Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Jumat, 10 Januari 2014
Shalat istikharah
Solat Sunnat Istikharah
Solat ini dilakukan untuk mendapatkan petunjuk, terutama bila seseorang dalam keraguan memutuskan mana yang terbaik diantara dua perkara yang diragukan.
Jika timbul keraguan dalam hati untuk memilih atau mengambil keputusan dalam sesuatu perkara, contohnya: apakah aku harus menolak atau menerima? Keraguan makin terasa, keputusan tidak dapat dipastikan setelah melihat masing2 ada kelebihan dan keburukannya.Oleh yang demikian, hendaklah menyerahkan pada Yang Maha Kuasa untuk memilihnya. Sebelum seseorang mengambil keputusan ia dianjurkan solat istikharah dua rakaat.Dengan mengharapkan agar ditunjukkan Allah untuk mendapatkan pilihan yang terbaik. Jika keraguan masih mempengaruhi fikiran untuk menentukan pilihan, ulangilah solat istikharah dan membaca doanya, walaupun pengulangan sampai 7 kali berturut-turut.
Selepas itu, bertawakkal kepada Allah, pilihlah salah satu daripadanya, ambillah yang mana arah ‘hati’ lebih cenderung setelah berdoa. Jangan menimbulkan lagi keraguan, yakinlah bahawa itu adalah pilihan terbaik dari yang Maha Kuasa.
Jangan merasa kecewa andai ternyata dalam keputusan yang dipilih menimbulkan keinginan yang tidak disukai. Ingatlah bahawa ini adalah yang telah digariskan pada azali yang tidak dapat dielakkan, besar kemungkinan mengandungi hikmah, membawa kebaikan dimasa akan datang, hendaklah tetap mempunyai husnuz-zan kepada Allah
.Tata Cara Shalat IstikharahTata cara solat istikharah lebih kurang sama dengan solat subuh, Hanya niatnya saja yang berlainan, iaitu berniat solat istikharah. dilaksanakan sebelum tidur ataupun setelah bangun tidur. Sangat baik dilakukan sesudah lewat tengah malam disaat sunyi, supaya hati lebih khusyuk dalam mengemukakan permohonan kepada Allah.
Solat ini sangat peribadi sifatnya. Sebab itu harus dikerjakan sendirian. Solat ini tidak memakai azan atau iqamah.
Lafaz niat:-Ushalli Sunnatal Istikharaati Rak’ataini Lillahi Ta’aalaSahaja Aku sembahyang sunnat istikharah 2 rakat tunai kerana Allah Ta’alaRakaat pertama-Baca surah Al-fatihah dan surah Al-kafirunRakaat kedua-Baca surah Al-fatihah dan surah Al-ikhlasSelepas salam, bacalah doa yang disarankan dalam istikharah.
Dalam berdoa sebaiknya menyebutkan permintaan yang ingin diberikan petunjuk oleh ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA. misalnya: “Ya Allah, jika hal ini….(sebutkan namanya)”Doa istikharahSetelah selesai solat, berdoa seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam:
Doa-istikharah
Allaahumma inni astakhiiruka bi’ilmika, wa astaqdiruka biqudratika wa as aluka min fadhlikal azhiim. Fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wata’lamu wa laa a’lamu, wa anta allaamul ghuyuub.Allaahumma inkunta ta’lamu anna haadzal amra khairun lii fii diinii wama’aasyii wa ‘aaqibati amrii, ‘aajili amrii wa aajilihi faqdurhu lii wa yassirhu lii tsumma baarikliifiihi. Wa inkunta ta’lamu anna haadzal amra syarrun lii fii diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibatu amrii ‘aajili amrii wa aajilihi fashrif annii washrifni ‘anhu waqdur liyal khairahaytsu kaana tsumma ardhinii bihi, innaka ‘alaa kulli syai-in qadiirartinya“
Ya Allah, aku memohon petunjuk memilih yang baik dalam pengetahuanMu, aku mohon ditakdirkan yang baik dengan kudratMu, aku mengharapkan kurniaMu yang besar. Engkau Maha Kuasa dan aku adalah hambaMu yang dhaif. Engkau Maha Tahu dan aku adalah hambaMu yang jahil. Engkau Maha Mengetahui semua yang ghaib dan yang tersembunyi.Ya Allah, jika hal ini (***) dalam pengetahuanMu adalah baik bagiku, baik pada agamaku, baik pada kehidupanku sekarang dan masa datang, takdirkanlah dan mudahkanlah bagiku kemudian berilah aku berkah daripadanya.Tetapi jika dalam ilmuMu hal ini (***) akan membawa bencana bagiku dan bagi agamaku, membawa akibat dalam kehidupanku baik yang sekarang ataupun pada masa akan datang, jauhkanlah ia daripadaku dan jauhkanlah aku daripadanya. Semoga Engkau takdirkan aku pada yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas setiap sesuatu.”
Semoga bermanfaat..
By:Muslimah Shalihah II
YA RASULALLAH
Wahai engkau,
duhh cahayamu,
Martabatmu Tinggi ,
engkaulah bangsawan,
engkaulah pangeran hati,
semua alam mencintaimu,
Syafaat dan kedermawanan yg tinggi, berbudi pekerti luhur,
Wajahmu yang tampan,
Tuturmu yg menentramkan, pandanganmu yang menyejukkan, tanganmu yang lembut,
duhai yang memilih kefakiran,
Duhai yang mencintai wanita dan farfum lembut,
engkaulah ciptaan yg sempurna ; kehendak dari Tuhanmu.
Tuhan Muhammad dan ibrahim As, cahayamu memberi syafaat semua umat dan alam.
Dan kebahagiaanmu adalah ummat Muhammad, ummaty, ummaty, engkau rela berkorban melimpahkan beban sakaratul maut bagi kaum muslimiin, engkaulah purnama,
engkaulah embun di pagi hari,
engkau yg sll bersujud pada Tuhanmu, engkau yg selalu beristighfar kepada Tuhanmu, engkau yg sll di payungi oleh awan biru,
engkau yg gunung2 bersuka cinta diinjakkan kaki olehmu,
engkau yg dicintai sahabat2mu, Engkaulah pelita hatiku,
Muhammad ibni Abdillah,
Rasululloh Saw
MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKHABDUL QADIR AL-JAILANI (BAGIAN KEDUA/TERAKHIR
"Disadur dari Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih Ahmad Asy-
Syami"
Aminnya Para Malaikat Didengar saat Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani Mengimami Shalat
Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa,
pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru mereka.
Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga
diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke arah
sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya
di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berjalan di permukaan sungai. Mereka
melihat semua ikan muncul di permukaan dan
menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur. Mereka
melihat permadani luas terhampar di atas kepala
mereka, dan menutupi angkasa. Pada permadani
itu tertulis ayat dengan tinta emas dan perak:
“Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para
malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran
tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan
keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait.
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
Layaknya permadani terbang Nabi Sulaiman As.,
permadani itu terbang melayang lalu turun ke
tanah. Dengan rasa takjub , tenang dan tentram,
orang-orang berjalan menuju permadani itu. Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan
pakaian yang indah juga melangkah ke arah
permadani, lalu menjadi imam shalat.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat
tangannya dan mengucapkan: “Allahu Akbar,”
seluruh angkasa menggemakan kalimat yang
sama. Ketika beliau shalat, para malaikat tujuh
lapis langit secara tertib mengikuti beliau.
Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah,” sinar
kehijauan memancar dari mulut beliau dan
menyebar ke seluruh angkasa.
Di akhir shalat, seraya menengadahkan tangan
beliau berdoa: “Ya Allah, demi leluhurku dan
kekasihMu Muhammad Saw., dan demi para
hambaMu yang bertakwa dan mencintaiMu, jangan
cabut nyawa para pengikutku kecuali jika dosa-
dosa mereka telah diampuni dan iman mereka
telah disempurnakan.”
Semua hadirin mendengar para malaikat
bersamaan berucap: “Aamiin.” Mereka mengikuti
aminnya para malaikat. Lalu mereka semua
mendengar suara dari dalam diri mereka sendiri:
“Bergembiralah. Aku telah mengabulkan doamu.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Syaikh yang sempurna
laksana nabi bagi para pengikutnya. Dan
sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
termasuk diantara syaikh yang sempurna yang
telah membukkan pintu kebahagian dunia ini untuk
para pengikutnya dan pintu surga di akherat
kelak.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah berhasil
menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi
manusia sempurna berkat ilham dan perintah Nabi
Saw. Beliau menjadi guru yang punya hubungan
kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani
Nabi Muhammad Saw.
Ketika Empat Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Mengadu
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki empat
orang istri, yang semuanya sangat setia dan taat
kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani memiliki 49 anak, 27 laki-
laki dan 22 perempuan.
Suatu hari, istri-istri beliau mendatangi beliau dan
berkata: “Wahai pemilik akhlak yang mulia, anak
bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis
atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang
yang menjadi bagian dari dirimu? Kami sangat
berduka, tetapi engkau tetap sibuk dengan
urusanmu seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau
adalah pemimpin, pembimbing dan harapan kami
di dunia maupun di akherat. Tetapi, hatimu
sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar
kepadamu di hari kiamat dan berharap kau dapat
menyelamatkan kami?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab:
“Sahabat-sahabatku tercinta, jangan pernah
mengira hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir
karena kekafiran mereka. Aku mengasihi anjing
yang menggigitku dan berdoa kepada Allah agar
tidak menggigit orang lain dimana mereka akan
melemparinya dengan batu. Tidaklah kalian tahu
bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang
telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta
alam?”
Para istri beliau berkata: “Engkau mengasihi
bahkan kepada anjing yang menggigitmu, tetapi
mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas
anakmu yang telah dipenggal pedang kematian?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Duh
sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis
karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Kau
melihat anakmu dalam mimpi duniawi dan kau
kehilangan dia dalam mimpi yang lain. Allah
berfirman: “Dunia ini adalah mimpi.” Dunia ini
adalah mimpi bagi orang-orang yang tidur.
Sementara aku tetap terjaga. Aku melihat anakku
ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia
telah keluar dari lingkaran itu. Aku masih
melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang
bermain di dekatkku persis seperti saat-saat
sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat dengan
mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun
mati, kebenaran tidak akan pernah hilang.”
Godaan Setan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan para pengikut beliau berjalan
kaki di padang pasir dan saat itu padang pasir
benar-benar panas. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bercerita:
“Aku merasa sangat lelah dan dahaga. Para
pengikutku berjalan di depanku. Tiba-tiba
sekumpulan awan muncul di atas kepala, seperti
payung yang melindungi kami dari terik matahari.
Di depan kami muncul sebuah mati air yang jernih
dan sebatang pohon kurma penuh dengan buah
yang telah masak.
Lalu, muncullah cahaya yang lebih terang dari
matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara: “Hai
umat Abdul Qadir, akulah Tuhan! Makan dan
minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa
yang kuharamkan atas orang lain.”
Para pengikutku yang berada di depanku berlarian
menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku
berteriak menghentikan mereka. Kutantang sinar itu
seraya berteriak: “Aku berlindung kepada Allah
dari setan yang terkutuk!”
Seketika, awan, cahaya, mata air dan pohon
kurma itu lenyap. Setan itu berdiri di depan kami
dengan rupa yang sangat buruk. Ia bertanya:
“Bagaimana kau mengenaliku?”
Kukatakan pada setan terkutuk yang telah diusir
dari rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah
dalam bentuk suara yang dapat didengar telinga.
Selain itu, aku tahu hukum Allah bersifat tetap dan
berlaku atas semua orang. Dia takkan
mengubahnya atau menghalalkan yang haram bagi
sekelompok orang yang disukaiNya.”
Mendengar ucapanku, setan menggoda agar aku
menjadi angkuh: “Hai Abdul Qadir, aku telah
memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini.
Sungguh ilmu dan kebijaksanaanmu lebih tinggi
daripada nabi.”
Kemudian setan itu menunjuk ke arah pengikutku
dan berkata: “Hanya sebanyak inikah pengikutmu?
Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu
karena kau laksana nabi.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku
berlindung darimu kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Bukan ilmu
atau kebijaksanaanku yang dapat
menyelamatkanku darimu, melainkan kasih sayang
Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memandang bahwa
segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau
melakukan segala sesuatu hanya karena Allah, dan
tidak menisbatkan sesuatupun pada makhluk,
termasuk kepada beliau sendiri. Beliau selalu
mengerjakan apa yang beliau katakan. Beliau
anggap sama, baik pujian atau cercaan, manfaat
atau mudharat. Ilmu beliau luas dan kebijaksanaan
tinggi, bagi beliau, orang berilmu dan tak
mengamalkan ilmunya laksana keledai yang
membawa buku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat
Salah seorang syaikh yang sezaman dengan
beliau, yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-
Mubarak al-Wasithi, meriwayatkan:
“Aku mengunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bersama beberapa muridku. Aku membawa
sebuah buku filsafat. Beliau menyalami dan
memandang kami lalu berkata kepadaku: “Betapa
kotor dan buruknya sahabat yang kau genggam itu.
Pergi dan cucilah tanganmu.”
Aku terkejut mendengar ucapan marah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Tak mungkin beliau
mengetahui isi buku yang memang kusukai dan
nyaris kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri
dan menyembunyikan buku itu di suatu tempat
untuk diambil kembali saat pulang.
Baru saja aku hendak bangkit, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menatapku tajam dan aku tak dapat
berdiri. Beliau memintaku menyerahkan buku itu.
Sebelum kuberikan, aku membukanya untuk
terakhir kali. Namun, tak ada satupun hurup yang
kulihat. Semuanya kosong. Putih. Semua yang
tertulis di sana telah hilang.
Setelah menerima buku itu, beliau amati apa yang
ada di dalamnya lalu menyerahkannya kembali
kepadaku seraya berkata: “Inilah keutamaan al-
Quran yang ditulis oleh Daris.”
Kuterima dan kubuka buku itu. Ternyata, buku
filsafat itu telah diubah menjadi Fadhail al-Quran
karya Ibn Daris, dengan tulisan yang sangat indah.
Kemudian beliau berkata: “Maukah kau bertaubat
dengan lisan dan hatimu?”
“Ya.” Jawabku.
“Berdirilah.”
Ketika aku bangkit, kurasakan semua ilmu
filsafatku luruh dari fikiranku dan jatuh ke tanah.
Tak satu pun kata mengenainya yang tersisa dalam
fikiranku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Dapat Membaca
Pikiran Para Muridnya
Dikisahkan bahwa sekelompok orang berkumpul
dekat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, berharap
dapat mendengarkan ceramah beliau. Namun,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani duduk sangat lama
tanpa berkata sepatah katapun. Jamaah juga
duduk menanti dengan tenang.
Tiba-tiba mereka diliputi kenikmatan. Pikiran dan
imajinasi mereka seakan-akan hilang. Lalu
semuanya secara berbarengan memikirkan hal
sama: “Apa yang tengah dipikirkan syaikh.”
Secepat pertanyaan itu muncul dalam pikiran
mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Baru saja seseorang tiba-tiba datang dari Makkah
bertaubat di depanku lalu pulang kembali.”
Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang
dapat terbang langsung dari Makkah ke Baghdad
perlu bertaubat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Terbang di
udara adalah satu hal, namun merasakan cinta
adalah hal lain. Aku telah mengajarinya bagaimana
mencinta.”
Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan bahwa ketika
itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid
di madrasah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Suatu
hari, aku melihatnya pergi meninggalkan rumah
dengan tongkat di tangannya. Aku berkata dalam
hati: “Andai saja ia memperlihatkan keajaiban
melalui tongkat itu.”
Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu
mengetukkan tongkatnya ke pasir. Tiba-tiba
tongkat berubah menjadi cahaya yang memancar
ke langit, menyinari segalanya selama satu jam.
Kemudian ia memegang cahaya itu, dan seketika
berubah kembali menjadi tongkat. Beliau
memandangku lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah
yang kau inginkan?”
Riyadhah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Melalui diri beliau, lebih dari lima ribu orang
Yahudi dan Kristen menjadi Muslim. Lebih dari
seratus ribu bajingan, penjahat, pembunuh,
pencuri dan perampok bertaubat dan menjadi
orang shaleh. Beliau menuturkan bagaimana beliau
mencapai keutamaan itu:
“Selama 25 tahun aku berkelana di padang sahara
Irak. Aku tidur di reruntuhan bangunan. Selama 12
tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di
Sahara Syustar, yang berjarak 12 hari perjalanan
dari Baghdad. Aku berjanji kepada Tuhanku bahwa
aku tidak akan makan dan minum sebelum meraih
kesempurnaan ruhani.
Pada hari ke-40, seseorang datang membawa
setumpuk roti dan makanan, kemudian
meletakkannya di depanku. Lalu ia menghilang.
Tubuhku berteriak: “Aku lapar, aku lapar!”
Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati.
Mengapa kau tidak makan?” Tetapi aku tidak
melanggar sumpahku kepada Allah.
Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami lewat di
hadapanku. Ia mendengar jeritan lapar tubuhku,
meski aku tidak mendengarnya. Ia menghampiriku
dan ketika melihat keadaanku yang lemah, ia
berkata: “Apa yang kulihat dan kudengar ini,
wahai Abdul Qadir?”
Jawab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan
hiraukan wahai sahabatku. Itu hanyalah suara
nafsu yang menantang dan tidak setia. Padahal
jiwaku tunduk kepada tuhanku dengan keadaan
gembira, tenang dan bahagia.”
“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta
Abu Sa’id.
Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku
berkata: “Aku takkan meninggalkan tempat ini
hingga datang perintah Allah.”
Tak lama setelah itu, Nabi Khidhir datang dan
berkata: “Pergilah dan ikutlah bersama Abu
Sa’id.”
Setelah menerima perintah itu, aku pergi ke
Baghdad, ke madrasah Abu Sa’id. Kudapati ia
sedang menungguku di depan pintu. “Aku telah
memintamu untuk dating,” katanya. Lalu ia
memberiku jubah darwis. Sejak saat itu, aku tak
pernah meninggalkannya.
Selama 40 tahun aku tak pernah tidur malam. Aku
mendirikan shalat dengan wudhu shalat
Tahajudku . Aku membaca al-Quran setiap malam
untuk menghilangkan kantuk. Aku berdiri dengan
satu kaki dan bersandar ke dinding dengan satu
tangan. Aku tidak beranjak dari posisiku hingga
khatam al-Quran.
Ketika rasa kantuk tak dapat kutahan, satu suara
akan menyeru dan mengejutkan seluruh tubuhku:
“Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu untuk
tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu
kehidupan. Karena itu, meskipun kau hidup, kau
tidak mengenal kami.”
Suatu hari, seseorang bertanya: “Wahai Abdul
Qadir, kami mendirikan shalat, berpuasa dan
menaklukkan nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak
menerima tingkatan ruhani yang tinggi dan
mendapatkan karamah sepertimu?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Pantas
saja, kau hanya berusaha menyaingiku dalam
amal. Kau kira telah melakukan apa yang
kulakukan, padahal kau hanya meniruku. Kau
mencerca Allah karena tidak memberimu imbalan
yang sama. Allah adalah saksiku ketika aku tak
makan dan tak minum kecuali jika Penciptaku
memerintahkanku. Makan dan minumlah, kau
berhak atasnya karena aku dan demi tubuh yang
telah kuberikan kepadamu. Tak pernah kulakukan
sesuatupun tanpa perintah Tuhanku.”
Ketika Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani
Syaikh Ali bin Musafir menuturkan: “Bersama
ribuan orang lainnya, aku berkumpul untuk
mendengarkan ceramah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani di tempat terbuka. Ketika ia berbicara,
hujan turun lebat dan sebagian orang mulai
meninggalkan majelis. Langit tertutup awan pekat.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lalu menengadahkan
tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, aku telah
berusaha mengumpulkan manusia demi Engkau,
apakah Engkau menjauhkan mereka dariku?”
Tak lama kemudian hujan pun berhenti. Tak ada
setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani selesai berceramah, meskipun di
luar tempat kami berkumpul hujan turun dengan
derasnya.
Takluknya Orang Terkaya Baghdad di Hadapan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa Abdus Shamad bin Humam
termasuk orang terkaya di Baghdad. Ia dikenal
sangat cinta dunia, sombong dan takabur. Ia
bangga telah memiliki dunia dan banyak orang
yang bekerja kepadanya, ia mengira dapat
menguasi dan memerintah mereka untuk
melakukan apa saja sesenang hatinya.
Sebagai materialis sejati, ia terang-terangan tidak
menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
mengingkari karamahnya. Ia menuturkan
pengalamannya berikut ini:
“Sebagaimana kalian ketahui, aku tak pernah
menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun
kekayaanku berlimpah dan aku dapat memiliki
apapun yang aku inginkan, aku tak pernah merasa
puas senang dan tenang.
Pada suatu Jum’at, ketika aku lewat di dekat
madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku berkata
dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang
telah menarik perhatian banyak orang melalui
karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di
masjidnya!”
Masjid itu telah penuh sesak. Aku merengsek
menerobos kerumunan orang dan kuperoleh
tempat persis di bawah mimbar. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani mulai menyampaikan khutbahnya
dan apapun yang dikatakannya membuatku
jengkel.
Tiba-tiba aku merasa mulas ingin buang hajat.
Tetapi aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut
dan sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat
kutahan.perasaan jengkelku kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.
Namun, ketika aku dibasahi keringat dingin karena
malu dan menahan mulas, pelan-pelan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menuruni tangga mimbar
dan berdiri di atasku. Seraya berkhutbah, ia
menutupiku dengan bagian bawah jubahnya. Tiba-
tiba saja aku telah berada di lembah yang hijau
dan indah. Kulihat sebuah sungai kecil yang
mengalirkan air yang jernih. Segera saja aku buang
hajat lalu membersihkan diri dan berwudhu.
Setelah itu, kudapati diriku kembali berada di
bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia pun
kembali ke atas mimbar.
Aku sangat takjub. Tidak hanya perutku yang
merasa nyaman, hatiku pun merasa tentram,
semua kejengkelan, amarah dan kekesalan sirna
sudah.
Usai shalat, aku keluar dari masjid dan pulang. Di
tengah jalan, aku sadar bahwa kunci lemariku
hilang. Aku kembali ke masjid dan mencarinya,
namun tak kutemukan.
Keesokan harinya aku harus melakukan perjalanan
niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami
tiba di sebuah lembah yang sangat indah. Seakan-
akan dituntun ke tepi sungai yang sangat jernih.
Aku langsung teringat bahwa di sinilah aku buang
hajat dan membersihkan diri. Kini, sekali lagi
kubersihkan diri. Dan ternyataa, di sana
kutemukan kembali kunci lemariku. Sekembali ke
Baghdad, aku menjadi pengikut Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menghidupkan
Tulang Belulang
Karena terpikat oleh ketenaran Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani, seorang perempuan dari Baghdad
memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada
beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan berkata: “Kuserahkan anakku
kepadamu. Anggaplah ia sebagai anakmu sendiri,
dan besarkanlah ia seperti dirimu.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menerimanya dan
mulai mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan
penaklukan hawa nafsu.
Selang beberapa waktu, si ibu datang melihat
keadaan anaknya yang ternyata bertubuh kurus,
pucat dan tengah makan roti kering. Ia marah dan
meminta bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani. Sang ibu melihat syaikh berpakaian rapi,
duduk di ruang yang menyenangkan dan tengah
memakan daging ayam.
“Sementara kau makan daging ayam! Anakku yang
malang yang kutitipkan kepadamu tengah
mengunyah sepotong roti kering.” cercanya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan
tangannya di atas tulang ayam lalu berkata:
“Dengan nama Allah yang membangkitkan tulang
dari debu, hiduplah!”
Lalu beliau angkat tangannya dan ayam itupun
hidup lalu berlari ke atas meja seraya berkata:
“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad utusan Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menoleh ke arah
perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat
melakukan hal ini, ia dapat makan apapun yang
diinginkan.”
Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Lebih Tinggi
Daripada Leher Semua Wali
Suatu malam, lima puluh syaikh terkemuka pada
zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya
adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin
Harb, yang menuturkan kisah berikut:
“Malam itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tengah
mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan
dari mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang
dan khusyuk, perasaan yang tak pernah kami
alami sebelumnya.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk
ke arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher semua wali.”
Tak lama kemudian, salah seorang muridnya,
Syaikh Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Ditempelkannya kaki Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani ke lehernya, lalu kami
semua mengikutinya.
Diantara hadirin yang lainnya, yakni Syaikh Abu
Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher wali.”
Kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku,
aku melihat semua wali di dunia berdiri di
hadapannya, menutup seluruh penglihatanku.
Semua yang hidup hadir secara jasmani, semua
wali yang sudah meninggal hadir secara ruhani,
langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib
lainnya. Sejumlah malaikat turun dan memberi
jubah Rasulullah kepadanya. Lalu kami mendengar
suara berkata:
“Hai penguasa zaman dan pembimbing agama,
wahai pengamal firman Allah Yang Maha
Pengasih, wahai pewaris kitab suci, penerus
Rasulullah, wahai orang yang diserahkan
kepadanya kekuatan langit dan bumi, yang doanya
dikabulkan, jika ia meminta hujan hujan akan
turun, wahai yang dicintai dan dimuliakan seluruh
makhluk.”
Usai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan
ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada
di hadapan beliau, melainkan semua ulama
merasakan bertambahnya ilmu mereka,
kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati
mereka, dan tingkatan ruhani mereka.
Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh dunia
Islam, semua syaikh dan guru bersujud untuk
menghormati dan menerima kepemimpinannya.
Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada
beliau untuk bertaubat dan disucikan kembali.
Para bajingan, pencuri dan penjahat datang
kepada beliau lalu menjadi pengikut beliau. Dan
beliau menjadi pusat kutub ruhani.
313 wali pada zaman itu, termasuk diantaranya 17
orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak,
40 di Iran, 20 di Mesir, 30 di Damaskus, 11 di
Abissinia, 7 di Ceylon, 27 di barat, 47 di daerah
terpencil di gunung Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan
Ma’juj, dan 24 di belahan dunia lainnya hingga di
lautan. Semuanya patuh dan tunduk, kecuali satu
orang Persia.
Syaikh Persia Kuwalat karena Kesombongannya
kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah.
Ia mendirikan shalat lebih banyak dari siapapun
dan terus-terusan berpuasa. Ia sering beribadah
haji ke Makkah. Ia sangat mendambakan ridha
Allah. Selama lima puluh tahun ia mengasingkan
diri bersama empat ratus orang muridnya, yang
dilatih siang dan malam untuk menyempurnakan
diri. Ia banyak memiliki ilmu dan karamah.
Ketika ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
sampai kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah
haji bersama murid-muridnya, di kota suci
Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani atau mengagungkan dirinya sendiri, ia
menolak menghormati dan memuliakan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani.
Malam harinya, ia bermimpi meninggalkan Makkah
menuju Bizantium dan di sana ia menyembah
berhala. Karena sedih mendapatkan mimpi itu, ia
kumpulkan semua murid-muridnya dan
mengatakan ia harus pergi ke Bizantium untuk
menyingkap makna mimpinya. Mereka
mengikutinya dengan setia.
Ketika memasuki kota itu, ia melihat seorang gadis
cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam
sepekat malam, matanya laksana dua purnama
dengan alis mata tebal melengkung bagaikan
bulan sabit kembar, parasnya memikat para
pecinta, bibirnya merah delima tampak basah dan
lembut. Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi.
Lekat-lekat ia menatapnya, hasratnya membara
meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada
gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya.
Kecantikan gadis itu benar-benar menjadi pemuas
nafsu iblis.
Ia berdiri di depan pintu gadis kafir itu dengan
mulut terbuka seraya menatap lekat-lekat ke arah
balkon, berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya
terkoyak. Puasa yang dilakoni bertahun-tahun dan
menguruskan badannya tak dapat membandingkan
derita yang dialami kini, begitu pikirnya. Ia
kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya untuk
memahami keadaan ini, namun semua
pengetahuan telah sirna meninggalkan dirinya.
Dengan rasa takut segan, murid-muridnya
memohon kepadanya untuk pergi bertaubat dan
berdoa. Ia menjawab bahwa sekira ia harus
bertaubat, ia akan bertaubat dari kebodohan telah
menyisihkan dunia dan kesenangan hanya karena
agama. Jika diharuskan berdoa, ia akan memohon
kepada gadis itu daripada kepada Allah.
Ketika diperingatkan akan adzab Allah dan neraka,
ia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang
dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat
memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha
keras membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka
sia-sia, mereka pun meninggalkannya.
Syaikh itu diam sebulan suntuk di depan pintu
pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak
tangga sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan
bersama anjing-anjing kudisan.
Akhirnya, si cantik kafir itu membukakan pintu dan
berkata: “Hai orang tua yang mengaku syaikh
muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang
membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan
kafir.”
Ia berkata: “Akan kuserahkan bukan hanya
agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat
menyentuh bibirmu.”
“Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu.
Betapa beraninya kau menciumku sementara kau
sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi
aku menyentuhmu.”
Tanpa memperdulikan caci maki gadis itu, ia tetap
berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi
dan berkata kepadanya: “Jika kau sungguh-
sungguh mencintaiku, kau harus keluar dari Islam,
membakar al-Quran, menyembah berhala dan
minum arak.”
Ia berkata: “Aku tak dapat sepenuhnya
meninggalkan Islam dan membakar al-Quran,
tetapi aku bersedia minum arak demi
kecantikanmu.”
“Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau
akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”
Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan
pikirannya menyala-nyala. Ia mencoba mengingat
al-Quran yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang
pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun yang
diingatnhya . Dalam keadaan mabuk ia berusaha
menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu
menampiknya: “Tidak, kecuali jika kau menjadi
orang kafir sepertiku dan membakar kitab sucimu.”
Ia turuti permintaan pelacur itu. Dilemparkannya
al-Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia
menyembah berhala. Sekali lagi ia berupaya
menyentuh gadis itu. Namun, sekali lagi gadis itu
menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak
nafsu yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak
punya harta, bukan pula orang yang tenar.
Bagaimana mungkin gadis sepertiku mau melayani
pengenis jorok sepertimu? Aku butuh , emas,
perak dan sutera. Karena kau tak punya apa-apa
enyah saja kau dari hadapanku!”
Waktu terus berlalu, ia masih saja berdiri di depan
pintu rumah gadis itu. Akhirnya, suatu hari, gadis
itu menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah
aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi
penggembala babi-babiku selama satu tahun.”
Tanpa daya, ia pun menjadi penggembala babi.
Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya Iman di Akhir
Hayatnya
Berita sedih mengenai syaikh yang tidak
menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun
tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan
dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha
menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang
tidak tunduk dan menjadi seekor kambing bagi
seorang penggembala, ia akan menjadi
penggembala sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap
orang memiliki seribu babi, yakni seribu berhala di
hatinya, yang hanya dapat diusir dengan
ketundukan dan pertaubatan.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga memarahi
mereka karena meninggalkan guru mereka.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berdoa
bagi orang tua yang sesat itu dan meminta para
muridnya untuk kembali ke Bizantium dan
memberitahu guru mereka bahwa Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.
Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium.
Sepanjang jalan mereka selalu berdoa bagi guru
mereka. Mereka berpuasa dan berdoa memohon
kepada Allah untuk memberikan pahala mereka
untuk guru mereka. Mereka bershalawat kepada
Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.
Anak panah doa itu melesat mencapai sasaran.
Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka
melihatnya bercahaya di tengah kumpulan babi.
Dan ketika diberitahukan Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani memintanya menghadap, segera ia
campakkan pakaian kekafiran. Air mata
penyesalan mengalir deras, dan ia angkat tangan
ke langit untuk bersyukur. Seketika itu juga semua
yang telah dilupakannya, al-Quran dan rahasia
Ilahi, kembali kepadanya. Kini ia terbebas dari
kehinaan dan kebodohan, setelah itu ia mandi
berwudhu dan berangkat ke Baghdad.
Ketika peristiwa itu berlangsung, gadis kafir itu
bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan
mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut
agamanya, jadilah debu di kakinya. Kau yang
pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang telah
menariknya ke jalanmu, kini masuklah ke
jalannya.”
Ketika bangkit dari tidur, ia rasakan perubahan
pada dirinya, ia berlari menyusul syaikh dan
murid-muridnya. Tanpa makan dan minum,
melewati lembah dan pegunungan. Akhirnya, di
tengah-tengah padang sahara , ia jatuh ke tanah,
ia berdoa: “Wahai Dzat yang telah menciptakan
aku, ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah
menantang agama dan jalanMu. Namun kulakukan
itu karena kebodohanku, sebagaimana syaikhku
melakukannya karena kesombongan. Kau telah
mengampuninya. Kini ampunilah aku. Aku tunduk
dan menerima agama yang benar.”
Allah memungkinkan syaikh , yang memang belum
terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga ia
dan murid-muridnya segera kembali dan
mendapatinya tengah berbaring. Wanita itu
berkata: “Kau telah membuatku malu. Ajari aku
Islam agar aku dapat bertemu dengan Tuhanku
melalui agama ini.”
Ketika syaikh menjadi saksi atas keimanannya dan
para muridnya menangis haru, wanita itu
hembuskan nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak
lebih dari setetes air di samudera khayal, telah
berpulang ke samudera sejati. Syaikh itu pun
datang ke Baghdad lalu menundukkan lehernya
dengan penuh hormat di bawah kaki Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Seiring dengan semakin meluasnya pengaruh
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke seluruh dunia,
banyak murid beliau meraih kedudukan penting,
dan banyak penguasa menjadi muridnya. Ia
menugaskan sebagian muridnya untuk menjadi
wakilnya sesuai dengan kemampuan, kualitas
batin dan tingkatan ruhaninya masing-masing.
Sebagian mereka diangkat sebagai guru ruhani
dan sebagian lainnya menjadi hakim. Bahkan,
tidak sedikit yang diangkat sebagai gubernur dan
raja.
Dikisahkan bahwa ada seorang fakir yang telah
mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani selama empat puluh tahun.
Selama itu, ia telah menyaksikan beberapa murid
yang jauh lebih muda darinya dan belum lama
mengabdi, telah ditunjuk Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani untuk menempati jabatan penting. Suatu
hari ia menghadap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
dan mengajukan permohonan. Ia telah mengabdi
kepada syaikh selama bertahun-tahun dan kini
usianya semakin tua. Mengapa ia belum juga
ditunjuk untuk menempati pos penting seperti
murid yang lain.
Belum lagi ia tuntas menyampaikan maksudnya,
satu utusan dari India datang. Mereka ingin Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menunjuk seorang maharaja
bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani menatap pembantunya itu dan berkata:
“Apakah engkau menyukai jabatan ini? Apakah
engkau memenuhi syarat?” Pelayan itu
mengangguk kegirangan.
Ketika para utusan itu keluar rumah, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani berkata kepada pembantunya:
“Aku akan mengangkatmu sebagai raja di sana
dengan syarat kau harus berjanji untuk
memberikan kepadaku separuh dari keuntungan
dan kekayaan yang kau peroleh selama berkuasa.”
Tentu saja pelayan itu menyanggupinya.
Orang tua itu bekerja di rumah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus
mengaduk hidangan yang akan disajikan. Setelah
berbicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, ia
kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu di
sebuah kuali raksasa dengan sendok kayu. Di
tengah pekerjaan itu ia dipanggil untuk pergi
bersama para utusan itu ke India sebagai raja
mereka.
Di negeri itu, ia dinobatkan sebagai raja. Ia
dapatkan kekayaan berlimpah, ia bangun banyak
istana untuk dirinya sendiri, ia menikah dan punya
seorang anak laki-laki. Ia sepenuhnya telah
melupakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji
yang diucapkannya.
Pada suatu hari, ia menerima pesan bahwa Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani akan datang
mengunjunginya. Ia bersiap-siap menyambut
kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Setelah
upacara, prosesi dan pesta yang megah, mereka
berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengingatkan kesepakatan mereka, yaitu bahwa ia
harus memberikan separuh dari semua keuntungan
yang dikumpulkannya selama berkuasa. Maharaja
itu jengkel ketika diingatkan akan janjinya. Kendati
demikian, ia berjanji esok lusa ia akan
menyerahkan separuh dari semua kekayaannya
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Keserakahan yang bertambah seiring
bertambahnya kekayaan tak membiarkannya
membuat daftar kekayaan dengan jujur. Tepat
pada hari yang direncanakan, ia membawa daftar
kekayaanya itu yang menyerahkan kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Meski daftar itu
mencantumkan banyak istana dan kekayaan,
semua itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan
yang sesungguhnya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampak puas dengan
bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani berkata: “Kudengar kau juga
memiliki seorang anak laki-laki.”
“Iya, sayangnya cuma seorang. Sekiranya ada
dua, tentu akan kuberikan salah seorangnya
kepadamu.”
“Tidak apa-apa, bawalah anak itu.” Tukas Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat
membaginya.”
Anak itu dibawa di hadapan mereka. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menghunus pedangnya yang tajam
tepat di atas bagian tengah kepala anak itu. “Kau
akan mendapatkan separuhnya dan separuhnya
lagi menjadi bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani.
Sang ayah yang ketakutan, menghunus belatinya
dan kedua tangannya ditusukkan ke dada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata
terpejam. Ketika membuka matanya, ternyata ia
sedang mengaduk makanan di kuali besar dengan
sendok kayu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menatapnya dan berkata: “Seperti kau lihat
sendiri, kau belum siap menjadi wakilku. Kau
belum memberikan segalanya, termasuk dirimu,
kepadaku.”
Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah menyerahkan
dirinya kepada Allah. Malam beliau lalui dengan
sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali untuk
Tahajjud dan tafakur. Sebagai pengikut setia
Rasulullah Saw., beliau gunakan waktu siangnya
untuk mengabdikan diri kepada umat manusia.
Tiga kali dalam seminggu beliau berceramah di
hadapan ribuan orang.
Setiap pagi dan sore beliau mengajar tafsir,
hadits, tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat
Dzuhur, beliau mengisi waktu dengan memberi
nasehat kepada umat, baik pengemis maupun
raja, yang datang dari belahan dunia. Sebelum
Maghrib baik ketika hujan maupun cerah, beliau
telusuri jalan-jalan untuk membagikan roti kepada
kaum fakir.
Karena berpuasa nyaris sepanjang tahun, beliau
hanya makan sekali dalam sehari setelah shalat
Maghrib dan tak pernah sendirian. Para pelayan
beliau berdiri di depan pintu seraya bertanya
kepada setiap orang yang lewat apakah mereka
lapar dan meminta mereka untuk makan bersama
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada hari
Sabtu tanggal 8 Rabiu’ts Tsani tahun 562 H/1166
M. Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di
Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad telah
menjadi tempat ziarah penting bagi kaum
Muslimin, dan khususnya kaum sufi.
Ketika beliau sakit, putra beliau, Abdul Aziz
melihatnya meringis menahan sakit yang luar
biasa. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergulingan di
atas tempat tidur. “Jangan cemaskan aku.” Kata
beliau kepada putranya. “Aku telah tengah
berubah terus menerus dalam pengetahuan Allah.”
Ketika putra beliau, Abdul jabbar, menanyakan
bagian mana tubuhnya yang teras sakit, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Semuanya,
kecuali hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada
bagian ini karena ia bersama Allah.”
Putra beliau yang lain, Abdul Wahab, berkata
kepada beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang
dapat kuamalkan setelah ayah wafat.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Takutlah
hanya kepada Allah. Berharaplah kepada Allah,
dan sampaikan segala kebutuhanmu kepadaNya.
Jangan berharap atau menghendaki sesuatupun
dari selain Allah. Bertawakallah hanya kepada
Allah, bersatulah denganNya, bersatulah
denganNya.”
Sebelum wafat, beliau memandangi sekeliling dan
berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka
yang tak pernah kalian lihat telah datang
kepadaku. Berikan ruang dan bersikap santunlah
kepada mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian
melihatku bersama kalian, padahal aku bersama
yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”
Kemudian beliau berkata: “Wahai malaikat maut,
aku tak takut kepadamu atau apapun selain Allah
yang telah menemaniku dan bersikap baik
kepadaku.”
Pada detik-detik terakhir, beliau angkat tangannya
dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Segala puji
bagi Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala
puji bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang
mengalahkan hambaNya dengan kematian.”
Setelah menyeru: “Allah, Allah, Allah,” ruh beliau
pun pergi meninggalkan jasad beliau.
Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau
memberi barakah kepada kita semua. Aamiin.
Permulaan Hidayah
Bismillahirahmanirrahim
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan
salam atas makhluk-Nya termulia, Muhammad,
Rasul dan hamba-Nya, serta atas keluarga dan
sahabat beliau.
Ketahuilah wahai manusia yang ingin
mendapat curahan ilmu, yang betul-betul
berharap dan sangat haus kepadanya, bahwa
jika engkau menuntut ilmu hanya untuk bersaing,
berbangga diri/riya', mengalahkan teman sebaya.. meraih
simpati orang, dan mengharap dunia, maka
sesungguhnya engkau sedang berusaha
menghancurkan agamamu, membinasakan
dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia.
Dengan demikian, engkau mengalami
kegagalan, perdaganganmu merugi, dan gurumu
telah membantumu dalam berbuat maksiat serta
menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut.
Gurumu itu seperti orang yang menjual pedang
bagi perampok jalanan, sebagaimana Rasul
saw. bersabda, "Siapa yang membantu
terwujudnya perbuatan maksiat walaupun hanya
dengan sepenggal kata, ia sudah menjadi teman
baginya dalam perbuatan tersebut."
Jika niat dan maksudmu dalam
menuntut ilmu untuk mendapat hidayah, bukan
sekedar mengetahui riwayat, maka
bergembiralah.
Sesungguhnya para malaikat
membentangkan sayapnya untukmu saat engkau
berjalan dan ikan-ikan paus di laut memintakan
ampunan bagimu manakala engkau berusaha.
Tapi, engkau harus tahu sebelumnya bahwa
hidayah merupakan buah dari ilmu
pengetahuan.
Hidayah memiliki permulaan dan
akhir serta aspek lahir dan batin. Untuk
mencapai titik akhir tersebut, permulaannya
harus tersusun rapi.
Begitu pula, untuk
menyingkap aspek batinnya, harus diketahui
terlebih dahulu aspek lahirnya.
Oleh karena itu, di sini akan aku
tunjukkan padamu permulaan dari sebuah
hidayah agar engkau bisa mencoba dirimu dan
menguji hatimu.
Apabila engkau mendapati
hatimu condong pada hidayah tersebut lalu di
rimu berusaha untuk menggapainya, maka
setelah itu engkau bisa melihat perjalanan akhir
darinya yang melaju dalam lautan ilmu.
Sebaliknya, jika engkau mendapati hatimu berat
dan lengah dalam mengamalkan apa yang
menjadi konsekuensinya, ketahuilah bahwa jiwa
yang mendorongmu untuk menuntut ilmu
tersebut adalah jiwa al-ammaarah bi as-su'
(yang memerintahkan pada keburukan).
Jiwa
tersebut bangkit karena taat kepada setan
terkutuk untuk dijerat dengan tali tipuannya. Ia
terus memberikan tipudayanya kepadamu
sampai engkau betul-betul binasa.
Ia ingin agar
engkau memperbanyak kejahatan dalam bentuk
kebaikan sehingga ia bisa memasukkanmu
dalam kelompok orang yang merugi dalam
amalnya.
Yaitu, mereka yang sesat di dunia ini,
yang mengira bahwa mereka telah melakukan
suatu perbuatan baik.
Saat itu setan
menceritakan padamu tentang keutamaan ilmu,
derajat para ulama, serta berbagai riwayat di
seputarnya.
Namun, setan tersebut membuatmu
lalai dari sabda Nabi
"Siapa yang ber
tambah ilmu, tapi tidak bertambah hidayah, ia
hanya bertambah jauh dari Allah."
Juga dari
sabda Nabi saw. yang berbunyi, "Orang yang
paling keras siksanya di hari kiamat, adalah
orang alim yang ilmunya tak Allah berikan
manfaat padanya.
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan
salam atas makhluk-Nya termulia, Muhammad,
Rasul dan hamba-Nya, serta atas keluarga dan
sahabat beliau.
Ketahuilah wahai manusia yang ingin
mendapat curahan ilmu, yang betul-betul
berharap dan sangat haus kepadanya, bahwa
jika engkau menuntut ilmu hanya untuk bersaing,
berbangga diri/riya', mengalahkan teman sebaya.. meraih
simpati orang, dan mengharap dunia, maka
sesungguhnya engkau sedang berusaha
menghancurkan agamamu, membinasakan
dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia.
Dengan demikian, engkau mengalami
kegagalan, perdaganganmu merugi, dan gurumu
telah membantumu dalam berbuat maksiat serta
menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut.
Gurumu itu seperti orang yang menjual pedang
bagi perampok jalanan, sebagaimana Rasul
saw. bersabda, "Siapa yang membantu
terwujudnya perbuatan maksiat walaupun hanya
dengan sepenggal kata, ia sudah menjadi teman
baginya dalam perbuatan tersebut."
Jika niat dan maksudmu dalam
menuntut ilmu untuk mendapat hidayah, bukan
sekedar mengetahui riwayat, maka
bergembiralah.
Sesungguhnya para malaikat
membentangkan sayapnya untukmu saat engkau
berjalan dan ikan-ikan paus di laut memintakan
ampunan bagimu manakala engkau berusaha.
Tapi, engkau harus tahu sebelumnya bahwa
hidayah merupakan buah dari ilmu
pengetahuan.
Hidayah memiliki permulaan dan
akhir serta aspek lahir dan batin. Untuk
mencapai titik akhir tersebut, permulaannya
harus tersusun rapi.
Begitu pula, untuk
menyingkap aspek batinnya, harus diketahui
terlebih dahulu aspek lahirnya.
Oleh karena itu, di sini akan aku
tunjukkan padamu permulaan dari sebuah
hidayah agar engkau bisa mencoba dirimu dan
menguji hatimu.
Apabila engkau mendapati
hatimu condong pada hidayah tersebut lalu di
rimu berusaha untuk menggapainya, maka
setelah itu engkau bisa melihat perjalanan akhir
darinya yang melaju dalam lautan ilmu.
Sebaliknya, jika engkau mendapati hatimu berat
dan lengah dalam mengamalkan apa yang
menjadi konsekuensinya, ketahuilah bahwa jiwa
yang mendorongmu untuk menuntut ilmu
tersebut adalah jiwa al-ammaarah bi as-su'
(yang memerintahkan pada keburukan).
Jiwa
tersebut bangkit karena taat kepada setan
terkutuk untuk dijerat dengan tali tipuannya. Ia
terus memberikan tipudayanya kepadamu
sampai engkau betul-betul binasa.
Ia ingin agar
engkau memperbanyak kejahatan dalam bentuk
kebaikan sehingga ia bisa memasukkanmu
dalam kelompok orang yang merugi dalam
amalnya.
Yaitu, mereka yang sesat di dunia ini,
yang mengira bahwa mereka telah melakukan
suatu perbuatan baik.
Saat itu setan
menceritakan padamu tentang keutamaan ilmu,
derajat para ulama, serta berbagai riwayat di
seputarnya.
Namun, setan tersebut membuatmu
lalai dari sabda Nabi
"Siapa yang ber
tambah ilmu, tapi tidak bertambah hidayah, ia
hanya bertambah jauh dari Allah."
Juga dari
sabda Nabi saw. yang berbunyi, "Orang yang
paling keras siksanya di hari kiamat, adalah
orang alim yang ilmunya tak Allah berikan
manfaat padanya.
MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKHABDUL QADIR AL-JAILANI
Disadur dari Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih Ahmad Asy-Syami
Sewaktu kecil , ada malaikat yang selalu datang
kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan.
Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju
madrasah dan membuat teman-temanku selalu
mengutamakan diriku seharian hingga aku pulang.
Dalam sehari, aku peroleh lebih banyak daripada
yang diperoleh teman-teman sebayaku selama
satu minggu.
Aku tak tak pernah mengenali pemuda itu. Di saat
yang lain, ketika aku bertanya kepadanya, ia
menjawab: “Aku adalah malaikat yang diutus
Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama
engkau belajar.”
Itulah sepenggal kisah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani tentang pengalamannya pada masa kecil.
Kelahiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Beliau lahir pada tahun 470 H. (1077-1078 M) di
al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk
wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan
atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia
18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan
dengan wafatnya seorang ulama terkenal , at-
Tamimi, pada tahun 488 H.
Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam
Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan
tugasnya mengajar di Universitas Nidzamiah,
Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih uzlah.
Penentuan Awal Ramadhan Melalui Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani saat Balitanya
Ibunya, Ummul Khair Fatimah binti Syaikh Abdullah
Sumi, adalah keturunan Rasulullah Saw. Beliau
pernah menuturkan: “Anakku , Abdul Qadir , lahir
di bulan Ramadhan. Pada siang hari bulan
Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi
makan.”
Dikisahkan pada suatu Ramadhan ketika Abdul
Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat
hilal karena tertutup awan. Akhirnya untuk
menentukan awal puasa, mereka mendatangi
rumah Ummul Khair dan menanyakan apakah
bayinya sudah makan hari itu. Saat mengetahui
bayi itu tak mau makan, mereka yakin bahwa
Ramadhan telah tiba.
Dalam kesempatan lain Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani bercerita: “Setiap kali terlintas keinginan
untuk bermain bersama teman-temanku, aku
selalu mendengar bisikan: “Jangan bermain, tetapi
datanglah kepadaku wahai hamba yang
dirahmati.” Karena takut, aku berlari ke dalam
pelukan ibu. Kini, meskipun aku beribadah dan
berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa
mendengar suara itu sejelas dulu.”
Tauladan Kejujuran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Ketika ditanya mengenai apa yang
menghantarkannya kepada maqam ruhani yang
tinggi, beliau menjawab: “Kejujuran yang pernah
kujanjikan kepada ibuku.” Kemudian Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menuturkan kisah berikut:
“Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi
ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan
di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh
dan memandangku, lalu berkata: “Kau tercipta
bukan untuk hal semacam ini.” Mendengar hewan
itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera
berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika
memandang ke depan, kulihat dengan jelas para
jamaah haji sedang wukuf di Arafah.
Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya:
“Izinkanlah aku menempuh jalan kebenaran,
biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak
bestari dan orang-orang yang dekat dengan allah.”
Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang
tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar
penuturanku, ia menangis dengan sedih. Namun, ia
keluarkan delapan puluh keping emas, harta satu-
satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh
keping untuk saudaraku. Empat puluh keping
lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia
memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat agar
aku selalu bersikap jujur apapun yang terjadi.
Sebelum berpisah ibuku berkata: “Anakku,
semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku
ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku
sadar aku takkan bertemu lagi denganmu hingga
hari kiamat.”
Aku ikut kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja
meninggalkan kota Hamadan, sekelompok
perampok, yang terdiri atas enam puluh orang
berkuda, menghadang kami. Mereka merampas
semua anggota kafilah. Salah seorang perampok
mendekatiku dan bertanya: “Anak muda apa yang
kau miliki?” Kukatakan bahwa aku punya empat
puluh keping emas.
Ia bertanya lagi: “Di mana?” Kukatakan di bawah
ketiakku.
Ia tertawa-tawa dan pergi meninggalkanku.
Perampok lainnya menghampiriku dan
menanyakan hal yang sama. Aku menjawab
sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi
sambil tertawa-tawa mengejek.
Kedua perampok itu mungkin melaporkanku
kepada pimpinannya, karena tak lama kemudian
pimpinan gerombolan itu memanggilku agar
mendekati mereka yang sedang membagi-bagi
hasil rampokan. Si pimpinan bertanya apakah aku
memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat
puluh keping emas yang dijahitkan di bagian
lengan mantelku.
Akhirnya ia menyobeknya dan ia temukan keping-
keping emas itu. Keheranan, ia bertanya:
“Mengapa engkau meberi tahu kami, padahal
hartamu itu aman tersembunyi?”
Jawabku: “Aku harus berkata jujur karena telah
berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur.”
Mendengar jawabanku, pimpinan perampok itu
tersungkur menangis. Ia berkata: “Aku ingat janjiku
kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini
aku telah merampas harta orang dan membunuh.
Betapa besar bencana yang akan menimpaku!?”
Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu
berkata: “Kau memimpin kami dalam dosa. Kini,
pimpinlah kami dalam taubat!”
Keenam puluh orang itu memegang tanganku dan
bertaubat. Mereka adalah sekelompok pertama
yang memegang tanganku dan mendapat ampunan
atas dosa-dosa mereka.
Perjumpaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan
Nabi Khidhir di Baghdad
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berusia delapan
belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di
gerbang kota, Nabi Khidhir muncul dan
melarangnya memasuki kota. Nabi Khidhir
mengatakan bahwa Allah melarangnya memasuki
kota itu selama enam tahun. Kemudian Nabi
Khidhir membawanya ke sebuah bangunan tua
dan berkata: “Tinggallah di sini dan jangan pergi
meninggalkan tempat ini.”
Akhirnya beliau menetap di sana selama tiga
tahun. Setiap tahun Nabi Khidhir datang dan
memerintahkannya menetap di sana. Mengenai
pengalamannya di tempat itu, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita:
“Selama menetap di padang pasir di luar
Bagdhad, semua yang kulihat hanyalah keindahan
dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah
melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul
dalam berbagai paras dan rupa, terus
mendatangiku, menggoda, mengusik, bahkan
menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai
pemenang.
Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan
paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku
sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia
menyerangku. Allah menjadikanku sebagai
pemenang dalam peperangan tanpa henti itu. Aku
berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama
bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di
bangunan tua di padang pasir itu.
Selama beberapa tahun aku hanya makan
rerumputan dan akar-akaran yang dapat
kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah
minum. Tahun berikutnya aku hanya minum tanpa
makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak
makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di
bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh.
Aku berjalan bertelanjang kaki di atas duri-duri
padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku
terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku
merasa mendakinya. Tak sedikitpun kuberikan
kesempatan kepada hawa nafsuku untuk
beristirahat atau merasa nyaman.
Pada akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku
mendengar satu suara menyeru: “Hai Abdul Qadir
kini kau dapat memasuki Baghdad.”
Akhirnya kumasuki kota Baghdad dan tinggal
beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan
kemaksiatan, kesesatan dan kelicikan yang
merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh
buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad
dengan hanya membawa al-Quran.
Namun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk
kembali menyendiri di padang sahara, kudengar
satu suara berbisik: “Ke mana kau akan pergi?
Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat.”
“Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok
itu? Aku harus melindungi imanku!” Seruku
lantang.
“Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu.”
Bisikan suara itu terdengar lagi. “Tak ada sesuatu
pun yang akan membahayakan dirimu.” Aku tak
dapat melihat siapa gerangan yang berbicara itu.
Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa
yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur.
Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia
berkenan membuka tabir dariku sehingga
mengetahui apa yang harus aku lakukan.
Awal Mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Belajar
Tasawuf
Hari berikutnya, ketika aku mengembara di
pinggiran kota Baghdad, di sekitar Mudzafariyah,
seorang lelaki yang tak pernah kukenal
sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan
memanggilku: “Hai Abdul Qadir.”
Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia
berkata: “Katakan padaku apa yang kau minta
kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?”
Aku diam terpaku, tak dapat kutemukan
jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba
membanting pintu dengan sangat keras sehingga
debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris
seluruh tubuhku.
Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta
kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil
mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu untuk
memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak
dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut
menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat
dengan Allah. Kelak , aku mengetahui bahwa
orang itu adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang
kemudian menjadi guruku.
Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran
hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani ke padepokan tasawuf milik
Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan
padepokan itu mengetahui kedatangan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani melalui ilham. Syaikh
Hammad memerintah agar pintu padepokan
ditutup dan lampu dipadamkan.
Setibanya di depan pintu padepokan, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang hebat
dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya beliau
berhadats besar sehingga beliau pergi untuk mandi
dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali
beliau tertidur dan berhadats lagi, hingga tujuh kali
dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan
berwudhu dengan air yang nyaris membekukan
tubuh.
Keesokan paginya, pintu padepokan dibuka dan
beliau pun masuk ke dalamnya. Syaikh Hammad
bangkit untuk mengucapkan salam kepada beliau.
Dengan penuh suka cita, Syaikh Hammad
memeluk beliau dan berkata: “Anakku, abdul
Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok,
engkaulah pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan
jalan ini.”
Syaikh Hammad menjadi guru pertama beliau
dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syaikh
Hammad itulah beliau bersumpah dan memasuki
jalan thariqah. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani bercerita:
“Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad.
Namun, setiap kali aku tak dapat memahami
sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia,
Syaikh Hammad memberiku penjelasan.
Kadangkal aku dimintanya mencari ilmu dari ulama
lain, mengenai akidah, hadits, fiqih dan lain-lain.
Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu
bertanya: “Ke mana saja kau? Selama
kepergianmu, kami mendapatkan begitu banyak
makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta
jiwa dan tak sedikitpun yang kami sisakan
untukmu.”
Di saat yang lain ia berkata: “Demi Allah, dari
mana saja kau? Adakah orang lain di sini yang
lebih tahu (alim) daripada engkau?”
Murid-muridnya mengusikku dengan mengatakan:
“Kau adalah ahli fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu.
Mengapa kau tidak keluar saja dari sini!?”
Syaikh Hammad menegur dan menenangkan
mereka: “Sungguh memalukan! Aku bersumpah,
tak ada seorang pun diantara kalian yang lebih
tinggi dari tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri
kepadanya (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) dan
kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru
akan mengujinya dan mengantarkannya kepada
kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani,
kedudukannya seperti batu sebesar gunung.”
Kesengsaraan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat
Belajar di Baghdad
Semasa belajar di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani pernah mengalami masa penceklik.
Semua orang merasa kesulitan, termasuk beliau.
Mengenai hal ini, beliau menuturkan:
“Aku Cuma makan duri, kacang dan daun kubis
yang ada di tepian sungai dan danau. Kesulitan
lain tiba-tiba masih menyusul di Baghdad.
Kesulitan itu yaitu melambungnya harga-harga.
Ketika itu aku sampai tidak bisa makan apa-apa.
Aku bahkan harus mencari sisa makanan yang
bisa dimakan. Saking laparnya, aku lalu pergi ke
danau. Aku berharap bisa menemui daun kubis,
kacang atau apapun yang bisa dimakan.
Sayangnya, setiap kali aku pergi ke suatu tempat ,
pasti sudah ada orang yang sudah lebih dulu di
sana. Ketika mendapati ada orang fakir yang ikut
mencari makanan, aku langsung pergi. Aku malu.
Aku kembali berjalan ke tengah kota.
Setiap menemukan satu biji-bijian, aku pasti
keduluan. Aku terus mencari sampai aku tiba di
suatu masjid yang ada di pasar Raihaniyin,
Baghdad. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan, untuk
untuk memegang sesuatu saja aku sudah tidak
mampu lagi. Aku lalu masuk ke dalam masjid .
Aku duduk-duduk di sana.
Aku hampir mati saat itu. Untungnya ada seorang
pemuda non Arab yang juga baru masuk ke
masjid. Ia membawa kue lapis dan roti bakar. Ia
duduk lalu makan roti yang dibawanya. Setiap kali
pemuda itu hendak memasukkan makanan ke
dalam mulut, mulutku seolah mengikuti gerak
mulutnya seperti orang yang hendak memasukkan
makanan. Itu aku lakukan karena terlalu lapar.
Sebetulnya aku merasa aneh dengan apa yang aku
lakukan. “Apa yang aku lakukan ini?” kataku
dalam hati.
Sejurus kemudian, pemuda itu menengok ke
arahku. Ia pun menawariku. Aku menolak. Dia lalu
membagi makanannya untukku. Nafsukku terus
menggoda, tetapi aku terus menolak. Ia pun
membagi lagi. Akupun menerimanya. Aku lalu
memakan makanan itu. Ia lalu menanyaiku: “Kamu
dari mana? Namamu siapa?”
“Aku pelajar dari Jailan,” jawabku.
“Aku juga dari Jailan. Apakah kamu mengenal
seorang pemuda dari Jailan yang bernama Abdul
Qadir. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu
Abdullah as-Sama’i az-Zahid,” kata pemuda itu
“Itu aku,” jawabku.
Mendengar jawabanku, pemuda itu kaget dan
wajahnya langsung berubah. “Demi Allah, aku
sudah sampai di Baghdad semenjak tiga hari yang
lalu. Kemarin aku masih memiliki beberapa bekal.
Aku sudah bertanya ke mana-mana tentang
keberadaanmu, tetapi tidak ada yang
membantuku. Akupun menghabiskan bekalku.
Selama tiga hari, aku tidak menemukan apa yang
bisa aku makankecuali yang kita makan ini.
Padahal kematian sudah mengancamku. Aku pun
memutuskan kue lapis dan roti bakar itu aku
berikan padamu. Makanlah! Habiskan saja! Itu
untukmu. Sekarang aku tamumu. Sebelumnya
kamu memang tamuku.” Kata pemuda itu.
Aku bertanya padanya: “Apa itu?”
“Ibumu menitipkan delapan dinar untukmu, aku
pakai sebagian untuk membeli roti ini karena
terpaksa. Aku benar-benar minta maaf padamu.”
Mendengar itu, aku pun menenangkannya. Aku
memuji pemuda itu. Aku pun menyerahkan sisa
makanan dan sedikit emas. Dia pun menerimanya
lalu pergi.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani baru sadar bahwa
ibunya selalu mengirimi beliau sejumlah uang.
Sebagiannya sampai kepada beliau, dan sebagian
lagi tidak sampai. Baghdad teralu besar dan luas.
Beliau tidak mungkin mengetahui hal serumit itu
sebelumnya.
Baju Kesufian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampil sebagai
contoh penting yang menunjukkan bahwa mencari
ilmu merupakan kewajiban suci setiap muslim dan
muslimat, dari buain hingga liang lahat. Beliau
mengungguli sufi terbesar pada zamannya. Beliau
hafal al-Quran dan belajar tafsir kepada Syaikh Ali
Abul Wafa al-Qail, Abul Khattab Mahfudz dan Abul
Hasan Muhammad al-Qadhi.
Menurut sebagian sumber, beliau belajar kepada
Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Muharami,
ulama besar pada zamannya di Baghdad. Meski
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani belajar tasawuf dari
Syaikh Hammad ad-Dabbas dan memasuki jalan
thariqah melaluinya, namun beliau juga
dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi Saw.
dari Qadhi Abu Sa’id melalui jalur Syaikh Abul
Hasan Ali Muhammad al-Qurasyi dari Abul Faraj
at-Tarsusi dari at-Tamimi dari Syaikh Abubakar
asy-Syibli dari Abu Qasim dari Sari as-Saqati dari
Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud ath-Tha’I dari Habib
al-A’dzami dari Hasan al-Bashri hingga sampai
kepada Sayyidina Ali Bin abu Thalib Ra. Sayyidina
Ali menerima jubah pengabdian dari Nabi
Muhammad Saw. kekasih Allah semesta alam,
yang menerimanya dari Jibril dan ia menerimanya
dari Yang Maha Besar Allah Swt.
Suatu hari, seorang bertanya kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani tentang apa yang diperolehnya
dari Allah Swt. Beliau menjawab: “Ilmu dan akhlak
mulia.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Disuwuk oleh
Rasulullah Saw. dan Sayyidina Ali saat Kesulitan
di Awal Mengajar
Qadhi Abu Sa’id al-Muharrami mengajar di
madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian
ia serahkan madrasah itu kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, yang telah menjadi pengajar di
sana. Ketika itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berusia lima puluh tahun. Ucapan beliau sangat
fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi siapa
saja yang mendengarnya. Murid-murid dan
jamaahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang
sangat singkat, tak ada lagi tempat di madrasah
itu untuk menampung mereka. Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita tentang saat-saat pertama
pengajarannya:
“Suatu pagi aku bertemu Rasulullah Saw. yang
bertanya kepadaku: “Mengapa kau diam saja?”
Aku menjawab: “Aku orang Persia, bagaimana aku
dapat berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?”
“Bukalah mulutmu,” ujar Rasulullah Saw.
Aku menuruti perintahnya. Kemudian Rasulullah
Saw. meniup (meludahi) mulutku tujuh kali dan
berkata: “Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan
Allah dengan hikmah dan kata-kata yang baik.”
Lalu aku shalat Dzuhur dan beranjak menemui
orang-orang yang telah menantikan ceramahku.
Saat melihat mereka, aku gugup. Lidahku menjadi
kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku
dan memintaku membuka mulut. Lalu ia
meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak enam
kali. Aku bertanya: “Mengapa tidak tujuh kali
seperti yang dilakukan Rasulullah?”
“Karena aku menghormati Rasulullah,” ujar Imam
Ali, dan ia berlalu.
Seketika itu pula meluncur kata-kata yang sangat
lancar dari mulutku: “Akal adalah penyelam, yang
menyelami samudera hati untuk menemukan
mutiara hikmah. Jika ia membawanya ke tepian
wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata. Dan
dengan itu ia membeli mutiara ibadah dan
pengabdian kepada Allah.”
Lalu kukatakan: “Pada suatu malam seperti
malam-malam yang kualami, jika diantara kalian
mampu menaklukkan birahinya, kematian akan
menjadi sangat indah. Sehingga baginya, tak ada
sesuatupun yang dapat menandingi
keindahannya.”
Sejak saat itu dan seterusnya, baik ketika terjaga
maupun terlelap, aku senantiasa menjalankan
kewajibanku sebagai pengajar. Ada banyak ilmu
keimananan dan agama dalam diriku. Ketika aku
tak membicarakan atau melafalkannya, aku merasa
ilmu-ilmu meluncur dengan sendirinya. Saat mulai
mengajar. Hanya ada beberapa murid yang
mendengarkanku. Namun tak lama kemudian,
mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu orang.
Perluasan Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Madrasah dan pondok beliau tak lagi mampu
menampung para pengikut beliau. Dibutuhkan
tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin
membantu mendirikan bangunan. Orang kaya
membantu dengan harta dan orang miskin
membantu dengan tenaganya. Bahkan kaum
wanita di Baghdad pun membantu.
Seorang wanita muda yang bekerja secara suka
rela memperkenalkan suaminya yang enggan
bergotong-royong kepada Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani. “Ini suamiku. Aku telah menerima mahar
darinya sebanyak dua puluh keping emas,
separuhnya akan kuberikan kembali kepadanya
dan separuh lagi akan kubayarkan jika ia ikut
bekerja di sini.” Kata wanita itu.
Lalu keping emas itu ia serahkan kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani, dan laki-laki itupun mulai
bekerja. Ia pun terus bekerja meskipun jatah
maharnya telah habis. Kendati demikian, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani tetap membayarnya karena
beliau tahu bahwa ia miskin.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menjadi Pemuka
Agama yang Paling Mumpuni dan Disegani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama dan
imam dalam ilmu-ilmu agama, kalam dan fiqih,
serta tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan
Hanbali. Keberadaan beliau memberi manfaat
yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan
kutukannya selalu dikabulkan. Beliau memiliki
banyak keistimewaan. Beliau adalah manusia
sempurna yang selalu mengingat Allah, bertafakur,
merenung serta belajar dan mengajar.
Hati beliau lembut, perilaku beliau santun, dan
paras beliau senantiasa tampak ceria. Beliau juga
selalu bersimpati dan memelihara perilaku yang
mulia. Di mata orang-orang, beliau tampil sebagai
sosok yang berwibawa, dermawan dan gemar
memberi bantuan berupa uang, nasehat, maupun
ilmu. Beliau menyanyangi sesama, terutama kaum
mukmin yang taat dan selalu beribadah kepada
Allah.
Penampilan beliau selalu terjaga sehingga nampak
tampan dan necis. Beliau tak suka berbicara
berlebihan. Jika bicara, meski cepat, setiap kata
maupun suku kata beliau terdengar jelas. Bicara
beliau santun dan hanya yang diucapkan hanya
kebenaran. Beliau sampaikan kebenaran dengan
lantang dan tegas. Beliau tak peduli apakah orang
lain akan memuji, mencela, mengkritik atau
bahkan memaki beliau.
Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat Yahya bin
Sa’id sebagai Qadhi (kepala pengadilan), Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani mengkritiknya di hadapan
khalayak: “Kau telah mengangkat orang yang
sangat dzalim sebagai hakim atas kaum mukmin.
Mari kita saksikan apa pembelaanmu ketika kau
dihadapkan kepada Hakim Agung, Tuhan Semesta
Alam.”
Mendengar kritikan pedas itu khalifah gemetar dan
menangis . Ia segera memecat qadhi itu.
Saat itu, penduduk Baghdad mengalami
kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, banyak penduduk
yang benar-benar bertaubat, menjaga perilaku dan
menjalankan syariat Islam dengan baik.
Orang-orang pun semakin mencintai dan
menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pengaruh beliau semakin meluas. Orang shaleh
mencintai beliau dan para pelaku maksiat takut
kepada beliau. Banyak orang, termasuk raja,
menteri dan kaum bijak bestari, datang meminta
nasehat beliau. Banyak kaum Yahudi dan Kristen
yang masuk Islam karena beliau.
Pendeta yang Meragukan Mi’raj Rasulullah Saw.
Dengan Ruh dan Jasadnya
Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan
berpengaruh di Baghdad yang memilki banyak
pengikut. ia memiliki pengetahuan yang luas tidak
hanya mengetahui tradisi Yahudi dan Kristen,
tetapi juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui
kitab suci al-Quran dan sangat menghargai Nabi
Muhammad Saw. Khalifah sangat menghormatinya
dan berharap ia dan pengikutnya masuk Islam.
sebenarnya, pendeta itu ingin masuk Islam. Hanya
saja, ia masih meragukan bahwa Mi’raj Nabi
Muhammad Saw. terjadi berikut raganya.
Mi’raj itu terjadi ketika Nabi Saw. diperjalankan
dari Makkah ke Yerusalem dengan jasad dan ruh
beliau. Kemudian naik ke tujuh lapis langit serta
menyaksikan banyak hal. Beliau Saw. melihat
surga dan neraka, lalu bertemu dengan Allah Swt.
yang menyampaikan sembilan ribu kata. Saat
pulang dari perjalanan itu, kasur Nabi Saw. belum
mendingin dan daun yang tersentuh dalam
perjalanan belum berhenti bergoyang.
Akal sang pendeta tidak menerima peristiwa Mi’raj
itu dan segala yang disampaikan Nabi Saw.
sepulang dari perjalanan itu. Bahkan,
sesungguhnya banyak kaum Muslimin ketika itu
yang tidak mempercayai penjelasan Nabi Saw.,
dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar
menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan
kaum Muslimin. Karena akal tidak dapat menerima
fenomena serupa itu.
Khalifah mengundang para bijak bestari dan para
syaikh untuk menyakinkan si pendeta. Namun tak
ada satupun yang mampu. Kemudian pada suatu
sore, ia memohon kepada Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani untuk menyakinkan si pendeta mengenai
kebenaran Mi’raj Nabi Saw.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani datang ke
istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain
catur. Saat pendeta mengangkat sebuah bidak
catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Si pendeta
memejamkan matanya. Ketika membuka mata,
tiba-tiba ia berada di sebuah sungai dan
dihanyutkan oleh alirannya yang deras. Ia berteriak
minta tolong.
Seorang penggembala pemuda lompat ke sungai
menyelamatkannya. Ketika pemuda itu
memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak berpakaian
dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis.
Si penggembala menariknya keluar dan serta-
merta menanyakan keluarga dan rumahnya.
Ketika gadis itu (pendeta) menyebutkan Baghdad,
si penggembala itu mengatakan bahwa butuh
waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana. Si
penggembala menghormati, menjaga dan
melindunginya. Namun karena tak ada tempat
yang ditujunya, si penggembala menikahinya. Dari
pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak.
Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai
yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, ia
tergelincir dan jatuh ke air. Ketika sadar dan
membuka mata, ia dapati dirinya duduk di
hadapan khalifah, memegang bidak catur dan
masih bertatap pandang dengan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berujar kepadanya: “Hai pendeta yang malang,
apakah saat ini kau masih enggan mengakui?”
Si pendeta yang masih ragu dan menganggap apa
yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab:
“Apa yang kau maksudkan?”
“Apakah engkau ingin berjumpa dengan anak dan
suamimu?” Tanya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
seraya membuka pintu.
Di depan pintu istana itu telah berdiri si
penggembala dengan tiga orang anaknya.
Mengalami runtutan kejadian itu, si pendeta
langsung menyatakan keimanan dan mengakui
kebenaran Mi’raj Nabi Saw. Ia dan jamaahnya
yang berjumlah sekitar lima ribu orang masuk
Islam melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Allah Mencatat Tidak Akan Murka kepada Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani
Meskipun dikenal orang yang lembut, santun dan
penyanyang, dan selalu menepati janji jika
berurusan dengan keadilan, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani bersikap tegas. Beliau tak pernah marah
jika orang lain memperlakukan beliau dengan
buruk. Namun, jika mereka mengusik agama dan
keimanan, beliau akan sangat marah dan segera
menimpakan hukuman yang berat.
Seorang syaikh kala itu, Abu Najib as-Suhrawardi,
menceritakan:
“Pada tahun 523 H, dalam sebuah majelis yang
dihadiri oleh Syaikh Hammad, guru Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengucapkan suatu pernyataan besar. Saat itu
juga Syaikh Hammad menegur beliau: “Hai Abdul
Qadir, kau berbicara terlalu lancing. Aku takut
murka Allah akan menimpamu.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menempelkan
telapak tangan beliau ke dada Syaikh Hammad:
“Lihatlah telapak tanganku dengan mata hatimu.
Dan katakan tulisan yang terbaca di sana.”
Ketika Syaikh Hammad tak dapat menjawab,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat
tangannya lalu menunjukkan kepada Syaikh
Hammad. Di sana nampak tulisan yang sangat
jelas: “Ia (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) telah
menerima tujuh puluh janji dari Allah bahwa ia
tidak akan dimurkai.”
Manyaksikan itu, Syaikh Hammad berkata:
“Takkan ada sedikitpun keburukan atas orang yang
dikaruniai janji itu dari Allah. Tak seorang pun
kesal kepadanya. Allah merahmati siapa saja yang
dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya.”
Para Pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Semua Mati dalam Keadaan Bertaubat
Dalam riwayat lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengatakan: “Tidak ada seorang pun pengikutku
yang mati sebelum bertaubat. Mereka mati
sebagai hamba yang beriman kepada Allah. Setiap
satu orang pengikutku yang shaleh akan
menyelamatkan tujuh orang saudaranya yang
berdosa di api neraka. Seandainya ada aib salah
seorang pengikutku, yang berada di bagian paling
barat dunia, yang akan disingkapkan secara
semena-mena, maka kami, meski berada di
bagian paling timur dunia, akan menutupinya
sebelum diketahui siapapun.”
“Aku dikarunia kitab. Tidak semua orang dapat
melihatnya. Dalam kitab itu tercantum nama para
pengikutku hingga hari kiamat. Dengan rahmat
Allah akan kami selamatkan mereka. Beruntunglah
orang yang pernah bertemu denganku. Aku prihatin
kepada orang-orang yang tidak akan bertemu
denganku.”
Semua orang yang dekat dengan beliau selalu
merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Seseorang pernah bertanya kepada beliau: “Kami
tahu keadaan para pengikutmu yang shaleh dan
apa yang telah disediakan bagi mereka di hari
kiamat. Namun, bagaimana dengan pengikutmu
yang berbuat maksiat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Para
pengikutku yang shaleh setia kepadaku. Dan aku
setia untuk menyelamatkan mereka yang berbuat
maksiat.”
Seorang wanita muda pengikut Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani tinggal di Ceylon, suatu hari ketika
melintas di tempat yang sepi, seorang laki-laki
mencegat dan bermaksud memperkosanya. Dalam
keadaan tak berdaya, wanita muda berteriak:
“Wahai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani guruku
tolonglah aku!”
Ketika itu di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani sedang berwudhu. Orang-orang melihat
beliau menghentikan wudhunya dan dengan marah
beliaupun mencopot sandalnya lalu
melemparkannya ke udara. Mereka tak melihat
jatuhnya sandal itu. Ternyata sandal itu mengenai
kepala si lelaki yang tengah menganiaya gadis itu
dan menewaskannya. Konon, sandal itu kini masih
ada di sana dan dijaga sebagai benda suci.
Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa,
pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru mereka.
Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga
diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke arah
sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya
di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berjalan di permukaan sungai. Mereka
melihat semua ikan muncul di permukaan dan
menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur. Mereka
melihat permadani luas terhampar di atas kepala
mereka, dan menutupi angkasa. Pada permadani
itu tertulis ayat dengan tinta emas dan perak:
“Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para
malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran
tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan
keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait.
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
KATA-KATA MUTIARA GUS MUS
1. Kebenaran kita berkemungkinan salah,
kesalahan orang lain berkemungkinan benar.
Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.
2. Jangan banyak mencari banyak, carilah berkah.
Banyak bisa didapat dengan hanya meminta. Tapi
memberi akan mendatangkan berkah.
3. Tidak ada alasan untuk tak bersedekah kepada
sesama. Karena sedekah tidak harus berupa harta.
Bisa berupa ilmu, tenaga, bahkan senyum.
4. Apa yang kita makan, habis. Apa yang kita
simpan, belum tentu kita nikmat. Apa yang kita
infakkan justru menjadi rizki yang paling kita
perlukan kelak.
5. Abadikan kebaikanmu dengan melupakannya.
6. Tawakkal mengiringi upaya. Doa menyertai
usaha.
7. “Berkata baik atau diam” adalah pesan Nabi
yang sederhana tapi sungguh penting dan berguna
untuk diamalkan dan disosialisasikan.
8. Janganlah setan terang-terangan engkau laknati
dan diam-diam engkau ikuti.
9. Mau mencari aib orang? Mulailah dari dirimu!
10. Hati yang bersih dan pikiran yang jernih adalah
sesuatu anugerah yang sungguh istimewa.
Berbahagialah mereka yang mendapatkannya.
11. Meski sudah tahu bahwa memakai kaca mata
hitam pekat membuat dunia terlihat gelap, tetap
saja banyak yang tak mau melepaskannya.
12. Awalilah usahamu dengan menyebut nama
Tuhanmu dan sempurnakanlah dengan berdoa
kepadaNya.
13. Wajah terindahmu ialah saat engkau
tersenyum. Dan senyum terindahmu ialah yang
terpantul dari hatimu yang damai dan tulus.
14. Ada pertanyaan yang ‘tidak bertanya’; maka
ada jawaban yang ‘tidak menjawab’. Begitu.
15. Sambutlah pagi dengan menyalami mentari,
menyapa burung-burung, menyenyumi bunga-
bunga, atau mendoakan kekasih. Jangan awali
harimu dengan melaknati langit!
16. Kalau Anda boleh meyakini pendapatmu,
mengapa orang lain tidak boleh?
(Dikutip dari: Mencari Bening Air Mata Renungan
A Mustofa Bisri karya Gus Mus dan di twitter
beliau serta di website beliau www.gusmus.net
Perbaikilah Niat Kita wahai hamba Para Pencari Tuhan
Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Wahai para hamba yang sedang bertujuan
mencari Allah..
Mencari jati diri kalian..
Mencari pemilik Sirr yang Agung..
Bagaimana keadaan kalian ??
Apakah baik baik saja ??
Apakah sedang menderita karena ujianNya ??
Atau sedang putus asa karena belum
menemukan apa yang kalian cari padahal itu
sudah kalian lakukan bertahun tahun ??
Wahai sahabat sekalian..
Lihatlah kembali diri kita ..
Benarkah niat kita sudah tulus untuk mencari
Allah ??
Sesungguhnya jika niat itu telah tulus Allah
akan dengan cepat menghampiri kita..
Tapi ketahuilah dalam perjalanan "niat tulus"
itu ada hal yang harus kalian bayar..
Bermunajah dengan jalan "penderitaan" ..
Jalan itu di tempuh bukan satu dua hari.. tapi
lebih dari itu ..
Tapi tak perlu khawatir.. itu semua Sebagai
bentuk kesungguhan dan Allah melihat dari itu
semua..
Carilah "jalan derita " yang berbeda dengan
jalan yang orang lain pernah lalui..
Hindarilah melakukan "jalan derita " hanya
karena ingin menyaingi atau melebihinya.
Jika demikian itu yg kita lakukan maka tidaklah
akan sampai ..
LILLAAHITA'ALA..
begitulah yang benar..
Sesungguhnya tidak ada kekuatan yg
melampaui dari penyerahan diri kita yg penuh
keikhlasan kepada Allah..
Apapun LILLAAHI TA'ALA- kan lah..itu akan
mpermudah dan mempercepat perjalanan
kalian (insyaAllah) ..
Jika niat tulus itu telah kita miliki sepenuhnya
maka Allah akan melihat diri kita..
Allah akan "menghampiri" kita ..
Allah akan menuntun kita dengan Ilham ilham
atau perantara kekasihNya..
Allah akan menunjukkan arah pada kita.. "
wahai hambaKu pergilah kesana "
Atau tanpa di sengaja dan tanpa kita sadari
Allah membawa langkah kaki kita untuk menuju
suatu tempat..
Menempatkan kita di suatu tempat/wilayah..
Lalu di tempat itu Allah kirimkan Utusan untuk
menemui kita..
Atau di tempat itu langkah kaki kita di bawa
oleh Allah menuju Utusan Allah tersebut..
Wallahu a'lam dengan itu semua..
Tapi jika kita sadari wahai sahabatku sekalian..
Sungguh..
Jalan itu begitu indah ..
Mengenal 7 Latifah Pada Manusia
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirahmanirahiim Manusia diciptakan Allah SWT sebagai mahluk yang palling Mulia diantara mahluk lainnya,namun dibalik ini semua banyak juga yang merendahkan derajatnya sebagai mahluk yang paling Mulia. Manusia bisa melebihi Malaikat dalam beribadah dan bisa menjadi syaitan dan bahkan lebih parah dari binatang. Didalam diri manusia terdapat 7 tempat lahir dan batin,ada pun yang lahir seperti mata,telinga,hidung,mulut,tangan,kaki,syahwat,sampai perut.Sedangkan yang batin dikenal dengan nama latifah adalah sebagai berikut : 1)Latifah Qalbi letaknya berada dua jari dibawah payudara kiri,disinilah letak sifat" kemusyrikan,kekafiran,tahayul,dan sifat iblis.Jika latifah ini disucikan maka akan terisi iman,islam,ihsan,dan ma'fia. 2)Latifah Ruhi letakny berada dua jari diatas payudara kanan,disinilah terletak sifat binatang jinak yaitu sifat yang menuruti hawa nafsu yang selalu berada dalam ketaatan kepada Allah SWT. 3)Latifah Sirri letaknya berada dua jari diatas payudara kiri,disinilah terletak sifat binatang buas yaitu:Sifat Zhalim,pemarah,pendendam,jika latifah ini disucikan maka akan terisi sifat kasih sayang dan ramah tamah. 4)Latifah Khafi letaknya berada dua jari diatas payudara kanan,disinilah sifat pendengki,khianat,jika latifah ini disucikan maka akan terisi sifat syukur dan sabar. 5)Latifah Akhfa letaknya berada ditengah" dada,disinilah letaknya sifat riya,sombong,membanggakan diri,memamerkan kebaikan diri,takabur,jika sifat ini disucikan maka akan ikhlas,khusu,tawadhu. 6)Latifah Nafsu Natiqo letaknya berada diantara dua kening , disinilah letaknya nafsu amarah yaitu nafsu yang selalu mendorong pada kejahatan.Jika latifah ini disucikan maka akan tentram dan pikiran tenang. 7)Latifah Kullu Jasad terletak diseluruh tubuh jasmani,disinilah terletak sifat malas beribadah,jahil.Jika latifah ini disucikan maka akan terisi ilmu dan amal. Untuk mensucikan latifah ini tentunya harus banyak beristighfar,mohon ampun kepada Allah dan berdzikir ada pun dzikir yang digunakan seperti dzikir nafi is'bat " Laa ilaaha illallah" meniadakan ( nafi ) seluruh bentuk Tuhan seperti Tuhan,Hawa nafsu,Patung",Jin,Berhala,Thaghut,Syirik dan menetapkan(isbat)bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.Selain itu ada dzikir Ismuzat"Allah". Tentunya dalam hal pemahaman dan pengalaman ini perlu belajar pada orang" yang benar" faham dan mengerti agar tidak keliru untuk mencapai tauhid yang sesungguhnya serta mencapaii ma'arifat. ** KEEP ISTIQAMAH **
Langganan:
Postingan (Atom)