Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Minggu, 20 Desember 2015
Pintu Guru Yang Tersembunyi
Bismillaahirrahmaanirrahim
Inilah suatu pasal pada menyatakan pintu guru yang tersembunyi yang tiada diajarkan kepada orang-orang yang belum belajar tentang Ilmu Tauhid atau Sifat 20 (dua puluh), sebab buku ini berisi perihal orang-orang mengenal diri atau tata cara mengenal Allah pencipta Alam dan segala isinya supaya sempurna segala amal ibadahnya.
Adapun di dalam tulang kepala itu Otak
Di dalam Otak itu Ma’al Hayat atau Air Hidup
Di dalam Ma’al Hayat itu Akal
Di dalam Akal itu Budi
Di dalam Budi itu Roh
Di dalam Roh itu Mani
Di dalam Mani itu Rasa
Di dalam Rasa itu Nikmat
Di dalam Nikmat itu Nurullah
Di dalam Nur Muhammad
Firman Allah “AWWALU TAJLI ZATTULLAH TA’ALA BISIFATIHI
Artinya : Mula-mula timbul Zat Allah Ta’ala kepada Sifatnya
AWWALU TAJLI SIFATULLAH TA’ALA BIASMA IHI
Artinya : Mula-mula timbul Sifat Allah Ta’ala kepada namanya
AWWALU TAJLI ASMADULLAHI TA’ALA BIAP ALIHI
Artinya : Mula-mula timbul nama Allah ta’ala kepada perbuatannya
AWWALU TAJLI AF ALULLAHI TA’ALA BIINSAN KAMILUM BIASMAI.
Artinya : Mula-mula timbul perbuatan Allah Ta’ala kepada Insan yang Kamil yakni Muhammad RasulNya
QOLAH NABIYI SAW : “AWALUMAA KHALAKALLAHU TA’ALA NURI”
Artinya : Berkata Nabi SAW, yang mula-mula dijadikan Allah Ta’ala Cahayaku, baharu Cahaya sekalian Alam
QALAN NABIYI SAW : “AWWALU MAA KHALAKALLAHUTA’ALA RUHI"
Artinya : Yang mula-mula dijadikan Allah Ta’ala Rohku, baharu roh sekalian alam
QOLAN NABIYI SAW : “AWWALU MAA KHALAKALAHU TA’ALA QOBLI”
Artinya : Yang mula-mula dijadikan Allah Ta’ala Hatiku, bahru hati sekalian alam
QOLAN NABIYI SAW : “AWWALU MAA KHALAKALLAHUTA’ALA AKLI”
Artinya : Yang mula-mula dijadikan Allah Ta’ala Akalku, baharu akal sekalian alam
QOLAN NABIYI SAW : “ANA MINNURILAHI WA ANA MINNURIL ALAM”
Artinya : Aku cahaya Allah dan Aku juga menerangi Alam
HADIST : "AWALUDDIN MA’RIFATULLAH”
Artinya : Awal-awal agama adalah mengenal Allah
Sebelum mengenal Allah terlebih dahulu kita disuruh mengenal diri, seperti Hadist : "MAN’ARA PANAP SAHU PADAD’ARA PARABBAHU”
Artinya : Barang siapa mengenal dirinya, mengenal ia akan Tuhannya
“MAN ‘ARA PANAPSAHU PAKD’RA PARABBAHU LAYA RIPU NAPSAHU"
Artinya : Barang siapa mengenal Tuhannya, niscaya tiada dikenalnya lagi dirinya
"MAN ‘ARA PANAPSAHU BILFANA PAKAD’ARA PARABBAHU BIL BAQA”
Artinya : Maka barang siapa mengenal dirinya binasa, niscaya dikenalnya Tuhannya kekal
"KHALAK TUKA YA MUHAMMAD WAKHALAK TUKA ASY YA ILA ZALIK"
Artinya : Aku jadikan Engkau karena Aku dan Aku jadikan Alam dengan segala isinya karena Engkau Ya Muhammad
Firman Allah : “AL INSAN SIRRU WA ANA SIRRUHU”
Artinya : Insan itu RahasiakKu dan Aku Rahasia Insan
“WA AMBATNAL ABRU RABBUN AU ZAHIRU RABBUN ABBUN”
Artinya : Adapun bathin hamba itu Tuhan dan Zahir dan Tuhan itu hamba
“LAHIN HUWA WALAHIN GHAIRUH”
Artinya : Tiada ia tetap dan tiada ia lain dari ia
Firman Allah Ta’ala didalam Al-quran : “FAHUWA MA’AKUM AINAMA KUNTUM”
Artinya : Di mana saja Engkau berada (pergi) Aku serta kamu
"HUWAL AWWALU WAL AKHIRU WALBATHINU WAZZAHIRU”
Artinya : Ia jua Tuhan yang awal tiada permulaannya, dan Ia jua Tuhan yang akhir tiada kesesudahannya, Ia jua bathin dan Ia jua Zahir
Dalam pandangan Ma’rifat kita kepada Zat Allah Ta’ala itu, “LAISA KAMIS LIHI SYAIUN" tiada seumpamanya bagi sesuatu, dan bukan bertempat.
Adapun Ma’rifat kita atau pengenalan kita akan diri diperikan AF 'ALULLAH, adapun Ma’rifat kita akan AF ‘ALULLAH, LAHAU LAWALA KUWWATA ILLAH BILLAHHIL’ALI YIL’AZIM. Artinya : Datang daripada Allah dan kembalinya kepada Allah jua segala sesuatu, sesuai dengan hadist Nabi yang berbunyi demikian : “MUTU ANTAL KABLAL MAUTU”. Artinya : Matikan diri kamu sebelum mati kamu.
Adapun mati ini ada dua ma’na, maka apa bila Roh bercerai dengan jasad itu mati hisi namanya, atau mati yang sebenarnya. Adapun mati yang dimaksud hadis Nabi yang di atas tadi, adalah mati Ma’nawi, artinya mati dalam pengenalan mata hati.
Mahasuci Allah Subhanahu wata’ala Tuhan Rabbil’izzati dari upayamu, wujudmu, supaya Aku terang sempurna, upaya Allah dan kuat Allah, dan wujudnya Allah “BILLAHI LAYARILLAH” tiada yang mempunyai dan menyembah Allah hanya Allah.
Bagitu sekalian Aribbillah mengerjakan ibadat kepada Allah Ta’ala. Adapun yang bernama Rahasia itu “Sirrullah”.
Adapun kita bertubuh akan Muhammad Bathin dan Zahir bertubuh akan Roh. Adapun jadi nyawa itu bertubuh kanan Idhafi Kadim (terdahulu), maka tiada lagi kita kenang tubuh dan zahir dan bathin itu, akan bernama Rahasia Ia Allah, Sir namanya kepada kita, karena rahasia itu Nur. Adapun sebenar-benarnya Sifatullahita’ala kepada kita inilah RahasiaNya yang dibicarakan Rahasia yang sebenarnya RahasiaNya yang kita ketahui.
Adapun jalan hakikat yang sebenarnya yang mengata Allahu Akbar waktu kita sembahyang itu, ialah Zat, Sifat, Asma, Af’al, Kudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, itu nama Rahasia Allah Ta’ala namanya kepada kita, itulah yang mengata Allahu Akbar tiada hati lagi, karena yang bernama Zat, Sifat, Asma, Af’al, Kudrat Iradat, Ilmu, Hayat itu nama Rahasia Allah Ta’ala namanya kepada kita.
Batin dan zahir kita akan memerintah diri, adapun diri kita tadi ialah Roh. Roh tadilah yang menerima perintah rahasia, maka berlakulah berbagai-bagai bunyi dan kelakuan di dalam sembahyang. Semua itu adalah perintah rahasia, maka perintah rahasia inilah Sirrullah. Karena Rahasia inilah kita dapat melihat Allah dan menyembah Allah serta hidup berbagai-bagai, itulah rahasia Allah kepada kita.
Firman Allah “MAN ‘ARA PANAPSAHU PAKAD’ARA PARABBAHU”
Artinya : Maka barang siapa mengenal dirinya, mengenal ia akan Tuhannya.
Maka mengetahui ia akan asal Nabi Allah Adam, nasarnya Air, Api, Angin, Tanah. 4 (empat) inilah yang dijadikan Allah, maka turun kepada kita seperti Firman Allah Ta’ala, kita disuruh mengetahui :
Adapun tanah itu Tubuh kita
Adapun Api itu Darah kita
Adapun Air itu Air Liur kita
Adapun Angin itu Nafas kita.
Maka berdiri syari’at, adapun kejadian air itu Tarikat, kejadian api itu Hakikat, dan kejadian Angin itu Ma’rifat. Baginilah kita atau cara kita mengenal diri namanya.
Adapun tatkala kita tidur itu, adalah perintah Rahasia Allah, maka dari itu janganlah lagi kita kenang dan janganlah kita berkehendak atau panjang angan-angan dan jangan lagi diingat diri kita ini, karena tiada hayat lagi di waktu kita tidur itu, itu adalah Rahasia Allah.
Adapun perintah segala hati pada tengah-tengah hati berbagai bagai, adapun tempat rahasia itu di dalam jantung. Maka jikalau tiada rahasia Allah itu, tiadalah bathin dan zahir ini berkehendak, karena pada hakekatnya rahasia Allah itulah menjadi kehendak segala manusia dan binatang. Akan tetapi awas, jagalah hukum syara’ (syari’at) yang difardhukan pada kita, maka dari tiliklah dan perhatikan bersunguh-sungguh perkara yang tersebut di atas.
Maka barang siapa menilik sesuatu tiada melihat ia akan Allah di dalamnya, maka tiliknya itu batil atau syirik, karena ia tiada melihat akan Allah Ta’ala.
Berkata Saidina Abu Bakar Siddik r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻳﺖ ﺷﻳﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻳﺖﺍﷲ
Artinya : Tiada aku melihat akan sesuatu melainkan Allah yang aku lihat Allah Ta’ala terlebih dahulu.
Kata Umar Ibnu Khattab r.a :
“MAA RAAITU SYAIAN ILLA WARAAITULLAHU MA’AHU”
Artinya : Tiada aku lihat sesuatu melainkan aku lihat Allah kemudiannya.
Kata Usman Ibnu Affan r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺘﺒﻳﺎ ﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻤﻌﻪ
Artinya : Tiada aku melihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah besertanya.
Kata Ali Ibnu Abi Talib r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺷﻴﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ
Artinya : Tiada Ku lihat sesuatu kecuali Allah yang kulihat di dalamnya.
Maka perkataan para sahabat itu agar berbeda, akan tetapi maknanya bersamaan.
Firman Allah di dalam Al-Quraan yang berbunyi :
“WAHUWA MAAKU AINAMA KUNTUM”
Artinya : Ada hak Tuhan kamu
Firman Allah Ta’ala :
“WAHI AMPUSIKUM APALA TUBSIRUN”
Artinya : Ada Tuhan kamu di dalam diri kamu, mengapa tidakkah kamu lihat akan Aku kata Allah, padalah Aku terlebih hampir dari padamu matamu yang putih dengan hitamnya, terlebih hampir lagi Aku dengan kamu.
Kemudian dari itu hendaklah kita ketahui benar-benar akan diri ini mengapa kita ini menjadi hidup, melihat, mendengar, berkata-kata, kuasa memilih baik dan jahat, cuba renungkan sejenak, siapakah yang berbuat di balik kekuasaan kita ini.
Maka di sini kita kembalikan saja kepada pasal rahasia yang telah lalu, sebutannya pasti kita bertemu dengan Allah atau Mi’raj dengan Dia.
Maka barang siapa tiada mengetahui perkara ini, tiada sempurna hidupnya dunia dan akhirat dan jikalau dia beramal apa saja semua amalannya itu syirik, maka dari itu hendaklah kita ketahui benar-benar apa asalnya yang menjadi nyawa dan roh itu.
Yang menjadi Nyawa dan Roh itu ialah ZADTULLAHITA’ALA daripada Ilmunya dan Roh sekalian alam.
Seperti sabda nabi kita “ANA ABUL BASYARI”
Artinya : Aku Bapak segala Roh dan Bapak segala Tubuh
Bermula sebenarnya Roh, tatkala di dalam tubuh, Nyawa namanya, tatkala ia berkehendak, Hati namanya, tatkala ia kuasa memperbuat, Akal namanya, maka kesemuanya itu adalah Rahasia Allah Ta’ala kepada kita. Maka barang siapa tiada tahu perjalanan ini, maka tiada sempurna hidupnya dunia dan akhirat.
Hidup ada nyawa itulah Muhammad dinamai akan dia bayang-bayang Ianya yang empunya bayang-bayang dan Idhofi, akan tetapi daripada Nur jua, karena tiada diterima oleh akal kalau bayang-bayang itu maujud sendirinya, kalau ada yang empunya bayang-bayang ialah Allah Ta’ala sendirinya.
Demi Allah dan Rasulullah Islam dan Kafir, jikalau tiada tahu atau tiada percaya akan kejadian Nur itu perjalanan Roh, maka menjadi kafir lagi munafik. Karena apabila tiada tahu mengenal diri dan tiada tahu/tiada dapat membedakan antara Khalik dan Makhluk, maka amalan orang tersebut itu Syirik.
Peganglah nasihat seorang Al Arifbillah yang berbunyi demikian :
“LATUHADDISUN NAASIBIMA LAMTUSLIHU AKWALAHUM ATURIDDUN AYYUKAZ ZIBULLAHAWARASULIH”
Artinya : Jangan kamu ajarkan akan manusia, akan ilmu yang tiada sampai akal mereka itu, adalah kamu itu nanti didustakannya oleh mereka itu Allah dan Rasulnya, maka orang itu kafir.
Roh yang membedakan antara manusia, jin dan malaikat dengan haiwan.
HATI Di sini kita akan membincangkan tentang ruhul amri (hati) yakni
perbahasan secara diurai dan terperinci tentang perjalanan ruhul tamyiz
atau ruhul amri atau qalbun (hati). Yaitu roh yang membedakan antara
manusia, jin dan malaikat dengan haiwan.
Setelah dikaji dalam kitab-kitab Islam, didapati ada bermacam-macam nama atau istilah roh yang diberi oleh ulama. Bahkan dalam Al Quran kalau kita lihat ada bermacam-macam nama. Antara yang terkenal ialah roh. Adakalanya ia dipanggil dengan qalbun - hati, fuaadun - hati sanubari, latifatur-rabbaniah atau ruhul amri). Pada orang Melayu ia juga dipanggil hati, nyawa, hati nurani atau hati sanubari. Tetapi yang terkenalnya adalah roh saja.
Roh yang sedang kita perkatakan ini, kalau dia berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemauan atau merangsang baik sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil roh, hati atau nyawa lagi. Tetapi ia dipanggil nafsu. Kalau di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Kalau begitu uraiannya, maka nafsu, roh atau akal ini hakikatnya adalah satu. Ia dipanggil akal di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik. Walhal bila berperasaan, ia tidak dipanggil akal lagi, sebaliknya ia dipanggil roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemahuan atau merangsang baik sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia dipanggil nafsu.
Kalau begitu walaupun ia mempunyai tiga nama atau tiga istilah tetapi hakikatnya adalah satu. Benda yang sama juga. Cuma peranannya saja yang tidak sama. Peranan yang tidak sama itulah yang menjadikan namanya tidak sama atau namanya berlainan.
Untuk mudah difahami begini kiasannya: manusia bila dia berbohong dinamakan pembohong. Bila dia menipu dinamakan penipu. Tetapi bila dia mencuri dinamakan pencuri. Bila dia memimpin dipanggil pemimpin. Dinamakan pembohong, penipu, pencuri dan pemimpin, hakikatnya adalah orang yang sama. Cuma namanya berbeda bila peranannya bertukar. Kenapa fisik yang sama dapat timbul istilah yang berlainan? Ini karena peranannya tidak sama. Apakah bila namanya berlainan, orangnya berlainan? Tidak! Orang yang sama juga.
Perlu diingat, bila kita membicarakan tentang roh ini, bukannya pula kita hendak mengkaji hakikat roh atau mengkaji ain ataupun mengkaji hakikat zat roh itu. karena zat atau hakikat roh itu tidak akan dapat dilihat oleh mata kepala. karena ia adalah jismullatif), yakni benda halus yang bersifat maknawiah atau abstrak. Iaitu tidak dapat dilihat oleh mata kepala tetapi terasa akan adanya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Maksudnya: “Mereka bertanya kepada engkau wahai Muhammad tentang roh. Hendaklah engkau katakan kepada mereka, ‘Roh itu adalah urusan daripada Tuhanku’…” (Al Israk: 85)
Dari ayat ini dapatlah kita faham bahawa hakikat roh itu tidak akan dapat dijangkau oleh mata kepala. Zat roh itu tidak akan dapat difikirkan oleh akal. Kita tidak tahu bagaimana rupanya. Sebab tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Tetapi terasa oleh hati akan adanya. Maka oleh yang demikian, hakikat roh itu tidak dapat difikirkan oleh akal bagaimana rupanya, bagaimana bentuknya, berapa tebal atau panjangnya. Ia tidak dapat dibayangkan. Hanya Allah yang tahu dan tidak ada makhluk yang tahu.
Walaupun Allah berkata hakikat roh atau zat roh tidak dapat diketahui dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan mata kepala, namun ada juga ulama-ulama yang berijtihad tentangnya. Antaranya ialah Imam Malik. Beliau pernah berkata: “Roh manusia itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Kalau diambil ijtihad Imam Malik itu, artinya rupa roh kita ialah seperti rupa bentuk badan lahir kita. Ini juga memberi arti bahawa walaupun Allah berkata roh itu adalah urusan-Nya, iaitu hakikat roh itu Allah saja yang tahu dan makhluk lain tidak mengetahuinya, tetapi tidak pula ada larangan dari Allah kalau ada sesiapa yang ingin berijtihad untuk mengkajinya.
Bagi sesetengah orang, mungkin Allah beri ilmu yang mendalam tentang hal ini sehingga dia dapat menjangkaunya. Oleh itu maksud ayat Al Quran yang menyatakan ‘roh itu adalah urusan Tuhanku’, Allah bermaksud kebanyakan manusia tidak dapat mengetahuinya tetapi tidak pula menolak kalau ada orang-orang yang tertentu secara khusus yang Allah beri ilmu tentang hakikat roh ini sehingga dapat menghuraikannya.
Mengikut pendapat saya boleh jadi juga Imam Malik memperkatakan hakikat roh ini bukan berdasarkan ijtihadnya saja tetapi juga berdasarkan kasyaf. Kalau berdasarkan ijtihad tidak mungkin akal beliau dapat menjangkaunya karena roh itu jismullatif (tubuh halus). Ia adalah hati nurani yang bersifat maknawiah. Diibaratkan seperti cahaya. Bahkan cahaya, dapat juga dilihat tetapi cahaya yang ini tidak dapat dilihat atau ia jenis cahaya yang tersembunyi.
Bagaimana pula hendak diijtihadkan? Ijtihad itu dibuat pada benda-benda yang berketul atau benda yang dapat dilihat. Benda-benda yang dapat diraba dan dirasa. Tetapi roh, benda yang tidak dapat diraba, tidak dapat dirasa dan tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Jadi bagaimana hendak diijtihadkan. Begitulah pandangan saya. Wallahu ‘alam.
Oleh itu atas dasar apakah roh seseorang itu seperti rupa bentuk lahirnya sebagaimana pendapat Imam Malik itu? Saya berpendapat Allah beri dia (Imam Malik) kasyaf. Allah perlihatkan roh itu. Roh yang jismullatif itu dibentukkan, dilihatkan macam rupa diri seseorang itu. Kalau begitu apa yang dimaksudkan oleh Al Quran bahawa tidak ada orang yang mengetahui hakikat roh itu melainkan Allah saja, itu adalah untuk orang awam. Manakala bagi orang yang khusus macam Imam Malik mungkin Allah beritahu padanya sebagai karamahnya.
Pendapat Imam Malik ini agak munasabah (masuk akal), boleh diterima dan agak rasional. Contohnya kita bermimpi melihat seseorang yang kita tidak pernah jumpa atau dengan orang yang pernah kita jumpa sama ada yang masih hidup mahupun sudah mati. Apa yang kita lihat dalam mimpi itu serupa dengan bentuk lahir orang itu. Sedangkan orang yang kita lihat dalam mimpi itu rohnya bukan orangnya. Mungkin waktu itu orang tersebut berada di rumah atau telah berada di alam Barzakh.
Jadi di waktu itu dia adalah roh. Roh bertemu dengan roh. Tetapi mengapa dalam mimpi kita roh orang itu serupa dengan dirinya? Sedangkan bukan berjumpa jasadnya tetapi rohnya. Ini membuktikan roh orang itu macam jasadnya juga. Jadi benarlah apa yang diijtihadkan oleh Imam Malik itu.
Begitu juga orang yang diyakazahkan melihat secara jaga orang yang sudah meninggal dunia. Contohnya melihat Rasulullah, melihat para ulama zaman dahulu atau siapa saja yang dia kenal. Dia melihat Rasulullah betul-betul macam Rasulullah. Atau dia melihat gurunya benar-benar macam gurunya, melihat ibu dan ayahnya serupa macam ibu dan ayahnya, tidak ada cacatnya. Sedangkan mereka sudah mati. Waktu itu yang dilihat adalah rohnya. Ini juga membuktikan benarnya pendapat Imam Malik yang mana roh seseorang itu serupa dengan diri lahirnya.
Contoh lain, Rasulullah SAW sewaktu diisrak dan dimikrajkan telah ditemukan dengan roh para rasul dan para nabi. Rasulullah SAW lihat mereka seperti melihat jasad-jasad mereka. Ini juga merupakan bukti yang rasional bahawa roh seseorang itu sama rupanya dengan bentuk jasadnya.
Boleh jadi juga ayat Al Quran di atas itu bermaksud bahawa ayat itu khusus ditujukan kepada orang-orang kafir. Yakni mereka ini memang tidak memahami tentang perjalanan roh dan fungsinya. Allah SWT memberitahu kepada kekasih-Nya, Rasulullah SAW bawa mereka tidak akan faham tentang hal ini. Kekufuran mereka itulah yang menghijabnya (menutup) sepertimana uraian saya yang panjang lebar tentang hal ini di dalam Bab Mata Hati. Karena itulah menjadi penyebab mereka langsung tidak memahaminya.
Allah SWT tidak meminta Rasulullah SAW bersusah payah untuk pergi memahamkan orang-orang kafir itu tentang hal roh ini. Lantaran itulah dikatakan roh itu urusan Allah. Ini bukan pula bermaksud umat Islam pun turut juga dilarang mengkaji tentang roh. Bahkan umat Islam mesti memahaminya sungguh-sungguh tentang perjalanan roh ini. Kalau tidak bagaimana pula hendak memperbaiki diri? Atau bagaimana hendak mengekalkan watak-watak kemanusiaannya dan bukan watak kebinatangannya.
Untuk ini kita wajib memahaminya serta menghayati watak- watak kemanusiaan itu. Hati manusia berbeda dengan hati hewan. karena hati manusia dapat menerima perintah suruh dan perintah larangan. karena itulah ia disebut ruhul amri. Manakala hati hewan tidak bersifat demikian, maka ia disebut ruhul hayah.
Setelah dikaji dalam kitab-kitab Islam, didapati ada bermacam-macam nama atau istilah roh yang diberi oleh ulama. Bahkan dalam Al Quran kalau kita lihat ada bermacam-macam nama. Antara yang terkenal ialah roh. Adakalanya ia dipanggil dengan qalbun - hati, fuaadun - hati sanubari, latifatur-rabbaniah atau ruhul amri). Pada orang Melayu ia juga dipanggil hati, nyawa, hati nurani atau hati sanubari. Tetapi yang terkenalnya adalah roh saja.
Roh yang sedang kita perkatakan ini, kalau dia berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemauan atau merangsang baik sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil roh, hati atau nyawa lagi. Tetapi ia dipanggil nafsu. Kalau di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Kalau begitu uraiannya, maka nafsu, roh atau akal ini hakikatnya adalah satu. Ia dipanggil akal di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik. Walhal bila berperasaan, ia tidak dipanggil akal lagi, sebaliknya ia dipanggil roh atau hati atau nyawa. Tetapi waktu ia berkehendak, berkemahuan atau merangsang baik sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia dipanggil nafsu.
Kalau begitu walaupun ia mempunyai tiga nama atau tiga istilah tetapi hakikatnya adalah satu. Benda yang sama juga. Cuma peranannya saja yang tidak sama. Peranan yang tidak sama itulah yang menjadikan namanya tidak sama atau namanya berlainan.
Untuk mudah difahami begini kiasannya: manusia bila dia berbohong dinamakan pembohong. Bila dia menipu dinamakan penipu. Tetapi bila dia mencuri dinamakan pencuri. Bila dia memimpin dipanggil pemimpin. Dinamakan pembohong, penipu, pencuri dan pemimpin, hakikatnya adalah orang yang sama. Cuma namanya berbeda bila peranannya bertukar. Kenapa fisik yang sama dapat timbul istilah yang berlainan? Ini karena peranannya tidak sama. Apakah bila namanya berlainan, orangnya berlainan? Tidak! Orang yang sama juga.
Perlu diingat, bila kita membicarakan tentang roh ini, bukannya pula kita hendak mengkaji hakikat roh atau mengkaji ain ataupun mengkaji hakikat zat roh itu. karena zat atau hakikat roh itu tidak akan dapat dilihat oleh mata kepala. karena ia adalah jismullatif), yakni benda halus yang bersifat maknawiah atau abstrak. Iaitu tidak dapat dilihat oleh mata kepala tetapi terasa akan adanya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Maksudnya: “Mereka bertanya kepada engkau wahai Muhammad tentang roh. Hendaklah engkau katakan kepada mereka, ‘Roh itu adalah urusan daripada Tuhanku’…” (Al Israk: 85)
Dari ayat ini dapatlah kita faham bahawa hakikat roh itu tidak akan dapat dijangkau oleh mata kepala. Zat roh itu tidak akan dapat difikirkan oleh akal. Kita tidak tahu bagaimana rupanya. Sebab tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Tetapi terasa oleh hati akan adanya. Maka oleh yang demikian, hakikat roh itu tidak dapat difikirkan oleh akal bagaimana rupanya, bagaimana bentuknya, berapa tebal atau panjangnya. Ia tidak dapat dibayangkan. Hanya Allah yang tahu dan tidak ada makhluk yang tahu.
Walaupun Allah berkata hakikat roh atau zat roh tidak dapat diketahui dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan mata kepala, namun ada juga ulama-ulama yang berijtihad tentangnya. Antaranya ialah Imam Malik. Beliau pernah berkata: “Roh manusia itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Kalau diambil ijtihad Imam Malik itu, artinya rupa roh kita ialah seperti rupa bentuk badan lahir kita. Ini juga memberi arti bahawa walaupun Allah berkata roh itu adalah urusan-Nya, iaitu hakikat roh itu Allah saja yang tahu dan makhluk lain tidak mengetahuinya, tetapi tidak pula ada larangan dari Allah kalau ada sesiapa yang ingin berijtihad untuk mengkajinya.
Bagi sesetengah orang, mungkin Allah beri ilmu yang mendalam tentang hal ini sehingga dia dapat menjangkaunya. Oleh itu maksud ayat Al Quran yang menyatakan ‘roh itu adalah urusan Tuhanku’, Allah bermaksud kebanyakan manusia tidak dapat mengetahuinya tetapi tidak pula menolak kalau ada orang-orang yang tertentu secara khusus yang Allah beri ilmu tentang hakikat roh ini sehingga dapat menghuraikannya.
Mengikut pendapat saya boleh jadi juga Imam Malik memperkatakan hakikat roh ini bukan berdasarkan ijtihadnya saja tetapi juga berdasarkan kasyaf. Kalau berdasarkan ijtihad tidak mungkin akal beliau dapat menjangkaunya karena roh itu jismullatif (tubuh halus). Ia adalah hati nurani yang bersifat maknawiah. Diibaratkan seperti cahaya. Bahkan cahaya, dapat juga dilihat tetapi cahaya yang ini tidak dapat dilihat atau ia jenis cahaya yang tersembunyi.
Bagaimana pula hendak diijtihadkan? Ijtihad itu dibuat pada benda-benda yang berketul atau benda yang dapat dilihat. Benda-benda yang dapat diraba dan dirasa. Tetapi roh, benda yang tidak dapat diraba, tidak dapat dirasa dan tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Jadi bagaimana hendak diijtihadkan. Begitulah pandangan saya. Wallahu ‘alam.
Oleh itu atas dasar apakah roh seseorang itu seperti rupa bentuk lahirnya sebagaimana pendapat Imam Malik itu? Saya berpendapat Allah beri dia (Imam Malik) kasyaf. Allah perlihatkan roh itu. Roh yang jismullatif itu dibentukkan, dilihatkan macam rupa diri seseorang itu. Kalau begitu apa yang dimaksudkan oleh Al Quran bahawa tidak ada orang yang mengetahui hakikat roh itu melainkan Allah saja, itu adalah untuk orang awam. Manakala bagi orang yang khusus macam Imam Malik mungkin Allah beritahu padanya sebagai karamahnya.
Pendapat Imam Malik ini agak munasabah (masuk akal), boleh diterima dan agak rasional. Contohnya kita bermimpi melihat seseorang yang kita tidak pernah jumpa atau dengan orang yang pernah kita jumpa sama ada yang masih hidup mahupun sudah mati. Apa yang kita lihat dalam mimpi itu serupa dengan bentuk lahir orang itu. Sedangkan orang yang kita lihat dalam mimpi itu rohnya bukan orangnya. Mungkin waktu itu orang tersebut berada di rumah atau telah berada di alam Barzakh.
Jadi di waktu itu dia adalah roh. Roh bertemu dengan roh. Tetapi mengapa dalam mimpi kita roh orang itu serupa dengan dirinya? Sedangkan bukan berjumpa jasadnya tetapi rohnya. Ini membuktikan roh orang itu macam jasadnya juga. Jadi benarlah apa yang diijtihadkan oleh Imam Malik itu.
Begitu juga orang yang diyakazahkan melihat secara jaga orang yang sudah meninggal dunia. Contohnya melihat Rasulullah, melihat para ulama zaman dahulu atau siapa saja yang dia kenal. Dia melihat Rasulullah betul-betul macam Rasulullah. Atau dia melihat gurunya benar-benar macam gurunya, melihat ibu dan ayahnya serupa macam ibu dan ayahnya, tidak ada cacatnya. Sedangkan mereka sudah mati. Waktu itu yang dilihat adalah rohnya. Ini juga membuktikan benarnya pendapat Imam Malik yang mana roh seseorang itu serupa dengan diri lahirnya.
Contoh lain, Rasulullah SAW sewaktu diisrak dan dimikrajkan telah ditemukan dengan roh para rasul dan para nabi. Rasulullah SAW lihat mereka seperti melihat jasad-jasad mereka. Ini juga merupakan bukti yang rasional bahawa roh seseorang itu sama rupanya dengan bentuk jasadnya.
Boleh jadi juga ayat Al Quran di atas itu bermaksud bahawa ayat itu khusus ditujukan kepada orang-orang kafir. Yakni mereka ini memang tidak memahami tentang perjalanan roh dan fungsinya. Allah SWT memberitahu kepada kekasih-Nya, Rasulullah SAW bawa mereka tidak akan faham tentang hal ini. Kekufuran mereka itulah yang menghijabnya (menutup) sepertimana uraian saya yang panjang lebar tentang hal ini di dalam Bab Mata Hati. Karena itulah menjadi penyebab mereka langsung tidak memahaminya.
Allah SWT tidak meminta Rasulullah SAW bersusah payah untuk pergi memahamkan orang-orang kafir itu tentang hal roh ini. Lantaran itulah dikatakan roh itu urusan Allah. Ini bukan pula bermaksud umat Islam pun turut juga dilarang mengkaji tentang roh. Bahkan umat Islam mesti memahaminya sungguh-sungguh tentang perjalanan roh ini. Kalau tidak bagaimana pula hendak memperbaiki diri? Atau bagaimana hendak mengekalkan watak-watak kemanusiaannya dan bukan watak kebinatangannya.
Untuk ini kita wajib memahaminya serta menghayati watak- watak kemanusiaan itu. Hati manusia berbeda dengan hati hewan. karena hati manusia dapat menerima perintah suruh dan perintah larangan. karena itulah ia disebut ruhul amri. Manakala hati hewan tidak bersifat demikian, maka ia disebut ruhul hayah.
Nur Sifat Allah s.w.t Menerangi Rahsia hati
DITERANGI-NYA YANG ZAHIR DENGAN CAHAYA ATHAR DAN DITERANGI-NYA RAHSIA HATI DENGAN NUR SIFAT-NYA. OLEH SEBAB ITU TERBENAM CAHAYA TERANG YANG ZAHIR TETAPI TIDAK TERBENAM CAHAYA KALBU DAN SIR (HATI DAN RAHSIA HATI). BERKATA ORANG BIJAK PANDAI : “ MATAHARI SIANG TERBENAM PADA WAKTU MALAM TETAPI MATAHARI HATI TIDAK TERBENAM.”
—————————————————————-
Makhluk ini asalnya ‘adam (tidak ada). ‘Adam menerima kewujudan dari kesan perbuatan Allah s.w.t. Ada perbezaan antara perbuatan dengan kesan perbuatan. Misalnya, melukis adalah perbuatan dan lukisan adalah kesan perbuatan. Kesan kepada perbuatan adalah baharu sementara perbuatan pula menunjukkan sifat si pembuat. Perbuatan tidak berpisah daripada sifat dan sifat tidak berpisah daripada zat atau diri yang berkenaan. Kesan perbuatan tidak sedikit pun menyamai sifat yang asli. Kewujudan yang lahir dari kesan perbuatan Allah s.w.t tidak sedikit pun menyamai sifat Allah s.w.t. Apa sahaja yang mengenai Allah s.w.t, termasuklah perbuatan-Nya adalah:
ertinya:
Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya.
Kewujudan baharu yang menjadi kesan kepada perbuatan Allah s.w.t dinamakan athar. Alam semesta adalah athar. Tidak ada dari kalangan athar yang boleh dijadikan gambaran, ibarat atau lukisan untuk menceritakan tentang Pencipta athar. Kewujudan athar hanya boleh dijadikan dalil untuk menunjukkan Wujud Maha Pencipta. Jika tidak ada tindakan dari Maha Pencipta tentu tidak ada kewujudan yang menjadi kesan dari tindakan tersebut.
Ahli ilmu merumuskan wujud alam menjadi bukti wujudnya Tuhan. Alam boleh menjadi bahan bukti kerana sifatnya yang boleh dilihat dan ada kenyataan mengenainya Ia menjadi nyata kerana ia diterangi oleh cahaya dan cahaya yang meneranginya adalah bahagian daripada athar juga. Matahari, bulan dan bintang adalah athar yang berkeupayaan memberikan cahaya. Sifat athar adalah berubah-ubah, tidak menetap. Cahaya yang keluar darinya juga berubah-ubah, dari terang kepada malap dan seterusnya terbenam. Allah s.w.t berfirman:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yaqin. Maka ketika ia berada pada waktu malam yang gelap, ia melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula: “Aku tidak suka kepada yang terbenam hilang”. Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit (menyinarkan cahayanya), ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu terbenam, berkatalah ia: “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila ia melihat matahari sedang terbit (menyinarkan cahayanya), berkatalah ia: “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar”. Setelah matahari terbenam, ia berkata pula: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah dengannya). Sesungguhnya aku hadapkan muka dan diriku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, sedang aku tetap di atas dasar tauhid dan bukanlah aku dari orang-orang yang menyengutukan Allah (dengan sesuatu yang lain). ( Ayat 75 – 79 : Surah al-An’aam )
Ibrahim a.s mencari Tuhan dengan matanya bersuluhkan cahaya-cahaya athar. Beliau a.s kecewa kerana semua cahaya itu tidak menetap dan tidak bertahan. Lalu beliau a.s meninggalkan cahaya athar dan menghadapkan hati serta Rahsia hatinya kepada Maha Pencipta. Baharulah beliau a.s mendapat keyakinan yang teguh kerana cahaya yang menerangi hati dan Rahsia hatinya tidak berubah, tidak pudar dan tidak terbenam. Beliau a.s melihat dengan jelas bahawa athar tetap athar, tidak ada satu pun yang boleh disekutukan atau disifatkan kepada Tuhan.
Kekeliruan tentang Tuhan terjadi kerana manusia melihat kesan perbuatan Tuhan sebagai perbuatan, kemudian meletakkan hukum bahawa perbuatan tidak berpisah daripada sifat dan sifat tidak berpisah daripada zat. Oleh sebab itu perbuatan juga zat. Jika zat menjadi Tuhan maka perbuatan juga Tuhan dan apa yang terbit dari perbuatan juga Tuhan. Begitulah kesesatan yang terjadi akibat percubaan melihat Tuhan dengan suluhan cahaya athar dan menggunakan hukum logik matematik.
Seseorang haruslah melihat kepada asalnya iaitu ‘adam (tidak wujud). ‘Adam adalah lawan bagi Wujud. Jika manusia berpaling kepada ‘adam maka dia akan terhijab dari Wujud Allah s.w.t. Pandangannya akan diliputi oleh athar yang juga datang dari ‘adam. Tidak mungkin manusia menemui jalan yang sebenar jika mereka melalui jalan yang berdasarkan asal kejadiannya iaitu ‘adam. Tuhan adalah Wujud, mustahil ‘adam. Wujud-Nya Esa, tidak berbilang sedangkan wujud athar yang dari ‘adam berbilang-bilang. ‘Adam tetap tidak ada walaupun banyak makhluk yang diciptakan daripadanya. Penciptaan yang demikian tidak menambahkan Wujud. Walau sebanyak mana pun makhluk yang diciptakan namun, Allah s.w.t tetap Esa. Usaha untuk menemui keesaan Wujud Allah s.w.t dengan menuruti jalan ‘adam adalah sia-sia. Kewujudan aspek kedua mestilah disingkap jika Allah s.w.t mahu ditemui. Kewujudan yang perlu disingkapkan itu adalah yang berhubung dengan Wujud Allah s.w.t, bukan yang datangnya dari ‘adam. Kewujudan yang berhubung dengan Wujud Allah s.w.t itu adalah rohani. Firman-Nya:
(Ingatlah peristiwa) tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakankan manusia – Adam -dari tanah; Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya, serta Aku tiupkan padanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu sujud kepadanya”. ( Ayat 71 – 72 : Surah Saad )
Katakan: “ Roh itu dari perkara urusan Tuhanku.” ( Ayat 85 : Surah al- Israa’ )
Roh adalah amr (urusan atau perintah) Allah s.w.t, tidak termasuk dalam golongan yang diperintah. Malaikat, jin dan lain-lain termasuk dalam golongan yang diperintah. Roh manusia adalah satu Rahsia Allah s.w.t. Ia dinisbahkan kepada Allah s.w.t, bukan kepada ‘adam. Pada tahap amr (urusan) Tuhan ia dipanggil Sir (Rahsia Allah s.w.t), atau Rahsia hati. Pada tahap berkait dengan jasad ia dinamakan kalbu atau hati. Semua kualiti yang baik adalah berkait dengan toh dan semua kualiti yang jahat berkait dengan ‘adam. Jika alam maya diterangi oleh cahaya athar, hati dan rahsia hati yang dinisbahkan kepada roh urusan Tuhan, diterangi oleh nur sifat Allah s.w.t. Kualiti hati dan rahsia hati adalah mengenal. Nur sifat Allah s.w.t itulah yang menerangi hati untuk menyaksikan kepada Tuhannya. Hati orang arifbillah yang diterangi oleh nur sifat Allah s.w.t tidak lagi dikelirukan oleh cahaya athar dan benda-benda yang dipamerkan. Mata hati menyaksikan Rububiyah pada segala perkara. Zahirnya sibuk dengan makhluk, hatinya menyaksikan Rububiyah dan Sirnya (rahsia hati) tidak berpisah daripada Allah s.w.t walau sedetik pun.
Sir yang menerima sinaran Nur Sifatullah membawa sifat-sifat yang menceritakan tentang Sifat Allah s.w.t yang menyinarinya. Manusia pilihan yang diheret oleh Sir tersebut akan memakai sifat-sifat yang menceritakan hubungannya dengan Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w dikenali sebagai Habiballah; Nabi Isa a.s sebagai Roh Allah; Nabi Musa a.s sebagai Kalim Allah; Nabi Ibrahim a.s sebagai Khalil Allah. Manusia yang bukan nabi juga menerima pimpinan Sir yang menerima sinaran Nur Sifatullah dan dengan yang demikian mereka dikenali. Abu Bakar dikenali sebagai as-Siddik dan Hamzah sebagai Singa Allah. Manusia lain pula ada yang dikenali sebagai Abdul Malik, Abdul Wahab, Abdul Karim, Abdul Latif dan lain-lain. Hamba-hamba pilihan itu mendapat gelaran yang dihubungkan dengan Allah s.w.t kerana Sir mereka disinari oleh Nur Sifatullah, sebagai persediaan buat mereka menanggung amanah Allah s.w.t. Firman-N ya: Dan (ingatkanlah peristiwa) hamba-hamba Kami: Nabi Ibrahim dan Nabi Ishaq serta Nabi Ya’aqub, yang mempunyai kekuatan (melaksanakan taat setianya) dan pandangan yang mendalam (memahami agamanya). Sesungguhnya Kami telah jadikan mereka suci bersih dengan sebab satu sifat mereka yang murni, iaitu sifat sentiasa memperingati negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka di sisi Kami adalah orang-orang pilihan yang sebaik-baiknya. Dan (ingatkanlah peristiwa) Nabi Ismail dan Nabi Alyasa’, serta Nabi Zulkifli; dan mereka masing-masing adalah dari orang-orang yang sebaik-baiknya. ( Ayat 45 – 48 : Surah Saad ) Allah s.w.t mempersucikan hamba-hamba pilihan-Nya dengan menyinari Sir mereka dengan nur sifat-Nya dan dengan itu mereka menjadi sebaik-baik hamba yang menjalankan perintah Allah s.w.t.
TANDA KEJAHILAN AHLI HAKIKAT
——————————————————————————-
JIKA KAMU MELIHAT SESEORANG (AHLI HAKIKAT) MENJAWAB SETIAP PERTANYAAN DAN MENERANGKAN SETIAP PENGLIHATAN (MATA HATI) DAN MENCERITAKAN SETIAP YANG DIKETAHUINYA, MAKA KETAHUILAH BAHAWA YANG DEMIKIAN ITU ADALAH TANDA KEJAHILANNYA.
—————————————————————————
Manusia digesa supaya menggunakan akal fikirannya untuk mengkaji tentang kejadian-kejadian alam maya ciptaan Tuhan Maha Pencipta. Semakin mendalam pengetahuan tentang ciptaan Allah s.w.t, semakin kelihatan kebesaran dan keagungan-Nya. Bertambah pula keinsafan tentang kelemahan yang ada pada diri manusia terutamanya dalam menghuraikan hal ketuhanan. Ilmu pengetahuan yang mahir dalam perbahasan tentang makhluk menjadi tidak bermaya apabila mencuba menyingkap Rahsia-rahsia ketuhanan. Bila mengakui akan kejahilan dirinya seseorang itu menyerahkan dirinya dengan beriman kepada Allah s.w.t. Penyerahan ini dinamakan aslim dan orang yang berbuat demikian dinamakan orang Islam. Orang yang beriman tidak membahaskan tentang Allah s.w.t kerana mereka mengakui kelemahan akal dalam bidang tersebut.
Bidang yang tidak dapat diterokai oleh akal masih mampu dijangkau oleh hati. Hati yang suci bersih mengeluarkan cahayanya yang dinamakan Nur Kalbu. Nur Kalbu menerangi akal dan bersuluhkan cahaya Nur Kalbu ini, akal dapat menyambung kembali perjalanannya dari ‘stesen’ ia telah berhenti. Perjalanan akal yang diterangi oleh cahaya Nur Kalbu mampu menyingkap perkara-perkara yang ghaib dan beriman dengannya walaupun akal manusia umum menafikannya.
Terdapat perbezaan yang besar antara akal biasa dengan akal yang diterangi oleh nur. Akal biasa beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan dalil-dalil yang nyata dan logik. Akal yang beserta nur mampu menyelami di bawah atau di sebalik yang nyata iaitu perkara ghaib, dan beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan pengalaman tentang perkara-perkara ghaib. Walaupun perkara ghaib itu tidak dapat diterima oleh akal biasa, tetapi akal yang bersuluhkan nur tidak sedikit pun ragu-ragu terhadapnya. Pengetahuan yang terhasil dari cetusan atau tindakan nur ini dinamakan ilmu hakikat, ilmu ghaib, ilmu Rabbani atau ilmu laduni. Walau apa pun istilah yang digunakan, ia adalah pengetahuan tentang ketuhanan yang didapati dengan cara mengalami sendiri tentang hal-hal ketuhanan, bukan menurut perkataan orang lain, dan juga bukan menurut sangkaannya sendiri.
Hatilah yang mengalami hal-hal tersebut dan pengalaman ini dinamakan pengalaman rasa, zauk atau hakikat. Apa yang dialami oleh hati tidak dapat dilukiskan atau dibahasakan. Lukisan dan bahasa hanya sekadar menggerakkan pemahaman sedangkan hal yang sebenar jauh berbeza. Jika hal pengalaman hati dipegang pada lukisan dan bahasa ibarat, maka seseorang itu akan menjadi keliru. Jika lukisan dan simbol diiktikadkan sebagai hal ketuhanan maka yang demikian adalah kufur!
Pemegang ilmu ghaib terdiri daripada dua golongan. Golongan pertama adalah orang yang terlebih dahulu memasuki bidang pembelajaran tentang tauhid dan latihan penyucian hati menurut tarekat tasauf. Pembelajaran dan latihan yang mereka lakukan tidak membuka bidang hakikat. Ini membuat mereka mengerti akan nilai dan kedudukan ilmu ghaib yang sukar diperolehi itu. Mereka hanya dapat belajar, melatih diri, kemudian menanti dan terus menanti. Jika Allah s.w.t berkenan maka dikurniakan sinaran nur yang menerangi hati si murid itu. Si murid itu pun mengalami dan berpengetahuan tentang hakikat. Pengetahuan yang diperolehi itu sangat berharga baginya dan dijaganya benar-benar, tidak dibukakannya kepada orang lain kerana dia tahu yang orang ramai sukar memahami perkara yang telah dialaminya itu.
Pemegang ilmu ghaib golongan kedua tidak pula melalui proses pembelajaran dan latihan seperti golongan pertama. Golongan ini tiba-tiba sahaja dibukakan hakikat kepada mereka (hanya Allah s.w.t mengetahui mengapa Dia berbuat demikian). Oleh sebab mereka memperolehinya dengan mudah dan tanpa asas pengetahuan yang kuat, mereka tidak mengetahui nilai sebenar pengetahuan yang mereka perolehi itu. Mereka menyangkanya sebagai ilmu biasa. Lantaran mereka memahaminya mereka menyangka orang lain juga memahaminya. Sebab itu mereka mudah memperkatakan ilmu tersebut di hadapan orang ramai. Oleh sebab ilmu ini tidak dapat diceritakan kecuali dengan ibarat, satu daripada dua kemungkinan akan berlaku.
1.Pertama, lantaran orang ramai melihat latar belakang orang hakikat tadi tidak mempunyai asas agama yang kuat, bukan orang alim, maka mereka menganggapnya pembohong dan pembawa cerita khayal.
2.Kedua, kemungkinan ada orang yang mempercayainya tetapi kepercayaan itu tertuju kepada ibarat bukan kepada yang diibaratkan. Kedua-dua kemungkinan tersebut adalah tidak sihat. Sebab itu dilarang keras memperkatakan tentang ilmu hakikat kepada bukan ahlinya. Orang yang membeberkannya dengan mudah disebut orang jahil yang tidak tahu nilai berlian yang ada padanya.
NUR, MATA HATI DAN HATI
——————————————————————————–
NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDERAAN HATI DAN RAHSIA HATI. NUR ITU IALAH TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH S.W.T MAHU MENOLONG HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) DAN DIHENTIKAN BEKALAN KEGELAPAN. NUR ITU BAGINYA MENERANGI (MEMBUKA TUTUPAN), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU BAGINYA MENGHADAP ATAU MEMBELAKANG.
—————————————————————————
Allah s.w.t hanya boleh dikenal jika Dia sendiri mahu Dia dikenali. Jika Dia mahu memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya warid. Hati hamba diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kenderaan bagi hati untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah nyawanya. Roh pula berkait dengan Allah s.w.t dan perkaitan itu dinamakan as-Sir (Rahsia). Roh menjadi nyawa kepada hati dan Sir menjadi nyawa kepada roh. Boleh juga dikatakan bahawa hakikat kepada hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahsia yang sampai kepada Allah s.w.t dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang maujud.
Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahsia hakikat-hakikat. Nur Ilahi yang berperanan menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain, bukanlah hakikat sebenar yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan dan khayalan semata-mata. Jika mahu mencapai hakikat perlulah mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah kejayaan yang besar boleh dicapai oleh seseorang hamba semasa hidupnya di dunia ini.
Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang kerana ada kenyataan Allah s.w.t padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita. Apa yang dapat dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari menyinarkan sinarnya, kelihatanlah tumbuh-tumbuhan dan haiwan yang menghuni bukit itu. Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata kerana diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap pula membungkusnya. Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan samar. Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan lagi. Hanya cahaya yang dapat menzahirkan kewujudan, kerana cahaya dapat menghalau kegelapan. Jika cahaya matahari dapat menghalau kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutup hakikat-hakikat yang ghaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat oleh mata kerana banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis sahaja dan datangnya dari matahari yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat kerana banyaknya cermin hakikat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.
Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang bagi melihat kebenaran yang sememangnya tersedia ada, bukan mencari kebenaran baharu. Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Apabila Nur Ilahi sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur.
Ilahi.
Murid yang masih pada peringkat permulaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang. Oleh itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat yang halus-halus. Pada tahap ini hati boleh mengalami kekeliruan. Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan membelakangkan yang lebih benar. Orang yang pada peringkat ini perlu mendapatkan penjelasan daripada ahli makrifat yang lebih arif. Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran hakiki.
TERBUKA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN HAMPIRNYA ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN KETIADAAN KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN HAKIKI MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI KETIADAAN KAMU DAN WUJUD KAMU.
Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa hampirnya Allah s.w.t dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah s.w.t sentiasa mengawasinya. Allah s.w.t melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.
Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2: Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4: Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah s.w.t.
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah s.w.t dan merendah diri kepada-Nya.
Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid iaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak lagi khuatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama iaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya. Apa yang Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini sentiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t kerana dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati.. Dia berasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar mempercayainya.
Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah s.w.t dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah s.w.t, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam berkeadaan demikian dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah s.w.t. Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya boleh menyebabkan orang ramai menyangka dia sudah gila. Orang yang mencapai peringkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahawa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t dan segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t.
Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah s.w.t. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Keupayaan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan pengenalan atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tahap ainul yaqin makrifatnya ghaib dan dia juga ghaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesedaran terhadap sesuatu perkara.. Beginilah hukum makrifat yang berlaku.
Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh iaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, penyaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat kerana penyaksian itu adalah hasil dari kemahuan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Penyaksian(shahadul Haq) adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi ialah penyaksian hakiki oleh mata hati atau penyaksian yang haq. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tahap penyaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada ketiadaan dirinya atau kewujudan dirinya, tetapi Allah s.w.t dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tiada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia.
Dia berfirman:
“Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada.”
( Ayat 4 : Surah al-Hadiid)
Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah s.w.t dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah s.w.t. Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan serta kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada penyaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesedaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah s.w.t dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahawa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu pengenalan untuk dipamerkan.
Orang yang memperolehi haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah s.w.t pada setiap ketika, setiap ruang dan setiap keadaan. Dia kembali kepada kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya sentiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah s.w.t dilihat dalam dua perkara yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah s.w.t pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah s.w.t yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tiada lagi perkaitannya dengan kewujudan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah s.w.t meliputi segala sesuatu.
“AWALUDDIN MA’RIFATULLAH”
Artinya : Awal Agama mengenal Allah.
Sebelum mengenal Allah terlebih dahulu kita diwajibkan mengenal diri, setelah mengenal diri, terkenallah kepada Allah, bilamana sudah mengenal Allah, Fanalah diri kita atau tidak ada mempunyai diri lagi, pada hakikatnya hanya Allah.
Selanjutnya terlebih dahulu kita mengenal diri, bilamana tidak mengenal asalnya kejadian diri, maka tidaklah sempurna Ilmu yang kita pelajari. Seperti kata ABDULLAH IBNU ABBAS. R. A :
“Ya Rasulullah, apakah yang pertama dijadikan Allah Ta’ala?"
Nabi SAW bersabda : “INNALLAHA KHALAKA KABLAL ASY YAA INNUR NABIYIKA MINNUIHI” artinya “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan terlebih dahulu ialah Nur Nabi Muhammad SAW yang dijadikan dari pada Zat Allah”.
SYECH ABDUL ASYSYAHRANI RAHIMA HULLAH ALIHI berkata : “INNALLAHA KHALAKA RUHUN NABI SAW MIN ZATIHI WAKHALAKAL ‘ALAMI MINNURI MUHAMMAD SAW.”
Artinya “Sesungguhnya Allah telah menjadikan Roh Nabi Muhammad dari pada Zat Allah, dan sekalian Alam ini dijadikan dari pada Nur Muhammad SAW serta Nabi Adam dan diri kita atau tubuh kita”.
Nabi Bersabda : “ANA ABUL ARWAH, WA ADAMU ABUL BASYARU”
Artinya : “Aku Bapak segala Roh dan Nabi Adam Bapak sekalian Tubuh Manusia tetapi Nabi Adam dijadikan dari pada tanah".
Allah berfirman : “KHALAKAL INSANA MINTIY” artinya Aku jadikan insan Adam dari pada tanah, dan tanah dari pada Air, Airpun dijadikan dari pada Nur Muhammad, maka Roh dan Tubuh tersebut bernama Nur Muhammad. Kepada Roh dan Tubuh inilah segala kainah, Insya Allah kita akan melihat kesempurnaan Zat Wajibal Wujud, karena tubuh kita yang kasar ini tidak dapat mengenal Allah, sebab fana. Yang dapat mengenal/meresapkan Nur Muhammad SAW. Siapa yang dapat mengenal atau meresapkan Nur Muhammad SAW berarti ia mengenal atau meresapkan Tuhannya, karena itu adalah kenyataan dari Wujud Allah yang kita miliki, seperti penglihatan, pendengaran dan sebagainya yang berasal dari pada Nur.
Firman Allah Ta’ala : “KADJA AKUM MINALLLAHINNURI” artinya Sesuatu apa saja yang menimpa kepada kamu adalah dari pada Allah yaitu Nur.
Firman Allah Ta’ala : “KAD JA AKUMUL KAKKUMIR RABBIKUM” artinya Sesuatu apa saja yang masing-masing kamu adalah hak dari pada Tuhan dari Nur kepada Nur.
Di sinilah sampai pelajaran segala Ilmu dari Aulia dan Ambiya asalnya mengenal Allah. Demikian pula pendapat Arifbillah serta kelakuannya karena ia mengenal Diri-Nya berasal dari kejadian Nur.
Firman Allah Ta’ala dalam Hadist Qudsi : “KHALA ILA JALI WAKHALAKHUL ASY YA ILA JALIK” artinya “Aku jadikan kamu karena Aku, dan Aku jadikan Alam semesta karena Engkau Ya Muhammad.”
Rasulullah SAW bersabda : “ANA MINALLAHI WALMU’MINUNKAMINNI artinya “Aku daripada Allah, dan segala Mu’min daripada Aku.”
Maka dari itu, berpeganglah kepada Nur Muhammad, baik di waktu beribadat maupun di luar dari beribadat.
Syech ABDURRAUB berkata : “Yang sebenar diri adalah Nyawa, yang sebenarnya Nyawa adalah Nur Muhammad atau Sifat, yang sebenarnya Sifat adalah Zat Hayyun akan tetapi La Gairi (tidak lain)".
Adapun sebagian pendapat dari Alim Ulama adalah bahwa yang sebenarnya Diri adalah Roh, tatkala masuk pada Diri atau Tubuh bernama Nyawa, tatkala keluar masuk bernama Nafas, bilamana ingin sesuatu bernama Nafsu, dan apabila dapat memiliki sesuatu barang bernama Ikhtiar, dapat pula membuat sesuatu barang bernama Akal atau Ilmu. Inilah yang sebenarnya Diri. Karena pada diri inilah zahirnya Tuhan.
Nabi Muhammad SAW bersabda : “ZAHIRU RABBI WAL BATHINU ABDUHU” artinya Zahir Tuhan itu ada pada Bathin HambaNya, yakni kepada Ilmu Hakikat. Kepada Ilmu Hakikat inilah yang sebenarnya untuk meng-Esakan Allah. Dengan adanya keterangan tersebut di atas, maka kenalilah Diri agar sempurna untuk mengenal Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda : “MAN’ARA PANAFSAHU PAKAD ‘ARA PARABBAHU” artinya “Siapa mengenal dirinya maka mengenal ia akan TuhanNya”. Dan “MAN ‘ARA PANAFSAHU BIL FANA PADA’ARA PARABBAHU BILHAQA” artinya Maka barang siapa mengenal dirinya binasa, niscaya dikenalnya Tuhannya kekal.
Mengenal diri ada terbagi 3 (tiga) bagian :
Harus mengetahui asal diri (seperti tersebut diatas).
Matikanlah diri/tubuh kita yang ada ini (mati Ma’nawiyah).
Setelah Fana diri di dalam diri, Uludiyah Allah Ta’ala dalam Ilmu Allah Ta’ala yang Qadim adanya.
Allah SWT berfirman dalam Hadist Qudsi : “ MAUTU ANTAL KABLAL MAUTU” artinya Matikanlah dirimu sebelum mati kamu (mati sebenarnya).
Mematikan diri adalah sebagai berikut :
“LAA QADIRUN, WALA MURIDUN, WALA ‘ALIMUN, WALA HAYYUN, WALA SAMI’UN, WALA BASIRUN, WALA MUTAKALLIMUN.
Artinya :
- Tidak ada berkuasa ;
- Tidak ada berkehendak ;
- Tidak ada kita tahu ;
- Tidak ada kita hidup ;
- Tidak mendengar ;
- Tidak melihat ;
- Tidak berkata-kata.
Kesemuanya itu hanya Allah, tetapi setelah Fananya seluruh diri/tubuh kita di dalam “UHU DIAH ALLAH dengan Ilmu Allah yang Qadim. Dan ketahuilah Sir Allah dalam Diri/Tubuh kita. Jika kita tidak mengetahui, maka kita selalu bergelumang Dosa.
Nabi SAW bersabda : “WUJUDUKA ZAMBUN LAA YUGA SIBAHU ZAMBUN” artinya Bermula Adam itu dosa yang amat besar, maka tiap-tiap diri/tubuh yang berdosa tidaklah sempurna untuk mengenal Allah, walaupun bagaimana berbaktinya tetap tidak sempurna untuk mengenal Allah, karena berbakti itu adalah umpama diri/tubuh dengan Roh, maka dari itu ketahuilah Sir Allah yang sebenarnya di dalam Rahasia yang ada.
Allah berfirman dalam Hadist Qudsi : “AL INSANU SIRRI WA ANA SIRRAHU” artinya Insan itu adalah RahasiaKu dan Akupun RahasiaNya.
Allah berfirman dalam Hadist Qudsi : “AL INSANU SIRRI WASIARI SIFATI WASIFATI LA GAIRI” artinya “Insan itu adalah RahasiaKu, RahasiaKu itu adalah SifatKu, SifatKu itu tidak lain dari padaKu.
GHAUSUL ‘AZAM berkata “JISMUL INSANU WANAFSAHU WAKABLAHU WARUHUHU WABASARAHU WA ASNA NURU WAYAZRUHU WARIJLUHU WAKULLU ZALIKA AZHIRTULAHU BINAFSIHI LINAFSI ILA HUWA ILLA ANA GHAIRUHU” artinya Diri atau tubuh manusia, hatinya dan pendengarannya, penglihatannya, serta tangan dan kakinya, kesemuanya itu adalah kenyataan bagi DiriKU, tetapi bukan ‘Ainnya dan bukan lainnya. Allah itu tidak lain dari Insan, sebab kita ini adalah Hak dari pada Allah dan tidak ia berpisah segala kelakuanNya atau Af’alNya.
Allah berfirman : “WAFI AMPUSIKUM APALA TUBSIRUN” artinya Ada Tuhan kamu pada diri kamu, mengapa tidakkah kamu lihat akan Aku, kata Allah, padahal Aku terlebih hampir daripada matamu yang putih dengan yang hitamnya, terlebih hamper lagi Aku dengan kamu.
Nabi SAW bersabda : “MAN NAJARA ILA SYAI’AN WALAM YARALLAHUFIHI FAHUWA HATIL” artinya Siapa yang melihat kepada sesuatu, tidak dilihatnya Allah didalamNya, maka penglihatannya itu batal dan sia-sia belaka.
ABU BAKAR SIDDIK R.A berkata “MAA RA AITU SYAI’AN ILLA WARA AITULLAH HAKABLAHU” artinya "Tidak Aku lihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah Ta’ala terlebih dahulu”.
USMAN IBNU AFFAN berkata “MAA RA AITU SYAI’AN ILLA WARA AIRULLAHA“ atinya “Tidak aku lihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah sesertanya".
UMAR IBNU KHATTAF berkata “MAA RA AITU SYAI’AN ILLA WARA AITULLAHA BADAHU” artinya Tidak aku lihat sesuatu, hanya aku lihat Allah Ta’ala kemudiannya.
ALI BIN ABI TALIB “MAA RAITU SYAI’AN ILLA WARA AITULLAHA FIHI” artinya “Tidak aku lihat sesuatu melainkan yang aku lihat Allah Ta’ala di dalamnya”.
Demikianlah apa yang dikatakan oleh para sahabat Nabi tersebut di atas, maka pelajarilah ilmu ini kepada guru sebagaimana mestinya, sebab Allah tidak bersatu dan tidak bercerai/berpisah dengan sesuatu apa juapun. Inilah jalannya untuk mengenal Allah yang hidup kekal dan abadi yang tidak pernah kita lupakan setiap saat dan waktu maupun di dalam tidur.
Inilah pelajaran yang sebenarnya untuk Ma’rifat mengenal Allah dan menghilangkan pekerjaan dunia serta mempelajari ilmunya dengan meniadakan atau menghilangkan diri/tubuh pada tingkah laku kita, maka tidak termasuk lagi pada huruf “HA“ dan tidak boleh lagi dikata atau disebut Allah. Bila mana dengan jalan pelajaran mematikan diri/tubuh seperti : Zat, Sifat, Asma dan Af’al yang ada pada kita. Jika sudah kita tidak ada (memanakan diri/tubuh) inilah yang dimaksud menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala, maka bertemulah kita Ghaib di dalam Ghaib, Ujud di dalam Ujud, Zat di dalam Zat, Sifat di dalam Sifat, Asma di dalam Asma, Af’al di dalam Af’al, Sir di dalam Sir, Rahasia di dalam Rahasia dan Rasa di dalam Rasa yang menerima Zauk atau Widdan. Dalil yang menunjukkan hilangnya diri kepada Allah Ta’ala sebagai berikut :
"TIZIBUL BADANI SARAL QALBI “ artinya Hancurkan Badan jadikan Hati.
“TAZIBUL QALBI SARANRUH” artinya Hancurkan Hati jadikan Ruh.
“TAZIBUL RUHI SARANNUR" artinya Hancurkan Ruh jadikan Nur.
“TAZIBUNNURI SARAS SIRRI" artinya Hancurkan Nur jadikan Rahasia.
"TAZIBUSSIRRI ILLA ANA ILLA ANA” artinya Hancurkan Rahasia jadikan Aku ya Aku yang Mutlak, dan yang sebenarnya Aku itu adalah Rahasia sekalian Makam Manusia yang berada di dalam hati atau bathin.
“ALQOLBU KAMASALIL MURA WANAJRA FIIHI RABBAHU” artinya Hati Manusia itu diumpamakan Cermin, apabila dilihatnya Cerminnya, maka kelihatanlah Tuhannya dari pada Rahasia, karena rupa kita yang berada di dalam bathin inilah yang diakui oleh Allah, sebab rupa dari Rahasianya.
Allah Ta’ala berfirman : “AL INSAN SIRRI WASIRRI WASIFATI LA GHAIRI” artinya Insan itu adalah RahasiaKu dan RahasiaKu itu adalah tidak lain dari pada ZatKu yang Wajibbal Wujud.
Allah Ta’ala berfirman “AL QALBI HAYATI SIRRI ANA ILLA ANA” artinya Di dalam missal itu hati, di dalam SirKu adalah Aku Rahasia segala Insan yang ada di dalam Bathin. Demikianlah yang sebenarnya untuk mengenal Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman dalam Hadist Qudsi “MAN ‘ARA FALLAH PAHUWALLAH” artinya Dengan sesungguhnya siapa yang mengenal Allah, maka ia bernama Allah dan Muhammad, karena hayat itu adalah hidup dengan sendirinya yang berasal dari Hayyun, sedangkan Manikam itu artinya ketuhanan, itulah sifat Allah Ta’ala yang dizahirkan kepada Muhammad dan Adam serta Insan daripada kenyataan kelakuan yang disertai dengan sifat, Hayat, Ilmu, Kudrad, Iradat, Sama’, Bashar, Kalam. Maka tajallilah Zat Muhammad dan Adam serta Insan dan Diri/tubuh yang dijadikan dari pada 4 (empat) macam yaitu :
Mada
Madi
Mani
Manikam artinya Ketuhanan yang disertai dengan sifat yang tersebut di atas daripada kenyataan sesuatu faedah kelakuan (martabat).
“MAN ALIFU KHALAK NARU WAHUWA RUHUL INSANU” Artinya : Hilangkan huruf Alif, jadikan Nama atau Asma Manusia, Fanakanan dirimu di dalam Zat Allah.
“LAM AWAL KHALIFATUHIY WAHUWA HAPSAL INSANU” Artinya : Hilangkan huruf Lam Awal, jadikan Nafas Manusia, Fanakan Sifatmu di dalam Sifat Allah.
“LAM AKHIR KHALAKA ASMAI WAHUWADDARUL INSAN” Artinya : Hilangkan Huruf Lam Akhir, jadikan Daerah Manusia, Fanakan Namamu di dalam Nama Allah.
“WAA HAA, I, KHALAKAL ARDHI WAHUWA BADANUL INSANU” Artinya : Hilangkan Huruf “H”, jadikan Badan/Tubuh Manusia, Fanakan Af’almu di dalam Af’al Allah.
Arti dari nama Allah :
Alif : Jari kelingking menjadi Huruf Alif
Lam Awal : Jari Manis menjadi Huruf Lam Awal
Lam Akhir : Jari Tengah menjadi Huruf Lam Akhir
Ha : Jari Telunjuk dan Ibu Jari menjadi Huruf Ha.
Artinya Diri yang Empat Anasar pada Tubuh :
Artinya Nafas : Menjadi Huruf Alif
Artinya Air Liur : Menjadi Huruf Lam Awal
Artinya Darah : Menjadi Huruf Lam Akhir
Artinya Hawa dan Rasa : Menjadi Huruf Ha.
Artinya Nafas : adalah Angin
Artinya Air Liur : adalah Air
Artinya Daerah : adalah Api
Artinya Hawa dan Rasa : adalah Bumi/Tanah.
Demikianlah penjelasan apa yang dimaksudkan arti Nama Allah yang ada pada Diri kita, agar dapat diketahui sebagaimana yang dipelajari oleh Guru.
ARTI ALLAHU AKBAR
"ALIF" @ ALIFULLAH itu adalah Zat Allah atau Diri Allah dan sebenarnya Diri ialah Ruh Nabi Muhammad SAW, kerana Muhammad itu adalah Nama atau Asma Allah.
"KAB“ ertinya ialah Nyawa, yang berhubungan Jantung (di dalam fuat yang hidup) hingga kita dapat berbicara sebagai mana mestinya.
"BA" @ AF’AL ALLAH adalah kelakuan Nabi Muhammad SAW, kerana itu adalah
kenyataan Allah yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad SAW.
"RA“ ertinya adalah Diri yang nyata ini, hingga dapat melakukan sesuatu kehendak yang disebabkan perintah Rahsia yang berasal dari Ruh Idhafi memerintahkan Nyawa, dan Nyawa memerintahkan Diri/Tubuh sehingga berkelakuan atau berkelakulah yang sebenarnya Diri, sebab kesemuanya itu berasal daripada Nur Muhammad SAW.
Seperti firman Allah :
“KAD JAA AKUMUL HAKKUMIRRABIKUM” ertinya, "Sesungguhnya yang datang kepada kamu itu adalah Hak Daripada Tuhan kamu", Itulah adanya Nur kepada Nur. Yang dimaksudkan Ujud Idhafi yang bernama Wujud Hakiki.
Dan itulah kezahiran Wujud Mutlak, sesungguhnya siapa yang dapat mengenal atau meresapkan Nur Muhammad SAW, sama halnya mengenal atau meresapkan Tuhannya. Kerana itu adalah kezahiran dan kenyataan bagi Wujudnya, dan yang pertama Tajallinya atau menjelmanya HAK ALLAH pada kelakuan INSAN maupun kepada pelajaran orang-orang Arif Billah.
Di sinilah sampainya Ilmu atau Pengetahuan Aulia dan Ambiya yang mengatakan Allah.
Dari itu kenalilah Diri atau Tubuh dengan erti Nyawa, yang dikatakan Rahsia Allah yang bernama Idhafi.
Selanjutnya dengan huruf “H” (IDHAFI) adalah Ruh Wujud Hakiki, atau Kezahiran Wujud Mutlak.
"RA“ ertinya adalah Diri yang nyata ini, hingga dapat melakukan sesuatu kehendak yang disebabkan perintah Rahsia yang berasal dari Ruh Idhafi memerintahkan Nyawa, dan Nyawa memerintahkan Diri/Tubuh sehingga berkelakuan atau berkelakulah yang sebenarnya Diri, sebab kesemuanya itu berasal daripada Nur Muhammad SAW.
Seperti firman Allah :
“KAD JAA AKUMUL HAKKUMIRRABIKUM” ertinya, "Sesungguhnya yang datang kepada kamu itu adalah Hak Daripada Tuhan kamu", Itulah adanya Nur kepada Nur. Yang dimaksudkan Ujud Idhafi yang bernama Wujud Hakiki.
Dan itulah kezahiran Wujud Mutlak, sesungguhnya siapa yang dapat mengenal atau meresapkan Nur Muhammad SAW, sama halnya mengenal atau meresapkan Tuhannya. Kerana itu adalah kezahiran dan kenyataan bagi Wujudnya, dan yang pertama Tajallinya atau menjelmanya HAK ALLAH pada kelakuan INSAN maupun kepada pelajaran orang-orang Arif Billah.
Di sinilah sampainya Ilmu atau Pengetahuan Aulia dan Ambiya yang mengatakan Allah.
Dari itu kenalilah Diri atau Tubuh dengan erti Nyawa, yang dikatakan Rahsia Allah yang bernama Idhafi.
Selanjutnya dengan huruf “H” (IDHAFI) adalah Ruh Wujud Hakiki, atau Kezahiran Wujud Mutlak.
Nama-Nama Roh
ROH BANYAK MEMPUNYAI NAMA DAN TINGKATAN :
Kalau diri manusia masih merupakan satu titik, Roh Nabati namanya.
Kalau ia segumpal darah, Roh Jamadi namanya.
Kalau ia segumpal daging, Roh Wajdi namanya.
Kalau ia bergerak, Roh Hayati namanya.
Kalau ia dilahirkan, Roh Hayawani namanya.
Kalau ia menyusu, Roh Nafsani namanya.
Kalau ia berbicara, Roh Insani namanya.
Kalau ia mempunyai akal, Roh Nurani namanya.
Kalau ia sampai umur, Roh Ruhani namanya.
Kalau ia setengah umur, Roh Rahmani namanya.
Kalau ia berumur 40 tahun, Roh Jamali namanya.
Kalau ia sudah tua, Roh Kulli namanya.
Kalau ia mati (mengenal perkataan ma’nawi dari pada mati), Roh Ma’nawiah namanya.
Kalau ia di dalam kubur, Roh Rabbani namanya.
Kalau ia bangun dari kubur, Roh Illahiyah namanya.
Mengenal salah satu dari itu, Roh Ruhul Arwah namanya.
Segala galanya ini dengan perintah dari RUHUL QUTUB. Dan bernama ROH IDHAFI dan bernama ROH ‘ULWI dan bernama WUJUD IDHAFI dan WUJUD ‘AAMI.
Kalau ia segumpal daging, Roh Wajdi namanya.
Kalau ia bergerak, Roh Hayati namanya.
Kalau ia dilahirkan, Roh Hayawani namanya.
Kalau ia menyusu, Roh Nafsani namanya.
Kalau ia berbicara, Roh Insani namanya.
Kalau ia mempunyai akal, Roh Nurani namanya.
Kalau ia sampai umur, Roh Ruhani namanya.
Kalau ia setengah umur, Roh Rahmani namanya.
Kalau ia berumur 40 tahun, Roh Jamali namanya.
Kalau ia sudah tua, Roh Kulli namanya.
Kalau ia mati (mengenal perkataan ma’nawi dari pada mati), Roh Ma’nawiah namanya.
Kalau ia di dalam kubur, Roh Rabbani namanya.
Kalau ia bangun dari kubur, Roh Illahiyah namanya.
Mengenal salah satu dari itu, Roh Ruhul Arwah namanya.
Segala galanya ini dengan perintah dari RUHUL QUTUB. Dan bernama ROH IDHAFI dan bernama ROH ‘ULWI dan bernama WUJUD IDHAFI dan WUJUD ‘AAMI.
Kenyataan Insan
PERKATAAN NUR
PERKATAAN ROH
Aku yang Awal
Dia yang Awal
Aku yang Akhir
Dia yang Akhir
Aku yang Zahir
Dia yang Zahir
Aku yang Bathin
Dia yang Bathin
BILA MANA KITA MENGATA ALLAH ITU ADALAH MUHAMMAD
BILA MANA MUHAMMAD MENGATA ALLAH ITU ADALAH TUHAN KITA
NASAR ZAHIR
NASAR BATHIN
Api
Nufus
Angin
Ampas
Air
Tanufus
Tanah
Nafas
KENYATAAN YANG SEBENARNYA
1.
Kenyataan Tubuh pekerjaan Hati
Kenyataan Hati pekerjaan Roh
Kenyataan Roh pekerjaan Nur
2.
Kenyataan Nur pekerjaan Kutub
Kenyataan Kutub pekerjaan Hati
Kenyataan Hati pekerjaan Tubuh
3.
Kenyataan Tubuh pekerjaan Hati
Kenyataan Hati pekerjaan Roh
INSAN
Berjasadkan Rohani
Bernyawakan Nurani
Rahasia Idhafi
NABI
Berjasadkan Nurani
Bernyawakan Idhafi
Rahasia Rabbani
BILA MANA MUHAMMAD MENGATA ALLAH ITU ADALAH TUHAN KITA
NASAR ZAHIR
NASAR BATHIN
Api
Nufus
Angin
Ampas
Air
Tanufus
Tanah
Nafas
KENYATAAN YANG SEBENARNYA
1.
Kenyataan Tubuh pekerjaan Hati
Kenyataan Hati pekerjaan Roh
Kenyataan Roh pekerjaan Nur
2.
Kenyataan Nur pekerjaan Kutub
Kenyataan Kutub pekerjaan Hati
Kenyataan Hati pekerjaan Tubuh
3.
Kenyataan Tubuh pekerjaan Hati
Kenyataan Hati pekerjaan Roh
INSAN
Berjasadkan Rohani
Bernyawakan Nurani
Rahasia Idhafi
NABI
Berjasadkan Nurani
Bernyawakan Idhafi
Rahasia Rabbani
Mencari Diri Sendiri ...
Kita kembali kepada LATIHAN semula iaitu mencari DIRI SENDIRI yang berdiri dengan sendirinya itu.
Setelah kita dapat MENEMUI JALANNYA PERNAFASAN kita yang turun naik itu yang berasal dari dalam, maka DENGAN MEMATIKAN SEGALA TENAGA kita yang ada, kita CUBA MENURUTKAN TURUN NAIKNYA PERNAFASAN kita itu, dengan pengertian kita MULAI MEMAKAI atau MENGGUNAKAN TENAGA DARI DALAM iaitu TENAGA YANG MENYEBABKAN TURUN NAIKNYA PERNAFASAN kita.
Lancarnya latihan kita dan sampai kepada MENINGKATNYA PERGERAKAN yang dibawakan oleh DAYA TENAGA YANG BERASALKAN DARI JALANNYA PERNAFASAN kita bergantung kepada pandainya kita membawakannya. Untuk dapat membawakan sampai mengerti, ialah pandainya kita MENYERAHKAN SEGALA SESUATU apa yang ada pada kita KEPADANYA iaitu pada YANG BERDIRI DENGAN SENDIRINYA itu.
DIA akan bebas bergerak, kalau apa yang ada pada kita teleh dipunyainya dan dikuasainya, dengan pengertian kalau tadinya kita menganggap Dia kepunyaan kita, maka adalah sebaliknya yang terjadi iaitu JADIKAN KITA MENJADI KEPUNYAANNYA.
Setahu kita, DIA telah ada bersama kita dan adalah Dia itu kepunyaan kita, KURNIA atau ANUGERAH yang Maha Esa lagi Maha Besar kepada kita. DIA datang dariNYA dan akan kembali kepadaNYA pula. Dan adalah kedatangannya kepada kita untuk Kesempurnaan Kejadian kita. Dan tidaklah sempurna kita rasanya, kalau kita tidak mengetahui, mengenal dan MENEMUInya.
Adalah DIA langsung dari Yang Maha Esa dan adalah keadaan kita dijadikan dari yang telah dijadikan. Tingkatnya juga lebih tinggi dari kita kerana DIA ASLI ( original ) dan kita dari yang dijadikan, sungguhpun yang menjadikan kita itu Tuhan Yang Maha Esa juga.
Satu ASAL, tetapi berlainan KE-ADA-AN. DIA ada tetapi tiada, kita ada dan nyata, DIA yang telah berada bersama kita, bahkan terkandung didalam batang tubuh kita, kenapa kita tidak dapat menemuinya ? Tuhan telah memberikannya kepada kita untuk HIDUP bukan untuk MATI.
Jadi nyatalah sudah ada KELEBIHANNYA dari kita dan Rahsia Hidup dan kehidupan kita padanyalah LETAKNYA. Dan kalau kita ingin hidup bahagia, tentu DIA MESTI KITA CARI dan KITA TEMUI, seperti telah dikatakan diatas, PADANYALAH TERLETAK RAHSIA HIDUP itu.
Untuk mengetahui dan MENEMUInya tentu lebih dahulu harus kita pecahkan soal antara kita dengan DIA dengan jalan MEMISAHKAN YANG SATU DENGAN YANG LAIN, iaitu antara BADAN dan DIRI atau antara DIA dan AKU.
Latihan yang kita bawakan dengan mematikan badan sebelum mati sebenarnya mendatangkan sudah PERMULAAN PERPISAHAN, kerana dengan perbuatan kita itu maka tinggallah YANG HIDUP.
Perbuatan kita dengan latihan itu ialah kita meninggalkan YANG HIDUP oleh kerana kita hendak mengetahuinya dalam KE – ADA-AN yang sebenarnya. Sebelum kita dapat menemui dan MENGUASAInya kita tidak dapat yang sebenarnya.
Untuk itu hendaklah kita TERUS BERLATIH dan BERLATIH mencarinya SAMPAI ADA PANCARAN KELUAR DARI HUJUNG JARI JARI kita. Dengan telah dapatnya kita MERASAKAN PANCARAN YANG KELUAR DIHUJUNG JARI JARI kita itu beerti DINDING TELAH TEMBUS dan RAHSIA TELAH TERBUKA dan tugas kita ialah MEMPELAJARInya lagi dengan pengalaman pengalaman atau PERCUBAAN PERCUBAAN.
DIA adalah HAKMILIK kita dan tiadalah orang lain berhak atasnya. Kenapa tidak kita pergunakan Hakmilik kita Yang Amat Berharga itu ?
Pendirian kita ( selama ini ) selain SALAH kerana tidak berpegang pada DIRI barang yang hidup, melainkan kepada BADAN barang yang mati. Yang TERANG ada pada kita dan yang GELAP pun ada pada kita. Kenapa berpegang kepada itu yang GELAP ? SIANG ada pada kita MALAM pun ada pada kita.
SIANG adalah TERANG dan Yang Terang adalah DIRI dan MALAM adalah GELAP dan Yang Gelap ialah BADAN. Siterang letaknya DIDALAM dan Sigelap letaknya DILUAR. MASUKKAN itu MALAM kepada SIANG dan MASUKKAN itu SIANG kepada MALAM. Datangkanlah itu YANG HIDUP dari YANG MATI dan YANG MATI dari YANG HIDUP. KELUARKANlah Yang Didalam dan KEDALAMKANlah Yang Diluar.
UNTUK itu REZEKI yang TIDAK TERDUGA-DUGA dan TERBILANG banyaknya yang akan kita PERDAPAT.
Semua orang takut mati kerana SALAH MEMAHAMI HIDUP. Dia takut ditinggalkan Hidup. Dari itu makanya dia takut mati. Mereka mereka SALAH PEGANG, salah tangkapan berpegang pada Yang Mati YANG DIANGGAPnya Yang Hidup
Sebenarnya Hidup, tidak diperdulikannya selama ini. Bagi kita berpegang pada Yang Hidup tidak akan takut mati kerana bagi kita Yang Hidup itu mestilah TIDAK ADA MATInya. Adalah DIA itu KEKAL dan ABADI mungkin BERPINDAH – pindah tempat.
Pembawaan hidup mereka mereka yang seperti itu menuju kepada kematian dan perjalanan hidup yang kita bawakan menuju kepada hidup yang kekal dan abadi untuk kembali kepengkalan.
Perlalanan mereka KEBAWAH ( manakala ) perjlanan kita ( pula ) KEATAS. Mereka MENUJU KEMATIAN manakala kita pula MENUJU KEHIDUPAN YANG KEKAL dan ABADI.
Perjalanan kita BESERTANYA ialah kita telah mati sebelum dimatikan, telah pergi sebelum dipanggil dan AKU telah kembali dari SANA.
AKU telah MENEMUINYA setelah engkau menemui AKU dan BATAS Aku dengan DIA ialah seperti batas antara Engkau dengan Aku iaitu JAUH TIDAK BERANTARA dan DEKAT TIDAK BERBATAS. Engkau yang tadinya DINDING bagiku untuk menghubungi dan MENEMUInya satelah dapat menghubungiku dengan CARA PEMECAHANMU, maka TERBUKAlah JALAN bagiku untuk menghubungi dan menemui NYA, kerana pintu telah terbuka bagiku.
Engkau Aku bawa serta kerana cinta kasih sayangku tertumpah padamu dan adalah ENGKAU ITU BADANKU. Kita tidak akan berpisah kecuali kalau dipisahkan oleh Yang Maha Kuasa. Dari itu KUASAILAH AKU supaya apa yang ada padaku menjadi KEPUNYAANMU.
Bagaimana cara menguasainya ? Mudah sahaja. Cintailah, kasihilah dan sayangilah AKU. Bagimanakah cara mencintai, mengasihi dan menyayanginya ? AKU tidak pinta apa yang tidak ada padamu, cukuplah kalau engakau SERAHKAN APA YANG ADA PADAMU KEPADAKU dan untuk itu akan AKU serahkan pula apa yang ada padaKu sehingga AKU menjadi kepunyaanmu dan engkau menjadi kepunyaanku.
Kedalam Engkau yang berkuasa, keluar AKU dimuka. Tadinya sebelum engkau mengenal Aku maka adalah AKU NYAWAMU. Setelah Engkau telah dapat mengenal AKU, maka tahu Engkau yang bahawa AKU ini sangat berguna padamu. Engkau ketahui bahawa seluruh kehidupanmu BERGANTUNG PADAKU. Setelah Engkau menemui AKU, maka Engkaulah lebih kenal padaku.
AKUlah yang akan menjadi Engkau dan Engkaulah yang akan jadi AKU. AKU dan Engkau sebenarnya SATU dan memang kita satu. Ilmu pengetahuan yang memisahkan kita. Dan AKUlah kita, AKU LUAR dan DALAM.
Selama ini Engkau berjalan sendiri dengan tidak memperdulikan AKU. Sekarang setelah Engkau menemui AKU, apa lagi kita telah menjadi AKU maka kalau Engkau berjalan ikut sertakanlah AKU dan kalau AKU berjalan akan mengikut sertakan Engkau pula. Satu arah, satu tujuan dan satu tindakan. Selama ini kita berjalan pada jalan sendiri – sendiri.
Sekarang kita kenal mengenal satu sama lain. Selapik seketidur, sebantal, sekalang hulu, sehina, semulia, kelurah sama menurun, kebukit sama mendaki, sikit senang sama-sama kita rasai.
Apa yang tidak ada padaKU, ada padamu dan apa juga yang tidak ada padamu ada padaku.
Engkau selama ini sudah jauh berjalan sendiri dengan tidak mengikut sertakan AKU, walaupun Aku sentiasa berada bersamamu. Dalam banyak hal AKU menderita kerana AKU yang merasakannya.
Sekarang AKU berjalan dan Engkau Aku ikut sertakan. Tugasmu hanya menurutkan dan mempelajari hasilnya untuk kita. Engkau yang tadinya tidak tahu setelah mempelajari perjalananku akan banyak mendapat yang Engkau tidak ketahui selama ini.
AKU yang berbuat, Engkau yang melakukan dan hasilnya untuk KITA. Bahagiamu terletak PADAKU dan bahagiaku padamu. AKU sangat merasa bahagia kalau yang AKU perbuat dan lakukan besertamu menghasilkan yang memuaskan.
Lambat laun Engkau akan mengenal AKU yang sebenarnya. Dan adalah perbuatanku bagimu namanya ILMU. Oleh kerana Aku GHAIB sifatnya maka namanya ILMU GHAIB.
Rahsia kandungan telah terbuka dengan hasil dari latihan latihan yang telah kita lakukan iaitu keluarnya pancaran yang terasa betul pada hujung KUKU kita, hujung jari jemari kita. Dan kita telah melahirkan kandungan kita sendiri.
Yang melahirkan kita dan yang dilahirkan kita pula. Kita yang telah terlahir itu ialah DIRI YANG BERDIRI DENGAN SENDIRINYA, bergerak dan berjalan dengan sendirinya, akan tetapi duduk ditempatnya.
Keluarnya dari badan kita melalui saluran saluran tertentu yang bernamakan pancaran yang setelah sanggup menebus alam sendiri akan sanggup pula menembus alam lain, kalau kita telah dapat menguasai dan mengetahui akan RAHSIANYA yang sebenarnya.
Ibu melahirkan kita sebagai seorang manusia lengkap dengan pembawaan dan kelahiran kita mengandung pembawaan itu untuk hidup. Untuk melanjutkan jalannya kehidupan kita supaya dapat menikmati Kebahagiaan Hidup, maka adalah tugas kita melahirkan kandungan kita iaitu pembawaan dari Rahim ibu.
Kebahagiaan hidup yang kita alami di Rahim ibu semasa dalam kandungan ibu ialah dengan hidupnya bonda mengandung atau dengan dua ( 2 ) keadaan hidup, iaitu pertama yang mengandung dan yang kedua yang dikandung.
Sebelum kita dapat melahirkan kandungan kita itu sampai akhir hayat kita, maka senantiasa akan panjanglah jalannya kehidupan kita yang kita rasai, kerana melakukan hidup sendiri. Maka untuk kesempurnaan jalannya kehidupan kita lahirkanlah kandungan sendiri. Kelahirannya mendatangkan HIDUP BARU bagi kita dan seimbangkanlah jalannya kehidupan kita.
Kita telah bertahun-tahun berjalan sendiri-sendiri mengharungi lautan hidup yang tidak bertepi itu. Maka pergunakanlah jalan hidup yang baru kita perdapat itu.
Bila itu HIDUP tidak kita pergunakan tidak perlu disesalkan kalau satu saat nanti kita ditinggalkannya.
Dengan telah melahirkan kandungan itu kita telah menjadi manusia baru dengan tenaga baru.
Kejadian Insan
PENGENALAN DIRI
Dalam rahim Bapak 40 hari
Mada, Madi, Mani, Manikam
Pusat, Jantung, Watsulbi, Muntarait, Otak
Dalam Otak ada Lemak, Dalam Lemak ada Minyak, Dalam Minyak ada Nur, Dalam Nur ada Nur Akal, Dalam Nur Akal ada Hizabbannur, Dalam Hizabbannur Hidayamul Amanah Allah SWT.
PENYAKSIAN DI ALAM ROH
ALAS TUBIRABBIKUM : ..... Benarkah Aku Tuhan Engkau
KALU BALA : .................… Benar Engkau Tuhan kami
SHAHIDNA : …............…… Menyaksikan
SUSUNAN DALAM RAHIM BAPAK
Di Otak : 7 hari
Di Rulang Belakang : 7 hari
Di Watsulbi Muntarait : 7 hari
Di Tulang Data : 7 hari
Di Pusat : 7 hari
Di Kalam : 7 hari
Jumlah = 42 hari
Dalam Rahim Ibu 9 Bulan + 9 hari / 7 Bulan + 7 hari, Titik NOKTAH.
1 hari : HU
3 hari : ALLAH
7 hari : INNALLAH (hanya Allah)
4 bulan + 4 hari : TURABBUNNUR (Tanah Nur)
7 bulan + 7 hari : SUBHANALLAH (Maha Suci Allah)
8 bulan + 8 hari : ALHAMDULILLAH (Puji Bagi Allah)
9 bulan + 9 hari : INNA ANNA AMANNA (Sesungguhnya Aku beriman/Pembawa Amanah Allah SWT)
Ujud artinya Ada, Mustahil Tiada, Mana yang Mustahil.
Adalah Akwan Agiyar kita. Wajib Allah Ta’ala ada.
Tidak sah Ma’rifatnya, bila tidak mengetahui asal kejadian Diri kita ini.
Itifak/Mufakat.
Seluruh Arifbillah.
Adapun mengenal diri itu mengetahui daripada asal Nabi Adam A.S. Asalnya Nabi Allah Adam itu nasarnya Air, Api, Angin, Tanah, maka turunlah kepada kita :
Tanah itu = Tubuh kita hurufnya
Angin itu = Nafas kita hurufnya
Api itu = Darah kita hurufnya
Air itu = Rasa kita hurufnya
Maka itulah kita ketahui arti mengenal diri namanya.
Adapun kejadiannya Tanah bernama Syari’at = Tubuh kepada kita
Adapun kejadiannya Angin bernama Tarikat = Laku kepada kita
Adapun kejadiannya Api bernama Hakikat = Hati kepada kita
Adapun kejadiannya Air bernama Ma’rifat = Rasa kepada kita
Itulah mengenal diri namanya.
Syariat umpama Kaki
Tarikat umpama Tangan
Hakikat umpama Tubuh
Ma’rifat umpama Kepala
Adapun yang bernama Diri Terdiri itu Rahasia namanya
Adapun yang bernama Diri Tajalli itu Roh namanya
Adapun yang bernama Diri Terperi itu Hati namanya
Adapun yang bernama Diri Diperikan itu Tubuh namanya
Mengenal Adam Menurut :
Syari’at : adalah ia Manusia yang Pertama
Tarikat : adalah ia Hakikat yang Muncul
Hakikat : adalah ia Asma Allah
Ma’rifat : adalah Hanya Allah (ILLallah)
ASYHADU adalah bagi kita Lidah
ALLA adalah bagi kita Badan
ILLAHA adalah bagi kita Hati
ILLALLAH adalah bagi kita Roh
HUWA adalah bagi kita Rahasia (Air)
Adapun yang sebenar-benar Diri ialah Nyawa/Roh
Adapun yang sebenar-benar Nyawa/Roh adalah Muhammad
Adapun yang sebenar-benar Muhammad adalah Allah
Adapun yang sebenar-benar Allah adalah segala Sifat Allah Ta’ala
Adapun yang sebenar-benar Sifat Allah Ta’ala adalah Zadtullahita’ala
Adapun Sifat Allah Ta’ala adalah wujud Allah Ta’ala yang kata mempunyai Wujud dan hakikat daripada segala yang ada, besar maupun kecil. Bagaimanapun juga pada pandangan lahir maupun bathin adalah sebenar-benarnya termasuk satu sifat yang sempurna, tidak bertulang, berdaging, berdarah, atau berkulit. Pada yakin kita maka yang berbagai sifat dan warna adalah Hanya satu, menurut yakin Ma’rifat kita.
Adapun yang bernama Wujud Hakiki yaitu Zadtullahita’ala. Wujud Hakiki itu mustahil pada pandangan awam, wujud majazi itu tidak ada pada pandangan wujud hakiki.
Wujud ‘Am (umum) itu meliputi pada alam, dan nyata pada Muhammad.
Adapun yang sebenar-benarnya Manusia yaitu Muhammad
Adapun sebenar-benarnya Muhammad yaitu Allah
Dan sebenar-benarnya Allah yaitu Zadtullah
Maka itulah sebabnya kita manusia dilebihkan Allah Ta’ala dari pada semesta sekalian alam ini, karena asalnya kejadian sekalian itu daripada Muhammad.
Nur Yang Hidup
BISMILLAAHIN NURI NURUN’ALA NURIN
Inilah risalah singkat menjelaskan tentang martabat 7 (tujuh). Karena Martabat 7 (tujuh) itulah tahkiknya faham Ma’rifat atau sempuna bagi Aulia Allah yang semuanya mempunyai keramat besar dalam sejarah Mazhab Ahlul Sunnah Waljama’ah yang 4 (empat).
Adapun yang mula-mula menyusun martabat 7 (tujuh) itu ialah SYEH AHMAD KUSASI BIN MUHAMMAD AL MADANI WALI KUTUB RABBANI RIJALUL SHAID yang masyur itu. Kemudian diteruskan lagi oleh murid-muridnya yang bernama SYEH ABDURRAUB, SYEH MUHAMMAD SEMAN dan lain-lainnya yang semuanya berderajat Wali Kutubburrabbani.
Adapun marabat 7 (tujuh) itu adalah berdasakan hukum AKLI dan NAKLI, untuk memahami Rahasia kebesaran Nabi kita Muhammad SAW yang sebenar-benarnya karena himpunan segala rahasia Allah itu adalah terhimpun pada Wujud diri Nabi kita yang bernama Muhammad dan kezahiran Nabi kita itu menurut kezahiran manusia biasa dengan beribu berbapak dan sebagainya.
Adapun arti martabat itu ialah tingkatan kezahiran rahasia Allah Ta’ala dan bersusun:
1. Martabat AHDIAH
2. Martabat WAHDAH
3. Martabat WAHIDIYAH
4. Martabat ALAM ARWAH
5. Martabat ALAM MISAL
6. Martabat ALAM ZASAM
7. Martabat ALAM INSYAN.
PENJELASAN SATU PERSATU
1. MARTABAT AHDIAH
Martabat Ahdiah bermakna Keesaan dan hukumnya LAA TA’AIN. Artinya : Tiada ada sesuatu wujud yang terdahulu adanya, oleh karena itu hanya dinamakan “AL HAQ” artinya : Keesaan Kesempurnaan Semata-mata.
Seperti Hadis Nabi SAW “ WAKA HALLAHUWALA SYIUM MA’AHU”
Artinya : Adalah Allah itu Maha Esa dan tiada ada lainnya sertanya.
Maka martabat Ahdiah itu bukanlah bermakna bahwa ada sesuatu wujud yang terdahulu adanya daripada Nur Muhammad atau wujud yang maujud adanya Nur Muhammad, tetapi adalah untuk menolak adanya Itikad yang menetapkan bahwa ada lagi suatu wujud yang mengujudkan Nur Muhammad. Jadi jelasnya martabat 7 ya’ni Martabat Ahdiah itu adalah bermakna pengakuan kepada Ke Esaan, Kebesaran dan Kesempurnaan Nur Muhammad itu semata-mata. Oleh karena itu Martabat yang sebenar-benarnya adalah 6 (enam) saja. Dan bukan 7 (tujuh), sejalan dengan ayat “FII SIT TATIAIYA MIN SUMMASTAWA’ALAL ‘ARSII” artinya : Kesempurnaan kejadian semesta alam adalah di dalam 6 (enam) masa.
Kemudian sempurnalah kebesaran Allah pada kejadian ARASY yang Maha Besar itu, menurut hadis sahih “bahwa masa yang terakhir yakni kejadian sempurnalah kejadian Nabi Adam", dengan ditempatkan di atas muka bumi.
Adapun hakikat ARASY yang sebenarnya menurut faham Ma’rifat yang tahkik adalah terkandung pada isyarat-isyarat huruf Nabi Adam itu sendiri, ialah Alif dan Dal itu mengisyaratkan kepada “AHMAD” dan “MIM” itu mengisyaratkan pada “MUHAMMAD”.
Oleh karena itu pada hakikatnya kezahiran Nabi Adam itu adalah menjadi Wasilah Ja’ani menjadi jalan bagi kezahiran kebesaran Nabi kita yang bernama Muhammad itu sendiri.
Di dalam tafsir yang ma’I’tisar kebesaran Nabi kita yang bernama Muhammad itu telah berwujud suatu sinar yang sangat menakjubkan pada nabi dan rasul-rasul yang terdahulu dan bahkan kebesaran itulah yang telah menjadi MU’JIZAD bagi Nabi-nabi terdahulu, maka kebesaran itulah diisyaratkan dengan “ANNUR” di dalam AL QUR’AN, dan ANNUR itu bukanlah bermakna cahaya, tetapi bermakna Keluasan, Kesempurnaan yang tiada terbatas dan tiada terhingga.
2. MARTABAT WAHDAH
Adapun Martabat Wahdah bermakna wujud yang awal yang tiada ada permulaannya dan hukumnya “TA’INUL AWWALU” artinya : wujud yang terdahulu adanya daripada segala wujud yang lainnya, lagi tiada ada permulaannya. Itulah yang dinamakan HAIYUN AWWALU, HAIYUN AZALI, HAIYUN IZZATI, HAIYUN HAKIKI, yakni bersifat HAIYUN yang sebenar-benarnya QADIM yang NAFSIAH, SALBIAH, MA’ANI dan MANAWIAH, ZALAL, ZAMAL, QAHAR, KAMAL, itulah hakikat kebesaran Nabi kita itu yang bernama Muhammad Rasulullah Sallahu’alaihi Wasallam.
Maka Kandungan nama Muhammad itulah yang dinamakan dengan Wahdah. Yang menjadi jumlah dan himpunan AF’AL, ASMA, SIFAT, ada pun ZAT hanyalah bagi MA’LUM yakni Sendirinya.
ILLAH tidak lain, dan dinamakan HAWIYYATUL’ALAMI” artinya : Sumber segala kejadian semesta alam ini, dan dinamakan HADRATUS SARIZ artinya : Kebesaran yang dipandang pada tiap-tiap yang maujud pada alam ini, itulah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an “NURUN’ALA NURIN” artinya : Nur yang sangat dibesarkan pada semesta alam ini, yakni Nur yang hidup dan maujud pada tiap yang hidup sekalian alam ini atau Nur yang hidup dan menghidupkan.
Kebesaran hakikat Muhammad itulah yang sebenarnya dipuji dengan kalimah ALHAMDU kerana kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itulah yang diisyaratkan oleh kalimah ALHAMDU itu, yakni "ALIF" bermakna ALHAQ artinya KEESAAN, KEBESARAN NUR MUHAMMAD, tajallinya ROH bagi kita. “LAM LATIFUM” artinya Kesempurnaan Nur Muhammad, tajallinya NAFAS bagi kita, “HA” HAMIDUN artinya Kesempurnaan Berkat Nur Muhammad, tajallinya HATI, AKAL, NAFSU, PENGLIHAT, PENDENGAR, PENCIUM, PENGRASA dan sebagainya bagi kita. “MIM" MAJIDUN artinya Kesempurnaan Safa’at Nur Muhammad, tajallinya bagi kita : IMAN, ISLAM, ILMU, HIKMAH dan sebagainya. “DAL" DARUSSALAMI artinya Kesempurnaan Nikmat Nur Muhammad, tajallinya bagi kita : KULIT, BULU, DAGING, URAT, TULANG, OTAK, SUMSUM.
Maka itu adalah tajallinya bagi diri yang bathin, adapun tajalli bagi diri yang zahir adalah “ALIF” bagi kita, “LAM” dua tangan bagi kita, “HA” badan bagi kita, “MIM” Pinggang bagi kita dan “DAL” dua kaki bagi kita. Itulah yang diesakan dengan “ASYAHADU” yakni :
“ALIF ALHAQ" artinya Yang diEsakan dan yang diBesarkan.
“SYIN SYUHUDUL HAQ “ artinya Yang diakui bersifat Ketuhanan dengan sebenar-benarnya.
”HA HADIYAN MUHDIYAN ILAL HAQ “ artinya Yang menjadi Petunjuk selain menunjuki kepada jalan/Agama yang Hak.
“DAL DAIYAN ILAL HAQ" artinya Selalu menyerukan atau yang selalu memberi Peringatan kepada Agama yang Hak.
“ALHAMDU” berma’na “ALHAYATU MUHAMMADU” artinya Kesempurnaan Tajalli Nur Muhammad.
Fahamnya ialah “ADAM” adalah nama adab atau nama syari’at atau nama hakikat, atau nama kebesaran bagi kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD. Dan MUHAMMAD adalah nama keesaan yang menghimpunkan akan nama Adam dan nama Allah.
Pada bahasa atau ilmu bahasa Arab “ADAM” itu damirnya “HU” dan MUHAMMAD itu damirnya “HU” dan ALLAH itu damirnya “HU”. Pada makna Syari’at “HU” itu bermakna Dia Seorang Laki-laki, dan pada makna Hakikat adalah jumlah yang banyak rupa wujudnya, tetapi pada makna Hakikat “HU” itu adalah “Esa” tiada berbilang-bilang. Itulah isyarat Al Qur’an “HUWAL HAYYUN QAYYUM” yang HAIYUN awal tiada ada permulaannya “WAHUWAL’ALI YIL’AZIM” yang bersifat denga sifat-sifat kesempurnaan lagi maha besar. “HUWAR RAHMANURRAHIM” yang bersifat Rahman dan Rahim. “HUWARABBUL ‘ABSIL KARIM” yang memiliki Arasy yang Maha Mulia, Arasy itu ada nama kemuliaan Diri Nabi Kita itu yang sebenar-benarnya, tetapi juga menjadi nama Majazi bagi sesuatu tempat atau suatu alam Ghaib yang dimuliakan adanya, sama halnya seperti JIBRIL, MIKAIL, IZRAFIL, ISMA’IL, NUHAIL, SURAIL.
Menurut tafsir yang me’I’tibar semuanya dengan bahasa Suryani atau bahasa Arab di zaman Pura, yang bernama ABDULLAH maka yang … ABDULLAH itu adalah Nabi kita yang bernama MUHAMMAD itu sendiri.
Maka oleh karena itu di dalam ayat “ISRA’” Nabi kita itu bernama ABDULLAH menunjukkan nama MUHAMMAD itu adalah juga Penghulu sekalian malaikat dan kebesaran nama MUHAMMAD itulah yang sebenar-benarnya yang diisyaratkan oleh Al Quran dengan huruf-huruf yang tidak dapat ditentukan atau dihinggakan namanya, karena bersangatan luas kandungannya mulai dari ALIF, LAM sampai NUR ada 29 tempat. Jadi semuanya nama-nama yang mulia, di langit dan di bumi itu adalah nama kemuliaan dan kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata, dan menjadi nama Majazi pada tiap-tiap Wujud yang dimuliakan pada alam ini.
Itulah isyarat Al Qur’an “WAHUAL LAZI PISSAMA ILLAHUW WAFIL ANDHI ILLAHUN” dan dialah yang sebenar-benarnya memiliki sifat-sifat Ketuhanan yakni sifat kesempurnaan yang ada di langit dan sifat-sifat kesempurnaan yang ada di bumi, dan ayat “LAHUL ASMA’UL HUSNA” artinya hanyalah dia yang sebenar-benarnya memiliki nama-nama yang mulia dan yang terpuji yang telah maujud pada semesta alam ini.
Tetapi karena adab Syari’at dihukumkan yang haram, haram yang najis, najis seperti anjing dan babi dan sebagainya yang tidak layak kecuali bagi MA'LUM pada majlis mengajar dan belajar, yang boleh membicarakan masalah tersebut di atas. Yang ke 3 (tiga) berkata ASY SYEH BURHANUDDIN ARRUMI pernah berkata yang maksudnya bahwa hakikat kebesaran Nur Muhammad itu menghimpunkan 4 (empat) macam alam, dan hakikat alam itu hanya 4 (empat) macam saja himpunannya iaitu :
Alam HASUT ialah alam yang terhampar langit dan bumi dan segala isinya dan bagi kita HASUT itu ialah seluruh Jasad, Kulit, Daging, Otak, Sumsum, Urat, Tulang.
Alam MALAKUT ialah alam ghaib bagi malaikat-malaikat, dan bagi kita malakut itu ialah Hati, Akal, Nafsu, Nafas, Penglihat, Pendengar, Pencium, Pengrasa dan sebagainya.
Alam JABARUT ialah alam ghaib bagi Arasy, Kursi, Luh Mahfus, Syurga, Neraka dan sebagainya dan bagi kita Alam Jabarut itu ialah Roh, Ilmu, Hikmah, Fadilat, Hasanah dan sebagainya, dari pada segala sifat yang mulia dan terpuji.
Alam LAHUT ialah alam ghaib bagi kebesaran Nur Muhammad dan bagi kita alam Lahut itu ialah Bathin tempat Rahasia, Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat, maka ke 4 (empat) macam alam itu adalah semuanya wujud kesempurnaan tajalli Nur Muhammad, dan 4 (empat) macam alam itu lagi terhimpun kepada kebenaran wujud diri Rasulullah yang bernama INSANUL KAMIL. Dan menjadi berkah dan FAIDURRABBANI yakni kelebihan yang harus bagi tiap-tiap Mu’min yang ahli Tahkik, karena mereka itu adalah “WADA SYATUL AMBIYA” yakni mewarisi kebenaran bathin nabi-nabi dan rasul-rasul dan mu’min yang tahkik itulah yang dinamakan Aulia Allah, tetapi mu’min itu tiada mengetahui bahwa dirinya adalah Aulia yang sebenarnya.
Pendapat AL HALAD dan IBNU ARABI bahwa kedua walikutub itu pernah berkata yang maksudnya bahwa Muhammad itu ada dua rupa, yakni ada dua rupa dia atau ada dua Ma’na :
Muhammad yang bermakna QADIM AZALI, itulah diri Muhammad yang pertama, yang tidak ada AL MAUTU/mati padanya selama-lamanya, jelasnya bahwa Muhammad diri yang pertama kita itu. Itulah yang awal NAFAS yang akhir SALBIAH, yang zahir MA’ANI dan yang bathin MA’NAWIYAH.
Muhammad yang bermakna Abdullah Insanul Kamil itulah diri Muhammad yang kedua, nama yang harus baginya, bersifat manusia biasa yang berlaku padanya “SUNNATU INSANIAH, KULLU NAFSIN ZA IKATUL MAUT”
Dalam pada waktu itu wajib kita meng’itikadkan bahwa jasad nabi kita itu adalah QADIM IDHOFI, yaitu tidak rusak selama-lamanya dikandung bumi. Seperti hadis sahih AL BUKHARI/riwayat BUKHARI : “INNALLAHA AZZA WAJALLA HARRAMA’ALAL ARDHI AIYA KULLA AZSADAL AMBIYA” artinya : Bahwasanya Allah Ta’ala yang maha tinggi telah mengharamkan akan bumi, bahwa bumi itu bisa menghancurkan akan jasad para nabi-nabi. Maka tahkiknya faham kedua walikutub itu, supaya kita jangan terlihat dengan faham Nasrani, dengan Yahudi dan sebagainya. Maka kita tetapkan dahulu faham kita ialah :
Bahwa pada hukum adab, Nabi kita Muhammad yang Muhammad itu adalah manusia biasa seperti kita, hanyalah dilebihkan ia dengan kerasulan.
Bahwa tiap-tiap manusia itu sendirinya baik pada hukum akal dan pada hukum nakli, ada mempunyai dua macam diri yakni diri pertama atau diri hakiki ialah Rohani, dan diri yang kedua yaitu diri Majazi ialah Jasmani, dan diri yang kedua atau diri jasmani itu karena kemuliaan bagi Rasulullah dinamakan INSANUL KAMIL.
Bahwa diri Hakiki yang bermakna Rohani itulah yang bernama Muhammad. Itulah yang Qadim Azali, Qadim Izzati, Qadim Hakiki, itulah makna yang dirahasiakan yang menjadi keesaan segala sifat kesempurnaan yang 99 (sembilan puluh sembilan) itu. Jalannya kebesaran wujud Roh Nabi kita itulah yang diisyaratkan oleh kalimah “HUALLAH” jadi makna Muhammad itu Tahkiknya adalah “AINUL HAYATI” yakni wujud sifat yang hidup dan yang menghidupkan. Maka itulah yang diisyaratkan dengan kalimah “LA ILAHA ILLALLAH” dan yang dibenarkan dengan kalimah “ALLAHU AKBAR” dan yang dipuji dengan “SUBBHANALLAH WALHAMDULILLAH" dan sebagainya lagi. Itulah yang dipuji dengan “ALHAQ QULHAQ” oleh seluruh malaikat-malaikat MUKARRABIN menurut tafsir yang me’itibar.
Bahwa diri Majazi yang bermakna Jasmani, itulah yang bernama Insanul Kamil. Itulah Muhammad majazi, yakni Muhammad yang kedua yang menempuh ALMAUTU pada adab, tetapi jasad Nabi itu adalah Qadim Idhofi. Jasad Nabi kita itulah diisyaratkan oleh ayat AL QUR’AN “PADABA RAKALLHU AHNAUL KHORIKIM" artinya : Maha Sempurnalah Sifat Allah pada Kezahiran Wujud yang sebaik-baik rupa kejadian itu”. Dan diisyaratkan Hadis Qudsi “ZAHIRU RABBI WAL BATHINU ABDI” artinya : Kezahiran sifat kesempurnaan Allah itu adalah maujud pada hakikat kesempurnaan seorang hamba yang bernama Muhammad Rasulullah itu. Yakni maujud dengan rupa Insanul Kamil, maka rupa wujud Insanul Kamil itulah yang diisyaratkan oleh AL QUR’AN dengan “AMFUSAKUM” artinya : Wujud Diri Kamu Sendiri, yakni “WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUN” artinya : Dan yang diri kami berupa wujud insan itu apakah tidak kamu pikirkan. Yakni yang menjadi diri hakiki atau diri pertama pada insan itu.
Pada hakikatnya adalah kebenaran dan kesempurnaan Roh Nabi kita yang bernama Muhammad itu semata-mata, dan diri kedua itupun tidak lain karena itulah dinamakan insan yakni yang kedua, atau rupa Muhammad yang nyata, yang nasut, maka kebenaran Roh Nabi kita yang bernama Muhammad itulah yang diisyaratkan oleh Al Qur’an “ALLAHU NURUSSAMA WATIWAL ARDHI” artinya : Kebenaran Nur Allah itu ialah Maujud di langit dan di bumi. Dan ayat seterusnya “NURUN ‘ALA NURIN” artinya : Nur yang hidup dan yang menghidupkan atas tiap-tiap wujud yang hidup pada alam ini, itulah isyarat perkataan 4 (empat) sahabat besar itu yang berbunyi demikian :
Berkata Saidina Abu Bakar Siddik r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻳﺖ ﺷﻳﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻳﺖﺍﷲ
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah semata-mata dahulunya.
Kata Umar Ibnu Khattab r.a :
“MAA RAAITU SYAIAN ILLA WARAAITULLAHU MA’AHU”
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah Ta’ala semata-mata kemudiannya.
Kata Usman Ibnu Affan r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺘﺒﻳﺎ ﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻤﻌﻪ
Artinya : Tidak aku lihat pada wujud sesuatu hanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata besertanya.
Kata Ali Ibnu Abi Talib r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺷﻴﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ
Artinya : Tidak Aku lihat pada wujud sesuatu hanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata maujud padanya.
Itulah isyarat ayat Al Qur’an “WAKULIL HAMDULILLAH SAYURIIKUM AAYAA TIHI FA’A HIRU NAHA” artinya : Dan ucapkanlah puji bagi Allah karena sangat nampak bagi kamu pada wujud diri kamu itu sendiri, akan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala, supaya kamu dapat mengenalnya.
Dari itu dengan sabda Nabi Muhammad SAW “MAM TALABAL MAULA BISHAIRI NAFSIHI FAKAD DALLAH DALALAM BA’IDA” artinya : Barang siapa mengenal Allah Ta’ala di luar dari pada mengenal hakikat dirinya sendiri., maka sesungguhnya adalah ia sesat yang bersangat sesat. Karena hakikat diri yang sebenarnya, baik rohani dan jasmani tidak lain melainkan adalah wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata. Maka apa-apa nama segala yang maujud pada alam ini, baik pada alam yang nyata dan alam yang ghaib adalah semuanya nama Majazi bagi kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD.
Adapun makna Syahadat yang tahkikut tahkik “ASYHADUALLA ILAHA ILLALLAH” naik saksi aku bahwasanya Rohku dan Jasadku tidak lain, melainkan wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD semata-mata. “WA ASYHADUANNA MUHAMMADARRASULULLAH” dan naik saksi Aku bahwa hanya MUHAMMAD RASULULLAH itu tiada lain, melainkan wujud kebenaran tajalli NUR MUHAMMAD yang sebenar-benarnya.
Maka kesempurnaan musyahadah, murakabah dan mukafahah, yakni keesaan pada diri adalah pada keluar masuknya nafas, karena faham tahkik, tidak ada lagi “LAA” tetapi hanya “ILLAH” yakni tidak lain “NAFSI ILLAHU” tidak lain DIRIKU. Melainkan wujud kebesaran NUR MUHAMMAD semata mata.
CAHAYA-CAHAYA MAKRIFAT
MACAM-MACAM CAHAYA BATIN YANG MENGGODA
“Ada cahaya yang menyingkap jejak-jejak-Nya dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifat-Nya.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.
Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa ada cahaya yang
menyingkap keadaan makhluk-makhluk sehingga ia menyinari ahwal (keadaan
spiritual) para hamba dan menyinari yang ada di atas bumi dan di bawah
langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf
ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq (para ahli hakikat).
Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah dan keindahan-Nya. Cahaya ini tak akan terlihat, kecuali para orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.
Syekh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya menyingkap dzat-Nya,” karena penampakkan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikan. Sebagian yang lain membenarkan kemungkinannya.
Syekh Muhyiddin Ibn Arabi menyebut penampakkan dzat Allah yang murni ini dengan bawariq (kilat), karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.”
Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam mengatakan: “Boleh jadi kalbu terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya kalbu oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.”
Menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, boleh jadi kalbu kita tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah SWT.
Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:
Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yakni ilmu dan pengetahuan. Jika hati terhenti padanya, maka ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud. Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yakni nafsu syahwat dan kebiasaanya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan, karena tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.”
Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah dan keindahan-Nya. Cahaya ini tak akan terlihat, kecuali para orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.
Syekh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya menyingkap dzat-Nya,” karena penampakkan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikan. Sebagian yang lain membenarkan kemungkinannya.
Syekh Muhyiddin Ibn Arabi menyebut penampakkan dzat Allah yang murni ini dengan bawariq (kilat), karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.”
Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam mengatakan: “Boleh jadi kalbu terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya kalbu oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.”
Menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, boleh jadi kalbu kita tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah SWT.
Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:
Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yakni ilmu dan pengetahuan. Jika hati terhenti padanya, maka ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud. Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yakni nafsu syahwat dan kebiasaanya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan, karena tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.”
Sayangi yang Ada di Bumi, yang Ada di Langit Menyayangimu
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Malaikat Jibril a.s. berkata kepadaku,’Allah SWT meyanyangi para hamba-Nya yang penyayang,” (HR Bukhari). Rasul juga bersabda, “Sayangilah apa yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangi kalian,” (HR At-Tirmidzi)
Wahai orang yang menginginkan kasih sayang Allah SWT, perhatikanlah harganya dan itu sudah ada di tanganmu! Lalu berapa harga yang harus dibayar? Yaitu, kasih sayang kepada sesama makhluk-Nya. Lalu, apa yang dimaksud dengan ‘yang ada di tanganmu?’ Yang ada di tanganmu adalah berikanlah harganya dan ambil barangnya.
Celakalah dirimu, engkau mengaku mengenal Allah SWT, namun tidak mengasihi sekalian makhluk-Nya, Pengakuanmu itu dusta. Orang yang arif akan senantiasa mengasihi sekalian makhluk berdasarkan ilmunya, serta mengasihi kaum lainnya berdasarkan hukum. Hukum itu memecah dan ilmu menyatukan. Allah SWT berfirman, “Dan, masuklah ke rumah-rumah dari pintu-pintunya..”(QS Al-Baqarah [2]: 189)
Para syekh yang mengamalkan ilmu dan benar dalam menjalaninya merupakan pintu Al-Haqq Azza wa Jalla dan jalan menuju kedekatan kepada-Nya. Mereka merupakan pewaris para Nabi, yang menyeru kepada jalan keesaan-Nya. Mereka adalah para dokter agama dan pengajar. Maka, terimalah penjelasan yang mereka sampaikan dan layanilah mereka. Serahkan nafsu jahiliah kalian atas dasar perintah dan larangan mereka.
Semua rezeki berasal dari Al-Haqq ‘Azza wa Jalla, baik rezeki badan, batin, maupun relung jiwa, maka mintalah dari-Nya, bukan kepada selain-Nya. Rezeki badan adalah makanan dan minuman. Rezeki batin (qalb) adalah tauhid, dan rezeki relung jiwa adalah dzikir khafi. Sayangilah diri kalian dengan bermujahadah, memerintahkannya dan melarangnya, serta melatihnya dengan kesungguhan. Sayangilah sekalian makhluk dengan memerintahkan mereka untuk menjalankan amal kebaikan dan mencegah kemunkaran, disertai niat yang benar dalam menasihati mereka, serta menuntun tangan mereka menuju pintu-Nya.
Kasih sayang merupakan salah satu sifat orang Mukmin, sedangkan bersikap kasar adalah ciri orang kafir. Sambunglah silaturahmi kepada orang yang memutus talinya. Berilah orang-orang yang tidak memberi kepada kalian. Dan, maafkanlah orang-orang yang menzalimi diri kalian. Jika kalian mampu melakukan hal tersebut, maka tali kalian bersambung dengan tali Al-Haqq Azza wa Jalla. Segala sesuatu yang kalian miliki ada di sisi-Nya, karena akhlak-akhlak ini merupakan bagian dari akhlak-Nya.
Sambutlah para muadzin yang menyeru kalian agar mendatangi masjid, yang merupakan rumah pertemuan dan munajat. Sambutlah mereka, maka kalian akan mendapatkan kesuksesan dan kecukupan. Jika kalian merespons seruannya maka Allah SWT akan memasukkan kalian ke dalam negeri-Nya, mengabulkan doa kalian, mendekatkan kalian, serta mengajarkan makrifat dan ilmu kepada kalian. Dia akan memperlihatkan kepada kalian segala sesuatu yang ada di sisi-ya, mendidik seluruh anggota badan kalian, menyucikan kalbu kalian, menjernihkan bashirah kalian, memberi ilham, menempatkan kalian di hadapan-Nya, mengantarkan kalbu kalian ke Negeri Kedekatan-Nya, dan mengizinkan kalian masuk menemui-Nya.
Dia Maha Dermawan jika kalian menyambut-Nya serta tidak meremehkan berdoa kepada-Nya. Dia berbuat baik kepada kalian dan mencabut apa yang harus dicabut dari diri kalian.”
KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH
Sumber: https://www.facebook.com/tasawufunderground
Mari belajar tentang makna, faidah dan hakikat dzikir dari Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah.
Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.
Menurut Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.
Setiap dzikir memiliki pengaruh tertentu. Jika kita sibuk dengan dzikir, pasti akan diberi yang lebih tinggi darinya. Dzikir yang disertai kesiapan akan bisa membuka tirai, tapi hal itu disesuaikan dengan kondisi orang yang melakukannya.
Menurut Imam Ghazali, hakikat dzikir adalah berkuasanya Allah di dalam kalbu disertai kesirnaan dzikir itu sendiri. Tapi, dalam pandangannya, dzikir memiliki tiga kulit atau lapisan yang salah satunya lebih dekat kepada inti (lubb) daripada yang lainnya. Inti (lubb) tersebut berada di balik tiga kulit tadi. Kulit-kulit itu adalah sebagai jalan menuju inti (lubb). Kulit yang paling luar adalah dzikir lisan semata.
Seorang pedzikir selalu mengaplikasikan dzikir lewat gerakan lisan disertai usaha menghadirkan kalbu. Karena, kalbu perlu penyesuaian dengan lisan agar sanggup hadir dalam dzikir. Jika dibiarkan, ia akan sibuk dengan berbagai imajinasi yang melintas.
Kondisi ini baru berakhir ketika kalbu mengikuti lisan serta cahayanya membakar syahwat dan setan. Saat itulah dzikir kalbu menguat, sementara dzikir lisan mulai melemah. Seluruh organ dan semua sisi tubuhdipenuhi cahaya, kalbu pun bersih dari hal-hal selain Tuhan, terputus dari berbagai bisikan, dan setan al-Khannas pun tak lagi tinggal di dalamnya. Dengan begitu, kalbu menjadi tempat masuknya anugerah Allah, serta cermin bagi segala manifestasi dan makrifat ilahiah. Ketika dzikir itu menyeruak masuk ke dalam kalbu dan menyebar di seluruh organ tubuh, maka semua organ itu pun berdzikir sesuai dengan kondisinya.
Al-Jurairi menuturkan, “Salah seorang sahabat kami selalu mengucap Allah, Allah. Lalu pada suatu hari, kepalanya terkena batang pohon hingga pecah dan mengucurkan darah. Dari darah itu kemudian tertulis di atas tanah lafal Allah, Allah.”
Dzikir laksana api yang bekerja secara aktif dan memberikan pengaruh. Ketika masuk ke dalam sebuah rumah, dzikir itu akan berucap, “Aku, tidak ada lagi selainku.” Itulah makna ungkapan la ilaha illa Allah. Jika di dalam rumah itu bertemu dengan kayu bakar, dzikir tersebut akan segera membakar. Jika rumah itu gelap, ia akan menjadi cahaya penerang.
Jika rumah itu memang memiliki cahaya, ia akan menjadi cahaya di atas cahaya.
Dzikir berfungsi menghilangkan endapan berlebih dalam tubuh yang diakibatkan oleh makan berlebihan dan mengkonsumsi barang haram. Saat endapan kotor itu terbakar sehingga hanya yang baiklah yang bertahan, barulah ia bisa mendengar senandung dzikir dari semua organ tubuhnya. Suara dzikir itu seperti tiupan terompet. Pertama-tama, ia jatuh di sekitar kepala sehingga kau akan mendengar suara seperti terompet.
Dzikir adalah penguasa, jika singgah di suatu tempat, ia akan singgah dengan membawa terompet itu. Sebab, dzikir menghadang apa saja selain al-Haq. Ketika menempati suatu tempat, ia akan sibuk melenyapkan segala sesuatu yang menjadi lawannya laksana air bertemu api. Lalu, akan terdengar berbagai macam suara seperti desir air, deru angin, golakan api, derap kuda, dan suara dedaunan tertiup angin. Sebab, struktur tubuh manusia terdiri dari unsur mulia dan hina. Unsur yang hina meliputi tanah, air, api, udara, bumi dan langit, serta segala yang berada di antara keduanya. Jadi, semua suara itu berasal dari seluruh unsur asli di atas. Ketika suara itu terdengar, berarti ia sedang bertasbih dan mensucikan Allah dengan lisannya. Itulah hasil dari dzikir lisan yang optimal.
Bisa jadi ketika seorang hamba diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan menangis dan berteriak karena rindu pada dzikir dan objeknya (Allah).
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pedzikir takkan lagi menoleh pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada kalbunya, berarti masih ada hijab.
Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya.
Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya.
Jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara kontinyu sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling sucii. Gambaran alam malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian lahut tampak jelas di hadapannya.
Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi dzikir.
Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahasia dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman surga, perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy) tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal.”
Sebagai tanda bahwa sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah saat pedzikir dan objek dzikirnya lenyap tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu.
Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, dzikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Tetapi, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berdzikir dengan cahaya yang mengalir darinya.
Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.
Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir khafiy.
Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah berfirman, “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.”
Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berdzikir beersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirrmu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu.
Jika engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan zat-Nya.
Menurut Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs al-ammarah bi al-su (yang memerintahkan pada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan, menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan merupakan kejahatan. Bagi nafs al-ammarah bi al-su ini, dzikir ibarat lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita.
Nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam Al-Quran Allah menjadikan Nafs lawwamah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirmsn, “Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan Nafs lawwamah (yang sering mencaci).” (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).
Seperti dijelaskan sebelumnya, nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Menurut Ibnu Atha’illah, melalui dzikir, nafs dalam diri manusia itu seolah-olah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah.
Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera melakukan dzikir dan munajat agar dzikir tersebut bisa mengalahkan dan mengeluarkan mereka.
Nafs lawwamah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (dzikir). Ketika dzikir bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haq tampak dengan jelas, nafs itu pun kembal pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru kepadanya, “Wahai nafs muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]: 29-30).
Langganan:
Postingan (Atom)