang pernah belajar beberapa bidang ilmu, namun hanya menguasai satu atau dua cabang ilmu.
Misalnya, kita mengenal ada Syeikh Nashiruddin Al-Albani yang tersohor di bidang kritik hadits. Buku yang beliau tulis cukup banyak, namun kita tahu bahwa beliau bukan seorang yang ekpert di bidang lain, misalnya ilmu ushul fiqih, juga bukan jagoan ahli dibidang ilmu istimbath ahkam fiqih secara mendalam.
Kalau mau tahu apakah sebuah hadits itu shahih atau tidak, silahkan tanya beliau. Tetapi kalau tanya kaidah ushul fiqih, tanyakan kepada ulama lain yang ahli di bidangnya. Namun demikian, kita tetap harus hormat dan takzim kepada beliau atas ilmunya.
Ilmu-Ilmu Yang Harus Dikuasai Oleh Ulama
Idealnya, ilmu syariah dan cabang-cabangnya itu harus secara mendalam dikuasai, terlebih olehpara ulama. Sekedar gambaran singkat, di antaranya ilmu-ilmu syariah dan keIslaman yang harus dikuasai seorang ulama antara lain:
1. Ilmu Yang Terkait Dengan Al-Quran
- Ilmu tajwid yang membaguskan bacaan lafadz AL-Quran
- Ilmu qiraat (bacaan) Al-Quran, sepertiqiraah-sab'ah yang bervariasi dan perpengaruh kepada makna dan hukum.
- Ilmu tafsir, yang mempelajari tentang riwayat dari nabi SAW tentang makna tiap ayat, juga dari para shahabat dan para tabi'in dan atbaut-tabi'in.
- Ilmu tentang asbababun-nuzul, yaitu sebab dan latar belakang turunnya suatu ayat.
- Ilmu tentang hakikat dan majaz yang ada pada tiap ayat Quran
- Ilmu tentang makna umum dan khusus yang dikandung tiap ayat Quran
- Ilmu tentang muhkam dan mutasyabihat dalam tiap ayat Quran
- Ilmu tentang nasikh dan mansukh dalam tiap ayat Quran
- Ilmu tentang mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum
- Ilmu tentang i'jazul quran, aqsam, jadal, qashash dan seterusnya
- Ilmu tentang sanad dan jalur periwayatan serta kritiknya
- Ilmu tentang rijalul hadits dan para perawi
- Ilmu tentang Al-Jarhu wa At-Ta'dil
- Ilmu tentang teknis mentakhrij hadits
- Ilmu tentang hukum-hukum yang terkandung dalam suatu hadits
- Ilmu tentang mushthalah (istilah-istilah) yang digunakan dalam ilmu hadits
- Ilmu tentang sejarah penulisan hadits yang pemeliharaan dari pemalsuan
- Ilmu tentang sejarah terbentuknya fiqih Islam
- Ilmu tentang perkembangan fiqh dan madzhab
- Ilmu tentang teknis pengambilan kesimpulan hukum (istimbath)
- Ilmu ushul fiqih (dasar-dasar dan kaidah asasi dalam fiqih)
- Ilmu qawaid fiqhiyah
- Ilmu qawaid ushuliyah
- Ilmu manthiq (logika)
- Ilmu tentang iIstilah-istilah fiqih istilah fiqih madzhab
- Ilmu tentang hukum-hukum thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, nikah, muamalat, hudud, jinayat, qishash, qadha', qasamah, penyelenggaraan negara dan seterusnya.
- Ilmu Nahwu (gramatika bahasa arab)
- Ilmu Sharaf (perubahan kata dasar)
- Ilmu Bayan
- Ilmu tentang Uslub
- Ilmu Balaghah
- Ilmu Syi'ir dan Nushus Arabiyah
- Ilmu 'Arudh
- Tentang sirah (sejarah nabi Muhammad SAW)
- Tentang sejarah para nabi dan umat terdahulu dan bentuk-bentuk syariat mereka
- Sejarah tentang Khilafah Rasyidah
- Sejarah tentang Khilafah Bani Umayyah, Bani Abasiyah, Bani Utsmaniyah dan sejarah Islam kontemporer.
- Ilmu politik dan perkembangan dunia
- Ilmu ekonomi dan perbankan
- Ilmu sosial dan cabang-cabangnya.
- Ilmu psikologi dan cabang-cabangnya
- lmu hukum positif dan ketata-negaraan
- Ilmu-ilmu populer
Maka di zaman sekarang ini, para ulama dari beragam latar belakang keilmuwan yang berbeda perlu duduk dalam satu majelis. Agar mereka bisa melahirkan ijtihad jama'i (bersama), mengingat ilmu mereka saat ini sangat terbatas. Sementara ilmu pengetahuan berkembang terus.
Perbedaan Pendapat di Kalangan UIlama
Masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama, barangkali yang anda maksud adalah pendapat fiqih dan fatwa-fatwa.
Sebelum kita memilih pendapat mereka yang menurut anda berbeda-beda, anda harus tahu terlebih dahulu latar belakang keilmuan mereka.
Untuk jawaban masalah hukum fiqih, maka janganlah bertanya kepada ulama hadits, atau ulama tafsir, atau ulama bahasa, atau ulama sejarah. Anda salah alamat. Kalau pun mereka jawab, jawaban mereka tetap kalah dibandingkan dengan jawaban ahlinya.
Misalnya, di Mesir saat ini ada ulama yang berfatwa tentang hukum wanita menjadi kepala negara. Sayangnya, beliau bukan ahli fiqih, tetapi doktor di bidang ilmu pendididikan. Tentu saja fatwanya aneh bin ajaib. Para ulama fiqih tentu terpingkal-pingkal kalau mendengar isi fatwanya.
Masalah fiqih tanyakan kepada ulama yang ahli di bidang ilmu fiqih. Sebab ilmu yang mereka miliki memang lebih menjurus kepada ilmu hukum fiqih.
Faktor Perbedaan Kasus dan Fenomena Sosial
Kalau para ahli fiqih berbeda pendapat, maka anda harus melihat pada konteks ketika mereka menjawab masalah itu. Apakah fatwa yang mereka keluarkan sesuai kondisi sosialnya dengan kondisi sosial di mana anda berada.
Misalnya ketika Syeikh bin Bazz mengeluarkan fatwa haramnya ziarah kubur, maka anda harus tahu bahwa fenomena ziarah kubur di negeri tempat tinggalnya memang sulit untuk dibilang tidak syirik. Sebab orang-orang di sana memang nyata-nyata menyembah kuburan, baik dengan jalan mencium, mengusap, meratap dan meminta rezeki kepada kuburan. Wajar sekali bila Syeikh bin Baz mengharamkan ziarah kubur.
Tetapi fatwa haramnya ziarah kubur versi beliau tidak bisa digeneralisir di semua tempat, yang fenomenanya berbeda.
Kalau di negeri kita ada orang yang ziarah kubur, namun tanpa menyembah dan melakukan hal-hal yang dinilai syirik, maka kita tidak bisa mengharamkannya. Karena ziarah kubur itu sunnah nabi, namun harus dengan cara yang dibenarkan.
Terkadang kesalahan bukan datang dari para ulama, tetapi dari orang awam yang salah kutip dan salah penempatan sebuah fatwa.
Faktor Perbedaan Nash dan Dalil
Terkadang perbedaan pendapat itu dilatar-belakangi oleh perbedaan nash dan dalil. Bila perbadaan pendapat itu memang berangkat dari perbedaan nash, yang oleh para ulama memang sejak dulu sudah menjadi titik perbedaan pendapat, maka kita dibolehkan untuk memilih yang mana saja dari pendapat yang berbeda itu.
Misalnya, ada dua hadits yang sama-sama shahih namun berbeda isi hukumnya. Hadits pertama mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW sujud dengan meletakkan lutut terlebih dahulu baru kedua tanggannya. Hadits kedua mengatakan sebaliknya, beliau meletakkan tangan terlebih dahulu baru kedua lututnya. Maka yang mana saja dari hadits ini yang kita pakai, keduanya boleh digunakan. Toh keduanya sama-sama didasari oleh hadits shahih.
Faktor Perbedaan Dalam Menilai Keshaihan Hadits
Ada juga perbedaan pendapat karena perbedaan dalam menilai keshahihan suatu riwayat hadits. Sebab keshahihan suatu hadits memang sangat mungkin menjadi perbedaan pendapat. Seorang Bukhari mungkin saja tidak memasukkan sebuah hadits ke dalam kitab shahihnya, karena mungkin menurut beliau hadits itu kurang shahih. Namun sangat boleh jadi, hadits yang sama justru terdapat di dalam shahih Muslim.
Maka perbedaan dalam menilai keshahihan suatu hadits adalah hal yang pasti terjadi dan lumrah serta wajar.
Seperti dalam kasus hadits bahwa nabi Muhammad SAW diriwayatkan selalu melakukan qunut shalat shubuh hingga akhir hayatnya. Sebagian ulama menerima keshaihannya dan sebagian lainnya menolaknya.
Maka dalam hal ini, kita pun boleh menerima yang mana saja dari kedua pendapat itu, karena masing-masing jelas punya argumentasi yang kuat atas pendapat keshahihan riwayat itu.
Pendeknya, ketika sebuah pendapat dari seorang ulama memang betul-betul telah mengalami proses ijtihad dengan benar, meski pun sering kali tidak sama, maka pendapat yang mana pun boleh kita pakai.
Bahkan meski tidak konsekuen dalam menggunakan pendapat seorang ulama. Kita dibolehkan untuk mengambil sebagian pendapat dari seorang ulama dan dibolehkan juga untuk meninggalkan sebagian pendapatyang lainnya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Anekdot Sufi di Zaman Modern: Melaksanakan Shalat atau Menegakkan Shalat?
Dalam suatu pengajian tashawwuf, Guru Bijakbestari sedang melakukan dialog dengan salah seorang muridnya tentang kesempurnaan shalat.
Murid: Kemarin Guru telah menguraikan secara jelas tentang keutamaan shalat sebagai suatu ibadah penghubung antara seorang abdi/hamba dengan Rabb-nya, dan rasanya saya cukup memahaminya. Sekarang mohon engkau jelaskan apakah perbedaan melaksanakan shalat dengan menegakkan shalat?
Guru: Melaksanakan shalat artinya kita mengerjakan shalat sesuai dengan syarat-syarat sahnya shalat sesuai yang diatur dalam fiqih(syariat lahir). Sedangkan menegakkan shalat, selain melaksanakan shalat kita menyempurnakannya dengan adab-adab2 batiniah shalat.
Murid:Bagaimana caranya agar kami dapat memprioritaskan penegakan shalat di atas kegiatan harian lainnya (seperti: bekerja di kantor, kegiatan di keluarga, di masyarakat, proyek-proyek bisnis, meeting dengan atasan, dsb.)?
Guru: Baiklah Anakku, ini sebuah pertanyaan yang penting. Shalat adalah sebuah ibadah yang pelaksanaan jasadiahnya mudah dikerjakan. Namun, keutamaan shalat dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya baru dapat kita raih bila kita selain mengerjakan teknis jasadiahnya(sah secara fiqih), juga menyempurnakan dengan adab/etika secara pikiran maupun qalbu (adab batiniah).
Untuk dapat memprioritaskan shalat di atas segala kegiatan sehari-hari,
pertama, kita perlu menjaga aqidah, yaitu dalam pikiran dan qalbu kita harus tetap dijaga bahwa urusan yang berkaitan langsung dengan Allah, seperti shalat adalah urusan yang secara hakiki –kalau kita mengerti- merupakan urusan paling menentukan kualitas ibadah/pengabdian kita kepada AllahSWT.
Kedua, kita harus menyadari bahwa karena keyakinan kita masih lemah, sehingga kita akan sangat mudah teralihkan konsentrasi pikiran dan qalbu kita pada hal-hal selain Allah, oleh karena itu di saat kita tidak sedangmelaksanakan shalat, kita harus memperhatikan betul kegiatan apa saja yang paling mudah membuat kita lalai dalam kontak dengan Allah. Sebaiknya menjelang kita mengerjakan kegiatan tsb kita berdzikir kepada Allah sebagai pemanasan shalat kita.
Ketiga, kita harus senantiasa menjaga qalbu kita dari penyakit-penyakitnya, seperti mudah emosi, kurang sabar, iri dengan prestasi orang lain, merasa diri sudah shalih, dsb. Juga, kita harus melatih agar kebiasaan lupa yang kita miliki –seandainya ada- dapat kita kurangi atau bahkan kita hilangkan.
Keempat, menanamkan ke pikiran kita bahwa suara adzan yang kita dengar adalah representasi dari Suara Allah yang mengundang kita untuk berkomunikasi. Sehingga seluruh organ tubuh kita akan segera berwudhu dan melaksanakan shalat begitu kita mendengar suara adzan berbunyi.
Kelima, melatih konsentrasi pikiran dan qalbu kita untuk fokus kepada Allah selama kita sedang shalat.
Keenam, kita sering berdoa agar hidayah yang ada di hati kita jangan sampai tercabut dan mohon dikuatkan.
Semoga Allah membimbing dan merahmati kita semua…amien.
Wallahu a’lam bi shawwab.
5 PERKARA BAIK JIKA SELALU DISEBUT
Dalam sesi muzakarah kali ini, saya hendak menarik perhatian tentang 5 perkara
yang patut disebut-sebut selalu untuk memberi kesedaran kepada kita sepanjang
menjalani hidup ini.
Nabi Muhammad saw pernah mengingatkan umat-umatnya tentang kelima-lima perkara ini iaitu:
* Perbanyakkan menyebut Allah daripada menyebut makhluk.
Sudah menjadi kebiasaan bagi kita menyebut atau memuji-muji orang yang berbuat baik kepada kita sehingga kadang-kadang kita terlupa hakikat bahawa terlampau banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Lantaran itu, kita terlupa memuji dan menyebut-nyebut nama Allah. Makhluk yang berbuat baik sedikit kita puji habisan tapi nikmat yang terlalu banyak Allah berikan kita langsung tak ingat. Sebaik-baiknya elok dibasahi lidah kita dengan memuji Allah setiap ketika, bukan ucapan Al-hamdulillah hanya apabila sudah kekenyangan hingga sedawa. Pujian begini hanya di lidah saja tak menyelera hingga ke hati.
* Perbanyakkan menyebut akhirat daripada menyebut urusan dunia. Dunia terlalu sedikit dibandingkan dengan akhirat. 1000 tahun di dunia setimpal dengan ukuran masa sehari di akhirat. Betapa kecilnya nisbah umur di dunia ini berbanding akhirat. Nikmat dunia juga 1/100 daripada nikmat akhirat. Begitu juga seksa dan kepayahan hidup di dunia hanya 1/100 daripada akhirat. Hanya orang yang senang didunia , sibuk memikirkan Wawasan Dunia (WD) hingga terlupa Wawasan Akhirat (WA). Manusia yang paling cerdik ialah mereka yang sibuk merancang Wawasan Akhiratnya. Saham Amanah Dunia (SAD) tak penting, tapi yang paling penting ialah Saham Amanah Akhirat (SAA) yang tak pernah rugi dan merudum malahan sentiasa naik berlipat kali ganda. Oleh itu perbanyakkanlah menyebut-nyebut perihal akhirat supaya timbul keghairahan menanam dan melabur saham akhirat.
* Perbanyakkan menyebut dan mengingat hal-hal kematian daripada hal-hal kehidupan. Kita sering memikirkan bekalan hidup ketika tua dan bersara tapi jarang memikirkan bekalan hidup semasa mati. Memikirkan mati adalah sunat kerana dengan berbuat demikian kita akan menginsafi diri dan kekurangan amalan yang perlu dibawa ke sana. Perjalanan yang jauh ke akhirat sudah tentu memerlukan bekalan yang amat banyak. Bekalan itu hendaklah dikumpulkan semasa hidup di dunia ini. Dunia ibarat kebun akhirat. Kalau tak usahakan kebun dunia ini masakan dapat mengutip hasilnya di akhirat? Dalam hubungan ini eloklah sikap Saidina Alli dicontohi. Meskipun sudah terjamin akan syurga, Saidina Ali masih mengeluh dengan hebat sekali tentang kurangnya amalan untuk dibawa ke akhirat yang jauh perjalanannya. Betapa pula dengan diri kita yang kerdil dan bergelumang dengan dosa?
* Jangan menyebut-nyebut kebaikan diri dan keluarga. Syaitan memang sentiasa hendak memerangkap diri kita dengan menyuruh atau membisikkan kepada diri kita supaya sentiasa mengingat atau menyebut-nyebut tentang kebaikan yang kita lakukan sama ada kepada diri sendiri, keluarga atau masyarakat amnya. Satu kebaikan yang kita buat, kita sebut-sebut selalu macam rasmi ayam ‘bertelur sebiji riuh sekampung’. Kita terlupa bahawa dengan menyebut dan mengingat kebaikan kita itu sudah menimbulkan satu penyakit hati iaitu ujub. Penyakit ujub ini ibarat api dalam sekam boleh merosakkan pahala kebajikan yang kita buat. Lebih dahsyat lagi jika menimbulkan ria’ atau bangga diri yang mana Allah telah memberi amaran sesiapa yang memakai sifatNya (ria’) tidak akan mencium bau syurga. Ria’ adalah satu unsur dari syirik (khafi). Oleh itu eloklah kita berhati-hati supaya menghindarkan diri daripada mengingat kebaikan diri kita kepada orang lain. Kita perlu sedar bahawa perbuatan buat baik yang ada pada diri kita itu sebenarnya datang dari Allah. Allah yang menyuruh kita buat baik. Jadi kita patut bersyukur kepada Allah kerana menjadikan kita orang baik, bukannya mendabik dada mengatakan kita orang baik. Kita terlupa kepda Allah yang mengurniakan kebaikan itu.
* Jangan sebut-sebut dan nampak-nampakkan keaiban atau keburukan diri orang lain. Kegelapan hati ditokok dengan rangsangan syaitan selalu menyebabkan diri kita menyebut-nyebut kesalahan dan kekurangan orang lain. Kita terdorong melihat keaiban orang sehingga terlupa melihat keaiban dan kekurangan diri kita sendiri. Bak kata orang tua-tua ‘kuman seberang lautan nampak, tapi gajah di depan mata tak kelihatan’. Islam menuntut kita melihat kekurangan diri supaya dengan cara itu kita dapat memperbaiki kekurangan diri kita. Menuding jari mengatakan orang lain tak betul sebenarnya memberikan isyarat bahawa diri kita sendiri tidak betul. Ibarat menunjuk jari telunjuk kepada orang; satu jari arah ke orang itu tapi 4 lagi jari menuding ke arah diri kita. Bermakna bukan orang itu yang buruk, malahan diri kita lebih buruk daripadanya. Oleh sebab itu, biasakan diri kita melihat keburukan diri kita bukannya keburukan orang lain. Jangan menjaga tepi kain orang sedangkan tepi kain kita koyak rabak. Dalam Islam ada digariskan sikap positif yang perlu dihayati dalam hubungan sesama manusia iaitu lihatlah satu kebaikan yang ada pada diri seseorang, meskipun ada banyak kejahatan yang ada pada dirinya. Apabila melihat diri kita pula, lihatkan kejahatan yang ada pada diri kita walaupun kita pernah berbuat baik. Hanya dengan cara ini kita terselamat dari bisikan syaitan yang memang sentiasa mengatur perangkap untuk menjerumuskan kita ke dalam api neraka.
Demikian tazkirah minggu ini. Semoga 5 perkara yang disebutkan
Nabi Muhammad saw pernah mengingatkan umat-umatnya tentang kelima-lima perkara ini iaitu:
* Perbanyakkan menyebut Allah daripada menyebut makhluk.
Sudah menjadi kebiasaan bagi kita menyebut atau memuji-muji orang yang berbuat baik kepada kita sehingga kadang-kadang kita terlupa hakikat bahawa terlampau banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Lantaran itu, kita terlupa memuji dan menyebut-nyebut nama Allah. Makhluk yang berbuat baik sedikit kita puji habisan tapi nikmat yang terlalu banyak Allah berikan kita langsung tak ingat. Sebaik-baiknya elok dibasahi lidah kita dengan memuji Allah setiap ketika, bukan ucapan Al-hamdulillah hanya apabila sudah kekenyangan hingga sedawa. Pujian begini hanya di lidah saja tak menyelera hingga ke hati.
* Perbanyakkan menyebut akhirat daripada menyebut urusan dunia. Dunia terlalu sedikit dibandingkan dengan akhirat. 1000 tahun di dunia setimpal dengan ukuran masa sehari di akhirat. Betapa kecilnya nisbah umur di dunia ini berbanding akhirat. Nikmat dunia juga 1/100 daripada nikmat akhirat. Begitu juga seksa dan kepayahan hidup di dunia hanya 1/100 daripada akhirat. Hanya orang yang senang didunia , sibuk memikirkan Wawasan Dunia (WD) hingga terlupa Wawasan Akhirat (WA). Manusia yang paling cerdik ialah mereka yang sibuk merancang Wawasan Akhiratnya. Saham Amanah Dunia (SAD) tak penting, tapi yang paling penting ialah Saham Amanah Akhirat (SAA) yang tak pernah rugi dan merudum malahan sentiasa naik berlipat kali ganda. Oleh itu perbanyakkanlah menyebut-nyebut perihal akhirat supaya timbul keghairahan menanam dan melabur saham akhirat.
* Perbanyakkan menyebut dan mengingat hal-hal kematian daripada hal-hal kehidupan. Kita sering memikirkan bekalan hidup ketika tua dan bersara tapi jarang memikirkan bekalan hidup semasa mati. Memikirkan mati adalah sunat kerana dengan berbuat demikian kita akan menginsafi diri dan kekurangan amalan yang perlu dibawa ke sana. Perjalanan yang jauh ke akhirat sudah tentu memerlukan bekalan yang amat banyak. Bekalan itu hendaklah dikumpulkan semasa hidup di dunia ini. Dunia ibarat kebun akhirat. Kalau tak usahakan kebun dunia ini masakan dapat mengutip hasilnya di akhirat? Dalam hubungan ini eloklah sikap Saidina Alli dicontohi. Meskipun sudah terjamin akan syurga, Saidina Ali masih mengeluh dengan hebat sekali tentang kurangnya amalan untuk dibawa ke akhirat yang jauh perjalanannya. Betapa pula dengan diri kita yang kerdil dan bergelumang dengan dosa?
* Jangan menyebut-nyebut kebaikan diri dan keluarga. Syaitan memang sentiasa hendak memerangkap diri kita dengan menyuruh atau membisikkan kepada diri kita supaya sentiasa mengingat atau menyebut-nyebut tentang kebaikan yang kita lakukan sama ada kepada diri sendiri, keluarga atau masyarakat amnya. Satu kebaikan yang kita buat, kita sebut-sebut selalu macam rasmi ayam ‘bertelur sebiji riuh sekampung’. Kita terlupa bahawa dengan menyebut dan mengingat kebaikan kita itu sudah menimbulkan satu penyakit hati iaitu ujub. Penyakit ujub ini ibarat api dalam sekam boleh merosakkan pahala kebajikan yang kita buat. Lebih dahsyat lagi jika menimbulkan ria’ atau bangga diri yang mana Allah telah memberi amaran sesiapa yang memakai sifatNya (ria’) tidak akan mencium bau syurga. Ria’ adalah satu unsur dari syirik (khafi). Oleh itu eloklah kita berhati-hati supaya menghindarkan diri daripada mengingat kebaikan diri kita kepada orang lain. Kita perlu sedar bahawa perbuatan buat baik yang ada pada diri kita itu sebenarnya datang dari Allah. Allah yang menyuruh kita buat baik. Jadi kita patut bersyukur kepada Allah kerana menjadikan kita orang baik, bukannya mendabik dada mengatakan kita orang baik. Kita terlupa kepda Allah yang mengurniakan kebaikan itu.
* Jangan sebut-sebut dan nampak-nampakkan keaiban atau keburukan diri orang lain. Kegelapan hati ditokok dengan rangsangan syaitan selalu menyebabkan diri kita menyebut-nyebut kesalahan dan kekurangan orang lain. Kita terdorong melihat keaiban orang sehingga terlupa melihat keaiban dan kekurangan diri kita sendiri. Bak kata orang tua-tua ‘kuman seberang lautan nampak, tapi gajah di depan mata tak kelihatan’. Islam menuntut kita melihat kekurangan diri supaya dengan cara itu kita dapat memperbaiki kekurangan diri kita. Menuding jari mengatakan orang lain tak betul sebenarnya memberikan isyarat bahawa diri kita sendiri tidak betul. Ibarat menunjuk jari telunjuk kepada orang; satu jari arah ke orang itu tapi 4 lagi jari menuding ke arah diri kita. Bermakna bukan orang itu yang buruk, malahan diri kita lebih buruk daripadanya. Oleh sebab itu, biasakan diri kita melihat keburukan diri kita bukannya keburukan orang lain. Jangan menjaga tepi kain orang sedangkan tepi kain kita koyak rabak. Dalam Islam ada digariskan sikap positif yang perlu dihayati dalam hubungan sesama manusia iaitu lihatlah satu kebaikan yang ada pada diri seseorang, meskipun ada banyak kejahatan yang ada pada dirinya. Apabila melihat diri kita pula, lihatkan kejahatan yang ada pada diri kita walaupun kita pernah berbuat baik. Hanya dengan cara ini kita terselamat dari bisikan syaitan yang memang sentiasa mengatur perangkap untuk menjerumuskan kita ke dalam api neraka.
Demikian tazkirah minggu ini. Semoga 5 perkara yang disebutkan
Langganan:
Postingan (Atom)