Di tengah era modern yang diwarnai kehidupan keduniaan (hedonisme) dan
materialisme, masyarakat selalu disibukkan oleh aktivitas yang berkenaan
dengan pengumpulan materi sebanyak mungkin. Ini seiring dengan tuntutan
dan kebutuhan hidup yang makin kompetitif dalam arus globalisasi yang
selalu berorientasi bisnis.
Dengan kata lain, manusia hidup di dunia
ingin menjadi kaya dengan menempuh cara apa pun, halal atau haram.
Keinginan untuk kaya bukan lagi keharusan tetapi sudah menjadi sifat
dasar manusia modern.
Dalam tradisi tasawuf, para sufi
menempatkan kemiskinan dan al-faqru (kefakiran) pada maqam (jenjang)
yang tinggi sebagai salah satu syarat agar dapat wushul (sampai) dan
makrifat (mengenal) Allah. Mereka mempraktikkan al-faqru dengan gaya
hidup yang benar-benar jauh dari kemewahan dan kemegahan dunia.
Mereka memilih jalan hidup yang penuh penderitaan, kesedihan, cobaan dan
kemiskinan. Imam al-Ghazali dalam kitab karangannya Ihya Ulumuddin,
memaparkan keunggulan dan keutamaan al-faqru sampai berpuluh-puluh
halaman tetapi dalam memaparkan keutamaan harta dan kekayaan hanya
sedikit dan sekilas.
Sebenarnya Islam tidak pernah melarang
umatnya untuk mengumpulkan harta kekayaan (hubbud dunya) sebanyak
mungkin, bahkan menganjurkan umatnya tidak melupakan bagian dunianya di
samping akhiratnya. Islam menganjurkan adanya balance kepentingan
duniawi dan ukhrawi sebagaimana firman Allah: "... Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia". (QS.
Al-Qashash: 77)
Dikuatkan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan
Al-Khatib dari Anas ra: "Sebaik-baik kamu adalah orang yang tidak
meninggalkan akhirat untuk memperoleh dunianya dan tidak meninggalkan
dunianya untuk memperoleh akhiratnya (tetapi harus keduanya) dan
janganlah kamu membuat susah masyarakat".
Islam hanya tidak
membenarkan hati kita terlalu kumanthil (melekat, red) terhadap harta
benda sehingga dapat melupakan dan melalaikan kewajiban taat dan
menyembah Allah SWT. Inilah inti dari sifat zuhud (menghindari dunia).
Banyak orang salah mengartikan bahwa zuhud harus miskin dan menderita
tanpa harta benda. Padahal pengertian zuhud yang sebenarnya adalah
sebagaimana penjelasan Sufi Agung Sufyan as-Tsauri, "Memendekkan
angan-angan hati kita kepada urusan dunia bukan berarti makan yang tidak
enak dan berpakaian compang-camping".
Jadi bila ada orang yang
kaya raya tetapi hatinya tidak selalu memikirkan dunia berarti orang
tersebut mempunyai sifat zuhud dan sebaliknya bila ada orang miskin
tetapi hatinya selalu memikirkan urusan dunia berarti orang tersebut
tidak zuhud tetapi hubbud dunya. Intinya, zuhud bukan dilihat dari kaya
atau miskin tetapi dari hatinya.
Pengertian zuhud sendiri dalam
Al Qur'an dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 23: "Supaya kau tidak
berputus asa terhadap sesuatu yang telah hilang di hadapanmu dan tidak
terlalu gembira terhadap karunia yang datang padamu".
Ada yang
unik dari penjelasan Al-Ghazali dalam Ihya-nya: "Az-Zuhdu fi az-Zuhdi
bin idhari diddihi" (zuhud dalam pengertian zuhud yang sebenarnya adalah
menampakkan perbuatan yang seolah-olah bertentangan dengan zuhud itu
sendiri). Beliau mengartikannya kesempatan seorang arif yang zuhud
adalah meninggalkan keinginan syahwatnya karena Allah, tetapi terkadang
juga menampakkan dirinya mengikuti syahwatnya dengan tujuan menutupi
derajat kesufiannya di mata masyarakat sehingga ia tidak terganggu dari
penilaian mereka seperti dihormati, dipuji, dikultuskan, diagungkan atau
dicela.
Dalam Islam, harta kejayaan bisa menjadi sesuatu yang
terpuji bila digunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan dunia dan
agama, sehingga dalam Al Qur'an, Allah sering menyebut harta dengan
khair (kebaikan) dengan catatan banyak atau sedikitnya rezeki tidak
ditentukan ketakwaan seseorang tetapi memang sudah ditentukan dalam
catatan amal sebagaimana sabda Rasulullah Saw: "Rezeki telah dibagi dan
dialokasikan sesuai bagian yang telah ditentukan. Ketakwaan seseorang
tidak berarti menambah rezekinya dan kefasikan seseorang tidak pula
berarti mengurangi rezekinya".
Seorang sufi ternama, Sa'id bin
Musayyab pernah berkata, tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau
mengumpulkan harta dari barang halal. Bahkan Sufyan as-Tsauri dengan
tegas mengatakan, "Harta di zaman sekarang adalah senjata ampuh bagi
orang mukmin". Rasulullah Saw sendiri mengakui betapa pentingnya harta
kekayaan sebagai penopang hidup manusia modern baik urusan dunia maupun
agamanya sebagaimana sabda Beliau yang diriwayatkan oleh At-Thabrani:
"Apabila akhir zaman datang maka penopang agama dan dunia seseorang
adalah dirham dan dinar".
Dari penjelasan di atas, jelaslah
menanamkan pola hidup miskin di zaman modern sebagaimana yang diajarkan
para sufi terdahulu merupakan konsep usang yang harus ditinggalkan dan
sudah tidak cocok dengan era globalisasi sekarang. Terbukti kini banyak
para kyai, ulama dan mursyid tarekat yang nota bene pewaris para nabi
mempunyai rumah mewah, kendaraan yang sangat mahal dan harta yang
berlimpah.
Sebuah pemandangan yang kontras dan jauh berbeda dengan gaya hidup panutannya, Rasulullah Saw.
Beliau menggoreskan sejarah hidupnya dengan hidup miskin tetapi tidak
berarti menyuruh atau menganjurkan hidup miskin, sebab kenyataannya
banyak sahabat Beliau yang kaya raya bahkan beliau mengawinkan dua
putrinya kepada sahabat yang kaya raya, Ustman bin Affan ra. Ketika
beliau ditawari hidup kaya oleh Allah, beliau menjawab dengan dua
alasan; pertama, beliau malu kepada para nabi dan rasul terdahulu karena
mereka merasakan kepedihan luar biasa dalam menyampaikan Risalah Allah,
tidak hanya lapar dan miskin tetapi juga cacian, siksaan dan cobaan
yang datang silih berganti, toh mereka tetap sabar dan tabah.
Ketika Beliau ditanya tentang kebiasaan seseorang yang berpakaian dan
memakai perhiasan bagus, Beliau menjawab: Inna Allah jamilun yuhibbul
jamal (Allah adalah Tuhan Yang Maha Indah dan menyukai keindahan). Jadi
Beliau juga memberi justifikasi kepada umatnya untuk hidup mewah asal
tetap taat dan tidak lalai terhadap kewajiban Allah. Adapun kepada
umatnya yang hidup miskin, beliau menghibur dan meyakinkan bahwa Allah
akan memberi anugerah yang besar melebihi orang kaya kepada orang miskin
di akhirat kelak asal sabar dan menerima.
Yang menarik, ada
penjelasan dari seorang sufi besar, Imam as-Syadzili yang selalu
menganjurkan hidup "ngota" dan parlente, beliau menyarankan pada para
sahabatnya, "Makanlah makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang
paling enak, berpakaianlah dengan pakaian yang paling mahal sebab bila
seseorang telah melakukan itu semua dan berkata "Alhamdulillah", maka
semua anggota badannya menjawab dan mengakui dengan bersyukur.
Sebaliknya bila seseorang makan hanya gandum dengan garam, berpakaian
lusuh, tidur di lantai, minum air tawar kemudian ia berkata,
"Alhamdulillah", maka seluruh anggota badannya malah marah, bosan dan
mencela pada orang yang mengatakan itu, sebab anggota badan tersebut
merasa tidak diberi hak yang selayaknya, tidak sesuai antara pernyataan
syukur dan kenyataannya.
Seandainya ia bisa melihat langsung,
tentunya ia akan melihat kebosanan dan kemarahannya. Tentunya ia memilih
dosa karena membohongi anggota badannya, kalau begitu lebih baik orang
yang menikmati kesenangan dunia dengan penuh keyakinan kepada Allah
sebab pada hakikatnya orang yang menikmati kesenangan dunia adalah
melakukan sesuatu yang diperbolehkan Allah dan barang siapa menimbulkan
kebosanan dan kemarahan pada anggota badannya pada hakikatnya melakukan
sesuatu yang diharamkan Allah".
Dari penjelasannya, beliau
memberikan pembenaran dan pembelaan yang kuat bahwa seorang sufi boleh
hidup mewah di dunia dengan catatan memakai pakaian yang mahal dengan
niat menampakkan nikmat Allah bukan untuk memuaskan nafsunya. Juga makan
dan minum yang lezat dengan niat agar seluruh anggota badannya dapat
bersyukur dengan anugerah yang telah diberikan-Nya. Bahkan beliau tidak
menghendaki seorang sufi yang miskin, lusuh, kumal, dekil dan kucel. Ini
dibuktikan dalam sejarah, beliau selalu memakai pakaian yang mewah dan
mahal, berkendaraan yang bagus dan berbagai fasilitas yang serba lux,
sangat berbeda dengan gaya hidup para sufi pada umumnya.
Toh
beliau tetap mempunyai reputasi dan nama yang harum sebagai sufi agung,
dijadikan panutan dan dikagumi hingga sekarang. Sebab kenyataannya
beliau menggunakan fasilitas kemewahan dunia semata-mata untuk
kepentingan ibadah kepada Allah dan untuk kepentingan umum umat Islam
pada zamannya, sebuah ibadah sosial yang dianjurkan dalam Islam. Imam
as-Syadzili mengilustrasikan gaya hidup mewahnya dengan sebuah kisah.
Pada suatu hari ada seseorang yang hendak bertemu Imam Abu Hasan Ali
al-Syadzili di rumahnya. Karena belum tahu rumahnya, ia bertanya kepada
orang lain, orang itu segera pergi ke tempat yang ditunjukkan, begitu
sampai ke alamatnya, ia tidak jadi masuk ke rumah itu, karena ia
mendapatkan sebuah bangunan rumah bagai istana raja yang sangat indah
dan megah. Ia tidak percaya kalau itu rumah tempat tinggal imam yang
dicarinya. Dalam hatinya ia yakin bahwa seorang wali tidak akan hidup
semewah itu. Seorang wali adalah orang yang hidup sederhana dan pasti
mengamalkan zuhud, yaitu sikap menjauhi dunia. Melihat kenyataan itu, ia
segera pulang, tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang
pengendara kereta kuda yang mewah mempersilahkan naik bersamanya. Dengan
penuh rasa waswas akhirnya ia menerima tawaran orang tersebut. Dalam
pembicaraan di atas kereta, diketahuilah bahwa pengendara kereta itu
tidak lain Imam Abu Hasan al-Syadzili sendiri.
Ketika ia tahu
siapa yang ditumpanginya, ia pun tidak berani menyembunyikan niatnya
semula dan mengatakan bahwa sebenarnya ia baru saja pergi ke rumah
beliau. Namun niat itu digagalkan karena tidak percaya bahwa rumah itu
adalah rumah Sang Imam. Mendengar penuturan tersebut, Imam Abu Hasan
kemudian memberikan sebuah gelas yang berisi minuman anggur pilihan. Ia
sangat kagum karena selama hidupnya belum pernah melihat dan meminum
anggur semacam itu. Rasa kagum itu membuatnya merasa takut kalau anggur
itu tumpah atau gelasnya terlepas dari genggamannya. Apalagi kereta yang
ia tumpangi sedang lari kencang mengelilingi kota. Seluruh perhatiannya
tertuju pada gelas dan anggur sehingga ia tidak bisa menikmati indahnya
perjalanan dan megahnya pemandangan kota sekelilingnya.
Setelah
selesai mengelilingi kota, kereta beliau berhenti di halaman rumahnya
tanpa disadari orang tersebut, ia terus saja memperhatikan anggurnya. Ia
baru sadar setelah Sang Imam bertanya kepadanya: "Bagaimana perjalanan
tadi, apakah kamu bisa menikmati keindahan kota ini?" Ia tidak bisa
menjawab karena selama perjalanan memang tidak melihat apa-apa selain
anggur yang ada di tangannya. Sebelum orang itu menjawab, Imam Syadzili
melanjutkan kata-katanya, "Nah, antara kamu, keindahan kota dan anggur
di tanganmu itu ibarat aku sendiri dengan hartaku dan Allah dalam
batinku. Karena perhatianku hanya tertuju kepada Allah, aku tidak pernah
peduli apakah kota ini indah atau tidak." Orang itu memahami apa yang
dilihat dan didengarnya. Ia gembira karena mendapatkan pelajaran zuhud
dari Sang Imam.