Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Minggu, 04 Oktober 2015
HATI ADALAH RAJA BAGI DIRI MANUSIA
Jika kita melucuti struktur lahiriyyah seorang insan, maka akan menemukan bahwa esensi manusia itu terdiri dari dua unsure dasar yang membangun jati diri manusia yaitu akal dan kalbu atau hati. Sedangkan bentuk badan yang tampak oleh pandangan mata ini bukanlah sesuatu yang penting hingga bisa menimbulkan perbedaan antara seorang manusia dan seekor binatang. Semua hewan itu juga memiliki bentuk lahir yang tidak jauh berbeda dengan manusia, manusia hanya akan menyandang nilai lebih dari hewan jika mempunyai hati dan akal.
كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة في مرآته، أم كيف يرحل إلى الله وهو مكبَّل بشهواته، أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله وهو لم يتطهر من جنابة غفلاته، أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار وهو لم يتب من هفواته
"Bagaimana mungkin hati seseorang bisa berbinar sedang gambar makhluk masih memenuhi cermin hatinya, dan atau bagaimana mungkin ia bisa berlari menuju Allah sedang ia masih dibelenggu oleh kesenangan-kesenangan nafsunya, dan bagaimana mungkin ia bisa masuk kehadapan Allah sedang ia belum bersuci dari najis kelalaiannya, dan bagaimana mungkin ia mengharap bisa memamahi lembutnya rahasia-rahasia yang tersimpan sedang ia belum bertaubat dari dosa-dosanya"
Hikmah ini masih berhubungan erat dengan dua hikmah sebelumnya, kita akan mengerti permasalahan ini dengan jelas jika bisa memahami semuanya kemudian mengaitkan satu persatu layaknya mata rantai yang saling melengkapi satu dengan lainnya.
A. Inti manusia
Jika kita melucuti struktur lahiriyyah seorang insan, maka akan menemukan bahwa esensi manusia itu terdiri dari dua unsure dasar yang membangun jati diri manusia yaitu akal dan kalbu atau hati. Sedangkan bentuk badan yang tampak oleh pandangan mata ini bukanlah sesuatu yang penting hingga bisa menimbulkan perbedaan antara seorang manusia dan seekor binatang. Semua hewan itu juga memiliki bentuk lahir yang tidak jauh berbeda dengan manusia, manusia hanya akan menyandang nilai lebih dari hewan jika mempunyai hati dan akal.
Akal adalah bagian manusia yang berfungsi untuk mengetahui dan memahami segala sesuatu, sedangkan hati merupakan terminal tempat berkumpulnya perasaan dan emosi. Dengan akal dan hati yang berfungsi normal, manusia akan memiliki kemampuan untuk menciptakan kemakmuran dan peradaban yang luhur serta memperoleh pengetahuan dan penemuan-penemuan baru. Akal yang berjalan seiring dengan hati akan menjadikan seorang manusia mampu melakukan perbaikan luar biasa dan bahkan mungkin pula akan menimbulkan puncak kerusakan di muka bumi.
Dalam kesempatan ini kita tidak akan membahas tentang akal, karena topik yang sesuai dengan hikmah ini adalah mengenai hati atau kalbu. Kalbu yang berkaitan dengan pembicaraan kita bukanlah sebagaimana yang diistilahkan oleh para dokter dan ahli anatomi tubuh yang mengartikannnya sebagai sekumpulan otot yang berada dibalik rongga paru-paru sebelah kiri. Kalbu atau hati yang kita maksudkan adalah sebuah wadah yang menjadi kediaman perasaan dan emosi baik yang menjadi pendorong, penjegah ataupun perasaan menyanjung. Contoh perasaan pendorong adalah cinta dan hormat, perasaan pencegah kita bisa lihat dalam bentuk ketakutan dan kebencian. Sedangkan penyanjung akan kita temukan dalam bentuk kekaguman dan pengagungan.
Hati bisa diibaratkan seperti sebuah lembaran yang mampu merespon perasaan-perasaan yang sangat halus. Ketika pandangan kita melihat sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan impian yang mengisi pikiran, maka lembaran hati akan menuliskan perasaan yang bernama cinta.
Saat kedua mata ini menyaksikan perkara-perkara yang tidak cocok dengan kemauan kita, dengan segera lembaran hati akan memunculkan rasa benci jika ada orang lain yang mendahului kita dalam menggapai harta atau apa saja yang kita inginkan maka lembaran hati akan mencatat rasa hasud, iri atau dengki. Dan apabila kita berkumpul besama orang-orang yang tidak menghargai kita atau bahkan malah cenderung menyepelekan, lembaran hati akan merespon dengan perasaan marah seketika itu juga.
B. Sang pemimpin
Para ahli kejiwaan berpendapat bahwa dorongan seorang manusia untuk melakukan sebuah kegiatan itu berasal dari dalam hati sebanyak tujuh puluh persen, sedagkan sisanya sebanyak tiga puluh persen akan diperoleh dari akal pikiran.
Namun pendapat seperti ini masih perlu ditanyakan kebenarannya andai saja semua manusia itu hidup berdasarkan hukum akal, pasti mereka akan bersatu padu tanpa perbedaan sedikitpun untuk menciptakan ketentraman dan kesejahteraan dan bahkan bersama-sama dalam tundukan sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Esa . hanya saja semenjak dahulu manusia itu lebih cenderung bertindak dengan menuruti perasaannya. Akal yang mereka miliki hanya berfungsi sebagai alat yang dikuasai oleh cinta, kebencian atau iri dan dengki. Perasaan yang keluar dari hati tersebut merupakan raja tunggal yang digdaya mengendalikan langkah-langkah hidupnya.
Banyak orang yang mengetahui kesalahan dan bahaya-bahaya yang muncul ketika akal telah tunduk kepada perasaan yang jahat. Mereka ingin mengatasi masalah ini dan berusaha menundukan perasaannya dengan kemampuan daya intelektual. Mereka menamakan usahanya dengan sebuatan tarbiyyah atau pendidikan. Dari waktu ke waktu sistem pendidikan semakin berkembang dan bermacam-macam ahli pendidik bermunculan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Akan tetapi semua usaha ini hanyalah menjadi media pengantar sedangkan yang berusaha mengendalikan tindak tanduk menusia adalah hati. Akal hanya berperan sebagai naluri penjelas sepereti sebuah lampu yang menyinari namun tidak mempunyai energy penggerak dan pendorong.
C. Cermin buta
Dalam hikmah ini, Ibnu Atho'ilah menyatakan bahwa hati itu seperti sebuah cermin. Dia akan memantulkan perasaan dan emosi yang dimilki oleh seorang manusia.
Bisa kita saksikan bahwa kaca cermin yang dihadapkan kepada dasar sumur yang gelap akan tampak berwarna hitam gelap. Dan bila permukaan cermin tersebut diarahkan kepada matahari yang bersinar terang, maka ia akan menjadi kilau percis seperti cahaya matahari. Kemudian cermin akan beralih warna kehijauan jika ia berada dihadapan hijaunya pepohonan dan aneka ragam tumbuhan. Ia akan menampakan gambar yang serupa dengan segala sesuatu yang terletak didepannya.
Apabila seorang manusia mengarahkan keinginan dan impiannya kepada kemewahan dan kemegahan dunia maka secara otomatis gambar dunia akan memenuhi permukaan cermin hatinya. Selanjutnya hati akan menyiapkan pasukan dan semua media yang memungkinkan untuk merealisasikan gambar-gambar yang telah terekam itu.
Dalam keadaan seperti ini, apakah mungkin wujud Allah subhanahu wata'ala akan tampak dihatinya ? sebuah wadah yang telah terisi penuh oleh impian-impian duniawi hingga memunculkan rasa iri kepada orang-orang yang menyaingi atau rasa benci kepada orang-orang yang mengungguli, apakah mungkin masih menyisakan ruang kosong bagi rasa cinta dan takut kepada Allah ? bisakah kegelapan itu berkumpul dengan sinar terang ? atau mungkinkah dua hal yang berlawanan akan bersatu dalam sebuah esensi ?
Ketika hati telah gelap karena hawa nafsu dan dosa-dosa yang timbul darinya, maka kegelapan tersebut akan berubah menjadi noda dan bintik yang menutupi semua permuakaannya.
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (14) [المطففين : 14]
Artinya : "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka." (Q.S. Al-muthafifin : 14)
Dalam keadaan seperti itu, seorang manusia akan merasakan apa yang disebut sebagai gangguan jiwa, ia masih percaya kepada akalnya dan juga mengetahui kebenaran-kebenaran yang sesuai logika semisal 1+1=2. Ketika ia menghadiri majelis pengajian, maka ia akan menerima dan tunduk kepada dalil dan argumen-argumen yang dipaparkan sebagai sesuatu yang hak. Akan tetapi setelah ia keluar dari majelis tersebut, dengan segera ia akan kembali dalam pasungan kemauan dan keinginan sahwatnya.
Hal itu terjadi karena akal memang selalu berada dibawah kepemimpinan perasaan, coba saja sekarang ini kita melihat orang-orang disekitar kita, mayoritas mereka pasti mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, namun berapakah jumlah orang-orang yang mau menerapkan hukum-hukum akal tersebut ?
Ketika seseorang yang berkribadian mendua bertanya. "sekarang ini aku mengakui kebenaran-kebenaran yang berasal dari Al-Qur'an, lalu mengapa aku tidak mampu memenuhi tuntutan dari hukum tersebut ?", maka jawabannya adalah apa yang dikatakan Ibnu Atho'illah, "Bagaimana mungkin hati akan bersinar sedangkan permukaannya telah penuh oleh lukisan gambar-gambar dunia ?". hatimu telah gelap karena noda-noda hitam yang menutupinya. Engkau telah terjerat oleh kekuasaan bintik-bintik tersebut. Tidak ada lagi ruang kosong dalam hatimu untuk menempatkan rasa cinta yang mendorong untuk memenuhi panggilan Allah subhanahu wata'ala atau rasa takut yang mencegahmu untuk melakukan maksiat dan kejahatan.
Saat akal pikiranmu meminta izin kepada hati yang telah penuh oleh noda-noda dosa dan sahwat untuk menyemaikan benih-benih cinta kepada Allah , maka akal akan mencari dan terus mencari lahan kosong pada permukaan hati namun ternyata ia sama sekali tidak menemukannya. Tidak hanya sampai disitu, sang akal kemudian berusaha memberitahukan kepada hati tentang risalah suci dari ilahi rabbi.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (16) [الحديد/16]
Artinya : "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Al-hadidi : 16)
Lagi-lagi karena hati telah penuh sesak oleh muatan-muatan sahwat dan dunia, maka usaha akal untuk menyusupkan risalah tersebut kedalamnya menjadi sia-sia tanpa guna.
Sebuah contoh masyhur yang sering kita dengar adalah kisah Bal'am bin Ba'ura, salah seorang bani Israil. Allah subhanahu wata'ala telah menganugerahkan karunia ilmu yang melimpah kepadanya, sedangkan ilmu pengetahuan sebagaimana kita tahu adalah akal. Akan tetapi Bal'am lebih memilih untuk menuruti keinginan liarnya. Hati yang telah dipenuhi nafsu liar akhirnya memimpin dan mengendalikan akalnya untuk menggapai impian-impian dunawiyah. Perjalanan hidup Bal'am persis seperti seekor anjing yang selalu menjulurkan lidah kepada apa saja yang dia jumpai tanpa pernah merasa puas. Kisah Bal'am diabadikan oleh Allah subhanahu wata'ala sebagai nasihat bagi manusia dalam ayat berikut.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) [الأعراف/175-177]
Artinya : "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (175).Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. "(176). (Q.S. Al-‘araf : 175-176)
D. Penjerat berantai
Inti pembahasan pada awal hikmah ini ialah tentang penyakit hati. Berawal dari keinginan-keinginan duniawi yang memenuhi permukaan hati hingga akhirnya menjadi noda hitam yang menimbulkan kegelapan. Andai saja gambar-gambar dunia yang terekam memenuhi hati itu seperti sifat tulisan atau gambaran yang ada pada lembaran kertas atau tembok, tentu akan sangat mudah untuk menghapusnya. Namun potret-potret dunia yang memenuhi cermin hati ini, sama sekali tidak mungkin hilang atau terpengaruh oleh sebab-sebab dan media material.
Solusi untuk mengobati penyakit tersebut bisa kita temukan pada poin yang kedua dari hikmah ini. "Atau apakah mungkin hati akan menghadap Allah subhanahu wata'ala padahal ia masih terbelenggu oleh sahwat-sahwatnya". Masalah utama yang menghalangi hati untuk menghadap kepada Allah adalah dikarenakan jeratan sahwat. Jadi usaha pertama yang harus dilakukan untuk menangani dilema penyakit hati ialah membebaskannya dari kekangan nafsu sahwat. Lalu bagaimana caranya?
Kita lihat dulu dari poin ketiga ini, "Bagaimana mungkin hati berharap agar bisa memasuki kerajaan Allah , sedangkan ia tidak mau bersuci dari kotoran-kotoran kelalaiannya?". Sahwat yang telah menguasai dan merajai hati akan menjadikannya lalai dari Allah ‘Azza wa Jalla. Kesenangan yang ditawarkan nafsu syahwat akan menjadikan seseorang tenggelam dalam perasaan gembira dan akan merasa sedih saat terpisah dari kemewah-mewahannya. Jadi, salah satu proses untuk menyembuhkan hati yang sakit adalah dengan pejuangan sekuat tenaga untuk membinasakan kelalaian yang menyelimutinya.
Satu-satunya jalan penyelamat ialah dengan cara meninggalkan jauh-jauh segala bentuk dosa dan kesesatan, sebagaimana tersirat dalam poin terakhir hikmah ini, "Bagaimana mungkin hati berharap untuk bisa memahami rahasia-rahasia Allah swt yang sangat rumit, sedangkan ia belum bertaubat dari kesesatan-kesesetannya?".
Kesesatan dan dosa adalah penyebab utama adanya kelalaian hati dari Allah swt. Lalu kelalaian akan menjadikan seseorang tunduk dan pasrah kepada nafsu syahwat yang menuliskan gambar-gambar dunia di atas permukaan hati hingga menjadi noda-noda hitam yang menutupinya.
E. Tuntutan sebenarnya
Manusia merupakan makhluq Allah yang tidak lepas dari kesalahan, apakah bisa ia terbebas dari dosa? Bukankah yang terbebas dari dosa itu hanya para Nabi, lalu apa yang harus dilakukan oleh manusia biasa?
Manusia tidaklah dituntut agar terbebas sama sekali dari dosa. Ia hanya diwajibkan untuk menjauhi maksiat dan dosa sekuat tenaga. Dan bila ia terlanjur melakukan kesalahan, maka ia harus bertaubat dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi. Jika ia tergoda lagi untuk berbuat dosa, maka ia harus bartaubat kembali dan jika masih terulang terus, ia harus mengulang-ulang taubat, dan seterusnya. Hal seperti inilah yang disebut dengan عِصمَة(terbebas dari dosa) bagi orang-orang awam seperti kita.
Ketika syaitan mengancam kepada Allah bahwa ia akan menyesatkan semua hamba-hamba-Nya, maka Allah ‘Azza wa Jalla kemudian menjawab, bahwasanya mereka juga memiliki kekuatan penolak maksiat dan kejahatan. Allah swt berfirman:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ (42) [الحجر/42]
Artinya : "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat." (Q.S. Al-hajr : 42)
Maksudnya, syaitan tidak akan mampu menyesatkan orang-orang yang benar-benar meyakini sifat kehambaannya. Karena dengan bekal keyakinan itu, maka ia akan merasa menyesal setelah melakukan sebuah kejahatan. Kemudian rasa sesal di dadanya akan mendorong untuk bertaubat dengan tulus dan ikhlas. Dengan begitu, pengaruh maksiat akan hilang dan dosanya menjadi terhapus. Saat ia kembali berbuat dosa hingga berulang kali, maka proses diatas juga akan terus terulang, namun tetap berakhir dengan taubat yang tulus.
Setelah seseorang berhasil menyelamatkan diri dari dosa dan kesesatan melalui jalan pertaubatan yang suci lalu ia mampu berjalan tegak lurus pada rel-rel kebenaran, maka kelalaian akan segera sirna dari hatinya. Berganti dengan dzikir serta keyakinan akan adanya kontrol dan pengawasan Allah. Tibalah saatnya untuk memasuki kerajaan Allah Yang Maha Agung.
Hal ini sangat cocok dengan perkataan Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasalam, ketika beliau menjelaskan perihal ihsan,
أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Artinya : "Yaitu engkau menyembah Allah swt seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia selalu melihatmu".
Maksudnya engkau menarik perasaanmu secara total sehingga dunia dan segala isinya ini hilang dari hatimu dan tidak berarti apa-apa. Saat memandang dunia, maka engkau hanya merasakan telah berada di hadapan Allah subhanahu wata'ala yang selalu berfirman kepadamu seakan-akan engkau benar-benar melihat-Nya.
Keyakinan seorang hamba akan kehadiran Allah berarti adanya kesadaran akan adanya sifat-sifat, nikmat dan karunia serta rahamt-Nya. Ketika ia menerima nikmat, maka ia pasti menghubungkannya dengan Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut. Segala bentuk pergantian keadaan hidup yang ia jalani hanya semakin menguatkan keyakinannya bahwa yang mengatur semua itu adalah Allah Yang Maha Kuasa. Dalam situasi seperti ini, maka cinta dalam hatinya hanya akan tertuju kepada Allah subhanahu wata'ala. Ia sama sekali sekali tidak menghiraukan makhluk karena ia selalu berdiri di depan keagungan Allah Yang Maha Sempurna.
Namun cinta kepada Allah bukan berarti merubah dirinya menjadi seorang malaikat yang tidak memiliki atau merasakan keinginan. Ia tetap saja merupakan manusia biasa yang mempunyai kemauan-kemauan pribadi. Hanya saja ia akan menuruti jika memang keinginan tersebut sesuai dengan syariat. Namun apabila bertolak belakang dengan undang-undang taklif, maka ia akan segera menyingkirkannya.
Cinta kepada Allah yang telah mengisi hati, seorang hamba akan menghancurkan dan menyingkirkan nafsu syahwat yang dahulu menguasainya. Termasuk juga rasa cintanya kepada makhluk-makhluk di dunia ini. Akhirnya cermin hati hanya akan menghadap ke hadirat Allah sehingga satu-satunya yang tampak adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
F. Menyatukan hati
Apakah bisa tergambarkan ketika seorang manusia biasa melihat gambar pemandangan dunia namun gambar tersebut tidak tercatat dalam lembaran-lembaran hatinya?
Gambar-gambar makhluk yang telah dilihat oleh kedua mata akan terekam dalam memori otak. Setelah itu ia akan berusaha memasuki ruang-ruang hati. Namun ketika hati telah bergelora oleh rasa cinta kepada Allah, maka hati tidak akan menerimanya sebagai sekedar gambar biasa. Ia hanya menganggap bahwa semua itu adalah bukti dan tanda yang berbicara tentang keesaan Allah ‘Azza wa Jalla, keagungan serta kekuasaan-Nya, sambil berkata,
و في كل شئ له أية تدل على أنه الواحد
"Di dalam sesuatu (yang ada di dunia ini) pasti terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Esa".
Hamba-hamba yang memiliki hati semacam ini akan melukiskan gambar-gambar yang dilihat kedua matanya dalam lembaran hati, namun hanya untuk mendengarkan ucapan tasbih dari gambar itu. Maha Benar Allah yang telah berfirman:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ [الإسراء/44]
Artinya : "Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Q.S. Al-‘isra' 44)
Mereka juga melihat kemegahan dan keindahan dunia seperti keadaan manusia umumnya, namun hati yang mereka miliki akan mengubah gambar-gambar itu menjadi cahaya kerinduan akan keindahan Allah subhanahu wata'ala. Ketika menatap hamparan langit yang penuh dengan kilauan bintang atau terang cahaya rembulan maka hati akan mengalihkan pemandangan itu sebagai pesan suci dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yang terlukis memenuhi lembaran hatinya hanyalah cahaya-cahaya ayat Allah. Satu-satunya yang terukir dalam hatinya adalah Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna.
Lain halnya dengan seseorang yang belum memahami makna tauhid. Gambar-gambar yang ia saksikan dengan dua mata akan menjadi tabir yang melalaikan hatinya dari Allah ‘Azza wa Jalla hingga akhirnya akan menjerumuskan kepada jurang dosa dan maksiat.Seseorang yang memiliki ketergantungan atau rasa cinta kepada orang lain juga akan mengalami apa yang mereka sebut sebagai kehadiran tunggal. Artinya saat ia menatap apa saja, maka hatinya akan bingung untuk menggambarkana esensi yang ia lihat. Karena hanya satu yang teringat dalam lamunannya yaitu orang yang menjadi idaman hatinya.
Jikalau keadaan seseorang yang mencintai orang lain bisa sampai seperti ini, maka semestinya hamba yang mencintai Allah akan mengalami keadaan yang lebih dahsyat lagi. Betapa tidak? Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Sempurna segala-galanya.
Segala yang ada di dunia ini pada hakikatnya hanya akan menyandarkan kepada kehadiran tunggal yang merupakan buah bibir dari akidah tauhid.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164) [البقرة/164]
Artinya : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S. Al-baqarah : 164)
G. Kesimpulan
Selain memiliki bentuk fisik yang tampak oleh mata, manusia juga terdiri dari bagian abstrak yang tidak terlihat. Bahkan sisi abstrak inilah yang membedakan antara seorang insan dengan seekor binatang.
Bagian abstrak manusia adalah akal dan hati, namun yang terpenting serta menjadi pengendali hidup seseorang adalah hati. Ibarat sebuah cermin, hati akan manampakkan gambar-gambar yang ada di depannya. Jika ia menghadap kepada matahari, maka cermin itu akan bersinar terang benderang. Sebaliknya ia akan penuh dengan kegelapan ketika berda di depan benda-benda yang gelap.
Keadaan hati juga seperti anggota fisik manusia yang terkadang tertimpa penyakit. Namun virus-virus dan bakteri yang menyerang hati akan sangat sulit terdeteksi. Hati yang terserang pernyakit dan tidak segera ditangani akan menyebabkan seseorang terjerumus dalam kesesatan dan akibat yang paling fatal adalah neraka selama-lamanya.
Sebab utama penyakit hati adalah dosa dan maksiat yang kemudian akan menimbulkan kelalaian kepada Allah subhanahu wata'ala. Jadi langkah pertama kali yang harus dilakukan untuk mengobati hati ialah dengan meninggalkan dan membuang jauh-jauh segala bentuk dosa dan kejahatan. Dengan begitu hati akan teringat kembali kepada sifat dasar penghambaannya kepada Allah dan mengomando semua organ tubuhnya untuk melaksanakan tanggung jawab yang membebani pundaknya dengan tekun dan disiplin.
Setelah ia mampu istiqomah beribadah dan mengingat Allah, maka ia akan menikmati rasa cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang mengantarkan dirinya mencapai derajat ihsan, menyembah Allah seakan benar-benar melihat-Nya. Dalam kondisi seperti ini, maka yang mengisi hatinya hanyalah Allah subhanahu wata'ala dengan semua sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dunia yang terlihat oleh kedua matanya akan merasuk ke dalam hatinya sebagai gelombang-gelombang cahaya yang menjelaskan keagungan, kekuasaan serta kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Kelebihan Umat Baginda Rasullah SAW Menurut Pendapat Nabi Adam As
Disebutkan bahawa Nabi Adam A.S telah berkata, "Sesungguhnya Allah S.W.T telah memberikan kepada umat Muhammad S.A.W empat kemuliaan yang tidak diberikan kepadaku:
1. Taubatku hanya diterima di kota Mekah, sementara taubat umat Nabi Muhammad S.A.W diterima di sembarang tempat oleh Allah S.W.T.
2. Pada mulanya aku berpakaian, tetapi apabila aku berbuat durhaka kepada Allah S.W.T, maka Allah S.W.T telah menjadikan aku telanjang. Umat Muhammad S.A.W membuat durhaka dengan telanjang, tetapi Allah S.W.T memberi mereka pakaian.
3. Ketika aku telah berdurhaka kepada Allah S.W.T, maka Allah S.W.T telah memisahkan aku dengan isteriku. Tetapi umat Muhammad S.A.W berbuat durhaka, Allah S.W.T tidak memisahkan isteri mereka.
4. Memang benar aku telah durhaka kepada Allah S.W.T dalam syurga dan aku dikeluarkan dari syurga, tetapi umat Muhammad S.A.W durhaka kepada Allah akan dimasukkan ke dalam syurga apabila mereka bertaubat kepada Allah SWT
5. kita sebagai Umat AKHIR zaman
Allah s.w.t telah memilih kita sebagai umat akhir zaman dimana tiada umat lain yang akan dijadikan oleh ALLAH selepas kita. Walaupun begitu, pada hari akhirat di padang mahshar kelak, Allah akan menyusun semua umat manusia dari zaman nabi Adam hinggalah ke zaman nabi Muhammad s.a.w mengikut saf2 dan ALLAH telah memilih umat nabi Muhammad s.a.w untuk berbaris di saf yang pertama walaupun umat nabi Adam yang merupakan umat pertama dijadikan oleh ALLAH s.w.t.. Ini menunjukkan betapa kasih dan sayang ALLAH kepada umat Nabi Muhammad s.a.w kerana tidak mahu umat nabi Muhammad s.a.w. berada terlalu lama di padang mahshar.
6. Pahala yang berlipat kali ganda
Kebaikan yang Umat nabi Muhammad s.a.w lakukan akan dibalas dengan berlipat kali ganda. 1 amalan dibalas dengan 10 kebajikan. MasyaALLAH.. begitu sayang ALLAH s.w.t kepada umat nabi Muhammad berbanding dengan umat2 yang terdahulu. Malahan, 1 kesalahan yang dilakukan akan dibalas dengan satu dosa yang setimpal. Sungguh kasih ALLAH s.w.t kepada kita iaitu umat Nabi Muhammad s.a.w
7. Syafaat Nabi Muhammad s.a.w
Nabi Muhammad s.a.w merupakan satu2 nya nabi yang dapat memberi syafaat atau pertolongan hanya kepada umatnya di akhir zaman kelak. Begitu beruntungnya kita sebagai umat nabi Muhammad s.a.w. Umat yang terdahulu tidak mempunyai pembela, penolong dan sebagainya tetapi Umat Nabi Muhammad s.a.w diberikan keistimewaan oleh ALLAH s.w.t untuk menerima syafaat oleh Nabi junjungan kita Muhammad s.a.w.
8. Penangguhan siksaan di dunia
Umat nabi muhammad s.a.w tidak akan disiksa atau di jatuhkan hukuman oleh ALLAH sehinggalah tiba hari akhirat kelak. Nabi Muhammad s.a.w telah memohon kepada ALLAH supaya memberikan peluang kepada Umatnya sehingga hari pembalasan untuk bertaubat kepada ALLAH terhadap kesalahan2 yang dilakukan
9. Malam Lailatul Qadar
Umat nabi muhammad s.a.w merupakan satu2nya umat yang diberikan oleh ALLAH satu malam yang menyamai 1000 bulan iaitu malam lailatul Qadar. SubhanALLAH. maha suci ALLAH yang maha pengasih dan penyayang kepada kita. Diberikan kita peluang2 yang sangat tidak ternilai harganya untuk kita kumpul untuk bekalan di akhirat kelak. Betapa beruntungnya kita digelar Umat nabi Muhammad s.a.w
Berkata nabi Musa a.s: Ya Tuhanku..!Engkau telah anugerahkan segala kebaikan untuk Ahmad (Muhamamad) dan umatnya, maka jadikanlah aku dari umatnya!
Berfirman Allah dalam Al Quran: "Wahai Musa..! Sesungguhnya Aku telah memilih engkau dari antara manusia utk menyampaikan perutusanKu dan percakapanKu, maka terimalah apa yg Aku berikan kpdmu, dan hendaklah engkau menjadi orang2 yg bersyukur." (al-A`raf:144)
Nabi Musa As berkata: Ya Tuhanku..! Adakah Engkau telah menciptakan seorang makhluk yg lebih mulia disisiMu drpdku. Engkau tlh memilihku dr antara byk manusia dan berkata-kata padaku di gunung Thur Sina.
Berfirman Allah: Wahai Musa..! Tidakkah engkau mengetahui bhw Muhammad itu lbh mulia disisiKu dr sekalian makhlukKu. Dan sudah Aku teliti semua kalbu hamba2Ku, maka tiadalah Aku dapati suatu kalbu pun yg lbh merendah diri dari kalbumu. Sebab itulah Aku memilihmu dr sekalian manusia untuk engkau menyampaikan perutusan Ku dan percakapan Ku. dan hendaklah engkau mati dlm keadaan mengesakan Aku (tauhid) dan juga mencintai Muhammad SAW.
Berkata Nabi Musa a.s: Ya Tuhanku..! Adakah di atas muka bumi ini suatu kaum yg lbh mulia disisiMu drpd umatku. Engkau tlh melindunginya dgn awan gemawan. Engkau turunkan dr langit makanan Man dan Salwa utk mereka.
Berfirman Allah: Wahai Musa! Tidakkah engkau mengetahui, bhwsanya kelebihan umat Muhammad atas sekalian umat yg lain, laksana kelebihanKu atas sekalian makhluk2Ku.
Berkata Musa a.s: Ya Tuhanku! Berilah aku melihat mereka (umat Muhammad)!
Berfirman Allah: Engkau tidak akan dpt melihat mereka. Tetapi jika engkau mau mendengar suara mereka, bolehlah Aku dgrkan.
Berkata Musa a.s: Baiklah, aku suka.
Berfirman Allah Ta`ala: Wahai umat Muhammad! Maka sekalian umat Muhammad menyahut dgn suara yg keras:
Labbaikallahumma Labbaika! (Kami menyahut, duhai tuhan, kami menyahut), padahal ketika itu mereka sekalian masih berada didlm tulang2 sulbi bapa2 mereka (masih blm dilahirkan lg)
Maka berkata Allah Ta`ala: RahmatKu dan salam sejahteraKu atas kamu. RahmatKu mendahului kemurkaanKu, dan keampunanKu mendahului penyiksaanKu. Ketahuilah bhwsanya Aku tlh mengampuni kamu sekalian sblm kamu memohon ampun kpdKu. Aku telah mengabuli kamu sblm kamu memohon kpdKu. Aku tlh memberi kanmu sblm kamu meminta kpdKu. Lantaran itu, barangsiapa di antara kamu yg menemuiKu sdg dia menyaksikan Laa Ilaaha Illallaah wa-anna Muhammadar Rasulullah (tiada Tuhan melainkan Allah, dan bhwsanya Muhammad Rasulullah) niscaya Aku mengampuni segala dosanya.
Berkata Rasulullah SAW: Allah swt ingin memberi kurniaNya kpdku dgn menfirmankan ayat berikut: Dan tiadalah engkau (Muhammad) dipenjuru gunung Thur Sina, ketika Kami menyeru. Yakni umatmu sehingga Musa a.s dpt mendengar percakapan mereka.
Shalawat dan salam atas junjungan besar Muhammad SAW.
Penciptaan Nur Muhammad
As-Sayed Nurjan Mirahmadi
Suatu hari Sayedena Ali, karam Allahu wajhahu, misanan dan menantu Nabi Suci s.a.w. bertanya, Wahai Muhammad, kedua orang tuaku akan menjadi jaminanku, mohon katakan padaku apa yang diciptakan Allah TaAla sebelum semua makhluq ciptaan? Berikut ini adalah jawaban nya yang indah :
Sesungguhnya, sebelum Rabb mu menciptakan lainnya, Dia menciptakan dari Nur Nya nur Nabimu, dan Nur itu diistirahatkan haithu mashaAllah, dimana Allah menghendakinya untuk istirahat. Dan pada waktu itu tidak ada hal lainnya yang hadir tidak lawh al-mahfoudh, tidak Sang Pena, tidak Surga ataupun Neraka, tidak Malaikat Muqarabin (Angelic Host), tidak langit ataupun dunia; tiada matahari, tiada rembulan, tiada bintang, tiada jinn atau manusia atau malaikat belum ada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.
Kemudian Allah Subhan Allah dengan iradat Nya menghendaki adanya ciptaan. Dia kemudian membagi Nur ini menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan Pena, dari bagian kedua lawh al-mahfoudh, dari bagian ketiga Arsy.
Kini telah diketahui bahwa ketika Allah menciptakan lawh al-mahfoudh dan Pena, pada Pena itu terdapat seratus simpul, jarak antara kedua simpul adalah sejauh dua tahun perjalanan. Allah kemudia memerintahkan Pena untuk menulis, dan Pena bertanya, Ya Allah, apa yang harus saya tulis? Allah berkata, Tulislah : la ilaha illAllah, Muhammadan Rasulullah. Atas itu Pena berseru, Oh, betapa sebuah nama yang indah, agung Muhammad itu bahwa dia disebut bersama Asma Mu yang Suci, ya Allah.
Allah kemudian berkata, Wahai Pena, jagalah kelakuan mu ! Nama ini adalah nama Kekasih Ku, dari Nurnya Aku menciptakan Arsy dan Pena dan lawh al-mahfoudh; kamu, juga diciptakan dari Nur nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apapun. Ketika Allah S.W.T. telah mengatakan kalimat tersebut, Pena itu terbelah dua karena takutnya akan Allah, dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup/terhalang, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelahdua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung.
Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contoh nya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang/meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.
Kemudian Allah memerintahkan Pena untuk menulis. Apa yang harus saya tulis, Ya Allah? bertanya Pena. Kemudian Rabb al Alamin berkata, Tulislah semua yang akan terjadi sampai Hari Pengadilan ! Berkata Pena, Ya Allah, apa yang harus saya mulai? Barkata Allah, “Kamu harus memulai dengan kata-kata ini : Bismillah al-Rahman al-Rahim. Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian Pena bersiap untuk menulis kata-kata itu pada Kitab (lawh al-mahfoudh), dan dia menyelesaikan tulisan itu dalam 700 tahun.
Ketika Pena telah menulis kata-kata itu, Allah S.W.T. berbicara dan berkata, Telah memakan 700 tahun untuk kamu menulis tiga Nama Ku; Nama Keagungan Ku, Kasih Sayang Ku dan Empati Ku. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini saya buat sebagai sebuah hadiah bagi ummat Kekasih Ku Muhammad.
Dengan Keagungan Ku Aku berjanji bahwa bilamana abdi manapun dari ummat ini menyebutkan kata Bismillah dengan niat yang murni, Aku akan menulis 700 tahun pahala yang tak terhitung untuk abdi tadi, dan 700 tahun dosa akan Aku hapuskan.
Sekarang (selanjutnya), bagaian ke-empat dari Nur itu Aku bagi lagi menjadi empat bagian :
- Dari bagian pertama Aku ciptakan Malaikat Penyangga Singgasana (hamalat al-‘Arsh);
- Dari bagian kedua Aku telah ciptakan Kursi, majelis Ilahiah (Langit atas yang menyangga Singgasana Ilahiah, ‘Arsh);
-Dari bagian ketiga Aku ciptakan seluruh malaikat (makhluq) langit lainnya;
- dan bagian ke-empat Aku bagi lagi menjadi empat bagian:
--dari bagian pertama Aku membuat semua langit, dari bagian kedua Aku membuat bumi-bumi , dari bagian ketiga Aku membuat Jinn dan api.
--Bagian keempat Aku bagi lagi menjadi empat bagian : dari bagian pertama Aku membuat cahaya yang menyoroti muka kaum beriman; dari bagian kedua Aku membuat cahaya di dalam jantung mereka, merendamnya dengan ilmu ilahiah; dari bagian ketiga cahaya bagi lidah mereka yang adalah cahaya Tawhid (Hu Allahu Ahad),
--dan dari bagian keempat Aku membuat berbagai cahaya dari ruh Muhammad s.a.w..
Ruh yang cantik ini diciptakan 360,000 tahun sebelum penciptaan dunia ini,
! dan itu dibentuk sangat (paling) cantik dan dibuat dari bahan yang tak terbandingkan.
! Kepalanya dibuat dari petunjuk, lehernya dibuat dari kerendahan hati,
! Matanya dari kesederhanaan dasn kejujuran, dahinya dari kedekatan (kepada Allah),
! Mulutnya dari kesabaran, lidahnya dari kesungguhan,
! Pipinya dari cinta dan ke-hati-hati-an,
! Perutnya dari tirakat terhadap makanan dan hal-hal keduniaan,
! Kaki dan lututnya dari mengikuti jalan lurus,
! dan jantungnya yang mulia dipenuhi dengan rahman.
! Ruh yang penuh kemuliaan ini diajari dengan rahmat dan dilengkapi dengan adab semua kekuatan yang indah. Kepadanya diberikan risalahnya dan kualitas kenabiannya dipasang.
! Kemudian Mahkota Kedekatan Ilahiah dipasangkan pada kepalanya yang penuh barokah, masyhur dan tinggi diatas semua lainnya, didekorasi dengan Ridha Ilahiah dan diberi nama Habibullah (Kekasih Allah) yang murni dan suci.
Duabelas Tabir { Bismi=786 7+8+6=21 Mirror of 21= 12 Bulan, 12th Rabil Awal, 12 suku, 12 Menunjukkan Penuntasan}
Sesudah ini Allah S.W.T., menciptakan duabelas tabir.
- Yang pertama dari itu adalah Tabir Kekuatan didalam mana Ruh Nabi s.a.w. mukim (tinggal) selama 12,000 tahun, membaca Subhana rabbil-ala (Maha Suci Rabb-ku, Maha Tinggi).
- Yang kedua adalah Tabir Kebesaran dalam mana dia ditutupi selama 11,000 tahun, berkata, Subhanal Alim al-Hakim (Maha Suci Rabb-ku, Maha Tahu, Maha Bijak).
- Dia dipingit selama 10,000 tahun dalam Tabir Kebaikan, mengucapkan Subhana man huwa daim, la yaqta (Maha Suci Rabb-ku Yang Abadi, Yang Tidak Berakhir).
- Tabir ke-empat adalah Tabir Rahman, disitu ruh mulia itu tinggal selama 9,000 tahun, memuja Allah, berkata: Subhana-rafi’-al-‘ala (Maha Suci Rabb ku Yang Ditinggikan, Maha Tinggi).
- Tabir kelima adalah Tabir Nikmat, dan di situ tinggal selama 8,000 tahun, mengagungkan Allah dan berkata, Subhana man huwa qa’imun la yanam. (Maha Suci Rabb-ku Yang Selalu Ada, Yang Tidak Tidur).
- Tabir ke-enam adalah Tabir Kemurahan; dimana dia tinggal selama 7,000 tahun, memuja, Subhana-man huwal-ghaniyu la yafqaru (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Kaya, Yang Tidak Pernah Menjadi Miskin).
- Kemudian diikuti tabir ke tujuh, Tabir Kedudukan. Disini ruh tercerahkan itu tinggal selama 6,000 tahun, memuja Allah dan berkata : Subhana man huwal Khaliq-an-Nur (Maha Suci Rabb-ku Maha Pencipta, Maha Cahaya Light).
- Berikutnya, Dia menyelimutinya dengan tabir ke delapan, Tabir Petunjuk dimana dia tinggal selama 5,000 tahun, memuja Allah dan berkata, Subhana man lam yazil wa la yazal. (Maha SuciRabb-ku Yang Keberadaan Nya Tak Pernah Berhenti, Yang Tidak Musnah).
- Kemudian diikuti tabir ke sembilan, yaitu Tabir Kenabian dimana dia tinggal selama 4,000 tahun, mengagungkan Allah: Subhana man taqarrab bil-qudrati wal-baqa. (Maha Suci Rabb-ku yang Mengajak Dekat dengan Maha Kuat dan Maha Langgeng).
- Kemudian datang Tabir Keunggulan, tabir ke sepuluh dimana ruh yang tercerahkan ini tinggal selama 3,000 tahun, membaca pepujian untuk Pencipta dari Semua Sebab, berkata, “Subhana dhil-arshi amma yasifun(Maha Suci Rabb-ku Pemilik Singgasana Diatas Semua Karakter Yang Dilekatkan Kepada Nya).
- Tabir ke-sebelas adalah Tabir Cahaya. Disana dia tinggal selama 2,000 tahun, berdoa, Subhana dhil-Mulk wal-Malakut. (Maha Suci Rabb-ku Maha Raja semua Kerajaan Langit dan Bumi).
- Tabir ke-dua belas adalah Tabir Intervensi (Syafa’at), dan disana dia tinggal selama 1,000 tahun, berkata “Subhana-rabbil-’azhim” (Maha Suci Rabb-ku, Maha Anggun).
Penciptaan AHMAD Tercinta
Setelah itu Allah menciptakan sebuah pohon yang dikenal sebagai Pohon Kepastian.
-Pohon ini memiliki empat cabang. Dia menempatkan ruh yang diberkahi tadi pada salah satu cabang, dan dia terus menerus memuja Allah untuk 40,000 tahun, mengatakan, Allahu dhul-Jalali wal-Ikram. (Allah, Pemilik Keperkasaan dan Kebaikan).
-Setelah dia memuja Nya demikian itu dengan pepujian yang banyak dan beragam, Allah S.W.T. menciptakan sebuah cermin,dan Dia meletakannya demikian hingga menghadapi ruh Habibullah, dan memerintahkan ruh itu untuk memandangi cermin itu.
- Ruh itu melihat ke dalam cermin dan melihat dirinya terpantul sebagai pemilik bentuk yang paling cantik/ bagus dan sempurna.
-Dia kemudian membaca lima kali, Shukran lillahi taala (terima kasih kepada Allah, Maha Tinggi Dia), dan tersungkur dalam posisi sujud dihadapan Rabb-nya. Dia tetap bersujud seperti itu selama 100 tahun, mengatakan Subhanal-aliyyul-azhim, wa la yajhalu. (Maha Suci Rabb ku Maha Tinggi Maha Anggun, Yang Tidak Mengabaikan Apapun); Subhanal-halim alladhi la yuajjalu. (Maha Suci Rabb-ku Maha Toleran, Yang Tidak Tergesa-gesa); Subhanal-jawad alladhi la yabkhalu. (Maha Suci Rabb ku Maha Pemurah Yang Tidak Pelit).
-Karena itulah Penyebab (Adanya) Makhluq mewajibkan ummat Muhammad s.a.w. untuk melakukan sujud (sajda) lima kali dalam sehari– lima shalat dalam jangka waktu siang sampai malam ini adalah sebuah hadiah kehormatan bagi ummat Muhammad s.a.w..
Dari Nur Muhammad
Berikutnya Allah menciptakan sebuah lampu jamrut hijau dari Cahaya,
-dan dilekatkan pada pohon itu melalui seuntai rantai cahaya. Kemudian Dia menempatkan ruh Muhammad s.a.w. di dalam lampu itu dan memerintahkannya untuk memuja Dia dengan Nama Paling Indah (Asma al-Husna).
Itu dilakukannya, dan dia mulai membaca setiap satu dari Nama itu selama 1,000 tahun. Ketika dia sampai kepada Nama ar-Rahman (Maha Kasih), pandangan ar-Rahman jatuh kepadanya dan ruh itu mulai berkeringat karena kerendahan hatinya.
Tetesan keringat jatuh dari padanya, sebanyak yang jatuh itu menjadi nabi dan rasul, setiap tetes keringat beraroma mawar berubah menjadi ruh seorang nabi.! Mereka semua berkumpul di sekitar lampu di pohon itu, dan Azza wa Jala berkata kepada Nabi Muhammad s.a.w., Lihatlah ini sejumlah besar nabi yang Aku ciptakan dari tetesan keringatmu yang menyerupai mutiara.
Mematuhi perintah ini, dia memandangi mereka itu, dan ketika cahaya mata itu menyentuh menyinari objek itu, maka ruh para nabi itu sekonyong konyong tenggelam dalam Nur Muhammad s.a.w., dan mereka berteriak, Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?
!Allah menjawab mereka, Ini adalah Cahaya dari Muhammad Kekasih Ku, dan kalau kamu akan beriman kepadanya dan menegaskan risalah kenabiannya, Aku akan menghadiahkan kepada kamu kehormatan berupa kenabian.
!Dengan itu semua ruh para nabi itu menyatakan iman mereka kepada kenabiannya, dan Allah berkata, Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini, dan mereka semua setuju. Sebagaimana disebutkan di dalam al Quran yang Suci:
Dan ketika Allah bersepakat dengan para nabi itu : Bahwa Aku telah memberi kamu Kitab dan Kebijakan; kemudian akan datang kepadamu seorang Rasul yang menegaskan kembali apa-apa yang telah apa padamu–kamu akan beriman kepadanya dan kamu akan membantunya; apa kamu setuju? Dia berkata. Dan apakah kamu menerima beban Ku kepadamu dengan syarat seperti itu. Mereka berkata, Benar kami setuju. Allah berkata, Bersaksilah demikian, dan Aku akan bersama kamu diantara para saksi.
(Ali Imran, 3:75-76)
Kemudian ruh yang murni dan suci itu kembali melanjutkan bacaan Asma ul Husna lagi.
Ketika dia sampai kepada Nama al-Qahhar, kepalanya mulai berkeringat sekali lagi karena intensitas dari al Qahhar itu, dan dari butiran keringat itu Allah menciptakan ruh para malaikat yang diberkati.
Dari keringat pada mukanya, Allah menciptakan Singgasana dan Hadhirat Ilahiah,
Kitab Induk dan Pena, matahari, rembulan dan bintang -bintang.
Dari keringat di dadanya Dia menciptakan para ulama, para syuhada dan para mutaqin.
Dari keringat pada punggungnya dibuat lah Bayt-al-Ma’mur (rumah surgawi),
Kabatullah (Kaba), dan Bayt-al-Muqaddas (Haram Jerusalem),
dan Rauda-i-Mutahhara (kuburan Nabi Suci s.a.w.di Madinah), begitu juga semua mesjid di dunia ini.
Dari keringat pada alisnya dibuat semua ruh kaum beriman, dan dari keringat punggung bagian bawahnya dibuatlah semua ruh kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung.
Dari keringat di kaki nya dibuatlah semua tanah dari timur ke barat, dan semua apa-apa yang berada didalamnya. Dari setiap tetes keringatlah ruh seorang beriman atau tak-beriman dibuatnya. Itulah sebabnya Nabi Suci s.a.w.disebut juga sebagai Abu Arwah”, Ayah para Ruh. Semua ruh ini berkumpul mengelilingi ruh Muhammad s.a.w., berputar mengelilinginya dengan pepujian dan pengagungannya selama 1,000 tahun; kemudian Allah memerintahkan para ruh itu untuk memandang ruh Muhammad s.a.w..Para ruh mematuhi.
Siapa Memandang kepada Ruh Muhammad s.a.w.
Nah, di antara mereka yang pandangannya jatuh kepada kepalanya ditakdirkan menjadi raja dan kepala negara di dunia ini. Mereka yang memandang kepada dahinya menjadi pemimpin yang adil. Mereka yang memandang matanya akan menjadi hafiz Kalimat Allah (yaitu seorang yang memegangnya kedalam ingatannya). Mereka yang memandang alisnya akan menjadi pelukis dan artist. Mereka yang memandang telinganya akan menjadi mereka yang menerima peringatan dan nasehat. Mereka yang melihat pipinya yang penuh barakah menjadi pelaksana karya yang bagus dan pantas. Mereka yang melihat mukanya menjadi hakim dan pembuat wewangian, dan mereka yang melihat bibirnya yang penuh barokah menjadi menteri.
Barang siapa melihat mulutnya akan menjadi mereka yang banyak berpuasa. Barangsiapa yang melihat giginya akan menjadi kelihatanbagus/cantik, dan siapa yang melihat lidahnya akan menjadi utusan /duta raja-raja. Barang siapa melihat tenggorokannya yang penuh barokah akan menjadi khatib dan mu’adhdhin (yang mengumandangkan adhan). Barang siapa memandang janggutnya akan menjadi pejuang di jalan Allah. Barang siapa memandang lengan atasnya akan menjadi seorang pemanah atau pengemudi kapal laut, dan barang siapa melihat lehernya akan menjadi usahawan dan pedagang.
Siapa yang melihat tangan kananya akan menjadi seorang pemimpin, dan siapa yang melihat tangan kirinya akan menjadi seorang pembagi (yang menguasai timbangan dan mengukur catu kebutuhan hidup). Siapa yang melihat telapak tangannya menjadi seorang yang gemar memberi; siapa yang melihat belakang tangannya akan menjadi kolektor. Siapa yang melihat bagian dalam dari tangan kanannya menjadi seorang pelukis; siapa yang melihat ujung jari tangan kanannya akan menjadi seorang calligrapher, dan siapa yang melihat ujung jari tangan kirinya akan menjadi seorang pandai besi.
Siapa yang melihat dadanya yang penuh baraokah akan menjadi seorang terpelajar, meninggalkan keduniaan (ascetic) dan berilmu. Siapa yang melihat punggungnya akan menjadi seorang yang rendah hati dan patuh pada hukum Shari’a. Siapa yang melihat sisi badanya yang penuh barokah akan menjadi seorang pejuang. Siapa yang melihat perutnya akan menjadi orang yang puas, dan siapa yang melihat lutut kanannya akan menjadi mereka yang melaksanakan ruk’u dan sujud. Siapa yang melihat kakinya yang penuh barokah akan menjadi seorang pemburu, dan siapa yang melihat telapak kakinya menjadi mereka yang suka bepergian. Siapa yang melihat bayangannya akan mejadi penyanyi dan pemain saz (lute). Semua yang memandang tetapi tidak melihat apa-apa akan menjadi kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung. Mereka yang tidak memandang sama sekali akan menjadi mereka akan menyatakan bahwa dirinya adalah tuhan, seperti Nimrod, Pharoah dan sejenisnya.
Kini semua ruh itu diatur dalam empat baris.
- Di baris pertama berdiri ruh para nabi dan rasul, a.s.;
- Di baris kedua ditempatkan ruh para orang suci, para sahabat Allah;
- Di baris ketiga berdiri ruh kaum beriman, laki dan perempuan;
- Di baris ke empat berdiri ruh kaum tak-beriman.
Semua ruh ini tetap berada dalam dunia ruh di hadhirat Allah S.W.T.sampai waktu mereka tiba untuk dikirim ke dunia fisik.
Tidak seorang pun tahu kecuali Allah S.W.T. yang tahu berapa selang waktu dari waktu diciptakannya ruh penuh barokah Nabi Muhammad sampai diturunkannya dia dari dunia ruh ke bentuk fisiknya itu.
Diceritakan bahwa Nabi Suci Muhammad s.a.w. bertanya kepada malaikat Jibra'il ,
! Berapa lama sejak engkau diciptakan?
! Malaikat itu menjawab, Ya h Rasulullah, saya tidak tahu jumlah tahunnya, yang saya tahu bahwa setiap 70,000 tahun seberkas cahaya gilang gemilang menyorot keluar dari belakang kubah Singgasana Ilahiah; sejak waktu saya diciptakan cahaya ini muncul 12,000 kali.
Apakah engkau tahu apakah cahaya itu?” bertanya Muhammad s.a.w..
Tidak, saya tidak tahu,” berkata malaikat itu. “Itu adalah Nur ruhku dalam dunia ruh, jawab Nabi Suci s.a.w.. Pertimbangkan kemudian, berapa besar jumlah itu, jika 70,000 dikalikan 12,000 !
IBNU ARABY
Muhiyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i (1165-1240) atau lebih dikenal dengan Ibnu Arabi adalah seorang sufi amat terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Ibnu Arabi adalah keturunan Arab kuno dan ayahnya Ali ibn al-'Arabi adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan berpengaruh. Ibnu Arabi adalah guru sufi yang terkenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan, segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Menurutnya, keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Awal dari ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) adalah diangkatnya selubung, dan hadirnya kesepahaman, serta perenungan pada yang tak kasat mata, dan percakapan rahasia, dan memandang yang tidak ada, dan ini berarti kau telah beranjak dari tempat asalmu.
Ekstase adalah persinggahan pertama bagi kaum pilihan dan ia adalah warisan kepastian dari hasrat, dan bagi mereka yang telah mengalaminya, ketika cahayanya telah tersebar luas ke penjuru kalbu, semua keraguan dan kecurigaan meninggalkan mereka. Siapa yang terselimuti dari ekstase dan dikuasai oleh keakuannya sendiri, terhalang oleh kehidupan dan oleh maksud-maksud duniawi, karena keakuan terselubung oleh maksud-maksud semacam ini. Tetapi jika maksud-maksud duniawi dihilangkan dan pengabdian diri kepada Tuhan disucikan dari kepentingan pribadi dan kalbu kembali dimurnikan dan disucikan serta mengindahkan peringatan, ketika kalbu menyembah Tuhan dan mengutarakan doa-doanya dalam percakapan intim dengan-Nya, semakin dekatlah dia ke arah-Nya. Dia berbicara kepadanya dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ekstase di dunia ini tidak berasal dari penyingkapan, tapi dari penglihatan kalbu dan kesadaran akan kebenaran dan keyakinan, dan siapa yang telah mengejarnya menyaksikan dengan luapan kegembiraan dan dengan pengabdian yang bebas hawa nafsu. Ketika ia terjaga dari penglihatan itu, dia kehilangan apa yang telah dia temukan, tapi pengetahuannya masih bersamanya, dan untuk waktu yang lama, ruhnya menikmatinya.
Jika seseorang meminta penjabaran lebih lanjut tentang ekstase, suruhlah dia berhenti menanyakannya, sebab bagaimana mungkin sesuatu dapat dijabarkan jika ia tidak memiliki penjelasan kecuali dirinya sendiri, dan tiada kesaksian kecuali dirinya. Siapa yang bertanya tentang aroma dan rasasanya berarti bertanya tentang kemustahilan, sebab aroma dan rasa tidak dikenal dengan penjabaran, melainkan dengan mengecap dan mengalaminya.
ABU YAZID
Abu Yazid al Bisthami lahir pada tahun 874 M adalah seorang Persia, berasal dari Bistham, wilayah Qum, di mana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai guru di sana. Dia adalah seorang asketik yang menyendiri dengan satu tujuan, yakni mengejar pengalaman tentang hakikat Ilahi. Dia banyak dikutip oleh penulis-penulis selanjutnya dan memiliki pengaruh yang luas terhadap perkembangan sufisme, khusunya yang mengarah pada doktrin panteistis. Ia disebut-sebut sebagai guru sufi yang pertama kali mengajarkan faham fana' dan baqa. Pengalaman Abu Yazid yang ucapannya (pada saat sukr) kadang-kadang sulit dipahami oleh orang awam, menyebabkan sebagian ulama menentangnya. Berikut ini beberapa ujaran Abu Yazid :
Awalnya aku melakukan empat kesalahan. Aku menyuntukkan diri untuk mengingat Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan mencari-Nya. Ketika aku telah sampai di ujung perjalanan, aku menyaksikan bahwa Dia telah mengingatku sebelum aku mengingat-Nya. Pengetahuan-Nya tentang aku telah mendahului pengetahuanku tentang Dia. Cinta-Nya terhadapku telah lama ada sebelum cintaku kepada-Nya dan Dia telah mencari aku sebelum aku mencari-Nya.
Ketika aku tertidur, tampak bagiku telah kudaki langit untuk mencari Tuhan, mencari kemanggulan Tuhan Yang Maha Mulia, sehingga aku bisa bersemayam bersama-Nya untuk selamanya, dan aku diuji dengan satu cobaan. Tuhan memperlihatkan semua jenis hadiah dan menawariku penguasaan seluruh semesta langit. Tetapi aku palingkan mataku, karena aku tahu bahwa Dia sedang mengujiku, dan aku sama sekali tidak melihatnya, karena takzimku kepada kesucian Tuhanku.
Kemudian aku mendaki Langit Kedua dan melihat malaikat-malaikat bersayap, yang terbang ratusan ribu kali setiap harinya ke bumi, untuk mengamati wali-wali Tuhan, dan wajah-wajah mereka bersinar laksana matahari. Kuteruskan perjalanan, dan ketika sampai ke Langkit Ketujuh, seseorang menyentakku, "Wahai Abu Yazid, berhenti, karena kau telah sampai pada tujuanmu." Tetapi aku tak menghiraukan kata-katanya dan meneruskan pengembaraanku.
Ketika Tuhan Yang Maha Tinggi merasakan sentuhan ketulusan hasrat jiwaku kepada-Nya, Dia mengubahku menjadi seekor burung, dan aku pun terbang melewati kerajaan demi kerajaan, gurun demi gurun, dan daratan demi daratan, lautan demi lautan, dan selubung demi selubung, sampai akhirnya menyaksikan malaikat di kaki Tuhan menemuiku dengan seberkas cahaya dan berkata kepadaku, "Ambillah," dan aku mengambilnya. Dan demikianlah, langit-langit dan semua yang ada di sana mencari perlindungan dalam teduh bayang ma'rifatku, dan mencari cahaya dalam cahaya kerinduanku.
Aku melanjutkan penerbanganku sampai aku tiba di atas samudera cahaya, lalu kulanjutkan lagi hingga aku meraih samudera terbesar yang di atasnya berdiri Singgasana Yang Maha Pengampun. Dan ketika Tuhan Yang Maha Agung melihat ketulusanku mencarinya, Dia mendekatiku dan berkata, "Wahai manusia pilihan-Ku, mendekatlah ke arah-Ku dan dakilah ketinggian kemuliaan-Ku dan daratan kemegahan-Ku dan duduklah di atas karpet kesucian-Ku, agar kau bisa menyaksikan karya keagungan-Ku.
Kemudian aku mulai meleleh, seperti timah meleleh dalam panasnya bara. Kemudian Dia memberiku minuman dari sumber Keagungan dalam cangkir keintiman dan mengubahku ke dalam keadaan yang tak tergambarkan dan membawaku mendekat kepada-Nya, sedemikian dekatnya sehingga aku menjadi lebih dekat dengan-Nya daripada ruh dalam tubuhku sendiri. Aku terus berlanjut bahkan sampai aku menjadi jiwa-jiwa manusia sebelumnya, sebelum adanya keberadaan dan Tuhan berdiam dalam kesendirian yang sunyi, tanpa makhluk ciptaan atau ruang, Maha Suci Allah lagi Maha Mulia
MA'RIFAT
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.
Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41)
Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”
Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah
Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.
Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.
Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].
Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “
Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna
Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).
Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”
Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”
Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.
Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.
Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).
Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
Langganan:
Postingan (Atom)