Bacalah secara seksama dengan tenang untuk dapat menangkap pesan nya dari sebuah cerita ini..
Suatu hari Raja Muzaffar yang masih kanak-kanak bertanya kepada bundanya tentang ALLAH.
“Bunda.. Dimana ALLAH dan bolehkah ananda melihatNya?”
“Oh.. ALLAH itu di Arasy wahai ananda dan ananda tidak dapat melihatNya
karena ALLAH berada nun jauh diatas 7 lapisan langit. Sedangkan langit
kedua pun manusia tidak nampak bagaimana hal keadaan zatnya lantas
bagaimana mungkin ananda akan dapat melihat ALLAH yang berada di Arasy
yang terletak lebih atas dan jauh daripada 7 lapisan langit?”
“Oh begitu… Bagaimana dengan dalilnya bunda?”
“Dalilnya begini.. “
Allah SWT berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ فِى
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ إِذْنِهِۦ ۚ ذٰلِكُمُ اللَّهُ
رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
inna
robbakumullohullazii kholaqos-samaawaati wal-ardho fii sittati ayyaamin
summastawaa 'alal-'arsyi yudabbirul-amr, maa min syafii'in illaa mim
ba'di iznih, zaalikumullohu robbukum fa'buduuh, a fa laa tazakkaruun
"Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan Bumi
dalam enam masa kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana) untuk
mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali
setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah
kamu tidak mengambil pelajaran?"
(QS. Yunus 10: Ayat 3)
Maka giranglah hati Raja Muzaffar karena telah mendapat jawaban dari persoalan yang selama ini sentiasa dibenak difikirannya.
Masa pun berlalu.....hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan
bulan berganti tahun, maka telah remajalah Raja Muzaffar. Suatu hari
Raja Muzaffar diperintahkan ayahandanya supaya belajar ilmu-ilmu agama
dari Syeikh Abdullah selaku Mufti di negeri ayahandanya itu.
Maka tidak sabar-sabarnya lagi Raja Muzaffar mau berguru dengan Syeikh
Abdullah sementara pelajaran agama adalah yang paling diminatinya.
Suatu hari sambil duduk-duduk santai dengan Syeikh Abdullah tiba-tiba
Raja Muzaffar ditanyai Syeikh Abdullah dengan 2 persoalan yang tidak
asing baginya.
“Wahai ananda Putera Raja..
Dimana ALLAH dan bolehkah ananda Putera
Raja melihatNya?”
Sambil tersenyum Raja Muzaffar menjawab sebagaimana yang telah diajarkan
bundanya dahulu.
“ALLAH itu di Arasy wahai Syeikh Guru dan aku tidak boleh melihatNya karena ALLAH berada nun jauh diatas 7 petala langit.”
Tersenyum kecil Syeikh Abdullah mendengar jawapan muridnya itu dan
sejenak selepas menghela nafasnya Syeikh Abdullah lalu bersuara.....
“Begini ananda Putera Raja…...ALLAH itu bukannya makhluk seperti kita
lantaran itu ALLAH tidak seperti kita. Apa saja hukum yang terjadi pada
makhluk tidak berlaku seperti itu atas ALLAH. Oleh itu ALLAH tidak
bertempat karena bertempat itu hukum bagi makhluk.”
“Lantas dimana ALLAH itu wahai Syeikh Guru?”
“ALLAH itu tidak bertempat karena Dia bersifat Qiammuhu Binafsihi yang
bermaksud ALLAH tidak berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati.
Jika kita mengatakan ALLAH berhajat pada sesuatu zat lain untuk
ditempati maka ketika itu kita telah menyerupakan ALLAH dengan keadaan
makhluk.
Ketahuilah, ALLAH tidak serupa dengan makhluk berdasarkan kepada dalil dari
Allah SWT berfirman:
فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوٰجًا وَمِنَ الْأَنْعٰمِ أَزْوٰجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ
كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
faathirus-samaawaati wal-ardh, ja'ala lakum min anfusikum azwaajaw wa
minal-an'aami azwaajaa, yazro`ukum fiih, laisa kamislihii syaii`, wa
huwas-samii'ul-bashiir
"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia
menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari
jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 11)
“Dia tidak menyerupai segala sesuatu.” ALLAH tidak berdiam di Arasy karena Arasy itu adalah makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk dapat menanggung zat ALLAH sedang bukit
dihadapan Nabi Musa pun hancur karena tidak dapat menanggung pentajalian
ALLAH.”
Raja Muzaffar mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham. Kemudian Syeikh
Abdullah menambah....
“Berkenaan tentang ananda Putera Raja tidak boleh melihat ALLAH itu
adalah betul namun bukanlah kerana ALLAH itu jauh maka ananda Putera
Raja tidak boleh melihatNya.”
“Jika bukan begitu lantas bagaimana Syeikh Guru?” Tanya Raja Muzaffar berusaha ingin tahu.
“Sebenarnya kita tidak dapat melihat ALLAH bukanlah kerana faktor jarak
tetapi karena keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia yang
tidak mampu melihat zatNya. Ini bersesuai dengan
Allah SWT berfirman:
لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصٰرَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
laa tudrikuhul-abshooru wa huwa yudrikul-abshoor, wa huwal-lathiiful-khobiir
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha
Mengetahui."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 103)
Terdiam Raja Muzaffar
mendengar hujah gurunya itu. Barulah beliau sadar bahwa apa yang
menjadi pegangannya selama hari ini adalah salah. Pegangan yang
mengatakan bahwa ALLAH itu di Arasy dan ALLAH tidak boleh dilihat karena
faktor jarak adalah satu kesilapan.
Uraian daripada gurunya
melalui ilmu Kalam membuat Raja Muzaffar begitu kagum dengan kekuasaan
akal yang dapat menguraikan segala-galanya tentang Tuhan. Bermula dari
hari itu Raja Muzaffar berpegang dengan hujah gurunya bahawa ALLAH itu
tidak bertempat
dan manusia tidak boleh melihat ALLAH kerana
keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia. Akhirnya dengan berkat
ketekunan dan kesungguhan, Raja Muzaffar telah berhasil menguasai
ilmu-ilmu ketuhanan menurut peraturan ilmu Kalam sebagaimana yang
diajarkan oleh Syeikh Abdullah hingga mahir.
Masa terus berjalan dan kini Raja Muzaffar telah dewasa. Oleh karena begitu
minatnya yang mendalam tentang ilmu-ilmu ketuhanan maka beliau meminta izin
Kpd ayahandanya untuk menperdalamkan lagi ilmu pengetahuannya dengan
belajar dari guru-guru yang berada diluar istana sementara Syeikh
Abdullah telah meninggal dunia. Ayahandanya memberi izin lalu tanpa
berlengah Raja Muzaffar menemui sahabat-sahabat sealiran almarhum Syeikh
Gurunya untuk
melanjutkan pelajaran.
Raja Muzaffar mempunyai
sikap yang pelik. Saban hari apabila beliau melalui pasar-pasar kecil
untuk sampai ke rumah guru-gurunya, beliau akan bertanya kepada setiap
orang yang ditemuinya dengan soalan yang pernah ditanya
kepada bundanya yaitu dimana ALLAH dan bolehkah manusia melihatNya?.
Bagi sesiapa yang menjawab soal itu sebagaimana yang pernah dijawab oleh
bundanya maka beliau akan membetulkan kefahaman orang itu dengan hujah
almarhum gurunya Syeikh Abdullah.
Jika orang itu tidak mau tunduk dengan
hujahnya maka orang itu akan dipukulnya sebelum diusir dari negerinya itu.
Begitulah sikap Raja Muzaffar setiap hari sehingga pada suatu hari
beliau bertemu dengan seorang tua yang sedang bertungkus-lumus
menyediakan air minuman untuk diberi minum kepada orang yang lalu-lalang
disebuah pasar tanpa mengambil upah. Melihat kelakuan orang tua itu
lantas Raja Muzaffar mendekatinya.
“Hei orang tua.. mengapa kamu tidak mengambil upah atas usahamu itu?”
Tanya Raja Muzaffar tegas. Orang tua yang sedari tadi begitu khusyuk
mengagih-agihkan minumannya itu terkejut dengan pertanyaan Raja Muzaffar
lalu meminta Raja Muzaffar memperkenalkan dirinya.
“Siapakah tuan ini?” Tanya si Tua.
Aku adalah Putera Raja negeri ini!” Jawab Raja Muzaffar tegas.
“Oh kalau begitu tuan ini tentu Raja Muzaffar yang terkenal dengan
ketinggian ilmu ketuhanan itu. Tapi sayang, tuan hanya tahu ilmu tentang
ALLAH tetapi tuan sendiri belum mengenal ALLAH. Jika tuan telah
mengenal
ALLAH sudah pasti tuan tidak akan bertanya kepada saya soal tuan tadi.”
Berkaca kaca mata Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Hatinya
terpesona dengan ungkapan ‘mengenal ALLAH’ yang diucapkan orang tua
itu.
Lantas beliau bertanya kepada orang tua itu.
“Kemudian apa bedanya antara ‘TAHU’ dengan ‘KENAL’?”
Dengan tenang si Tua itu menjawab..
“Ibarat seseorang yang datang kepada tuan lantas menceritakan kepada
tuan tentang ciri-ciri buah nangka tanpa menunjukkan zat buah nangka,
maka ini martabat ‘tahu’ karena ia hanya sekadar maklumat dan orang yang
berada pada martabat ini mungkin akan menyangka bahwa buah cempedak itu
adalah
nangka karena ciri-cirinya seakan sama.
Berbanding
seseorang yang datang kepada tuan lantas menghulurkan sebiji buah
nangka, maka ini mertabat ‘kenal’ karena zatnya terus dapat ditangkap
dengan penglihatan mata dan
orang yang berada pada martabat ini pasti dapat mengenal mana cempedak dan
mana nangka dengan tepat.”
Raja Muzaffar mendengar dengan teliti uraian si Tua itu. Diam-diam,
hatinya membenarkan apa yang diperkatakan si Tua itu. Kemudian terlintas
dihatinya untuk bertanya soal yang lazim ditanyakan kepada orang lain.
“Kalau begitu wahai orang tua silakan jawab persoalanku ini....Dimana ALLAH dan bolehkah manusia melihatNya?”
“ALLAH berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihatNya.” Jawab si Tua dengan tenang.
Tercengang Raja Muzaffar mendengar jawaban orang tua itu. Seketika
kemudian terus saja orang tua itu dipukulnya sehingga jatuh tersungkur.
Melihat orang tua itu tidak coba mengelak pukulannya bahkan langsung
tidak
menunjukkan reaksi takut maka Raja Muzaffar pun lantas bertanya..
“Kenapa kamu tidak mengelak pukulanku wahai orang tua?”
“Bukankah tadi sudah saya bilang.. tuan ini hanya orang yang tahu
tentang ALLAH tetapi bukannya orang yang benar-benar mengenal ALLAH.”
Terdiam Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Kemudian beliau
menenangkan dirinya lantas bersegera duduk diatas tanah dihadapan orang
tua itu.
“Baiklah orang tua. Silakan uraikan jawabanmu tadi sebab
aku berpegang bahwa ALLAH itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh
melihat ALLAH.”
“ALLAH itu tidak bertempat adalah menurut pandangan hukum akal saja sedang pada hakikatnya tidak begitu.”
Ujar orang tua itu sambil membersihkan bibirnya yang berdarah. Kemudian beliau menyambung....
“Bukankah ALLAH itu wujudNya esa?”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.
“Jika ALLAH itu wujudNya esa maka sudah barang tentu tidak ada wujud sesuatu bersertaNya.”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.
“Lantas bagaimanakah kedudukan wujud alam ini jika ALLAH itu diyakini
wujud tanpa ada selain zat yang wujud bersertaNya dengan pandangan mata
hati?”
Raja Muzaffar memejamkan matanya rapat-rapat lantas dikerahkan pandangan
mata hatinya untuk memahami persoalan yang ditanyai orang tua itu.
Tiba-tiba akalnya dapat menangkap dan memahami hakikat alam ini jika hanya
merujuk kepada ruang lingkup keesaan wujud ALLAH. Lantas beliau membuat satu kesimpulan..
“Jika dipandang dari sudut esanya wujud ALLAH maka alam ini tidak lain
melainkan diriNya sendiri… Tiba-tiba sahaja perkataan itu terpacul
keluar dari bibirnya. Terkebil-kebil matanya apabila mendengar ucapannya
sendiri. Maka lidahnya kelu dan akalnya lumpuh. Terkejut. Terpukai.
Terbungkam.
“Jadi kalau begitu ketika tuan memandang alam ini,
siapa yang tuan pandang pada hakikatnya?” pertanyaan kembali diajukan
kepada Raja Muzaffar.
“Pada hakikatnya aku memandang ALLAH!”
“Nah kalau begitu bukankah ALLAH ada berfirman yang bermaksud :
Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وٰسِعٌ عَلِيمٌ
wa lillaahil-masyriqu wal-maghribu fa ainamaa tuwalluu fa samma waj-hulloh, innalloha waasi'un 'aliim
"Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di
sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 115)
Allah SWT berfirman:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْأَاخِرُ وَالظّٰهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
huwal-awwalu wal-aakhiru wazh-zhoohiru wal-baathin, wa huwa bikulli syai`in 'aliim
"Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. Al-Hadid 57: Ayat 3)
Kemudian orang tua itu bertanya lagi..
“Dan sekarang dapat atau tidak tuan melihat ALLAH saat ini”
“Ya.. aku menyaksikan dengan ainul basyiroh.”
Perlahan-lahan bercucuran air mata dari mata Raja Muzaffar. Beliau
menahan sebak karena sekarang beliau sudah faham kenapa orang tua itu
tidak mengambil upah atas usahanya dan tidak mengelak ketika dipukul.
Semuanya
karena yang dipandangnya adalah pentajallian ALLAH. Dalam
hati perlahan-lahan beliau berkata.... “Memang benar sesungguhnya pada
sudut ini, ALLAH berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihat
ALLAH.”
“Makanya wahai Putera Raja.... inilah yang dinamai sebagai Ilmu Hakikat.”
Semenjak hari itu, Raja Muzaffar terus mendampingi orang tua itu untuk
mempelajari lebih dalam seluk-beluk ilmu hakikat hingga diangkat beliau
oleh gurunya menduduki kedudukan Syeikh ilmu hakikat.
Demi mempraktikkan ilmu-ilmu hakikat yang halus, Raja Muzaffar telah menjadi seorang ahli
ibadah yang alim. Beliau tidak lagi berpegang dengan faham almarhum
gurunya yaitu Syeikh Abdullah kerana baginya jalan yang boleh membuat
seseorang itu dapat mengenal ALLAH dengan haqqul yaqin ialah dengan ilmu
hakikat.
Beliau telah menepikan duduk didalam peraturan hukum akal sama sekali
dan mulai duduk didalam peraturan musyahadah. Bagi beliau, ilmu Kalam
yang dituntutnya selama ini adalah semata-mata salah.
Setelah
kemangkatan ayahandanya maka Raja Muzaffar diangkat menjadi sultan
dinegerinya dan sekarang beliau menyandang gelar Sultan Muzaffar Syah
pada usia 50 tahun. Beliau memerintah negerinya dengan adil dan
saksama namun sikap peliknya yang dahulu masih diteruskannya. Dimana
saja beliau pergi beliau tetap akan bertanya soal yang lazim itu.
Jika orang yang ditanya tidak dapat menjawab maka akan diajarkan
jawabannya menurut ilmu hakikat dan jika orang itu membangkang akan
dihukum bunuh. Akhirnya kelaziman Sultan Muzaffar Syah ini membuat
seluruh rakyat
jelatanya menganut faham hakikat. Justru itu rakyat jelata dinegerinya hidup aman dan makmur.
Suatu petang Sultan Muzaffar Syah yang terkenal sebagai Mursyid ilmu
hakikat itu berjalan-jalan disebuah padang rumput yang luas dengan
ditemani para pembesar istana. Pandangannya tertarik pada gelagat
seorang pemuda pengembala kambing dalam lingkungan usia 30an yang sedang
berusaha
menghalau seekor serigala yang coba memakan kambing gembalaannya.
Baginda mendatangi pemuda gembala itu. Kelihatan pemuda itu hanya memakai pakaian
Dari karung goni dan tidak mempunyai sandal sebagai alas kaki. Rambutnya kering berdebu, bibirnya kering dan badannya kurus.
“Wahai pemuda.. kenapa kamu menghalau serigala itu dari memakan kambing
itu, tidakkah kamu menyaksikan hakikat serigala itu? Maka biarkan saja ALLAH bertindak menurut kemauanNya.”
Mendengar kata-kata Sultan Muzaffar Syah itu sekonyong-konyong pemuda
gembala itu menggenggam pasir lantas dilemparkannya pasir itu ke muka
Sultan Muzaffar Syah. Kemudian pemuda gembala itu membongkok untuk
mengambil segenggam pasir lagi lalu dilemparkan lagi ke muka Sultan
Muzaffar Syah.
Sultan Muzaffar Syah hanya tercengang saja mungkin terkejut dengan tindakkan pemuda gembala itu. Pemuda gembala itu terus mau
mengambil segenggam pasir lagi dan melihat seorang pembesar istana yang
berada disitu terus memukul pemuda gembala itu hingga pingsan.
Apabila sadar dari pingsan, pemuda gembala itu mendapati tangan dan
lehernya telah dipasung dengan pasungan kayu didalam sebuah penjara.
Tidak lama kemudian datang dua orang pengawal istana dengan kasar
merenggut badannya dan membawanya ke suatu tempat yang amat asing
baginya. Tidak lama berjalan akhirnya mereka sampai dihadapan
singgahsana Sultan Muzaffar Syah.
“Mengapa kamu melempari mukaku dengan pasir?” Tenang saja pertanyaan Sultan Muzaffar Syah.
“Karena tuanku mengatakan bahwa serigala itu adalah ALLAH yakni Tuhan saya.”
“Bukankah hakikat serigala itu memangnya begitu?” Tanya Sultan Muzaffar Syah heran.
“Nampaknya dakwaan yang mengatakan bahwa tuanku ini adalah seorang yang mengenal ALLAH adalah bohong semata-mata.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”
“Sebab orang yang sudah sempurna mengenal ALLAH pasti merindui untuk ‘menemui’ ALLAH.”
Setelah 30 tahun, baru hari ini hati Sultan Muzaffar Syah terpesona
lagi mendengar ungkapan ‘menemui ALLAH’ yang diucapkan oleh pemuda
gembala itu. Dahulu hatinya pernah terpesona dengan ungkapan ‘mengenal
ALLAH’. Sejurus itu juga Sultan Muzaffar Syah memerintahkan agar pasung
kayu yang dikenakan pada pemuda gembala itu ditanggalkan.
“Lantas apa utamanya ‘bertemu’ berbanding ‘kenal’?”
Tanya Sutan Muzaffar Syah.
“Adakah tuanku mengenali sifat-sifat Rasulullah?”
Tanya pemuda gembala itu tiba-tiba..
“Ya, aku kenal akan sifat-sifat Rasulullah.”
“Lantas apa keinginan tuanku terhadap Rasulullah?”
“Semestinyalah aku mau dan rindu untuk menemuinya karena baginda adalah kekasih ALLAH!”
“Nah begitulah… Orang yang sempurna pengenalannya terhadap sesuatu pasti
terbit rasa ingin bertemu dengan sesuatu yang telah dikenalinya itu dan
bukannya hanya sekedar berputar-putar didaerah ‘mengenal’ semata-mata.”
Tiba-tiba saja Sultan Muzaffar Syah berteriak kuat dengan menyebut
perkataan ‘Allahu Akbar’ sekuat-kuat hatinya lalu baginda jatuh pingsan.
Tidak lama kemudian setelah wajahnya disapukan dengan air dingin maka
baginda kembali sadar. Sultan Muzaffar Syah terus menangis teresak-esak hingga jubahnya dibasahi dengan air matanya.
Baginda memuhassabah dirinya..
“Memang.. memang selama ini aku mengenali ALLAH melalui ilmu hakikat
tetapi tidak pernah hadir walau sekelumit rasa untuk bertemu denganNya.
Rupa-rupanya ilmu hakikat yang aku pegangi selama ini juga salah
seperti ilmu bunda dan ilmu Syeikh Abdullah”.. bisik hatinya. Kemudian
terlintas difikiran Sultan Muzaffar Syah untuk menanyakan soal lazimnya kepada pemuda gembala itu.
“Kalau begitu wahai orang muda, silahkan jawab persoalanku ini.... Dimana
ALLAH?”
Dengan tenang pemuda gembala itu menjawab..
“ALLAH berada dimana Dia berada sekarang.”
“Kalau begitu, dimana ALLAH sekarang?
“Sekarang ALLAH berada dimana Dia berada dahulu.”
“Dimana ALLAH berada dahulu dan sekarang?”
“Dahulu dan sekarang Dia berada ditempat yang hanya Dia saja yang mengetahui.”
“Dimana tempat itu?”
“Didalam pengetahuan ilmu ALLAH.”
Sultan Muzaffar Syah terdiam sebentar sambil keningnya berkerut
memikirkan jawapan yang diberi pemuda gembala itu. Kemudian baginda
meneruskan pertanyaannya lagi.
“Bolehkah manusia melihat ALLAH?”
“Kunhi zatNya tidak boleh dicapai dengan pandangan mata kepala dan pandangan hati.”
“Silakan perjelaskan lagi wahai anak muda.” Pinta Sultan Muzaffar Syah.
1. “Begini tuanku.. adapun jawapan yang diberikan oleh bunda tuanku itu diatas
soal lazim yang tuanku berikan itu adalah sebenarnya betul menurut
tahapan akal tuanku yang ketika itu dinilai masih kanak-kanak.
2. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Abdullah itu juga betul jika dinilai dari sudut hukum akal.
3. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Tua itu juga betul jika dinilai dari sudut pengamalan musyahadah terhadap ilmu
Hakikat.
Begitu jugalah dengan jawapan yang saya berikan juga betul jika dinilai
dari sudut ilmu Ma’rifat. Tiada yang salah cuma ilmu itu
bertahap-tahap dan tuanku pun telah melalui tahapan-tahapan itu.
Dari tahapan jahil (ilmu bunda) ke tahapan awam (ilmu Kalam) kemudian ke tahapan
khusus (ilmu Hakikat) dan akhir sekali ke tahap khawasul khawas (ilmu Ma’rifat).”
Kemudian pemuda gembala itu terus menyambung kata-katanya..
“Jika ilmu Hakikat itu jalan fana karena menuju kepada zat ALLAH maka
ilmu Ma’rifat pula jalan baqo’ karena menuju terus kepada Kunhi zat
ALLAH.
Maka jawapan bagi persoalan tuanku itu secara yang dapat saya simpulkan ialah :
Tiada yang tahu dimana ALLAH melainkan ALLAH dan tiada sesiapa yang dapat
melihat ALLAH melainkan diriNya sendiri.”
Sultan Muzaffar Syah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham.
“Jadi bagaimana hendak sampai ke tahap mengenal ALLAH dengan sempurna
sehingga terbit rasa ingin untuk menemuiNya?”
“Jangan mengenal ALLAH dengan akal sebaliknya mengenal ALLAH dengan ALLAH.”
“Kemudian, apakah cara-caranya untuk dapat bertemu dengan ALLAH?”
“Sebagaimana firman ALLAH yang bermaksud
Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحٰىٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ
إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ
أَحَدًۢا
qul innamaaa ana basyarum mislukum yuuhaaa ilayya annamaaa
ilaahukum ilaahuw waahid, fa mang kaana yarjuu liqooo`a robbihii
falya'mal 'amalan shoolihaw wa laa yusyrik bi'ibaadati robbihiii ahadaa
"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan
Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia
menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 110)
Mendengar penjelasan daripada pemuda gembala itu hati Sultan Muzaffar Syah
menjadi tenang dan akhirnya baginda diterima menjadi murid si pemuda
gembala itu. Karena kesungguhan yang luarbiasa dalam menuntut ilmu
Ma’rifat maka baginda mahsyur terkenal sebagai seorang Sultan yang
arifbillah lagi
zuhud dan wara'.
Kemudian rakyatnya
dibiarkan bebas untuk berpegang pada mana-mana faham apapun asalkan
ajarannya masih didalam ruang lingkup yang mengikuti pegangan
Ahlussunnah wal Jamaah.
Dan sekarang pada usia 70 tahun barulah
Sultan Muzaffar Syah sadar dan faham bahwa untuk memahami tentang ALLAH
maka seseorang itu harus melalui tahapan-tahapan yang tertentu sebelum
seseorang itu layak dinobatkan sebagai Arifbillah.
Baginya sama
saja bahwa ilmu Kalam, ilmu Hakikat atau ilmu Ma’rifat maka kesemuanya
adalah sama penting untuk dipelajari bagi mewujudkan kesempurnaan untuk
mencapai
kedudukan Insan Kamil yang Ma’rifatullah.
Kini
Sultan Muzaffar Syah sudah memahami bagaimana rasanya rindu kepada ALLAH
dan bagaimana rasanya benar-benar tidak sabar untuk bertemu ALLAH.
Sejak semalam mulutnya tidak henti-henti asyik mengucapkan kalimah
ALLAH..ALLAH..ALLAH dan kadang-kadang terlihat deruan air mata jernih
mengalir perlahan dipipinya sewaktu dipembaringan.
Perlahan-lahan pemuda gembala menghampiri Sultan Muzaffar Syah yang
sejak 20 tahun lalu tinggal bersama dengannya dirumah usangnya lantas
meletakkan kepala muridnya itu diribaan silanya dengan linangan air
mata. Kini nafasnya mulai tersekat-sekat dan melihat itu, pemuda gembala
merapatkan bibirnya ke telinga Sultan Muzaffar Syah lantas mentalqinkan
baginda dengan dua kalimah syahadah seraya diikuti baginda dengan
senyuman.
Sejurus kemudian Sultan muzaffar Syah menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Suasana hening… pemuda gembala menunduk saja dan
sebentar kemudian dia berkata..
“Wahai alangkah beruntungnya..
sekarang tuanku benar-benar telah menemui ALLAH dan dapat mengenalNya
dengan sebenar-benar kenal. Wahai ALLAH, masih belum layakkah untuk aku
bertemu denganMu.. aku mencemburui Sultan Muzaffar Syah ini maka
jemputlah aku menghadapMu Ya ALLAH…”.
Sebentar kemudian pemuda gembala itu pun turut rebah dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dan Suasana kembali hening.