Sufi Road : Manifestasi Sifat-sifat Al Haq
Kitab Insan Kamil fi Ma’rifah al Awahir wa al Awa’il, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili
Jikalau inti [dzat] Al Haq termanifestasikan kepada salah satu dari
hambaNya dengan sifat dari sifat-sifatNya, sebutan dan ingatan hamba
tersebut selalu beredar di-falak sifatNya dengan cara Kulli [universal]
dan bukan dengan cara juz’i [partular]. Kedua sifat [kulli dan juz’i]
itu tidak akan mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan
cara global. Jika seorang hamba memujikan salah satu namaNya dan
menyempurnakannya dengan harapan global, maka ia akan dapat menduduki
singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia akan disifati dengan sifatNya.
Ketika hamba itu menerima sifatNya yang lain, demikian seterusnya
hingga ia dapat mewadahi nama-nama Al Haq dalam dirinya, sehingga
sifat-sifatNya benar-benar sempurna dalam diri hamba tersebut. Kemudian
ketahuilah manakala Al Haq hendak memanifestasikan DiriNya dengan
nama-nama atau sifat-sifatNya kepada salah satu hambaNya, Dia akan
mensirnakan diri hamba tersebut fana’ bersama Diri Nya, Dia leburkan
eksistensi [wujud] hamba itu dalam kesirnaan bersamaNya
Manakala
cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna [fana’],
Al Haq akan mencitrakan DiriNya pada struktur kemanusiaan hamba
tersebut, tanpa Hulul [pantaisme], inti [dzat]-Nya tidak menempati jisim
[tubuh] hamba itu, kasih kelembutan-Nya tidak terpisahkan dari hamba
tersebut. Dia juga tidak tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain
sebagai ganti atas peleburan dan kesirnaan struktur jisim hamba-Nya.
Sebab manifestasi-Nya, kepada para hamba-Nya adalah semata-mata karena
kasih Fadhal [keutamaan] dan kasih Al Juud [kepemurahan] Al Haq kepada
para hambaNya. Jika para hamba itu difana’kan, lalu Dia tidak mengganti
kefana’an mereka dengan kasih keutamaan dan kepemurahanNya, maka
kesirnaan seperti itu adalah Niqmah [bencana]. Kasih kelembutan itu
sejatinya adalah ruh Al Quddus [ruh suci]. Manakala Al Haq menegakkan
kasih kelembutan dari inti [dzat]-Nya, sebagai ganti atas kefana’an
hambaNya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi
tajalli DiriNya. Hanya saja kita menamakan kasih kelembutan Ilahiyah
dalam dimensi ini dengan sebutan al Abd’ [hamba], dengan I’tibar ia
[kelembutan kasih ini] merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak
demikian, maka tidak akan ada hamba atau Rabb. Semantis logikanya, jika
tidak ada Al Marbuub [yang diatur] maka tidak ada Rabb [pengatur], yang
ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa.
Ketahuilah,
bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan inti [dzat]
seorang hamba [dalam bersifat] dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan
penerimaan secara ushul [dasar] dan hukum serta mutlak, seperti
penerimaan sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena
kelembutan kasih ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba,
tegak bersama struktur diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas
dirinya. Maka sifat-sifat ketuhanan yang melanskapi hamba tersebut,
merupakan sifat dasar [ushul] dan mutlak. Manakala seorang hamba
mensifati dirinya dengna sifat-sifat ketuhanan, maka sifat al Haq adalah
sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat al Haq. Ada banyak
ragam penyingkapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al Haq ini.
Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan
[kapabilitas] yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang
mereka punyai, serta kekuatan azam [hasrat kuat] yang ada pada diri
masing-masing seorang hamba.
Di antara mereka yang ditajalikan
kepadanya dengan sifat-sifatNya al Hayatiyah, maka jadilah hamba
tersebut sentra Hayah [hidup] alam semesta, ia dapat memakrifahi rahasia
hidupnya dalam Maujudat [segala wujud] secara universal, baik yang
berdimensikan jasadiya [badan kasar] maupun dimensi ruhiya [ruh]. Ia
bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya dalam dirinya,
yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara
hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal
[perkataan-perkataan] atau al A’maal [perbuatan-perbuatan], bisa juga
berupa citra dimensi kelembutan semisal al Arwah [ruh-ruh] atau citra al
Katsib [alam kasar] semisal al Ajsaam [tubuh-tubuh kasar]. Lain halnya
jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu Syuhud [menyaksikan],
mampu menggapai Dzauq al Wujdan [pengetahuan intuitif], serta mampu
memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa wasilah [perantara].
Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah [intuisi ketuhanan],
serta memukasyafahi inti [dzat]-Nya. Pahami dengan seksama masalah ini.
Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili, secara pribadi pernah
merasakan tajalli sifat ini, yang sedemikian itu, ia menyaksikan hidup
dan kehidupan segala wujud dalam dirinya. Dia melihat Qadar segala
sesuatu yang maujud [ada] dalam kehidupannya, semuanya berjalan sesuai
dengan kehendak inti [dzat]-Nya. Dia pada tajalli tersebut hidup esa,
tidak terpisah dengna inti [dzat], hingga tangan pertolongan-Nya
memindahkan diri saya dari tajalli inti [dzat]-Nya kepada tajalliyat-Nya
yang lain. Sang Syekh melebur dalam manifestasi-manifestasiNya.
Diantara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifatNya al Ilmiyah,
yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri-Nya dengna
sifat Al Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Segala al
Mumkinaat [sesuatu yang mungkin]. Pada saat itu al Haq memanifestasikan
Diri-Nya pada hamba tersebut dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu
bisa mengetahui kesejatian ragam alam [semesta] seperti sebelum dan
pasca penciptaannya. Ia bisa mengetahuinya segala sesuatu, mulai pra
penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari penciptaan segala
wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan, serta ahir
dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu
yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi
ruang dan waktu, serta melintas batas logika. Kesemua itu merupakan ilmu
yang datang dari al Haq melalui pembelajaran langsung dariNya, serta
Wujdaan dari inti [dzat]-Nya yang tersimpan rapi di Ghaib al Ghaib
[kegaiban misteri], bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmuNya yang bersifat
universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk menguak
tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyaf [pengetahuan
intuitif].
Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni [ilmu yang berasal
dari pembelajaran langsung dari al Haq – ref. QS Al Kahfi ayat 65], ilmu
Dzati [ilmu yang terkait dengan inti [dzat]-Nya] diturunkan secara
partikular dari Ghaib al Ghaib [kegaiban yang gaib], ke Syahadah asy
Syahadah [realitas yang riil], bisa disaksikan rincian globalitasnya
dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam
kegaiban yang gaib. Sedangkan ilmu Shifati [ilmu yang berdimensikan
sifat-sifatNya], tiada akan pernah bisa diketahui, melainkan pasca
terjadinya sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan
tersebut tidak akan bisa dipahami kecuali oleh al Ghuraba’ [insan-insan
yang gharib], tidak ada yang bisa merasakan, kecuali para pejalan yang
telah menggapai Kasyf [pengetahuan intuitif]. Di antara mereka ada yang
ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Bashar, yang sedemikian itu
tatkala Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hamba tersebut dengan sifat
al Bashariyah [penglihatan], al Ilmiyah [pengetahuan], al Ihaathiyah
[peliputan] dan al Kasyfiyah [intuisi]. Dia memanifestasikan Diri-Nya
kepada hambaNya dengan sifat al Bashar [melihat]. Maka penglihatan hamba
itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan rujukan ilmunya
bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu dimuarakan
kepada makhlukNya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq, ia
dapat melihat segala wujud [Maujudaat], seperti ketika Maujudaat itu
berada di kegaiban yang gaib [Ghaib al Ghaib].
Sungguh merupakan
kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu keterpesonaan yang
mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak diacuhkan oleh kebanyakan
orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam asy
Syahadah [alam realitas]. Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan
pemandangan ketinggian nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang
dan jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa
banyak keterpesonaan yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri
anda manusia yang memiliki penglihatan sehat dan jelas, namun tidak
mampu menembus pandangan yang terang dan jelas. Sebab banyak sekali para
hamba yang ditajallikan sifat-sifatNya pada dirinya, namun sifat
kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga sifat-sifat
ketuhananNya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala sifatNya dan
sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disitu,
namun hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni
kegaibanNya tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit
insan saja. Penampakkan al Haq pada hambaNya melalui sifatNya merupakan
bentuk pemuliaan Diri kepadanya inti [dzat]-Nya, yang kehadiran-Nya
adalah kegaiban hamba-Nya dan kegaibannya adalah kehadiran al Haq.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya
as Sam’u yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al
jamadaat [benda-benda padat], tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta
perkataan para malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta
ujaran-ujaran makhluk yang lain. Demikian pula sesuatu yang jauh bagi
hamba itu terasa dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq
memanifestasikan DiriNya dengan sifatNya as Sam’u, hamba tersebut bisa
mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an sifat tersebut ragam bahasa, multi
ujaran komunikasi benda-benda padat dan hewan-hewan. Dalam etos tajalli
ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah menyimak ilmu
Rahmaniyah dari ar Rahman, telah belajar membaca Al Quran secara hakiki,
beliau pun merasa tidak lebih dari sebuath ar Rithlu [delapan ons]
sedangkan DIA adalah al Mizaan [neraca timbangan]. Realita ini tidak
bisa dipahami, kecuali oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli keilahian
yaitu insan-insan khawas [golongan istimewa] yang menjadi kekasihNya. Di
antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al
Kalaam, yang dengan itu semua Maujudaat [segala wujud], berasal dari
Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya,
kepada hamba itu melalui sifatNya al Hayatiyah. Kemudian Dia mengajari
hamba itu dengan sifat ‘AliimNya, bahwa segala rahasia hidup dan
kehidupan berasal dari DiriNya, lalu Dia memperlihatkan dan
memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam’u-Nya
berikut dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara
dengan Kalam-Nya, jadilah segala wujud dair kalamNya. Saat itulah sang
hamba menyaksikan dengan kalamNya, dalam capaian spiritual ini keazalian
segala sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada akan pernah habis
dan tidak pula berakhir.
Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi
dengan hambaNya tanpa Hijab [tirai penghalan] nama-nama pra
penampakannya. Di antara para audien tersebut ada yang bisa beraudiensi
dengna inti [dzat]-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak pembicaraan yang
datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan suara,
penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan
bukan dengan telinga. Dikatakan kepada hamba tersebut :
kau adalah
cinta Ku, kau adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan
diharapkan, kau adalah wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan
utama, kau adalah pencarian tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam
segala rahasia, kau adalah cahaya Ku dalam segala cahaya, kau adalah
permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah keindahan Ku, kau
kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti [dzat]-Ku, kau sifat Ku. Aku
adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu.
Duhai kekasihKu, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud
dari segala wujud dan Huduts [kebaruan]. Dekatkan dirimu kepada
penyaksianKu, maka Aku akan dekatkan diriKu kepadamu dengan wujudKu,
jangan kau jauhkan dirimu dari Ku, sebab Akulah yang berfirman : “Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [QS Qaaf (50) ayat 16].
Jangan kau belenggu dirimu dengan isim [nama] seorang hamba, kalau
bukan karena adanya Rabb, maka tidak akan pernah ada ‘Abd [hamba]. kau
tampakkan Diri Ku, seperti Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena
ubudiyah [ritus peribadatan]mu, niscaya tidak akan tertampakkan
Rububiyah [ketuhanan] Ku, kau menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti
halnya Aku menjadikan dirimu, kalau bukan karena wujudmu, maka wujud
tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling dekat dari segala yang
terdekat. Cinta Ku paling tinggi dari segala yang tertinggi, cinta Ku
menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih dirimu untuk Diri
Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan keluarkan
Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah
garam dalam makanan. Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logikamu dalam
pengetahuan. Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan
inderawi, membuat Ku tersentuh dalam sentuhan. Kekasih Ku, kau adalah
muara harapan Ku, sentra penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku.
Betapa indah kebersamaan Ku denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan
Diri Ku.
Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq
melalui lisan makhluk [ciptaan]Nya, ia menyimak pembicaraan dari satu
arah tertentu, akan tetapi ia sangat mafhum [faham], bahwa ungkapan itu
bukan keluar dari arah tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar
dari lisan makhlukNya. Ia bisa memakrifahi sejatinya perkataan tersebut
berasal dari al Haq adapun ragam pembicaraannya sangatlah banyak, yang
tidak mungkin kita rinci dalam karya ini. Diantara para audien itu ada
yang dilanglang buanakan al Haq dari alam jisim ke alam ruh, audiensi
bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi. Di antara para audien itu ada
yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, di antara mereka ada yang
diterbangkan dengan ruhnya ke lapisan pertama langit dunia, ada pula
yang diterbangkan dengna ruhnya ke langit lapis kedua dan ketiga,
diantara mereka ada yang diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak
bicara disana. Tingkat pembicaraan masing-masing insan yang diajak
bicara al Haq tersebut, tergantung daripada kemampuan mereka memasuki
dan memakrifahi dunia hakikat, sebab al Haq tidak akan meletakkan
sesuatu melainkan pada tempatnya.
Pada saat pembicaraaan itu, di
antara mereka ada yang diberikan contoh [permisalan] cahayaNya yang
dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya, di antara mereka ada yang
dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir [yang menerangi] bersumberkan
cahayaNya. Di antara mereka ada bisa melihat cahayaNya dalm batinnya,
yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya Ilahiyah
[ketuhanan] tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan
dengan berbagai citra. Di antara mereka ada yang melihat citra ruh, yang
memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab
[pembicaraan], kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah
sejatinya al Mutakallim [Sang Pembicara]. Kalamullah, adalah sebuah
realita yang sangat nyata, tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya,
bahwa kekhususan Kalamullah tidak samar [tersembunyi]. Orang seorang
yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil maupun keterangan,
terlebih al Burhan [aksioma], sebab dengan penyimakan tersebut sang
penyimak memakrifahi [memahami] dengan penuh keyakinan bahwasanya Kalam
[ujaran] itu adalah Kalamullah. Di antara yang diajak bicara itu ada
yang diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya :
KekasihKu, ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku.
Kekasih Ku, ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku,
Aku adalah untukmu bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan,
kau untuk diri-Ku bukan untuk dirimu. Cinta Ku ... kau adalah nuqta
[titik], di atas peredaran wujud, kau adalah cahaya. Kau adalah
manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata
dalam struktur tubuh manusia.
Diantara para audien itu ada yang
dipanggil, melalui dimensi kegaiban, serta dapat mengerti warta-warta
sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi karena permintaan mereka
kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan ujaran-ujaran
tersebut. Di antara mereka ada meminta karamah [kelebihan], al Haq pun
memuliakannya dengan karamah, sebagai dalilnya untuknya jika kembali ke
alam indrawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual [maqom] nya di
hadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin [insan yang
diajak bicara] al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian
manifestasi sifat-sifatNya.
Di antara mereka ada yang
ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Iradah. Ketahuilah
bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan iradah
[kehendak] al Haq, manakala Dia bermanifestasikan dengan sifat al
Mutakallim [berbicara], Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallimin
[ujaran-ujaran]Nya kepada segenap makhlukNya, al Mutakallimin [para
audiens]-pun menyimak ajaran-ajaranNya sejalan dengan kehendakNya.
Mayoritas para insan yang telah Wushul [sampai] pada tajalli ini,
kembali mundur ke belakang. Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang
mereka lihat, yang sedemikian tatkala al Haq mempersaksikan kepada
mereka dengan kesaksian inti [dzat] bahwa segala sesuatu berjalan dengan
IradahNya di alam Ghaib Uluhiyah [ketuhanan]. Mereka lantas mencari
penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita ini, jelas realita
itu mustahil terjadi di alam Syahadah [alam realita] ini, karena hal
itu merupakan kekhususan dua inti [dzat]. Mereka lalu mengingkari
kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka melangkah mundur, dan
hancurlah kaca kalbu mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka
telah menempuh raihan Syuhud [penyaksian], serta hilang [gaib] sesudah
wujud.
Diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan
sifatNya al Qudrah, segala sesuatu terjadi dengan qudrahNya di alam
gaib, Dia menampakkan contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam
kasat mata ini. Jika seorang hamba terus intensif memelihara tajalli
ini, maka capaian spiritualnya akan meningkat, akan ditampakkan
kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.
Pada tajalli ini
Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah mendengar Shalsahalah al
Jaros [bunyi lonceng], struktur tubuh beliau terpencar, citranya
semburat, namanya terhapus, karena keterpesonaan [Haybah] nya yang amat
sangat, beliau seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon,
dihempas angin kencang, lambat laun terlempar dari pohon tersebut. Pada
kondisi spiritual seperti itu, beliau tidak melihat, melainkan Buraq,
awan putih yang kemilau yang mengguyurkan hujan cahaya-cahaya, serta
samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa berbenturan,
beliau merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis. Qudra
itu terus menciptakan untuk dirinya kekuatan-kekuatan Haybah
[kedasyatan], Qudra itu membakar dirinya dengan nafsu-nafsu, hingga Sang
Maha Perkasa membawanya ke hanggar keilahian, tampak keindahan yang
terindah dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal.
Imajinasi menari-nari membentangkan karya ciptaan dan asumsi beliau
menari-nari ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala
sesuatu. Setelah beliau kembali kepada rasi-rasi bintang [falaq] al Mulk
kekuasaan-Nya, tiba-tiba terdengar suara keilahian :
“wahai langit dan bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintahKu, dengan suka hati atau terpaksa.” [QS Fushilat (41) : 11]
Di antara wajah manifestasi [Tajalli as Shifat] ini adalah, polarisasi
obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini
terwajahkan dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi
imajinatif yang penuh dengan keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga
menampakkan sihir kelas tinggi, dalam manifestasi ini : penghuni surga
berbuat apa saja yang mereka kehendaki, juga keajaiban benih yang ada di
tanah yang dipakai menciptakan Adam as, seperti yang telah disebutkan
Ibnu Arabi dalam kitab beliau. Dalam tajali ini : manusia yang berjalan
di atas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu menjadi banyak,
dan banyak menjadi sedikit, dan banyak lagi panorama kejadia luarbiasa
dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian menjadi heran,
sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu macam, namun
memiliki ragam wajah, kenyataan itu melahirkan dimensi kebahagiaan dan
kepedihan, seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan bahagia, insan
yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki akan sedih. Pahami
seksama metafora dan isyarat yang ada.
Kami telah berusaha
memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat yang berserak dari
realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman rahasia yang
tersimpan di dalamnya memerlukan tafakur yang optimal untuk
menyingkapnya. Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian
pemahaman hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia
Qudrah yang terhijab dan tersimpan. Pada khazanah capaian ini, anda bisa
berkata kepada sesuatu : Kun [jadilah] Fa Yakun [maka jadilah] sesuatu
yang anda ujarkan tersebut, itulah sejatinya amar-Nya yang terdapat di
antara Kaf dan Nun.
Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya
dengan sifatNya ar Rahmah, yang sedemikian itu setelah dinisbatkan
kepadanya Arsy ketuhanan [Rububiyah], dan dikuasakan kepadanya sifat
RabbNya, diletakkan kepadanya Kursi kemampuan Maujudaat [segala wujud]
dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti [dzat]-Nya,
penggerak sifat-sifatNya, ia melantunkan ayat-ayat :
“Katakanlah :
Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang-orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau
masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam,
Engkau keluarkan hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati
dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapapun yang Engkau kehendaki
tanpa hisab.” [QS Ali Imran (3) ayat 26-27].Kesemua itu di alam gaib-Nya
tersucikan dari keraguan, serta sebuah kemestian yang tak terbantahkan,
disinilah esensi perbedaan di antara dua sifat dan dua inti [dzat]. Di
antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al
Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak belakang,
semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan
alam ketinggian. Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikan, kulit dan
isi telah terkupas, segala sesuatu terlihat : “Laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi
bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun, dan
didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup.” [QS An Nur (24) ayat 39]
diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya : “Dan
dikatakan : Binasalah orang-orang yang zalim.” [QS Hud (11) ayat 44]
Ketahuilah bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis,
memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang
ditegaskan al Haq dalam firman Qur’ani : “Banyak orang yang disesatkan,
dan banyak pula orang yang diberi petunjuk.” [QS Al Baqarah (2) ayat
26].
Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya tanpa Cahaya, dan ia [Nur]
merupakan Shiratullah [jalan Allah]. Seseorang yang berjalan di bawah
CahayaNya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan dengan selain
CahayaNya akan sesat.
Sekilas Otobiografi :
Syeikh Abdul
Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili terlahir dari klan keluarga sufi agung
Syeikh Abdul Qadir Al Jailaini, pada tahun 767H [1366 M] di pemukiman
yang bernama Al Jailan, salah satu distrik di kota Bagdad, Irak. Beliau
wafat pada tahun 826H atau 1424 M di kota Zabidah, Yaman. Beliau adalah
seorang pengembara sejati yang telah berkelana ke berbagai negara.
Beliau adalah “penggila” ilmu pengetahuan. Beliau dikenal sebagai sosok
penuntut ilmu yang giat, pakar ilmu Geografi, Pedagogi Ilmu Filsafat,
Ilmu Logika, Grametika dan Rahasia Huruf, Perbandingan Agama dan
Ilmu-ilmu lain yang sedang mewacana di anak zamannya, dan masyur sebagai
intelektual nomor wahid. Ia telah mengkaji semua kitab-kitab suci dan
aqidah-aqidah agama, sangat mahir bersemantis logika, pembicaraannya
sangat tertata, tutur katanya lembut, logikanya sangat teratur, sikapnya
sangat santun, ia bersedia belajar kepada siapa saja, selama melahirkan
kontribusi positif bagi pengetahuan dirinya dan mendekatkan dirinya
kepada Allah. Beliau juga populer sebagai pakar studi ilmu perbandingan
agama. Di hadapan pemeluk agama lain, beliau mampu menunjukkan
kesejatian Islam, hingga tidak sedikit orang yang memaklumatkan
keislamannya di hadapan Al Jai