Hal
yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang
bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang
harus diterima. Sehingga dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang
perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga
ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata
bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani,
bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan
menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Qur’an dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir,
ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang
umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz,
ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh
dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya
mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan
menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/
Fungsi
sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan
religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka
mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh).
Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau
menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat
dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il
bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin
‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari
hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan
mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka
ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR
Bukhari 98)
Contoh salah satu kaidah ushul fiqih
المثبت مقدم على النافى
Artinya: “ Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan “.
Kita
telah melihat kenyataan bahwa para pengikut ajaran atau pemahaman
Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
atau firqah
Wahabi yang telah memerintah Kerajaan Saudi
Arabia sejak tahun 1925 telah menetapkan bahwa imam shalat tidak membaca
"Bismillah" pada permulaan Fatihah dan juga tidak membaca qunut dalam
shalat shubuh, tetapi kalau shalat tarawih 23 raka'at (termasuk witir).
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/
bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah
bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi
kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau
firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan
sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa
sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA
menyampaikan pada
http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html
bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab
Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat
tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas
Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh
pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi ketika sebuah
jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah
ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman
sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal
maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Sedangkan
Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab,
Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka
bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi
(diikuti) oleh kaum muslim
Ulama yang sholeh terdahulu
kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah
Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau
Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan
1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal
Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA
No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah
sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu
Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman
Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Sebagaimana tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy
Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa
Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10
menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab ,
Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada
http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya
jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada
timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4
mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan
faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang
jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada
kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka
Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal
Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana
wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu
Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim
Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin
Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal
keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Marilah
kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang
menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan
tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan
(menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi:
2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul
Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan:
“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul
a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi
perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).”
(HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu
Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah
hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi
Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan
pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah
bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab
yang empat.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat
semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang),
sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.
Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak
(relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh
jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya
berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab
yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah
atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim
mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain
salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang
empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan
perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman
semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
Silahkan baca serangkaian tulisan sebelumnya yang terkait pada
1.
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/27/dibalik-ajakan/ tulisan
tentang salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa
kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush
Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.
2.
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/10/abaikan-kaidah-tafsir/
tentang akibat memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama
salaf (terdahulu) bersandarkan arti bahasa saja dapat terjerumus
bertasyabuh kepada kaum Nasrani yang ghuluw (melampaui batas) dalam
beragama yakni melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau
mengharamkan yang sebenarrnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang
sebenarnya tidak diwajibkanNya
3.
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/12/cara-membuat-fatwa/ tentang
akibat
memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf
(terdahulu) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya
selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa saja adalah dapat
terjerumus kekufuran dalam i’tiqod
4.
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/14/penguasa-memaksakan-kehendak/
tentang kemudharatan seperti konflik yang dialami oleh umat Islam
sehingga terjadi pertumpahan darah diakibatkan karena penguasa negeri
tidak lagi mentaati nasehat ulil amri yang sebenarnya
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/
bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal
sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang
yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka
terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang
kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang
empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita
telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama
non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan
misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi
kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke
hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah
dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu
akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan
Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat
Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah
dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang
telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/
Mereka
yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak
(shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti
“kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
Mereka
mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha
al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits
itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami
dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan
menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka
bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan
langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam
Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau.
Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang
bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam
Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i)
ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab.
Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu
atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa
dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku
murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang
yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i
sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang
ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau
sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan
Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun
tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata,
“Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta
penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu'
Syarh Al-Muhadzab" 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan:
”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan
dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid
mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada
http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu
kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits
jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal
oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari
jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal
300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal
oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits
yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Mereka pada
umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata:
“Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan
tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli
yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin
mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam
tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada
http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
Definisi
madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para
pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana
disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj.
(lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan
definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup
pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya.
Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi kepada madzhab?
Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab? Tentu, itu bisa
terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar
dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’
Syarh
Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As
Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi
mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
Mufti
mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam
madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq.
Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis
madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As
Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama
ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat,
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan
mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya
adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni,
mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat)
atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti
metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh
ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani
dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh
Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin,
hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa
Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i
mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As
Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan
Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti
golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i
yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam
lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi
Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku
kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah
sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak
bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan
ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak
mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih
yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa
jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan
manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang
bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para
pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama
sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al
Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada
derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini
tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid
walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam
Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam
masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa
nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As
Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab
Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’,
baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki
kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan
menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana
para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan
diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Imam
An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada
derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan
masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga,
orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada
mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai
derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin
Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan
Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al
Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan
ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al
wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan
tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi
Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan
adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab
sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab
juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap
pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk
mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi
menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan
Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah,
hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam
corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya
Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin.
Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang
rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan
mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa
madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak
memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti
yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari
pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid
madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami,
Imam
Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau
sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa
masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin,
hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka
ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa
masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya.
Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui.
(lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun
tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana
yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang
demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah
Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti
yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya
para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam
madzhab.
Penutup
Imam An Nawawi
menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah
disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap
menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang
dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum
memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal
yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu,
amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti
muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli
masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak
anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban
menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk
mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami
seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan
menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah
al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al
Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai
kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan
kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk
terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai
dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
******* akhir kutipan *******
Dalam
perkara membaca qunut ketika sholat Subuh banyak nash yang menjelaskan
dan menetapkan bahwa Rasulullah membacanya dan yang ditinggalkan
adalah qunut dengan melaknat
Dari Abi
Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila
bangun dari ruku’-nya pada shalat shubuh di rakaat kedua, beliau
mengangkat kedua tanggannya dan berdoa: Allahummahdini fii man
hadait…dan seterusnya.” (HR Al-Hakim dan dishahihkan)
Dari
Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mengajari kami doa untuk dibaca dalam qunut pada shalat shubuh. (HR
Al-Baihaqi)
Dengan adanya beberapa hadits ini, maka para
ulama salaf seperti Imam Asy-Syafi’i, Al-Qasim, Zaid bin Ali dan
lainnya mengatakan bahwa melakukan doa qunut pada shalat shubuh adalah
sunnah.
Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid
III/504 sebagai berikut :“Dalam madzab Imam Syafi’i disunnatkan qunut
pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan
hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang
sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar
as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib,
Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini
diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang
tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya
Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”
Dalam
kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :“Tidak
ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika
terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam
menyukai”.
Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab
Al-Mahalli jilid I/157 :“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua
dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga
akhirnya”.Demikian keputusan hukum tentang qunut subuh dalam madzab
Imam Syafi’i.
Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadith berikut,
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan
kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Hisyam dari
Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukan doa qunut selama sebulan, beliau mendo’akan kebinasaan
terhadap sejumlah penduduk dusun arab, setelah itu beliau
meninggalkannya. (HR Muslim 1092)
Hadits tersebut kita
akui sebagi hadits yang sahih dan terdapat dalam kitab Bukhari dan
Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata
“thumma tarakahu” , “setelah itu beliau meninggalkannya”
Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu ?
Untuk
menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jld.3, hlm.505 maksudnya: “Adapun jawaban
terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah r.a dalam ucapannya dengan
(thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa melaknat
kepada orang-orang kafir itu saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut
atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran seperti ini
mesti dilakukan karena hadits Anas di kesempatan yang lain adalah
’sentiasa Nabi qunut di dalam solat subuh sehingga beliau meninggal
dunia’ adalah shahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara
kedua-duanya.”
Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman
bin Madiyyil, bahwasanya beliau berkata, maksudnya: “Hanyalah yang
ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.” Tambahan lagi pentafsiran
seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi,
maksudnya: “Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas
mereka.”Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi
yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg
ditinggalkan, bukan qunut pada waktu sholat subuh.
Sedangkan
dalam perkara membaca "bismillah", sebagai kaum muslim kita
berprasangka baik bahwa imam membaca "bismillah" namun dengan sirr
(tidak dikeraskan membacanya)
karena Imam Ishak bin
Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi
Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’,
atau sin, atau mim dari basmalah, maka shalatnya batal, karena Al-hamdu
(Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr
A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).
Diriwayatkan
dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah shallallahu alaihi wasallam
membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn shalat, dan beliau
menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37],
Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan
lain-lainnya dengan isnad shahih).
Diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa
sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
menjaharkan
(bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas,
diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi
dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa
Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid
[II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan
rijal-nya mautsuuquun (terpercaya)
Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat
hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20
tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia
membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an
hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin.
Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan
Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu
Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian
mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya
aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah shallallahu
alaihi wasallam daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134;
Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shahihnya [II:266
dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah
dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184
;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam
Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam
kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya
shahih. Dan hadits itu dishahihkan oleh sejumlah para penghafal hadits
seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia
mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi
Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shahih mengenai hal
tersebut)
Perkataan orang yang menyebutkan
bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. kadang-kadang melirihkan
dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar.
Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak.
Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum)
yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya
menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan
atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
Ada
pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat
dibelakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam., Abu Bakar, Umar
dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah
Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi
Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”.
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di
antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, yang
diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52].
Hadits
tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang
menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang
melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits
tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu
bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah
seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin
dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.
Begitupula
Buya Hamka juga mempergunakan kaidah ushul fiqih “Yang menetapkan
lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”
**** awal kutipan *****
Masalah Jahr dan Sirr bacaan Basmalah
Didalam Buku Tafsirnya, Hamka membahas masalah Jahr dan Sirr ini secara panjang lebar pada halaman 122-131 (10 halaman).
Dalil-dalil golongan yang memilih (Madzhab) jahar.
Hadis
1, (Hadis fi’li). Dirawikan oleh jama’ah dari pada sahabat-sahabat, di
antaranya Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali bin Abi
Thalib, Samurah bin Jundab dan isteri Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam Ummu Salmah. Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
men-jahar-kan membaca Bismillahir Rahmanir Rahim.
Hadis fi’li adalah hadis yang menceritakan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
Hadis
2, (bukan Hadis Nabi tetapi Atsar sahabat). Ada pula satu riwayat dari
Na’im bin Abdullah Al-Mujmar. Dia berkata: “Aku telah sembahyang di
belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir Rahmanir
Rahim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur’an.
Setelah
selesai sembahyang diapun, mengucapkan salam lalu berkata kepada kami:
“Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangku dengan sembahyang
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hadits ini
dirawikan oleh An-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu
disambungnya; “Adapun jahar Bismillahir Rahmanir Rahim itu maka
sesungguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam
Hadits
ini dirawikan pula oleh Ibnu Hibbaan dan Al-Hakim atas syarat Bukhari
dan Muslim. Dan berkata Al-Baihaqi: ‘Shahih isnad-nya”.
Hadis
3, (Hadis fi’li). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa
memulai sembahyangnya dengan men-jahar-kan Bismillah.
Tentang ini ada riwayat dari Ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari Al-Hakim.
Adapun yang me-NAFI-kan Jahar dan yang memandang lebih baik SIRR saja, mereka berpegang pula kepada Hadits:
Hadis
4, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis sahabat). “Dari pada Ibnu Abdullah
bin Maghfal: “Aku dengar ayahku berkata; padahal aku membaca Bismillahir
Rahmanir Rahim. Kata ayahku: “Hai anakku. Sekali-kali jangan engkau
mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu:
“Tidak
ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dan bersama Abubakar, bersama Umar dan bersama Utsman, maka tidaklah
pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu
janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah
Alhamdulillahi Rabbil Alamin”. (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali
Abu Daud). Hadits ini di Hasankan oleh At-Turmudzi.
Definisi
Hadis Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah : “Hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung
sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak janggal.”
Kemudian Hamka menguraikan kelemahan Hadis ini sebagai berikut:
Hadits
inipun diperkajikan orang karena Al-Jariri merawikannya seorang diri,
dan setelah tua, fikirannya kacau, sebab itu Hadits yang dirawikannya
diragukan. Kemudian Abdullah bin Maghfal, yang jadi sumber pertama
Hadits ini. Setengah ahli Hadits mengatakan bahwa dia itu Majhul
(seorang yang tidak dikenal).
Kontroversi Hadis Anas bin Malik r.a.
Anas
bin Malik r.a. adalah pelayan Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam selama 10 tahun dan juga sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan
Hadis. Beliau meriwayatkan masalah Bismillah ini di 2 Hadis yang
saling bertentangan
(1) Hadis Anas r.a. yang men-jahar-kan :
Hadis
5, (Hadis fi’li). “Ditanyakan orang kepada Anas, bagaimanakah bacaan
Nabi shallallahu alaihi wasallam maka diapun menjawab: “Bacaan Nabi
adalah panjang”
Kemudian beliau baca Bismillahir Rahmanir
Rahim; dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada
Ar-Rahman, dan Ar-Rahim” (Dirawikan oleh Bukhari).
Menurut pendapat yang menjahar : tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya.
(2) Hadis Anas r.a. yang men-sirr-kan.
Hadis
6, (Hadis fi’li). “Dari pada Anas bin Malik, berkata dia: “Aku telah
sembahyang bersama Rasululah shallallahu alaihi wasallam, Abubakar, Umar
dan Utsman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun dari pada mereka
yang membaca Bismillahir Rahmanir Rahim
”. (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim).
Karena kontroversi ini maka ditanyakan kepada Anas r.a. diwaktu beliau sudah tua sebagai berikut:
Hadis
7, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis Sahabat). Hadits yang dirawikan oleh
Ad-Daruquthni dari Abi Salmah, demikian bunyinya. “Aku telah tanyakan
kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan
Bismillahi Rahmanir Rahim? Beliau menjawab: “Engkau telah menanyakan
kepadaku satu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang
lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau”. Lalu saya tanyakan
pula: “Apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sembahyang
dengan memakai sepasang terompah; Beliau jawab: “Memang ada!”.
Setelah membahasnya secara panjang lebar (10 halaman), Hamka menyimpulkan :
(1)
Kedua pihak yang men-jahar-kan dan men-sirr-kan tidak membawa Hadis
qauli (dimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menyuruh membaca
atau tidak membaca Bismillah) melainkan hanya Hadis fi’li (menyaksikan
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan/atau sahabat membaca /
tidak membaca Bismillah), atau bukan Hadis Nabi melainkan Hadis Sahabat
saja.
(2) Karena Hadis Anas bin Malik r.a. adalah Hadis Sahih yang kontroversi maka dipakai Qaidah Ushul Fiqh dan Ilmu Hadits bahwa :
“Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”.
(3) Maka sandaran pihak yang men-sirr-kan tinggal Hadis Sahabat saja (Hadis nomor 7).
Akhirnya Hamka menganggap bahwa yang dalilnya lebih kuat adalah dari pihak yang men- j-a-h-a-r-kan Bismillah.
**** akhir kutipan ****
Dalam
perkara shalat yang merupakan bentuk ibadah yang dipraktekkan maka
kitapun dapat bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul
bait, keturunan cucu Rasulullah karena mereka mendapatkan pengajaran
cara sholat Rasulullah dalam bentuk praktek yang mereka peroleh dari
orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada apa yang
dipraktekkan oleh sayyidina Ali karramallahu wajhu yang diajarkan secara
langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga lebih
terpercaya daripada mengikuti pendapat ulama kemudian (khalaf) yang
berkesimpulan dari upayanya memahami hadits yang ada bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri dan tidak dikenal berkompetensi sebagai imam mujtahid
mutlak.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat
kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh
Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil
ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang
yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru
bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya,
tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman
dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Dari
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”
Untuk
menjawab mengapa mereka tidak menukil atau berfatwa berdalilkan
perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina
Ali karamallahu wajhu maka kita telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah
terhadap Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu sebagaimana contoh yang
termuat pada
http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Jadi
berdasarkan contoh informasi dari situs tersebut maka kemungkinannya
Ibnu Taimiyyah tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau
mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu
wajhu adalah karena
Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa
Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum
baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau
berperang karena cinta kedudukan.
Sedangkan Sayyidina Ali
karramallahu wajhu sebagaimana sabda Rasulullah , “Aku adalah kota
ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka barangsiapa yang inginkan ilmu
maka hendaklah datang melalui pintunya (Ali).”
Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”
Kita
dapat menemukan mereka yang meninggalkan para ulama yang sholeh dari
kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena menganggapnya
sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/
Padahal
para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari
dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah /
keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun
praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun
tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2.
Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi
(mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah
dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki
ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat
yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan
melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).
Sehingga
para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran
sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Bahkan dapat pula kita temukan orang-orang yang membenci, ahlul bait.
Mereka
adalah An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan
nashibi adalah orang-orang yang membenci ahlul bait , keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Imam at Tirmidzi
dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra.,
ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah
aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul
baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i
~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian
adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti
betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Jabir
ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada
hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi
untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai
sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara
yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu
kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah ,
bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu
Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku
meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh
dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari
perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu
kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara
lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan
berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan
perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya
sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi
dalam Sunan-nya no. 3788)
Cara untuk menelusuri kebenaran
adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad
guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada
asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu
hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi
dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun,
jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa,
maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan:
“Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu
menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan
ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia
diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti
mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang
berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak
berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena
sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja
yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Tanda
atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah
pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat
gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah
serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour
al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah
agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk
meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang
kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia
mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung
kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan
demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara
lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam
Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan
manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam
Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah
bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam
Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;
“Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya,
tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal.
203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari
orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an
dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Ilmu
agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang
tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku
sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani
Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan
sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR
Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat
makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat
yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan
secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami
kalimat “pewaris para Nabi”
kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:
1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi
ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh
sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi
wasallam.
Pada
hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan
namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan
imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode
hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah
dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan
memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum
memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan
menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika
kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena
kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk
menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini,
walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap
terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas
Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an
bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia
adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun
penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya
dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari
dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur
’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan
demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa
yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi
tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami
taat) bukan kami baca dan kami taat
Wassalam