Bab kelima : Tentang Adab Kesopanan Pelajar dan Pengajar.
Adapun pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang dhahir itu adalah
banyak. Tetapi perinciannya adalah tersusun dalam sepuluh rumpun
kata-kata.
Tugas pertama : mendahulukan kesucian bathin dari
kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan itu
adalah kebaktian hati, shalat bathin dan pendekatan jiwa kepada Allah
Ta'ala. Sebagaimana tidak syah shalat yang menjadi tugas anggota dhahir,
kecuali dengan mensucikan anggota dhahir itu dari segala hadats dan
najis,maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian (ibadah) bathin dan
kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu
itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : بني الدين على النظافة
(Buniyaddiinu 'alannadhaafah).
Artinya :"Ditegakkan agama atas kebersihan". (1)
Yaitu dhahir dan bathin.
Berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
(Innamal musyrikuuna najasun).
Artinya :"Sesungguhnya orang musyrik itu najis". (S. At.taubah, ayat 28).
Firman Tuhan itu adalah memberitahukan kepada akal pikiran kita, bahwa
kesucian dan kenajisan, tidaklah ditujukan kepada anggota dhahir yang
dapat dikenal dengan pancaindera. Orang
1.Menurut Al-lraqi, dia tidak memumpai hadits yang demikian bunyinya.
musyrik itu kadang-kadang kainnya bersih, badannya dibasuh, tetapi
dirinya najis. Artinya: bathinnya berltlmuran dengan kotoran.
Najis :
adalah diartikan dengan sesuatu yang tidak suka didekati dan diminta
menjauhkan diri dari padanya. Kenajisan sifat bathin adalah lebih
penting dijauhkan. Karena dengan kekotorannya sekarang, membawa kepada
kebinasaan pada masa yang akan datang.
Dari itu, Nabi saw. Bersabda :
قال صلى الله عليه وسلم : لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب
(Laa tadkhulul malaaikatu baitan fiihi kalbun). 130
Artinya :"Tidak masuk malaikat ke rumah yang didalamnya ada anjing". (1).
Hati itu adalah rumah, yaitu tempat malaikat, tempat turun pembawaan dan tempat ketetapan dari malaikat.
Sifat-sifat yang rendah itu seumpama marah, hawa nafsu, dengki, busuk
hati, takabur, 'ujub dan sebagainya adalah anjing-anjing yang galak.
Maka bagaimanakah malaikat itu masuk ke dalam hati yang sudah penuh
dengan anjing-anjing?
Sinar ilmu pengetahuan, tidaklah dicurahkan oleh Allah Ta'ala ke dalam hati, selain dengan perantaraan malaikat:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ
وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ
Wa maa kaana libasyarin an jukallimahullaahu illaa wahyan au min
waraa-i hijaabin au yursila rasuulan fayuuhiya bi-idznihii maa
ya-syaa').
Artinya :"Tidak ada bagi manusia berkata-kata dengan
Allah, selain dengan wahyu atau di belakang hijab atau dengan
mengirimkan rasul, lalu diwahyukannya apa yang dikehendakiNya dengan
keizinanNya".
(S. Asy-Syura, ayat 51).
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Aw Thaltiah Al-Anshari.
Demikianlah kiranya, tidak dikirimkan Allah rahmat dari ilmu
pengetahuan itu kepadahati. Hanya malaikatlah yang mengurus, mewakili
membawa rakhmat itu. Para malaikat itu qudus suci, bersih dari segala
sifat yang tercela. Tak ada perhatian mereka selain kepada yang baik.
Tak ada urusan mereka dengan segala perbenda-haraan rakhmat Allah
padanya, selain dengan yang baik suci.
Aku tidak mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan "rumah" dalam hadits yang diatas tadi, yaitu hati
dan dengan "anjing" yaitu marah dan sifat-sifat tercela yang lain.
Tetapi aku mengatakan bahwa itu adalah peringatan kepada hati dan suatu
perbedaan antara kata-kata dhahir yang menunjukkan kepada bathin dan
peringatan kepada bathin dengan menyebutkan kata-kata dhahir serta tetap
pada kedhahirannya.
Golongan ahli kebathinan mengadakan perbedaan dengan pengertian yang halus tadi.
Maka inilah jalan tamsil ibarat, jalan yang ditempuh oleh para 'alim
ulama dan orang baik-baik. Karena pengertian dari tamsil ibarat
(i'tibar) yaitu mengambil ibarat dengan apa yang diterangkan kepada
orang lain, tidaklah untuk orang lain itu saja. Seumpama seorang yang
berpikiran waras, melihat bahaya yang menimpa orang lain, maka menjadi
tamsil ibaratlah baginya, sebagai suatu peringatan bahwa dia pun mungkin
pula ditimpakan bahaya tersebut.
Dunia ini adalah selalu
berputar laksana roda pedati. Maka mengambil ibarat dari orang lain
untuk diri sendiri dan dari diri sendiri kepada asalnya dunia ini,
adalah suatu tamsil ibarat yang terpuji.
Maka anda ambil jugalah
menjadi ibarat dari. rumah —yaitu pembangunan dari manusia— kepada hati,
yaitu sesuatu rumah yang dibangun oleh Tuhan dan dari anjing yang
dicela kerena sifatnya bukan kerena bentuknya —yaitu padanya terdapat
sifat kebuasan dan kenajisan— kepada jiwa keanjingan, yaitu sifat
kebuasan.
Ketahuilah bahwa hati yang dipenuhi dengan kemarahan,
loba kepada dunia dan bersifat anjing mencari dunia dengan rakus, dengan
mengoyak-ngoyak kepentingan orang lain adalah anjing dalam arti dan
hati dalam bentuk. Orang yang bermata hati memperhatikan arti, tidak
bentuk.
Bentuk dalam dunia ini mengalahkan arti. Dan arti,
tersembunyi dalam bentuk. Di akhirat bentuk itu mengikuti arti dan
artilah yang menang. Dari itu, masing-masing orang dibangkitkan dalam
bentuknya yang ma'nawi (menurut pengertian dari bentuk itu).
فيحشر الممزق لأعراض الناس كلبا ضاريا والشره إلى أموالهم ذئبا عاديا والمتكبر عليهم في صورة نمر وطالب الرياسة في صورة أسد
Menurut hadits : "Orang yang mengoyak-ngoyakkan kehormatan orang lain,
dibangkitkan sebagai anjing yang galak. Orang yang loba kepada
harta-benda orang lain, dibangkitkan sebagai serigala yang ganas. Orang
yang menyombong terhadap orang lain, dibangkitkan dalam bentuk harimau.
Dan orang yang mencari jadi kepala, dibangkitkan dalam bentuk singa".
(1)
Banyaklah hadits berkenan dengan hal di atas dan menjadi
tamsil ibarat kepada orang-orang yang mempunyai mata hati dan mata
kepala.
Jikalau anda mengatakan bahwa banyaklah pelajar yang
rendah budi, memperoleh ilmu pengetahuan, maka tahulah anda kiranya,
bahwa alangkah jauhnya ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya, yang berguna
di akhirat, yang membawa kebahagiaan.
Yang pertama sekali dari ilmu
itu, nyata kepadanya bahwa ma'siat adalah racun yang membunuh, yang
membinasakan. Adakah anda melihat orang mengambil racun dengan
mengetahui bahwa itu racun yang membunuhkan?
Yang anda dengar
dari orang itu ialah perkataan yang diucapkan-nya dengan lidahnya dalam
satu bentuk dan diulang-ulanginya dengan hatinya dalam bentuk yang lain.
Yang demikian, bukanlah ilmu namanya.
قال ابن مسعود رضي الله عنه ليس العلم بكثرة الرواية إنما العلم نور يقذف في القلب وقال بعضهم إنما العلم الخشية لقوله تعالى
Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Tidaklah ilmu dengan banyak ceritera, tetapi
ilmu adalah nur Tuhan yang ditempatkan di dalam dada". Berkata setengah
mereka : Sesungguknya ilmu itu takut (khasy-yah) kepada Allah " karena
firmanNya :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Innamaa yakhsyallaaha mm ibaadihil 'ulama).
Artinya:"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hambaNya ialah 'alim ulama (orang yang berilmu) (S.Al Fathir Ayat 28)
Dengan firman itu, seakan-akan Allah menunjukkan kepada faedah ilmu
yang lebih khas. Dari itu berkata sebahagian ulama muhaq-qiqin, bahwa
arti perkataan mereka : "Kami pelajari ilmu bukan karena Allah maka
seganlah ilmu itu selain karena Allah", bahwa ilmu itu segan dan tak mau
kepada kami. Maka tak terbukalah hakikatnya kepada kami. Hanya yang ada
bagi kami, ialah ceritera-nya dan kata-katanya saja.
1.Dirawikan Ats-Tsa'labi dari Al-Bura', dengan sanad dla'if.
Kalau anda mengatakan bahwa saya melihat kebanyakan ulama fuqaha'
muhaq-qiqin, yang terkemuka dalam ilmu furu' dan ushul, terhitung dari
golongan tokoh-tokoh besar, adalah budi pekerti nya tercela dan tidak
berusaha membersihkan diri dari padanya, maka jawabnya : bila anda
mengetahui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan dan mengetahui pula ilmu
akhirat, niscaya jelaslah bagi anda bahwa apa yang dikerjakan mereka
itu, sedikitlah gunanya dari segi ilmu pengetahuan. Kegunaannya baru ada
dari segi amalan karena Allah Ta'ala, apabila tujuannya mendekatkan
diri kepadaNya, Untuk itu sudah disinggung dahulu dan nanti akan
dijelaskan lagi, dengan lebih tegas dan terang insya Allah.
Tugas
kedua : seorang pelajar itu' hendakiah mengurangkan hubungannya dengan
urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halaman.
Sebab segala hubungan itu mempengaruhi dan memaiingkan hati kepada yang
lain.
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
(Maa ja'alallaahu lirajulin min qalbaini fii jaufih).
Artinya :"Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia dua hati dalam rongga tubuhnya".(S. Al-Ahzab, ayat 4).
Apabila pikiran itu telah terbagi maka kuranglah kesanggupannya
mengetahui hakikat-hakikat yang mendalam dari ilmu pengetahuan. Dari itu
dikatakan : ilmu itu tidak menyerahkan kepadamu sebagi-an dari padanya
sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwa ragamu. Apabila engkau
sudah menyerahkan seluruh jiwa raga engkau, maka penyerahan ilmu yang
sebahagian itu masih juga dalam bahaya.
Pikiran yang terbagi-bagi
kepada hal ikhwal yang bermacam-macam itu, adalah seumpama sebuah
selokan yang mengalir airnya ke beberapa jurusan. Maka sebahagian airnya
ditelan bumi dan sebahagian lagi diisap udara, sehingga yang tinggal
tidak terkumpul lagi dan tidak mencukupi untuk tanam-tanaman.
Tugas ketiga: seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan
jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan
keyakinan kepada segala nasehatnya, sebagaimana seorang sakit yang bodoh
yakin kepada dokter yang ahli berpengalaman.
Seharusnyalah
seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, meng-harap pahala dan
kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya. Berkata Asy-Sya'bi : "Pada suatu
hari Zaid bin Tsabit bershalat janazah. Sesudah shalat itu selesai, lalu
aku dekatkan baghalnya (nama hewan, lebih kecil dari kuda) untuk
dikendarainya. Maka datang Ibnu Abbas membawa kendaraannya kepada Zaid
untuk dikendarainya. Maka berkata Zaid : "Tak usah wahai anak paman
Rasulullah saw."
Berkata Ibnu Abbas :هكذا أمرنا أن نفعل بالعلماء
والكبراء "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap para 'alim ulama dan
orang-orang besar".
Lalu Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas
seraya berkata : "هكذا أمرنا أن نفعل بأهل بيت نبينا صلى الله عليه وسلم
Beginilah kami disuruh berbuat terhadap keluarga Nabi kami Muhammad صلى
الله عليه وسلم
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
ليس من أخلاق المؤمن التملق إلا في طلب العلم
(Laisa min akhlaaqil mu'minit tamalluqu illaa fii thalabil
ilmi).Artinya:"Tidaklah sebahagian dari budi pekerti seorang mu'min
merendahkan diri, selain pada menuntut ilmu". (1)
Dari itu tidaklah
layak bagi seorang pelajar menyombong terhadap gurunya. Termasuk
sebahagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau
belajar kecuali pada guru yang terkenal benar keahliannya.
Ini
adalah tanda kebodohan. Sebab ilmu itu jalan kelepasan dan kebahagiaan.
Orang yang mencari jalan untuk melepaskan diri dari terkaman binatang
buas, tentu tidak akan membeda-bedakan. Apakah jalan itu ditunjuki oleh
seorang yang termashur atau oleh seorang yang dungu. Terkaman kebuasan
api neraka, kepada orang yang jahil, adalah lebih hebat dari terkaman
seluruh binatang buas.
1.Dirawikan Ibnu Uda dari Ma'adz dan Abi Amamah, dengan isnad dla'if.
Ilmu pengetahuan itu adalah barang yang hilang dari tangan seorang
mu'min, yang harus dipungutnya di mana saja diperolehnya. Dan harus
diucapkannya terima kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya.
Dari itu, berkata pantun :
"Pengetahuan itu adalah perjuangan, bagi pemuda yang bercita-cita tinggi
Seumpama banjir itu adalah perjuangan, bagi suatu tempat yang tinggi...........".
Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian.
Berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
(Inna fii dzaalika ladzikraa liman kaana lahuu qaibun au alqas sam-a
wahuwa syahiid).Artinya :"Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi
pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian) atau
mempergunakan pendengarannya dengan berhati-hati".(S. Qaf, ayat 37).
Pengertian "mempunyai hati" yaitu hati itu dapat menerima pemahaman
bagi ilmu pengetahuan. Tak ada tenaga yang menolong kepada pemahaman,
selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati-hati dan sepenuh
jiwa. Supaya dapat menangkap seluruh yang diberikan guru dengan penuh
perhatian, merendahkan diri, syukur, gembira dan menerima nikmat.
Hendaklah pelajar itu bersikap kepada gurunya seumpama tanah kering
yang disirami hujan Iebat. Maka meresaplah ke seluruh baha-giannya dan
meratalah keseluruhannya air hujan itu.
Manakala guru itu
menunjukkan jalan belajar kepadanya, hendaklah dita'ati dan ditinggalkan
pendapat sendiri. Karena meskipun guru itu bersalah, tetapi lebih
berguna baginya dari kebenarannya sendiri. Sebab, pengalaman mengajari
yang halus-halus, yang ganjil didengar tetapi besar faedahnya.
Berapa banyak orang sakit yang dipanasi, diobati dokter dengan menambah
panas pada sewaktu-waktu. Supaya kekuatannya bertambah sampai batas yang
sanggup menahan pukulan obat. Maka heranlah orang yang tak
berpengalaman tentang itu!
Telah diperingatkan oleh Allah Ta'ala dengan kisah Nabi Khaidir as.dan Nabi Musa as.
Berkata Nabi Khaidir as. :
, إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا , وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
(Innaka lan tas-tathii'a ma'iya shabran wa kaifa tashbiru 'alaa maa lam
tuhith bihii khubraa).Artinya :"Engkau (Musa) tak sanggup bersabar
sertaku. Bagaimana engkau bersabar dalam persoalan yang belum
berpengalaman didalamnya.".
(S. Al-Kahf, ayat 67 - 68).
Lalu Nabi Khaidir as. membuat syarat yaitu Nabi Musa as. harus diam dan menerima saja.
Berkata Nabi Khaidir as. :
فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
(Fainittaba'- tanii falaa tasalnii 'an-syai-in hattaa uhditsa laka minhu dzikraa).
Artinya :"Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang
sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceriterakan kepadamu
nanti".(Al-Kahfi, ayat 70).
Rupanya Nabi Musa as. tidak sabar dan selalu bertanya, sehingga menyebabkan berpisah diantara keduanya.
Pendek kata, tiap-tiap pelajar yang masih berpegang teguh kepada
pendapatnya sendiri dan pilihannya sendiri, diluar pilihan gurunya, maka
hukumlah pelajar itu dengan keteledoran dan kerugian.
Jika anda mengatakan, bukankah Allah Ta'ala telah berfirman
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
(Fas 'aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamuun).
Artinya :"Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu ".(S. An-Nahl, ayat 43).
@Jadi, bertanya itu disuruh.
Maka ketahuilah, bahwa memang demikian, tetapi mengenai persoalan yang
diizinkan guru, bertanya kepadanya. Bertanya tentang soal yang belum
sampai tingkatanmu memahaminya, adalah dicela, karena itulah, maka
Khaidir melarang Musa bertanya.
Dari itu, tinggalkanlah bertanya
sebelum waktunya! Guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu
ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu tiatang dalam tingkat
manapun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.
Berkata Ali ra. : "Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau
banyak bertanya kepadanya! Jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan
engkau minta, bila dia malas. Jangan engkau pegang kainnya, bila dia
bangun, jangan engkau siarkan rahasianya! Jangan engkau caci orang lain
dihadapannya, jangan engkau tuntut keteledorannya! Jika dia silap
terimalah kema'afannya! Haruslah engkau memuliakan dan membesarkannya
karena Allah, selama dia menjaga perintah Allah. Jangan engkau duduk
dihadapannya! Jika dia memerlukan sesuatu, maka ajaklah orang banyak
menyelenggarakannya!"
Tugas keempat : seorang pelajar pada
tingkat permulaan,hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan
orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu
keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena, yang demikian itu meragukan
pikiran-nya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan
mem-bawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya. Tetapi
yang wajar, ialah meneliti pertama kalinya suatu cara saja yang terpuji
dan disukai gurunya. Sesudah itu, barulah boleh mendengar
madzhab-madzhab dan keserupaan yang ada diantaranya.
Bila guru
itu tidak bertindak bebas, dengan memilih suatu pendapat tertentu,
tetapi kebiasaannya hanya mengambil madzhab-madzhab dan apa yang
tersebut dalam madzhab-madzhab itu, maka dalam hal ini hendaklah
waspada! Sebab orang yang semacam itu, lebih banyak menyesatkan dari
pada memberikan petunjuk.
Maka tidaklah layak orang buta memimpin
dan menunjuk jalan kepada sesama buta. Orang yang begini keadaannya,
dapat dihitung dalam keadaan buta dan bodoh.
Mencegah orang yang
baru belajar dari pada mencampuri persoal-an-persoalan yang meragukan,
samalah halnya dengan mencegah orang yang baru saja memeluk Islam, dari
pada bergaul dengan orang-orang kafir. Menarik orang yang "kuat" kepada
membanding dalam masalah-masalah khilafiah, samalah halnya dengan
mengajak orang yang "kuat" untuk bergaul dengan orang kafir.
Dari itu, dilarang orang pengecut menyerbu ke garis depan. Dan sebaliknya orang yang berani, disunatkan maju terus.
Termasuk dalam bahagian melengahkan yang penting ini, ialah sangkaan
sebahagian orang yang "lemah" bahwa boleh mengikuti orang-orang yang
"kuat" mengenai persoalan-persoalan yang mudah, yang diambil dari pada
mereka. Ia tidak tahu bahwa tugas orang yang "kuat", berbeda dengan
tugas orang yang "lemah ".
Mengenai itu, berkata sebahagian ulama
: "Barang siapa memper-hatikan aku pada tingkat permulaan (ai-bidayah),
maka jadilah dia orang benar (shiddiq). Dan barang siapa memperhatikan
aku pada tingkat penghabisan (an-nihayah), maka jadilah dia orang zindiq
".
Karena tingkat penghabisan itu, mengembalikan semua amalan
kepada bathin dan segala anggota badan tetap tidak bergerak, selain dari
amalan fardiu yang ditentukan. Maka tampaklah bagi orang yang melihat
bahwa tingkat penghabisan itu suatu perbuatan batil, malas dan lengah.
Amat jauhlah dari itu!
Maka yang demikian itu adalah pengikatan
hati dalam pandangan kesaksian dan kehadliran hati kepada Allah Ta'ala
dan membiasa-kan berdzikir yang terus-menerus, yang menjadi amalan
utama. Dan penyerupaan orang lemah dengan orang kuat tentang sesuatu
yang kelihatan dari dhahimya itu suatu kesalahan, adalah menyamai halnya
dengan alasan orang yang menjatuhkan sedikit najis ke dalam kendi air.
Dia mengemukakan alasan bahwa berlipat ganda lebih banyak dari najis ini
kadang-kadang dilemparkan ke dalam laut.
Dan laut itu lebih besar dari pada kendi. Maka apa yang boleh bagi laut, tentulah bagi kendi lebih boleh lagi.
Orang yang patut dikasihani tadi lupa, bahwa laut dengan tenaga-nya
dapat merobahkan najis kepada air. Lalu dzat najis bertukar kepada sifat
air. Sedang najis yang sedikit itu mengalahkan kendi dan merobahkan
kendi kepada sifat najis.
Dan karena seperti inilah, maka dibolehkan
bagi Nabi saw. apa yang tidak dibolehkan bagi orang lain, sehingga bagi
Nabi صلى الله عليه وسلم. dibolehkan mengawini sembilan wanita. Karena
baginya kekuatan keadilan untuk para isterinya, melebihi dari orang
lain, meskipun isterinya itu banyak.
Adapun orang lain tidak
sanggup menjaga walaupun sebahagian dari keadilan. Tetapi yang terjadi,
ialah kemelaratan diantara isteri-isterinya, yang mengakibatkan
kepadanya. Sehingga ia terjerumus ke dalam perbuatan ma'siat dalam
mencari kerelaan para isterinya. Maka tidaklah akan berdaya, orang yang
membandingkan para malaikat dengan tukang besi.
Tugas kelima :
seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu
pengetahuan yang terpuji dan tidak suatu macampun dari berbagai
macamrlya, selain dengan pandangan di mana ia memandang kepada maksud
dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur
panjang, maka dipelajarinya secara mendalam. Kalau tidak, maka
diambilnya yang lebih penting serta disempumakan dan dikesampingkannya
yang lain.
Ilmu pengetahuan itu bantu-membantu. Sebahagian
daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain. Orang yang mempelajari
ilmu terus memperoleh faedah daripadanya, yaitu terlepas dari musuh ilmu
itu yaitu kebodohan. Karena manusia itu adalah musuh dari kebodohannya.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
(Wa idzlam yahtaduu bihii fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiim).
Artinya :"Ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka nanti
akan berkata : Ini adalah kepalsuan yang lama".(S. Al-Ahqaf, ayat 11).
Berkata seorang penyair :
"Orang yang memperoleh penyakit, rasa pahit pada mulutnya, maka akan merasa pahit, air pancuran yang lazat cita rasanya.
Ilmu pengetahuan dengan segala tingkatannya, adakalanya menjadi jalan,
yang membawa seorang manusia kepada Allah Ta'ala atau menolong membawa
ke jalan tersebut. Pengetahuan itu mempunyai tingkat-tingkat yang
teratur, dekat dan jauhnya dengan maksud.
Orang yang menegakkan ilmu
pengetahuan itu adalah penjaga-pen-jaga seperti penjaga rumah penyantun
dan benteng. Masing-masing mempunyai tingkatan. Dan menurut tingkatan
itulah, dia memperoleh pahala di akhirat, apabila tujuannya karena Allah
Ta'ala.
Tugas keenam : seorang pelajar itu tidak memasuki
sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. Tetapi memelihara
ter-tib dan memulainya dengan yang lehih penting.
Apabila umur
itu biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala ilmu pengetahuan,
maka yang lebih utama diambil, ialah yang lebih baik dari segala
pengetahuan itu dan dicukupkan dengan sekedar-nya. Lalu dikumpulkan
seluruh kekuatan dari pengetahuan tadi untuk menyempurnakan suatu
pengetahuan yang termulia dari segala macam ilmu pengetahuan. Yaitu ilmu
akhirat.
Yang saya maksudkan dengan ilmu akhirat, yaitu kedua macamnya : ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah.
Tujuan dari ilmu mu'amalah ialah keilmu mukasyafah. Dan tujuan dari
ilmu mukasyafah ialah mengenai Allah Ta'ala. Tidaklah saya maksudkan
dengan itu akan 'aqidah (i'tikad) yang dianut orang awwam dengan jalan
pusaka atau pelajaran. Atau cara penyusunan kata-kata dan perdebatan
untuk mengokohkan ilmu kalam dari serangan lawan seperti tujuan ahli
ilmu kalam. Tetapi yang saya maksudkan, ialah suatu macam keyakinan
yaitu hasil dari nur yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati hambaNya, yang
sudah mensucikan kebathinannya dari segala kotoran dengan mujahadah
(berjihad melawan hawa nafsu). Sehingga sampailah dia ke tingkat
keimanan Saidina Abu Bakar ra., yang kalau ditimbang dengan keimanan
penduduk alam seluruhnya, maka lebih beratlah keimanan Abu Bakar itu
sebagaimana telah diakui oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. sendiri.
Maka tak adalah artinya padaku, apa yang dii'tikadkan oleh orang awwam
dan yang disusun oleh ahli ilmu kalam, yang tidak melebihi dari orang
awwam itu, selain dari tohnik kata-kata. Dan karenanya, lalu dinamakan
ilmu kata-kata (ilmu kalam), suatu pengetahuan yang tidak disanggupi
Umar, Usman, Ali dan lain-lain shahabat dimana Saidina Abu Bakar ra.
memperoleh kelebihan dari mereka ini dengan suatu rahasia (sirr) yang
terpendam di dalam dadanya.
Dan heran benar, orang-orang yang
mendengar perkataan tersebut dari Nabi kita صلى الله عليه وسلم. lalu
memandang leceh. dengan mendakwakan bahwa itu barang batil, bikinan kaum
tasawwuf dan tidak dapat dipahami.
Maka haruslah anda
berhati-hati menghadapinya. Kalau tidak, nanti anda kehilangan modal.
Dan waspadalah, untuk mengetahui rahasia yang terbongkar dari simpanan
kaum fuqaha' dan ulama kalam! Anda tidak akan mendapat petunjuk untuk
itu, selain dengan bersungguh-sungguh mempelajarinya.
Pendek
kata, ilmu yang termulia dan tujuannya yang paling utama ialah mengenai
Allah Ta'ala. 'itulah lautan yang dalamnya tidak dapat diduga. Tingkat
yang tertinggi untuk itu dari manusia ialah tingkat para Nabi, kemudian
para wali, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka.
Menurut
riwayat, pernah orang bermimpi melihat dua orang ahli hikmah dalam
sebuah masjid. Dalam tangan seorang dari keduanya adalah sehelai kertas
yang bertulisan : "Jika anda telah berbuat baik segala sesuatu maka
janganlah menyangka telah berbuat baik pula tentang sesuatu, sehingga
anda telah mengenai Allah Ta'ala dan mengetahui bahwa DIA-lah yang
menyebabkan segala sebab dan menjadikan segala sesuatu".
Dan
dalam tangan yang seorang lagi bertulisan : "Sebelum saya mengenal
Allah, saya minum dan saya haus. Ketika saya sudah mengenalNya, maka
hilanglah kehausan saya tanpa minum".
Tugas ketujuh . bahwa tidak
mencemplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum
menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu
tersusun dengan tertib-Sebahagiannya menjadi jalan menuju kebahagian
yang lain. Mendapat petunjuklah kiranya orang yang dapat memelihara
tata-tertib dan susunan itu!
Berfirman Allah Ta'ala :
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ
(Aliadziina aatainaahumul kitaaba yatluunahuu haqqa tilaawatih).
Artinya :"Mereka yang kami datangkan Kitab kepadanya, dibacanya dengan sebaik-baiknya".(S. Al-Baqarah, ayat 121).
Artinya tidak dilampauinya sesuatu bidang, sebelum dikuasainya
benar-benar, baik dari segi ilmiahnya atau segi amaliahnya. Dan
tujuannya dalam segala ilmu yang ditempuhnya, ialah mendaki kepada yang
lebih tinggi. Dan sewajarnyalah ia tidak menghukum dengan batil terhadap
sesuatu ilmu, karena timbul perselisihan paham diantara
pemuka-pemukanya. Atau menghukum dengan kesalahan seorang atau beberapa
orang diantara mereka. Atau menghukum dengan harus menantangnya, karena
berbeda antara perbuat-annya dan perkataannya.
Anda akan melihat
suatu golongan, yang tidak mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah
yang berhubungan dengan akal-pikiran dan pemahaman, disebabkan kata
mereka persoalan itu kalau ada berpangkal, tentulah diketahui oleh
pemuka-pemuka persoalan-persoalan itu sendiri.
Untuk menyingkap segala keraguan ini, sudah diutarakan dalam Kitab Mi'yaril-ilmi.
Anda akan melihat segolongan manusia yang berkeyakinan bahwa ilmu
kedokteran itu batil, karena dilihatnya suatu kesalahan dari seorang
dokter. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu betul karena
kebetulan kejadian itu sesuai dengan yang dinujumkan. Segolongan lagi,
berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu tidak betul, karena kebetulan kejadian
itu tidak sesuai dengan yang dinujumkan.
Sebenarnya, semuanya
itu salah. Tetapi sewajarnyalah sesuatu itu diketahui pada dirinya.
Sebab tidaklah tiap-tiap orang itu mengetahui betul seluruh ilmu
pengetahuan. Dari itu berkata Ali ra. : "Engkau tidaklah mengetahui
kebenaran dengan orang-orang. Tetapi ketahuilah kebenaran itu, barulah
engkau akan mengetahui ahlinya".
Tugas kedelapan: seorang pelajar
itu hendaklah mengenai sebab untuk dapat mengetahui ilmu yang termulia.
Yang demikian itu dikehendaki dua perkara :
1.Kemuliaan hasilnya.
2.Kepercayaan dan kekuatan dalilnya.
Hal itu seumpama ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari yang satu
itu kehidupan abadi dan dari yang lain itu kehidupan duniawi (hidup
fana). Jadi, ilmu agamalah yang termulia.
Seumpama ilmu berhitung
dan ilmu nujum. Maka ilmu berhitunglah yang lebih mulia karena
kepercayaan dan kekuatan dalil-dalilnya. Dan jika dibandingkan ilmu
berhitung dengan ilmu kedokteran, maka ilmu kedokteranlah yang lebih
mulia, dipandang kepada faedahnya. Dan ilmu berhitunglah yang lebih
mulia, dipandang kepada dalil-dalilnya. Memperhatikan kepada faedahnya
adalah lebih utama. Dari itu, ilmu kedokteranlah menjadi lebih mulia,
meskipun bagian terbesar dari padanya didasarkan kepada kira-kiraan.
Dengan ini, jelaslah bahwa yang termulia ialah ilmu mengenai Allah
'Azza wa Jalla, mengenai malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasulNya dan ilmu mengenai jalan yang menyampaikan kepada yang
demikian.
Waspadalah, bahwa kegemaran tidaklah ditumpahkan kepada yang lain dari ilmu-ilmu tadi dan bersungguh-sungguhlah mempelajarinya!
Tugas kesembilan • bahwa tujuan pelajar sekarang ialah menghiasi
kebathinannya dan mencantikkannya dengan sifat keutamaan. Dan nanti
ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, mendaki untuk mendekati alam
yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang muqarrabin (orang-orang
yang mendekatkan dirinya kepada Allah).
Dan tidaklah dimaksudkan
dengan menuntut ilmu pengetahuan itu, untuk menjadi kepala, untuk
memperoleh harta dan kemegahan, untuk melawan orang-orang bodoh dan
untuk membanggakan diri dengan teman-teman.
Apabila yang tersebut di atas maksudnya, maka tak ragu lagi bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya, yaitu ilmu akhirat.
Dalam pada itu, tak layaklah memandang dengan pandangan kehinaan kepada
ilmu pengetahuan yang lain, seperti ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa
yang ada hubungannya dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi dan sebagainya
yang telah kami uraikan pada muqad-dimah danpelengkap dari
bermacam-macam ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bahagian fardlu
kifayah.
janganlah anda berpikir tentang kesangatan pujian kami akan ilmu akhirat, bahwa kami melecehkan ilmu-ilmu yang lain. Tidak!
Orang-orang yang bertanggung jawab dalam lapangan ilmu pengetahuan,
samalah halnya dengan orang-orang yang bertanggung jawab di
benteng-benteng pertahanan dan orang-orang yang ditugaskan di situ dan
orang-orang yang berjuang berjihad fi sabilillah. Diantara mereka itu
ada yang bertempur, ada yang bertahan, ada yang menyediakan minuman, ada
yang menjaga kendaraan dan ada yang mengurus orang-orang yang
memerlukan rawatan.
Tidak ada seorangpun diantara mereka yang
tidak mendapat pahala, kalau tujuannya untuk meninggikan kalimah Allah,
bukan untuk mengaut harta rampasan.
Maka demikian pula para 'alim ulama.
Berfirman Allah Ta'ala :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
(Yarfa-'illaahul ladziina aamanuu minkum wal ladziina uutul 'ilma darcgaat).
Artinya :"Ditinggikan Allah, mereka yang beriman diantara kamu dan
mereka yang diberikan ilmu, dengan beberapa tingkat".(S. Al-Mujadalah,
ayat 11).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
(Hum darajaatun 'indallaah).
Artinya :"Mereka memperoleh beberapa tingkat pada Allah".
(S. Ali'Imran, ayat 163).
Kelebihan itu relatif. Pandangan kita lebih rendah kepada
penukar-penukar uang, (penukar uang antara uang satu negara dengan uang
negara lain) bila dibandingkan dengan pandangan kita kepada raja-raja,
tidaklah menunjukkan kepada hinanya penukar-penukar uang itu bila
dibandingkan dengan tukang-tukang sapu. Maka janganlah disangka bahwa
apa yang diturunkan dari kedudukannya yang tinggi, berarti sudah
kehilangan pangkat. Tidak! Sebab pangkat yang tertinggi ialah bagi para
Nabi, kemudian bagi para Wali, kemudian bagi para ulama yang mendalam
ilmunya, kemudian bagi orang-orang shalih, dengan berlebih-berkurangnya
derajat mereka itu.
Pendek kata, barang siapa berbuat amal seberat
biji sawi dari kebajikan, maka akan dilihatnya. Dan barang siapa berbuat
amal seberat biji sawi dari kejahatan, maka akan dilihatnya. Barang
siapa bertu-juan kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, ilmu
pengetahuan apapun juga, niscaya bergunalah baginya dan sudah pasti akan
meninggikan derajatnya.
Tugas kesepuluh : bahwa harus
diketahuinya hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya. Supaya
pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu, membawa pengaruh
kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh
kepada yang tidak penting.
yang penting artinya mengandung
kepentingan untukmu sendiri. Dan tak ada yang penting bagimu selain dari
urusan mengenai dunia dan akhirat.
Apabila tidak mungkin engkau
mengumpulkan antara kelezatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi,
sebagaimana yang diterangkan Al-Qur'an dan disaksikan dari nur
hati-nurani, oleh apa yang berlaku dihadapan mata kepala, maka yang
lebih penting adalah yang kekal abadi. Ketika itu, dunia menjadi tempat
tinggal, badan menjadi kendaraan dan amal perbuatan menjadi jalan kepada
tujuan. Dan tujuan itu tak lain dari berjumpa dengan Allah Ta'ala. Maka
padanyalah seluruh kenikmatan, meskipun dalam alam ini tidak diketahui
kadarnya selain oleh beberapa orang saja.
Ilmu pengetahuan itu
bila dibanding kepada kebahagian berjumpa dengan Allah dan memandang
kepada wajahNya Yang Mulia, yakni pandangan yang dicari dan dipahami
oleh para Nabi dan tidak yang teriintas dalam pemahaman orang awwam dan
ahli ilmu kalam, adalah tiga tingkat, yang dapat anda pahami dengan
perbandingan dengan contoh. Yaitu adalah seorang budak yang
menggantungkan kemerdekaannya dan kemungkinan mempunyai hak milik dengan
mengerjakan ibadah hajji.
Dikatakan kepadanya : "Sekiranya
engkau telah mengerjakan ibadah hajji dan telah engkau sempurnakan, maka
jadilah engkau merdeka dan mempunyai hak milik. Jika engkau telah
bersiap dan memulai berjalan menuju ke tempat peribadatan hajji, lalu
mendapat halangan diperjalanan, maka engkau memperoleh kemerdekaan. Dan
terlepas dari perbudakan saja, tanpa memperoleh kebahagiaan hak milik."
Maka bagi budak tersebut, ada tiga jenis perbuatan :
1.Menyediakan persiapan dengan membeliunta kendaraan, kendi air, perbekalan dan segala yang diperlukan dalam perjalanan.
2.Berjalan dan meninggalkan kampung h alam an menuju Ka'bah tempat demi tempat.
3.Mengerjakan segala amal perbuatan hajji, rukun demi rukun.
Maka sesudah selesai dan sesudah membuka pakaian ihram dan bertawaf
wida', niscaya berhaklah ia mempunyai hak milik dan kekuasaan penuh bagi
dirinya. Dan baginya pada tiap-tiap kedudukan itu mempunyai tingkat,
sejak dari awal persiapan sampai akhirnya. Sejak dari permulaan
menjalani desa-desa sampai akhir-nya. Dan sejak dari permulaan rukun
hajji sampai akhirnya.
Maka tidak samalah kebahagiaan yang
diperoleh oleh orang yang sudah memulai mengerjakan rukun hajji, dengan
kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang baru menyelesaikan segala
persiapan perbekalan dan kendaraan. Dan tidak sama pula dengan
kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai berjalan menuju
Tanah Suci atau-pun yang telah mendekatinya.
Dari itu, maka ilmu
pun tiga bahagian. Sebahagian berlaku semacam persiapan menyediakan
perbekalan, kendaraan dan membeli unta. Ini adalah ilmu kedokteran, ilmu
fiqih dan yang ada hubungannya dengan kemuslihatan tubuh di dunia ini.
Sebahagian berlaku semacam menjalani desa-desa dan menghindarkan segala
rintangan. Ini adalah mensucikan kebathinan dari segala kekotoran sifat
dan mengatasi segala rintangan yang memuncak, yang tak sanggup
orang-orang terdahulu dan terkemudian mengatasinya, selain orang orang
yang telah memperoleh taufiq Tuhan.
Maka inilah jalan yang dituju.
Mempersiapkan pengetahuan untuk itu, samalah halnya dengan mempersiapkan
pengetahuan tentang jalan-jalan mana dan .rumah-rumah mana di jalan itu
yang dicari. Maka sebagaimana mengetahui di mana Ietak rumah dan
jalan-jalan di sesuatu kampung, tidak mencukupi bila tidak dikunjungi,
maka seperti itu pulalah, tidak mencukupi mengetahui ilmu perbaikan budi
pekerti, tanpa budi pekerti itu diperbaiki. Tetapi perbaikan tanpa ilmu
pengetahuan, tidak mungkin.
Bahagian yang ketiga, berlaku dalam
melakukan ibadah hajji dan rukun-rukunnya. Ini adalah mengetahui tentang
Allah dan sifatNya, para malaikatNya, segala perbuatanNya dan seluruh
apa yang telah kami terangkan waktu membicarakan ilmu "al-mukasyafah "
dahulu.
Di sinilah letaknya kelepasan dan kemenangan dengan
kebahagiaan. Kelepasan adalah hasil bagi tiap-tiap orang yang menuju ke
jalan Allah, apabila maksudnya mencapai kebenaran, yaitu keselamatan.
Kemenangan dengan kebahagiaan, tidaklah diperoleh, selain orang-orang
yang mengenai Allah Ta'ala. Yaitu : orang-orang muqarrabin, yang
memperoleh nikmat di sisi Allah Ta'ala dengan kegembiraan, kepuasan dan
taman kesenangan. Adapun orang-orang yang tidak memperoleh tingkat
kesempurnaan, maka bagi mereka kelepasan dan keselamatan, seperti firman
Allah Ta'ala :
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ فَرَوْحٌ
وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ
الْيَمِينِ فَسَلامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
(Faammaa in kaana
minal muqarrabiin fa rauhun wa raihaanun wa jannatu na'iim wa ammaa in
kaana min ashhaabil yamiin fasa-laamun laka min ashhaabil yamiin).
Artinya :"Jika dia termasuk orang-orang yang dekat (kepada Tuhan), (dia
memperoleh) kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Dan jika dia
termasuk kaum kanan, (kepadanya diberikan penghormatan) : Selamat
(damai) untuk engkau, dari kaum kanan".(S. Al-Waqi'ah,
ayat-88-89-90-91).
Setiap orang yang tidak menuju kepada maksud
dan tidak bergerak untuk itu atau ada bergerak kearah itu tetapi bukan
dengan maksud mengikuti dan memperhambakan diri kepada Allah, hanya
untuk suatu maksud yang cepat, maka termasuklah dia golongan kiri dan
sesat. Penyambutan terhadap dia, ialah dengan air yang sangat pa-nas dan
pembakaran dalam neraka.
Ketahuilah, bahwa inilah keyakinan yang
sebenarnya (haqqul-yaqin) pada para ulama yang mendalam pengetahuannya.
Saya maksudkan : mereka itu mengetahuinya dengan mempersaksikan dari
ke-bathinan. Penyaksian yang demikian adalah lebih kuat dan lebih terang
dari penyaksian dengan mata kepala. Mereka itu telah me-ninggi, dari
batas taqlid, karena pendengaran semata-mata.
Keadaan mereka
samalah dengan keadaan orang yang mendengar ceritera, maka
dibenarkannya. Kemudian ia menyaksikan, maka diyakininya. Dan keadaan
orang lain, samalah dengan keadaan orang yang sebelumnya, dengan
keyakinan dan keimanan yang baik. Tetapi tidak memperoleh nasib
penyaksian (musyahadah) dan pandangan yang tembus.
Maka
kebahagiaan adalah di belakang ilmu mukasyafah. Dan ilmu mukasyafah
adalah di belakang ilmu mu'amalah, yang menjadi jalan menuju ke akhirat.
Penyingkiran halangan-halangan dari sifat yang keji dan jalan menuju
penghapusan sifat yang tercela, adalah di belakang ilmu pengetahuan
tentang sifat-sifat itu. Ilmu pengetahuan tentang cara mengobati dan
cara pergi menuju ke sana, adalah di belakang ilmu keselamatan badan.
Tolong-menolong memelihara sebab-sebab kesehatan dan keselamatan badan
adalah dengan per-satuan, bergotong-royong dan tolong-menolong, yang
dapat me-nyampaikan kepada pengurusan pakaian, makanan dan tempat.
Yang tersebut itu mempunyai hubungan dengan pemerintah dan
undang-undangnya dalam memimpin rakyat ke jalan keadilan dan politik
dalam kawasan ahli hukum fiqih.
Adapun sebab-sebab kesehatan,
maka adalah dalam tanggung jawab dokter. Siapa yang mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan itu dua : ilmu mengenai tubuh manusia dan ilmu mengenai
agama dan dii-syaratkannya dengan ilmu agama itu, kepada ilmu fiqih,
adalah maksudnya dengan perkataan tersebut ilmu pengetahuan dzahir yang
tersiar. Bukan ilmu bathin yang tinggi kedudukannya.
Jika anda bertanya, mengapa disamakan ilmu kedokteran dan ilmu fiqih dengan menyiapkan perbekalan dan kendaraan ?
Maka ketahuilah, bahwa yang berjalan kepada Allah untuk menca-pai
dekatNya adalah hati, bukan badan. Tidaklah maksudku dengan hati itu
daging yang bisa dilihat. Tetapi adalah suatu rahasia (sirr) dari
rahasia Allah 'Azza wa Jalla, yang tidak diketahui oleh pancaindra.
Suatu yang halus dari segala yang halus kepunyaan Allah.
Sekali disebut dengan kata-kata "ruh", sekali dengan kata-kata "an-nafsul muthmainnah ". (jiwa yang tenteram).
Agama menyebutkannya dengan hati (al-qalb), karena hatilah kendaraan
pertama bagi rahasia itu. Dan dengan perantaraan hatilah maka seluruh
badan menjadi kendaraan dan alat kendaraan untuk tubuh halus itu.
Dan menyingkap tutup dari sirr tersebut, adalah sebahagian dari ilmu
mukasyafah. Payah diperoleh bahkan tidak mudah menerang-kannya. Paling
tinggi yang diperbolehkan, hanya dapat dikatakan, bahwa hati (al-qalb)
itu suatu dzat (jauhar) yang amat bernilai, suatu mutiara yang amat
mulia. Lebih mulia dari segala benda yang dapat dilihat dengan mata. Dia
itu, urusan ketuhanan (amrun ilahi), seperti firmanNya :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
(Wa yas'aluunaka 'anirruuhi qiyirruuhu min amri rabbii)
Artinya :"Dan ditanyakan mereka akan engkau (Muhammad) tentang ruh,
maka jawablah : Ruh itu urusan Tuhanku (min amri rabbi)".(S. Al-Isra',
ayat 85).
Seluruh makhluk dihubungkan (mansubah) kepada Tuhan.
Tetapi hubungan ruh (al-qalb = hati) kepadaNya, adalah lebih mulia dari
hubungan seluruh anggota badan yang lain. Kepunyaan Allah seluruh
makhluk dan ruh. Ruh lebih tinggi dari makhluk yang lain.
Dzat
yang amat bernilai itu yang membawa amanah Allah, suatu tugas yang
pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan bukit, tetapi enggan
menerimanya dan takut kepada dzat yang bernilai itu.
Dan
janganlah dipahamkan dari yang tersebut itu, seakan-akan di-bayangkan
dengan qadimnya dzat itu. Orang yang mengatakan dengan qadim ruh adalah
tertipu dan bodoh, tak mengerti apa yang harus dikatakannya.Kami hendak
menyingkatkan penjelasan tentang ini, karena di luar acara yang
sebenarnya.Maksudnya, bahwa tubuh halus itu ialah yang berusaha
mendekati Tuhan, karena dia dari urusan Tuhan. Dari Tuhan sumbernya dan
kepada Tuhan kembalinya.
Adapun badan, maka adalah kendaraan dari tubuh halus itu, yang dikendarainya dan diusahakannya sesuatu dengan perantaraannya.
Jadi, maka badan bagi tubuh halus itu dalam perjalanan kepada Allah
Ta'ala adalah seumpama unta bagi tubuh manusia dalam perjalanan hajji.
Dan seumpama kendi tempat menyimpan air yang dihajati oleh badan.
Maka seluruh ilmu pengetahuan yang tujuannya demi kemuslihatan badan,
maka ilmu itu termasuk dalam jumlah kepentingan kendaraan. Dan tidak
tersembunyi lagi bahwa ilmu kedokteran pun seperti itu juga. Karena
kadang-kadang diperlukan kepadanya untuk pemeliharaan kesehatan badan.
Meskipun manusia itu sendirian, memerlukan juga kepada ilmu kedokteran.
Lain halnya dengan ilmu fiqih. Karena kalau manusia itu sendirian,
kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada ilmu fiqih. Tetapi manusia itu
dijadikan oleh Tuhan dalam bentuk yang tidak mungkin hidup sendirian.
Sebab tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya, baik
untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh roti
dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal dan menyiapkan alat
untuk itu seluruhnya.
Maka manusia itu memerlukan kepada
pergaulan dan tolong-menolong. Manakala manusia itu bercampur-baur dan
berkobamya hawa nafsu diantara mereka, lalu tarik-menariklah sebab-sebab
untuk memperoleh keinginan. Dan mereka bantah-membantah dan
perang-berperang.
Dari peperangan itu timbullah kebinasaan,
disebabkan perlombaan dari luar, sebagaimana timbulnya kebinasaan
disebabkan pertentangan campuran dari dalam.
Dengan ilmu kedokteran
terpeliharalah keseimbangan dalam segala campuran yang saling
bertentangan dari dalam. Dan dengan politik serta keadilan,
terpeliharalah keseimbangan dalam perlombaan dari luar.
Pengetahuan jalan keseimbangan campuran itu adalah ilmu kedokteran. Dan
pengetahuan jalan keseimbangan hal manusia dalam masyarakat dan
perbuatan-perbuatannya itu adalah ilmu fiqih namanya.
Semuanya itu untuk menjaga keselamatan tubuh manusia yang menjadi kendaraan dari tubuh halus itu.
Orang yang semata-mata mempelajari ilmu fiqih atau ilmu kedokteran,
apabila tidak berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak berusaha
memperbaiki jiwanya, maka samalah dengan orang yang membeli unta serta
umpannya, kendi serta airnya apabila tidak berangkat pergi menunaikan
ibadah hajji. Orang yang menghabis-kan umurnya dalam susunan kata-kata
yang teijadi dalam perdebatan ilmu fiqih, samalah halnya dengan orang
yang menghabiskan umurnya meneliti sebab-sebab supaya kokoh kuat jahitan
kendi air yang akan dibawa waktu mengerjakan hajji.
Perbandingan
mereka yang berjalan menuju ke jalan perbaikan jiwa, yang menyampaikan
kepada ilmu mukasyafah, samalah dengan mereka yang berjalan menuju ke
jalan hajji atau dengan mereka yang sedang mengerjakan rukun hajji. Maka
perhatikanlah pertama kali akan ini dan terimalah nasehat dengan
cuma-cuma, dari orang yang biasanya tegak berdiri untuk itu. Dan tidak
akan sampai kepadanya, selain sesudah menempuh perjuangan yang
sungguh-sungguh, dan cukup keberanian, menghadapi manusia yang berane-ka
ragam pembawaannya diantara orang awam dan orang khawas {orang
tertentu), di mana mereka menurut hawa nafsunya semata-mata.
Cukuplah sekian mengenai tugas-tugas dari pelajar!.