Imam Al-Ghazali
Bakhil adalah penyakit hati yang sangat kronis dan riskan. Allah swt.
berfirman: “Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.s. Al-Hasyr: 9).
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu
baik bagi mereka.” (Q.s. Ali Imran: 180).
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir...” (Q.s. An-Nisa’: 37).
Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah sifat bakhil, karena sesungguhnya
sifat bakhil itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu.”
Sabdanya pula, “Sifat dermawan adalah pohon yang tumbuh di surga, dan tidak akan masuk surga kecuali orang yang dermawan.
Sedang sifat bakhil adalah pohon yang tumbuh di neraka, maka tidak
akan masuk neraka kecuali orang yang bakhil.” Sabda Rasul saw
selanjutnya, “Ada tiga hal yang membinasakan:
sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan mengagumi diri sendiri.” (H.r. Thabrani).
Sabdanya pula, “Sifat yang paling jahat bila ada pada seseorang ialah
sifat kikir yang menggelisahkan dan sifat pengecut yang menjerumuskan.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah murka kepada orang yang bakhil
dalam hidupnya, dan senang kepada orang dermawan di saat
meninggalkannya.”
Dan sabdanya, “Dermawan yang jahat lebih baik dan disukai Allah daripada ahli ibadat yang bakhil.”
Sabdanya pula, “Dua perangai tidak akan berpadu pada diri seorang Mukmin: sifat kikir dan perangai yang jelek.”
Asal-Usul Bakhil
Sesungguhnya sumber sifat bakhil itu lantaran cinta harta, sebagai
sifat tercela. Dan orang yang tidak mempunyai harta tidak akan tampak
kebakhilannya dengan keengganan bersedekah, tetapi akan tampak dengan
adanya orang yang cinta harta.
Betapa banyak orang berderma, tetapi hatinya sangat terpaut dan cinta pada harta,
sehingga bila berderma, yang diharapkannya adalah agar dirinya disebut dermawan.
Ini pun tercela dalam agama. Karena cinta dunia membuat hati lupa
berdzikir kepada Allah, berpaling pada kepentingan duniawi, dan tidak
suka pada kematian yang merupakan wahana bertemu Allah swt.
Allah swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah.” (Q.s. Al-Munafiqun: 9).
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) ...“ (Q.s. At-Taghabun: 15).
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (Q.s. At-Takatsur: 1).
Rasulullah saw. bersabda dalam beberapa hadis beliau: “Janganlah kamu
terbiasa menjadikan barang-barang antik mahal sebagai perabot rumahmu,
agar kamu tidak tergiur pada dunia!”
Suatu ketika beliau ditanya,
“Siapakah ummat Anda yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Para
hartawan.” Sabdanya, “Barangsiapa menumpuk harta melebihi kebutuhannya
berarti dia telah mengambil kematiannya sendiri tanpa disadari.”
Seseorang berkata kepada Rasul saw, “Wahai Rasulullah,
sungguh aku tidak suka kematian.”
“Apakah engkau punya harta?” tanya Rasul saw.
“Benar,” jawab orang itu.
“Kemarikan hartamu! Sebab hati seseorang dibebani hartanya. Jika
didatangkan harta itu, ia senang untuk mendapatkannya. Jika diundurkan
harta itu, ia suka untuk diwariskan.”
Rasul saw bersabda, “Jika seorang hamba meninggal dunia, malaikat berkata, Apa yang dibawa?’
Hamba berkata, ‘Apa yang diwariskan’?”
Sabdanya pula, “Celaka si hamba dirham, celaka si hamba dinar. Celaka
dan hina! Apabila terkena duri tidak akan bisa dicabutnya.”
“Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.”
Sabdanya, “Dunia adalah ladang akhirat.”
Bagaimana harta sepenuhnya tercela ? Sedang hamba itu bepergian menuju
Allah swt, dan kehidupan dunia adalah salah satu fase perjalanannya,
fisiknya adalah kendaraannya?
Dapatkah melakukan perjalanan menuju
kepada Allah tanpa harta, dan kuatkah fisik menjadi kendaraan tanpa
makan dan pakaian? Tentu saja tidak!.
Tanpa harta, orang
mustahil dapat memiliki dan mengenakan pakaian, serta makan . Tanpa
makan dan pakaian, orang tidak mungkin mampu untuk melakukan perjalanan
menuju Allah swt.
Jika hal ini dapat dipahami, seseorang tidak
mungkin akan menumpuk kekayaan dan harta melebihi kebutuhannya sebagai
bekal perjalanan. Jika mampu seperti itu, dia akan meraih makna
kebahagiaan sejati.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. Kepada
Aisyah r.a, “Hai Aisyah, bila engkau ingin bersamaku di Surga, ambillah
dunia sekadar kebutuhan bekal seorang musafir, dan jangan terbiasa
memperbarui pakaian serta menanggalkannya hingga engkau menambalnya!”
Rasul saw. bersabda, “Ya Allah, jadikanlah makanan pokok keluarga
Muhammad itu sekadar cukup menahan lapar. Bila lebih dari cukup akan
binasa!”
Sabdanya pula, “Siapa yang mengambil harta dunia lebih
dari kebutuhannya, berarti ia mengambil kematian dan kebinasaannya,
sedang ia tidak mengerti.”
Sebagai musafir, bila kita mengambil
dunia melebihi kebutuhan sebagai bekal perjalanan, kita pun akan binasa
karena terlalu berat memikul beban bekal tersebut. Pada akhirnya justru
menghambat perjalanan kita dan bahkan tidak akan sampai ke tujuan
semestinya. sesungguhnya mengambil dan menumpuk harta melebihi
kebutuhan, dapat membinasakan diri, hal itu ditinjau dan tiga sisi:
Pertama: Bahwa menumpuk harta itu cenderung menyeret seseorang ke
tebing kedurhakaan dan maksiat. Sebab, ujian dengan kemewahan jauh lebih
sulit
daripada dengan kesengsaraan. Dan sabar dalam kondisi mampu itu lebih sulit.
Kedua: Cenderung mendorong seseorang untuk hidup berfoya-foya terhadap
hal-hal yang memang halal, yang menyebabkan badan gemuk, dan tidak
mungkin ada kesabaran di sana. Tidak mungkin pula membiasakan foya-foya
itu, kecuali didukung oleh orang lain, yang kelak menjerumuskan pada
kezaliman. Tentunya tindakan seperti itu mengarah pada kemunafikan,
kebohongan, riya’, permusuhan, dendam dan kemudian melahirkan
bencana-bencana. Karenanya, Nabi saw. memperingatkan, “Cinta dunia itu pangkal segala kesalahan.”
Ketiga: Cenderung alpa dzikir kepada Allah swt. Padahal mengingat
Allah merupakan asas kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dalam mencari dan
mengembangkan harta kekayaan, hati akan dirisaukan oleh beragam
pemikiran yang berkecamuk terutama tentang bagaimana cara memperoleh,
memelihara dan mengeluarkan serta mengembangkannya. Semua
pemikiran-pemikiran ini dapat menyuramkan hati, dan
melalaikan dzikir sebagaimana firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (Al-Qur’an).
Kriteria Cukup
Anda, barangkali ingin mengetahui seberapa ukuran kecukupan itu, dan
Anda katakan, “Tak ada orang kaya, kecuali selalu menyangka bahwa
kekayaan yang ada di tangannya masih di bawah ukuran cukup.”
Ketahuilah bahwa kondisi darurat itu, bila yang dibutuhkan secara
mendesak adalah makan dan pakaian saja. Bila Anda meninggalkan pakaian
elok, dalam setahun Anda cukup dengan dua dinar bagi musim dingin dan
musim panas. Anda memakai pakaian kasar yang bisa Anda pakai untuk
menahan panas dan dingin.
Jika Anda meninggalkan makanan yang
lezat-lezat dan rasa kenyang, cukup satu mud sehari. Sehingga setahun
cukup 500 kati. Lauk-pauknya bila minimal cukup tiga dinar setahun
dengan perhitungan harga sedang murah. Karenanya, setahun, Anda cukup
biaya lima dinar dan 500 kati. Perkiraan ini kami hitung bagi bujangan.
Jika Anda berkeluarga, Anda mengukur masing-masing anggota keluarga
bagiannya sama dengan di atas. Bila Anda pekerja, dan hasilnya sudah
cukup untuk kebutuhan sehari, berhentilah, sisa waktunya untuk ibadat
hari itu. Kalau Anda masih tambah lagi, Anda sudah tergolong ahli dunia.
Apalagi pada zaman seperti saat ini ketika hati telah bergeser dan
kikir merajalela, sementara kebutuhan orang-orang yang miskin
terabaikan. Kadar seperti di atas lebih baik daripada meminta-minta.
Dengan syarat, Anda memang tidak ingin kelaparan dan kedinginan, agar
terlepas dan keterlantaran. Disamping itu Anda menghindari maut dan
tidak senang bila tersia-sia. Keterlantaran yang menjadi motif Anda
mendapatkan makanan sama seperti waktu kosong untuk istirahat, semata
karena Anda maksudkan dalam keadaan darurat. Sebab Rasulullah saw.
bersabda, “Janganlah engkau membuat keterlantaran, sehingga engkau
menjadi cinta dunia.”
Ketika Anda inginkan, dalam waktu kosong
untuk keperluan keagamaan, berarti Anda adalah seorang musafir yang
berbekal, bukan orang yang berhenti di atas kesia-siaan.
Sebagian
orang memang tidak menerima kriteria saya di atas, kecuali dalam keadaan
sulit dan paceklik. Tidak berdosa, menurut agama, lebih dari kriteria
di atas, sebab Juga tidak tergolong pemuja dunia dan tidak keluar dan
barisan generasi akhirat, serta mereka yang pergi kepada Allah swt.
sepanjang bertujuan untuk menolak dan penyakit/bahaya yang mengganggu
dzikir dan ibadat. Bukan untuk maksud berfoya-foya di dunia.
Jika ada kelebihan makanan, hendaknya diberikan kepada mereka yang
terlantar dan para janda. Toleransi demikian diperkenankan, kecuali
untuk berfoya-foya, mengumbar sedekah, atau sekadar menolak bencana pada
harta.
Berfoya-foya akan memalingkan diri dari Allah swt. dan
akan sibuk dengan dunia. Sedangkan mengumbar sedekah, maka meninggalkan
harta lebih baik. Nabi Isa as. berkata, “Wahai pemburu dunia, hendaknya
engkau berbuat baik, meninggalkan duniamu, lebih baik dan lebih baik.”
Sedangkan menolak bencana dengan menebar harta, sungguh tak berdasar.
Karena, berarti menyimpan su’udzan yang tiada akhirnya. Sebaiknya
mendistribusikan harta itu dengan penuh husnudzan kepada Allah swt,
terserah kehendak-Nya. Jika memang harta mengandung bencana, pasti kelak
Allah
membuka pintu rezeki lain tanpa diduga.
Allah swt. berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberi jalan keluar, dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Q.s. Ath-Thalaaq: 2-3).
Kalau kenyataannya tidak demikian, tidak selayaknya hamba meyakini
bahwa keselamatan sepanjang hidupnya dan bencana memang sudah
digariskan. Namun harus yakin bahwa cobaan itu justru yang bisa
mencemerlangkan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran. Karena itu
cobaan pasti dialami oleh para Nabi, para Wali dan sepadannya. Serahkan
saja semuanya pada anugerah Allah swt. Bahwa segala musibah itu tidak
terjadi melainkan demi kebaikan dan pilihan Anda. Allah-lah yang
mengatur segalanya, kerajaan dunia dan kerajaan langit, dan Dia Maha
Tahu yang terbaik bagi diri Anda. Apa yang kami sebutkan, bisa lebih dan
bisa kurang, tergantung situasi dan zaman. Namun saya yakin, harta itu
seperti obat yang bermanfaat, dengan dosis tertentu. Lebih dari dosis
akan mematikan atau paling tidak menyakitkan. Anda seharusnya waspada
dengan dosis yang ada. Karena melebihi aturan pakai akan membahayakan.
Meminimalkan harta, hanya sedikit menderita seperti pada hari-hari paceklik. Sementara
mereka yang bercita-cita menuju taman Firdaus, tidak merasa berat
dengan rasa lapar, karena mereka tahu bahwa kelezatan taman Firdaus itu
menurut kadar laparnya.
Kriteria Bakhil
Anda ingin mengetahui
kriteria bakhil, sebab terkadang seseorang ragu-ragu apakah ia bakhil
atau tidak. Dan banyak perbedaan soal kriteria ini.
Ketauhilah,
batasan bakhil adalah mencegah kewajiban (harta) yang digariskan syariat
atau menurut harga diri (muru’ah). Anda jangan menduga, orang yang
telah menyerahkan harta pada istri dan kerabatnya sesuai dengan
kewajiban yang digariskan seorang hakim, namun setelah itu ada
kekurangan dalam sesuap makanan bukan tergolong bakhil walaupun hal
demikian sesuai dengan syariat.
Arti syariat dalam konteks ini adalah memutuskan pengaduan orang-orang bakhil dengan
ukuran menurut kekuatan si bakhil.
Karena itu Allah swt. berfirman:
“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan
semuanya) niscaya kamu akan kikir.” (Q.s. Muhammad: 37).
Seharusnya tidak sekadar pertimbangan syara’, namun juga harga diri dan
menepis pembicaraan yang kotor. Tentunya menurut kadar masing-masing
pribadi dan situasi.Orang yang punya harta, dan dengan hartanya itu ia
bisa mencegah caci-maki seorang penyair, tetapi ia tidak melakukannya,
bisa tergolong bakhil. Walaupun sebenarnya tidak wajib secara syar’i.
Rasul saw. bersabda, “Sesuatu yang bisa menjaga harga diri seseorang, baginya adalah sedekah.”
Sebenarnya harta itu diciptakan untuk disimpan, namun juga
distribusinya mengandung kegunaan. Kegunaan harta yang diberikan, lebih
besar ketimbang disimpan. Kalau ia merasa berat memberikan uangnya
berarti termasuk bakhil, yang cinta harta. Padahal harta itu tidak ada
gunanya untuk disenangi. Maka seharusnya diberikan pada kegunaan yang
lebih bermanfaat.
Menjaga harga diri itu lebih utama daripada
berfoya-foya dengan makanan. Sedangkan cinta harta dan bakhil, bila
dengan sikapnya yang membodohi sariguna harta, berarti lebih bakhil
lagi. Hal yang sama jika ia merasa sulit memberikan hartanya, walaupun
dengan terpaksa.
Ia baru terbebas dari kebakhilan bila pemberian
hartanya layak, sesuai dengan akal sehat dan syariat. Sedangkan derajat
orang yang dermawan, adalah bila ia memberikan hartanya melebihi
kewajiban syariat dan harga diri.
Terapinya
Barangkali Anda
ingin mengetahui terapi yang dapat dilakukan untuk mengobati penyakit
bakhil tersebut. Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya penyakit bakhil itu
hanya dapat diberantas melalui dua cara: secara ilmiah dan amaliah.
Secara ilmiah Anda harus menyadari bahwa:
1. Sifat bakhil itu dapat membawa kehinaan di dunia dan kebinasaan di
akhirat kelak. Harta itu bagaimanapun banyaknya tidak akan menyertai dan
tidak pula kita bawa hingga ke liang kubur.
2. Harta adalah milik
Allah swt. yang dilimpahkan-Nya kepada diri kita agar dipergunakan pada
Jalur-jalur agama-Nya yang paling prinsip dan fungsional.
3.
Menahan harta karena ingin berfoya-foya dengannya, merupakan tabiat
binatang dan nilainya hanya sementara. Sedangkan menginfakkannya dijalan
Allah, merupakan perangai yang bijak dan Pahalanya akan abadi dan
berlipat ganda.
4. Dan bila harta itu tidak diinfakkan dengan
maksud untuk diwariskan kepada anak-cucu, seakan-akan kita meninggalkan
kekayaan kepada mereka dan, sementara kita sendiri menghadap Allah swt.
dengan membawa kejahatan.
Ini benar-benar bodoh. Bagaimana
tidak, seandainya anaknya kelak rnenjadi anak saleh, pasti Allah swt.
mencukupi rezekinya. Namun apabila anaknya fasik, pasti harta itu
digunakan untuk kemaksiatan. Justru harta warisan itu menjadi peluang
bagi perbuatan maksiatnya. Orangtua tersebut malah menderita, sementara
yang lain menikmatinya.
Adapun secara amaliah, maka perlu menempuh dua cara
1. Untuk sementara waktu tidaklah mengapa bila pertama kali merasa
tergiur olehpopularitas dan membayangkan mendapatkan balasan lebih
banyak, sehingga dapat memotivasi diri untuk senang berinfak.
2. Dengan senantiasa mendisiplinkan diri untuk rajin berinfak, sehingga akhirnya menjadi lapang dan terbiasa.