Wudlu’ kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan,
kepala, telinga maupun kaki. Wudlu’ diposisikan sebagai amaliah yang
benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari
kegelapan jiwa. Dalam
Wudlu’lah segala masalah dunia hingga
akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi
hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.
Bahkan dari
titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral
kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa
memiliki Wudlu’ secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa
pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan
sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan
usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…”
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia
harus berwudlu’ jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit
dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit
duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.
Ia harus
bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki “Sholat” hakikat dalam
munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.
Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.
Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita
adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata,
banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut
kita adalah mulut syetan.
Mulut kita lebih banyak menjadi lobang
besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar
dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang
membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, betapa
berlimpah ruahnya fatwa amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar
dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa
kita. Karena yang mendorong amar ma’ruf nahi mungkarnya bukan Alllah,
tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya,
kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.
Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah
hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap
waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah
padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar
yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah
Kuasa Yang Menolongku.
Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu
membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku
dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.
Baru
kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita.
Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari
aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan
dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…
Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.
Selanjutnya:
“Basuhlah wajah-wajahmu…”
Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci
dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun
pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh
penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya
setiap hari kita Wudlu’ membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita
tidak hadir menghadap Allah, tidak “Fa ainamaa tuwalluu fatsamma
wajhullah…” (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah
Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan
nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus
menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta’ala? Ini semua karena
kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun
kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa
kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan
ma’rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.
Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah
terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan,
bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng
fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan
bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau
jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat
kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita,
flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan
wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas
menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam
yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang
berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan,
bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu
memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.
Banyak
orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak
orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang
yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan
duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan
ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam
kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.
Oh,
Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau
putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan
wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah
musuhMu.
Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…
“Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…”
Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu
syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada
tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan
khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi
amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi
duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.
Tangan-tangan kita telah
merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa
dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita.
Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap
Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek
pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.
Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma’rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.
Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…
Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita,
memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan
lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah
di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.
Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta,
tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita
menunduk kepada Allah Ta’ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi
dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah
hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.
Mari
kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali,
tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis
gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan
dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada
berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah
Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan
membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi
kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu
kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi,
kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan
mendongak.
Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang
Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi,
terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di
hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku
berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu,
dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh,
Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…
Usap kedua
telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda
kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik
kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi
gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik
duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan.
Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?
Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan
yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan
telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama
hamba-hambaMu yang baik.
Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.
Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:
Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang
berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan
kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset
ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya,
oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air
akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.
Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu
menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan
Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air
salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang
menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa,
pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap
basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A’lam.