“Wacana mereka kadang karena limpahan anugerah hakikat, atau karena
untuk memberi petunjuk bagi para penempuh. Yang pertama, adalah perilaku
jiwa para penempuh, dan yang kedua adalah kondisi jiwa orang yang
meraih kemandirian dan hakikat.”
Hakikat-hakikat yang tiba pada sang penempuh (salik) haruslah dirahasiakan, karena dikawatirkan hakikat itu bertebaran, sebab hakikat itu rahasia Allah Azza wa-Jalla. Hakikat itu turun pada penempuh semata hanya untuk mewujudkan kekokohan ruhaninya (dalam pendidikan Ilahiyah), bukan untuk disebarkan. Hal demikian agar si murid dan salik benar-benar lepas dari perubahan-perubahan yang membuat hatinya ruwet.
Dalam syarah Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa hal demikian, disebabkan sang murid masih terus menempuh berbagai ahwal (perilaku ruhani), dan ia memang belum meraih kekokohan sehingga memang tidak layak untuk menjadi panutan. Ia masih harus sibuk dengan dirinya, dengan hatinya, dengan pendidikan jiwanya, agar tetap tawajjuh (konsentrasi menghadap padaNya), sehingga belum bisa memberikan arahan pada yang lainnya.
Sedangkan bagi mereka yang sudah kokoh hakikatnya, justru bisa mengendalikan hakikat dan kondisi ruhaninya, sudah tuntas pendidikan jiwanya, sehingga ia bisa memberikan arahan dan petunjuk pada yang lainnya. Bisa bernilai sunnah ketika memberi petunjuk, dan bisa bernilai wajib. Tidak wajib, kecuali karena adanya perintah dariNya.
Mereka yang sudah Mutamakkin (Mandiri Hakikatnya) dalam kema’rifatan tentu tidak pernah terpengaruh oleh berbagai peristiwa, semata karena kemandirikan hakikat dalam hati, ruh dan sirr-nya. Lalu dalam proses memberikan arahan petunjuk hendaknya ia menjaga wacana atau ungkapan menurut hak dirinya atau sebagai pihak yang bicara, serta menjaga hak umumnya ahli thariqah dan yang lain menurut kapasitasnya.
Hak dirinya, adalah ia tidak mengungkapkannya kecuali atas apa yang telah kokoh hakikatnya pada dirinya.
Sedangkan hak sebagai penyampai, ia menyampaikannya menurut kadar situasi kondisi jiwa, rasa, pemahaman, dan pengetahuannya, tanpa harus membuat uraian melebar atau menyempit, agar benar-benar bermanfaat. Karena bisa saja uraian yang melebar atau menyempit malah sia-sia.
Untuk haknya bagi yang lain, hendaknya ia mengungkapkan menurut kapasitas kemampuan publik menerimanya, jangan sampai hal-hal spesifik disampaikan ke publik yang membuat salah faham yang menimbulkan kontradiktif.
Selanjutnya Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan:
“Wacana-wacana itu adalah konsumsi bagi kebutuhan keluarga para penyimak, jadi tidak ada bagimu melainkan anda sendiri telah menjadi pengkonsumsi.”
Para penyimak hakikat ibarat para pengkonsumsi, yang menjadi keluarga orang yang menyampaikannya. Wacana itu adalah konsumsi mereka, agar makna-makna menguatkan jiwanya, sebagaimana konsumsi itu menguatkan badannya.
Karena itu bagi penyampai wacana hakikat, haruslah mengenal karakteristik yang berbeda-beda dari keluarganya, tentu mengharuskannya untuk menjaga, mendidik, sehingga hatinya mereka kenyang dan akal mereka sehat, jauh dari bahaya baik saat ini maupun masa depan. Karena itu wacana tidak boleh berbelit-belit dan sangat sulit difahami.
Orang yang bicara dan menyampaikan wacana hakikat haruslah ia sendiri telah mengkonsumsinya, jangan sampai ia belum pernah merasakannya lalu memberikan pada yang lainnya.
Yang disampaikan tentu yang juga layak untuk anda konsumsi, jangan sampai menyampaikan konsumsi yang sesungguhnya bagi anda sendiri masih asing.
Jangan sampai menyampaikannya kecuali yang pernah anda simak dan berpengaruh dalam hatimu, bukan yang berpengaruh pada orang lain.
Inilah yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Lathaiful Minan:
Bahwa mengikuti sang guru, adalah guru yang menujukkanmu pada Allah Swt, dan mempersaksikanmu apa yang dititipkan berupa keistemewaan di hadapanNya.
Syeikhmu bukanlah orang yang anda mendegarkan darinya, tetapi syeikhmu adalah orang yang anda meraih anugerah darinya.
Syeikhmu bukanlah yang menghadirkan wacana padamu, tetapi syeikhmu adalah yang yang mencerahkan batinmu.
Syeikhmu bukanlah yang mengajakmu ke pintuNya, tetapi syeikhmu adalah yang membukakan hijab antara dirimu dengan Dirinya.
Syeikhmu bukanlah yang menjelaskan melalui ucapannya padamu, tetapi syeikhmu adalah yang kondisi ruhaninya membangkitkan jiwamu.
Syeikhmu adalah yang mengeluarkan dirimu dari penjara hawa nafsu dan memasukkan dirimu di hadapan Sang Maula (Tuhan).
Syeikhmu yang senantiasa menggosok cermin hatimu sehingga menjadi jelas pantulan cahaya Tuhanmu.
Syeikhmu yang membangkitkanmu menuju Allah lalu engkau bangkit padaNya, dan berjalan bersamamu hingga sampai kepadaNya. Dan terus membimbing langkahmu sampai engkau berada di hadapanNya, maka cemerlanglah dirimu di HadiratNya, dan sang Syeikh mengatakan, “Inilah dirimu dan Tuhanmu.”
Syeikh Abu Madyan ra, mengatakan:
Syaikh, adalah yang menghadirkan dirimu di hadapanNya dan bagaimana mengagungkanNya.
Syeikh adalah yang membersihkan akhlak dan adabmu melalui jalan-jalannya, dan mencerahkan batinmu melalui pencerahannya.
Syeikh adalah yang memadukanmu saat ia hadir, dan menjagamu saat ia pergi.
Hakikat-hakikat yang tiba pada sang penempuh (salik) haruslah dirahasiakan, karena dikawatirkan hakikat itu bertebaran, sebab hakikat itu rahasia Allah Azza wa-Jalla. Hakikat itu turun pada penempuh semata hanya untuk mewujudkan kekokohan ruhaninya (dalam pendidikan Ilahiyah), bukan untuk disebarkan. Hal demikian agar si murid dan salik benar-benar lepas dari perubahan-perubahan yang membuat hatinya ruwet.
Dalam syarah Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa hal demikian, disebabkan sang murid masih terus menempuh berbagai ahwal (perilaku ruhani), dan ia memang belum meraih kekokohan sehingga memang tidak layak untuk menjadi panutan. Ia masih harus sibuk dengan dirinya, dengan hatinya, dengan pendidikan jiwanya, agar tetap tawajjuh (konsentrasi menghadap padaNya), sehingga belum bisa memberikan arahan pada yang lainnya.
Sedangkan bagi mereka yang sudah kokoh hakikatnya, justru bisa mengendalikan hakikat dan kondisi ruhaninya, sudah tuntas pendidikan jiwanya, sehingga ia bisa memberikan arahan dan petunjuk pada yang lainnya. Bisa bernilai sunnah ketika memberi petunjuk, dan bisa bernilai wajib. Tidak wajib, kecuali karena adanya perintah dariNya.
Mereka yang sudah Mutamakkin (Mandiri Hakikatnya) dalam kema’rifatan tentu tidak pernah terpengaruh oleh berbagai peristiwa, semata karena kemandirikan hakikat dalam hati, ruh dan sirr-nya. Lalu dalam proses memberikan arahan petunjuk hendaknya ia menjaga wacana atau ungkapan menurut hak dirinya atau sebagai pihak yang bicara, serta menjaga hak umumnya ahli thariqah dan yang lain menurut kapasitasnya.
Hak dirinya, adalah ia tidak mengungkapkannya kecuali atas apa yang telah kokoh hakikatnya pada dirinya.
Sedangkan hak sebagai penyampai, ia menyampaikannya menurut kadar situasi kondisi jiwa, rasa, pemahaman, dan pengetahuannya, tanpa harus membuat uraian melebar atau menyempit, agar benar-benar bermanfaat. Karena bisa saja uraian yang melebar atau menyempit malah sia-sia.
Untuk haknya bagi yang lain, hendaknya ia mengungkapkan menurut kapasitas kemampuan publik menerimanya, jangan sampai hal-hal spesifik disampaikan ke publik yang membuat salah faham yang menimbulkan kontradiktif.
Selanjutnya Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan:
“Wacana-wacana itu adalah konsumsi bagi kebutuhan keluarga para penyimak, jadi tidak ada bagimu melainkan anda sendiri telah menjadi pengkonsumsi.”
Para penyimak hakikat ibarat para pengkonsumsi, yang menjadi keluarga orang yang menyampaikannya. Wacana itu adalah konsumsi mereka, agar makna-makna menguatkan jiwanya, sebagaimana konsumsi itu menguatkan badannya.
Karena itu bagi penyampai wacana hakikat, haruslah mengenal karakteristik yang berbeda-beda dari keluarganya, tentu mengharuskannya untuk menjaga, mendidik, sehingga hatinya mereka kenyang dan akal mereka sehat, jauh dari bahaya baik saat ini maupun masa depan. Karena itu wacana tidak boleh berbelit-belit dan sangat sulit difahami.
Orang yang bicara dan menyampaikan wacana hakikat haruslah ia sendiri telah mengkonsumsinya, jangan sampai ia belum pernah merasakannya lalu memberikan pada yang lainnya.
Yang disampaikan tentu yang juga layak untuk anda konsumsi, jangan sampai menyampaikan konsumsi yang sesungguhnya bagi anda sendiri masih asing.
Jangan sampai menyampaikannya kecuali yang pernah anda simak dan berpengaruh dalam hatimu, bukan yang berpengaruh pada orang lain.
Inilah yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Lathaiful Minan:
Bahwa mengikuti sang guru, adalah guru yang menujukkanmu pada Allah Swt, dan mempersaksikanmu apa yang dititipkan berupa keistemewaan di hadapanNya.
Syeikhmu bukanlah orang yang anda mendegarkan darinya, tetapi syeikhmu adalah orang yang anda meraih anugerah darinya.
Syeikhmu bukanlah yang menghadirkan wacana padamu, tetapi syeikhmu adalah yang yang mencerahkan batinmu.
Syeikhmu bukanlah yang mengajakmu ke pintuNya, tetapi syeikhmu adalah yang membukakan hijab antara dirimu dengan Dirinya.
Syeikhmu bukanlah yang menjelaskan melalui ucapannya padamu, tetapi syeikhmu adalah yang kondisi ruhaninya membangkitkan jiwamu.
Syeikhmu adalah yang mengeluarkan dirimu dari penjara hawa nafsu dan memasukkan dirimu di hadapan Sang Maula (Tuhan).
Syeikhmu yang senantiasa menggosok cermin hatimu sehingga menjadi jelas pantulan cahaya Tuhanmu.
Syeikhmu yang membangkitkanmu menuju Allah lalu engkau bangkit padaNya, dan berjalan bersamamu hingga sampai kepadaNya. Dan terus membimbing langkahmu sampai engkau berada di hadapanNya, maka cemerlanglah dirimu di HadiratNya, dan sang Syeikh mengatakan, “Inilah dirimu dan Tuhanmu.”
Syeikh Abu Madyan ra, mengatakan:
Syaikh, adalah yang menghadirkan dirimu di hadapanNya dan bagaimana mengagungkanNya.
Syeikh adalah yang membersihkan akhlak dan adabmu melalui jalan-jalannya, dan mencerahkan batinmu melalui pencerahannya.
Syeikh adalah yang memadukanmu saat ia hadir, dan menjagamu saat ia pergi.