PARDI mulai puyeng kepalanya. Segalanya terasa judek. Masalahnya seperti tumpukan sampah di depan mata. Sudah berbau menyengat, sepet dipandang. Bahkan lebih dari sekedar sampah.
“Di…Di…kamu ini masih muda, kok stress melulu…”
“Aku nggak stress, Cuma aku lagi jengkel bukan main…”
“Apa bedanya?”
“Beda donk Dul…”
“Bedanya?”
“Kalau stress itu hasilnya jengkel, kalau jengkel itu apinya stress… ha..ha..ha..”
“Nah, gitu donk tertawa… Kamu jengkel kenapa?”
“Saya jengkel pada diri sendiri, dan orang lain…”
“Itu namanya ujian…”
“Saya tahu ini ujian. Tapi ketika saya lagi marah, saya lupa Dul kalau itu ujian… Kalau menurut kamu bagaimana?”
“Saya punya kiat Di… Kalau aku lagi jengkel, sumpek. Saya lemparkan diri saya…”
“Haaaaah…!?”
“Maksudku saya berusaha melemparkan hati saya ke pintunya Allah. Terserah Gusti Allah saja…”
Pardi manggut-manggut dengat kiat Dulkamdi. Lama sekali dua sahabat itu terdiam, hingga kopinya hampir dingin.
“Soal kiat bersabar kan…?” Tiba-tiba dua orang itu bicara serentak lalu tertawa-tawa. “Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas” (Q.s. az-Zumar: 10) Tiba-tiba kang soleh muncul dengan mengutip sebuah ayat. “Kata Al-Junaid – ra himahullah – Sabar adalah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan”.
Sementara Ibrahim al-Khawash – rahimahullah – berkata “Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar. Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana (sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya seakan-akan sesuatu yang bisa memberinya”
Ada seseorang datang kepada asy-Syibli dan bertanya, “Sabar yang mana yang sangat berat bebanya bagi orang-orang yang bersabar?”
Asy-Syibli menjawab. “Sabar demi Allah SWT (fillah)” Orangitu berkata, “Tidak!!”
Asy-Syibli menjawab lagi, “Sabar bersama Allah (ma’Allah)”. Ia pun berkata, “Tidak!!”
Akhirnya asy-Syibli marah dan balik bertanya, “celaka kau!! Lalu apa?”
Orang menjawab, “Sabar dari Allah (‘anillah)”. Kemudian asy-Syibli berteriak keras dan hampir ruhnya tercabut.
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Salim di Basrah tentang sabar. Lalu ia menjawab dengan tiga jawaban: Pertama, orang yang berusaha untuk bersabar (mutashabir). Kedua, orang yang sabar (shabir) dan ketiga, orang yang sangat bersabar (shabhar). Maka, orang yang berusaha bersabar adalah orang yang sabar demi Allah SWT (fillah). Suatu saat ia bersabar atas hal-hal yang tidak diinginkan, tapi di saat yang lain ia tak sanggup bersabar.
Tingkatan ini sebagaimana yang pernah ditanyakan kepada al Qannad tentang sabar. Kemudian ia menjawab, “Sabar ialah senantiasa melakukan yang wajib dalam meninggalkan apa yang dilarang dan tekun melakukan apa yang diperintahkan. Orang yang sabar adalah orang yang sabar pada Allah dan karena Allah. Ia tidak pernah gelisah dan tidak memperkenankan ada kesempatan gelisah dan harapan untuk mengeluh”.
Sebagaimana juga dikisahkan dari Dzun-Nun al-Mishri-raimamullah – yang berkata: Saya pernah datang menjenguk orang sakit. Tatkala ia berbicara padaku ia merintih kesakitan. Kemudian saya berkata kepadanya, “Tidak dianggap jujur cinta seseorang jika tidak sabar atas bahaya yang menimpanya”. Kemudian orang yang sakit balik berkata, “Justru tidak bisa dianggap jujur cinta seseorang bila ia belum bisa merasakan nikmatnya bahaya yang menimpanya”.
Sebuah hadist: “Bahwa Nabi Zakaria a.s tatkala gergaji diletakkan diatas kepalanya, maka ia sekali merintih kesakitan. Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya, “Jika terdengar rintihan darimu sekali lagi, sungguh Aku akan menjungkir-balikan langit dari bumi antara yang satu dengan yang lain”. (diriwayatkan dari Wahb. Ini cerita dari Bani Israel. Tidak benar bila cerita ini dinisbatkan kepada Aabi SAW).
“Apakah kisah-kisah ini bisa membuat kita lebih sabar Kang?” tanya Pardi.
“Membaca kisah-kisah orang tentang kesabaran, akan memancarkan cahaya sabar akan mematikan amarah kita… Di…”