Abu
Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu
pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi Wafat dan
sebelum jenazah beliau di makamkan. Itulah antara lain yang menyebabkan
kemarahan keluarga Nabi, khususnya Fatimah, putri tunggal beliau.
Pada
hari itu Umar Bin Khattab mendengar berita bahwa kelompok ansar
mendengar berita sedang melangsungkan pertemuan di Saqifah atau Balai
pertemuan Bani Saidah, Madinah, Untuk mengangkat Saad Bin Ubadah,
seorang tokoh ansar dari suku khazraj, sebagai khalifah. Dalam keadaan
gusar umat cepat cepat pergi kerumah kediaman Nabi dan menyuruh
seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan
memintanya supaya keluar. Semula Abu Bakar menolak denagan alsan sedang
sibuk. Tetapi akhirnya dia keluar setelah di beritahu telah terjadi
peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar.
Sampai
di balai pertemuan ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin,
dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Ansar dan
kelompok Muhajirin. Lalu Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara.
Kepada kelopok Ansar beliau mengingatkan bukan kah Nabi pernah bersabda
bahwa kepemimpinan umat islam itu seyogianya berada pada tengah suku
Quraisy, dan bahwa hanya pada di bawah pimpinan itulah akan terjamin
keutuhan, keselamatan dan kesejahteraan bangsa Arab. Kemudian Abu Bakar
menawarkan dua tokoh Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, Umar Bin
Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang orang ansar tampaknya sangat
terkesan oleh ucapan Abu Bakar itu, dan Umar tidak menyia nyiakan
momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan
menuju ke tempat Abu Bakar untuk ber baiat dan menyatakan kesetiaannya
kepada Abu Bakar sebagai Khalifah, seraya menyatakan bahwa bukanlah Abu
Bakar yang selalu di minta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai
imam shalat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang
paling di sayangi oleh Nabi. Gerakan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah
bin Jarah. Tetapi sebelum kedua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu
Bakar dan mengucapkan baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Ansar dari
suku Khazraj, mendahului mengucapkan baiatnya kepada Abu Bakar. Barulah
kemudian Umar dan Abu Ubaidah serta para hadirin, baik dari kelompok
Muhajirin maupun kelompok Ansar dari Aus. Baiat terbats ini kemudian
terkenal dala sejarah Islam dengan nama Bai’at Saqifah atau baiat di
balai pertemuan. Para sahabat senior tersebut kemudian seorang demi
seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela berbaiat kepada Abu Bakar.
Zubair memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbaiat. Adapun Ali
bin Abu Thalib, menurut banyak ahli sejarah baru berbaiat kepada Abu
Bakar setelah Fatimah, istri Ali, dan putri tunggal Nabi wafat 6 bulan
kemudian. (Helmi Dakwah)
Abu
Bakar di pilih oleh sahabat dan ummat zaman tersebut sebagai pemimpin
berdasarkan petunjuk dari Nabi baik berupa ucapan maupun kepercayaan
yang diberikan Nabi kepada Abu Bakar sehingga menjadikan beliau sebagai
sahabat yang paling utama. Setelah Abu Bakar wafat, para sahabat
berbai’at kepada Umar bin Khattab, kemudian Usman bin Affan dan kemudian
Ali bin Abi Thalib, mareka 4 orang dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin.
Secara sederhana, arti bai’at itu adalah janji atau sumpah setia.
Ibnu Khaldun di dalam kitabnya, Al Muqadimah, mengatakan, bahwa “Bai’at
ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji
kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan
tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa
menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan
kepadanya, suka maupun tidak.”
Sebagaimana
pula tercatat dalam sejarah Islam, adanya bai’at Aqabah pertama, dimana
terjadi bai’at antara Nabi Muhammad dengan 12 orang dari Yatsrib yang
kemudian mereka memeluk Islam. Bai’at ‘Aqabah ini terjadi pada tahun
kedua belas kenabiannya. Kemudian mereka berbaiat (bersumpah setia)
kepada Muhammad. Isi baiat itu ada tiga perkara, yaitu: Tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, Melaksanakan apa yang Allah
perintahkan, Meninggalkan apa yang Allah larang.
Jadi Bai’at atau sumpah setia itu merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Nabi, sebagaimana hadist ini :
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Dahulu kami berbai’at pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar (menerima
perintah) dan taat pada pemimpin kaum muslimin. Beliau bersabda pada
kami, “Hendaklah engkau taat semampu engkau.” (HR. Bukhari)
Secara khusus dalam ilmu tarekat, Bai’at bisa bermakna pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis)
seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan
(makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan
khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu
para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam
hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) (Q.S Al-Fath, 18)
Bai’at
atau sumpah setia dari murid kepada Guru Mursyid bermakna bahwa dia
akan melaksanakan apa yang diperintahkan Gurunya dan meninggalkan apa
yang diarang oleh Gurunya dengan ikhlas hati. Ini memerlukan proses yang
panjang, bukan serta merta. Tidak mungkin sumpah setia berlaku pada
level “murid-murid-an”, pada level coba-coba, juga tidak berlaku pada
murid yang tidak mengerjakan hal paling sederhana seperti ibadah wajib
dan sunnat, termasuk zikir yang diamanahkan Guru kepadanya. Sumpah Setia
merupakan kepasrahan dan keikhlasan, bukan keterpaksaan.
Guru
saya pernah berkata bahwa bai’at itu hanya berlaku untuk murid yang
sudah “jadi”, murid yang telah mengetahui hakikat dari Guru Mursyid,
sebelum sampai kesana tidak ada janji apa-apa. Dari sekian banyak murid,
hanya sedikit yang bisa memahami hakikat Guru dan dari sedikit itu pula
yang dengan ikhlas menyatakan kesetiaan kepada Guru secara zahir dan
bathin.
sMoga kita semua menjadi murid yang taat kepada Guru, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin.