Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.. ๐
(Menghidupkan Paradigma Makrifat dalam Dunia Akademik)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tahun demi tahun terus berjalan. Usia semakin bertambah. Ada yang mau pensiun. Alih-alih bertanya sudah berapa lama hidup; pertanyaan sebenarnya adalah: “Sudah berapa lama kita mati?”
Kenapa harus bertanya begitu?
Sebab, ada perbedaan mendasar antara orang “hidup” dengan orang “mati”. Pembahasannya bukan dalam pengertian tradisional. Sebab, dari sudut pandang klinis; mati adalah berhentinya nafas, detak jantung, sel, serta fungsi otak dan biologis lainnya. Dengan demikian, hidup adalah berfungsinya seluruh organ itu. Jika ini yang disebut “hidup”, kita tidak berbeda dengan satwa. Padahal, yang disebut “manusia” melampaui fungsi-fungsi kebinatangan.
“Mati” yang dimaksudkan disini adalah berhentinya fungsi-fungsi qalbu (ruhaniah). Dengan demikian, “hidup” adalah aktifnya dimensi ruhaniah. Al-Qur’an cenderung bicara hidup dan mati dalam bentuk substansial ini. Orang-orang yang “hidup” adalah mereka yang hatinya bercahaya (memiliki ilmu hakikat/haqq), sehingga dapat berjalan secara haqqul yakin di tengah masyarakat sesuai kehendak Tuhan. Dalam istilah lain, hati yang hidup disebut “bergetar” (QS. al-Anfal: 2). Dalam konsepsi kaum salikin dinamai muraqabah, ‘gemerincing lonceng’, isyarah atau sinyal akan kehadiran Tuhan.
Berbeda dengan orang “mati”, hatinya gelap, tidak terhubung dengan ilmu atau cahaya Tuhan. Sehingga mereka tidak punya pengetahuan pasti, lalu menganggap baik apa yang diperoleh atau kerjakan (merely perceptual). Itulah problem paradigma positivistik. Berujung skeptis (ragu/”kufur”). Bukan memperoleh keyakinan absolute. Sebab; semua diolah oleh akal, persepsi dan perasaan yang rapuh bahkan tidak valid. Bukan oleh putusan yang Haqq (pasti). Sementara Islam mendorong kita untuk memperoleh pengetahuan yang haqq (pasti). Sehingga kita memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk “berjalan” (mengambil langkah atau bertindak) di tengah manusia:
ุฃََูู
َْู َูุงَู ู
َْูุชًุง َูุฃَุญََْْูููุงُู َูุฌَุนََْููุง َُูู ُููุฑًุง َูู
ْุดِู ุจِِู ِูู ุงَّููุงุณِ َูู
َْู ู
َุซَُُูู ِูู ุงูุธُُّูู
َุงุชِ َْููุณَ ุจِุฎَุงุฑِุฌٍ ู
َِْููุง ۚ َูุฐََِٰูู ุฒَُِّูู َِْูููุงِูุฑَِูู ู
َุง َูุงُููุง َูุนْู
ََُููู
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am: 122).
***
Apa itu “qalbu yang hidup”, dan mengapa itu penting?
Kami ilustrasikan begini. Anda punya handphone. Bagus sekali. Mahal pula. Merek nomor 1. Terbaik di dunia. Masalahnya cuma satu: simcard-nya tidak hidup! Lalu mulailah anda jinjing Hp keren yang tak punya sinyal itu kemana-mana. Memang terlihat ada. Gagah. Keren. Tapi sesungguhnya itu tidak berguna. Hanya menjadi aksesoris saja. Kehilangan makna secara hakiki.
Kemana arah cerita ini?
Itulah kita. Jasad ada. Dibungkus baju baru. Sepatu mahal. Dengan bedak dan minyak wangi yang aduhai. Lalu pergi ke masjid. Ke kampus. Ke kantor. Ke mall. Kemana-mana. Masalahnya cuma 1: “hati” (qalbu) tidak hidup. Sehingga tidak terkoneksi dengan Allah. Tidak dapat menangkap pesan-pesan langit. Tidak mampu berkomunikasi dengan Allah. Tidak bisa menerima hidayah. Tidak pernah memperoleh ilham. Terhalangi (terhijab) untuk disapa oleh Allah. Semua keputusan yang kita ambil menurut maunya kita (menurut yang “aku” anggap baik). Tanpa pernah memperoleh “izin” atau “otorisasi” secara faktual dari Allah.
Sehari-hari kita merasa hidup. Padahal, mati disisi Allah. Qalbu adalah “simcard”, untuk terkoneksi dengan Allah. Kalau itu belum diaktivasi, maka kita tidak akan pernah memperoleh SMS, WA dan telepon dari-Nya. Banyak pengetahuan yang ingin Dia transfer setiap hari. Tapi wadah kita tidak cukup kuat. Banyak hal yang bisa kita unduh (download) dari “atas”. Tapi jaringan Wi-Fi malakutinya “mati”.
Kalau qalbu belum hidup, Allah menyebut kita sebagai “mayat”. Karena tidak bisa diajak mesra. Maka qalbu harus “dihidupkan” terlebih dahulu, untuk bisa “berkumpul kembali” dengan Yang Maha Hidup. Itulah misi para intelektual (ulama) utusan Tuhan dan para warisnya. Mereka bertugas menginisiasi teknologi hati bagi para murid (ummat), sehingga Allah yang Maha Gaib (Batin) bisa dijangkau dan kembali menjadi Maha Nyata (Dhahir). Al-Quran sengaja diturunkan kepada ahlinya, guna kita ikuti seruan (metodologi) mereka agar gelombang ruhiyah dalam qalbu kita hidup:
َูุง ุฃََُّููุง ุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุง ุงุณْุชَุฌِูุจُูุง َِِّููู َِูููุฑَّุณُِูู ุฅِุฐَุง ุฏَุนَุงُูู
ْ ِูู
َุง ُูุญُِْูููู
ْ ۖ َูุงุนَْูู
ُูุง ุฃََّู ุงََّููู َูุญُُูู ุจََْูู ุงْูู
َุฑْุกِ ََْูููุจِِู َูุฃََُّูู ุฅَِِْููู ุชُุญْุดَุฑَُูู
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan” (QS. Al-Anfal: 24).
Anda boleh saja berhubungan dengan teks-teks suci (huruf-huruf mati). Tapi petunjuk dari Yang Maha Hidup harus bisa diperoleh. Kalau tidak, kita akan senantiasa meraba-raba dalam qiyas, tafsir, reka-reka, duga-duga, dan kira-kira. Baik buruk, halal haram, benar salah, senantiasa dalam argumentasi. Merasa benar. Boleh jadi benar, dan besar kemungkinan juga salah.
Padahal, kalau ragu dengan sepotong riwayat; bingung dengan satu informasi dan kondisi; daripada kita akal-akalin pemahamannya serta “memandang baik apa yang kita kerjakan” (sebagaimana disindir dalam QS. Al-An’am 122 di atas); kenapa tidak kita “telpon” langsung, jika Allah itu memang ada, Maha Mendengar, dan Maha Berkata-Kata. Sesulit itukah menjangkau Allah? Sejauh itukah Dia? Sepelit itukah Allah untuk bersedia berbisik-bisik dengan kita? Padahal Dia Maha Baik, Maha Dekat, dan ada dimana-mana.
“God is Dead”, kata filsuf Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900). Tuhan sudah mati. Benar. Itu untuk kita yang tidak mampu bertegur sapa dengan Tuhan. Dia sudah kita isolasi. Tuhan sudah tidak ada. Sehingga semua gerak kita, murni milik ego (nafsu) rendah kita, tanpa pernah terkonfirmasi kebenarannya kepada Tuhan. Brutalitas dan radikalisme beragama semua lahir dari kematian Tuhan. Semua diolah dengan akal dan nafsu (kehendak diri). Walau diiringi pekik takbir. Kita menganggap itu semua baik. Keputusan-keputusan politik, sosial dan bisnis juga begitu. Tidak pernah kita afirmasi kebenaran pastinya dengan alam pikiran Tuhan.
Agama itu tentang Tuhan. Kalau tidak akrab dan interaktif dengan Yang Maha Pengasih Penyayang, tinggalkan saja agama anda. Karena itu agama sekuler. Agama yang memisahkan anda dengan Tuhan. Cari agama yang dapat mempertemukan, menyatukan anda dengan Allah. Paling tidak, cari metodologi (mazhab/tariqah) yang mampu membawa anda masuk ke dimensi lebih dalam dari agama. Lebih dari sekedar hafal dan baca-baca. Melainkan “bertemu” (liqa’) dengan Wujud yang diajak bicara.
Ada perkembangan menarik yang merambah ke dunia akademik. Sejumlah muslim schoolars mulai merintis cara baru (paling tidak, baru untuk kita) dalam memperoleh pengetahuan. Jika sebelumnya terfokus pada ortodoksi “syariah” (yurisprudensi), kini mereka berusaha melangkah ke paradigma “makrifah” (ilahi). Mulai ada gerak dari penguasaan teks-teks mati (suci) an sich, ke vibrasi nyata spiritualitas dunia ilahi. Dari pengetahuan tekstual-historikal, ke kontekstual-ladunial. Dari kemampuan membaca kompilasi Alquran dan hadis, ke berbicara langsung dengan Pemilik semua itu. Dari cuma tau nama-Nya, ke berhadapan wajah dengan-Nya.
Saya penasaran, siapa akademisi kita yang bakal mencapai maqam itu. Tapi setidaknya, dunia kampus sudah mulai cemburu untuk mencicipi pengalaman wahyu (ilham). Meski tidak harus menjadi nabi. Usaha untuk menauladani pengalaman spiritual orang-orang shaleh (wali), sudah muncul. Meskipun ada yang masih menganggapnya sebagai “omong kosong”. Kita mengapresiasi keberanian kaum intelek untuk bergeser dari paradigma positivisme yang selama ini cenderung membuat kita: “tuli, bisu dan buta, dan tidak pernah bisa kembali (bertemu/konek dengan Allah)” (QS. Al-Baqarah: 18).
Tantangan meraih martabat keilmuan yang agung ini akan diawali dari: “mengenal Tuhan”. Jika seorang mahasiswa misalnya, tidak kenal yang mana dosen pembimbingnya, mustahil ia bertemu dan mendapat bimbingan. Begitu juga dengan Tuhan. Sekedar tau nama tidak memberi banyak manfaat. Kita harus mengenali-Nya. Yang mana Dia. Baru kemudian bisa diajak “bicara”. Kalau tidak, selamanya kita akan ngomong dengan tembok.
Dinamika spiritualitas intelektual dimulai dari dimensi tauhid paling asasi. Awaluddin Makrifatullah. Awal dari hidup yang muthmainnah dan diridhai, adalah “mengenal (kembali kepada) Allah”. Sebab, pada dimensi ini kita sudah bermain dengan kehendak (iradah) Tuhan. Prof. Iwan Triyuwono, ahli akuntansi Islam dari Universitas Brawijaya, secara maknawi menjelaskan ini dalam filosofi innalillahi wainna ilaihi raji’un. Disingkat, ILWIIRA.
Dalam pandangan kami, sebagaimana konsepsi irfan atau tariqah, ILWIIRA adalah metode mematikan “diri” (ego). Guna menghidupkan “qalbu” (sebuah titik, langit atau ‘arasy tempat bersemayamnya frekuensi al-Ilahi dalam diri kita). Rumi pernah mengisyaratkan perjalanan kembali kepada Allah ini sebagai the journey within. Dalam berbagai tulisan, kami menyebutnya “kematian iradhi” (mati sebelum mati), lawan dari “kematian jasadi”. Baca artikel: “Pesan Tasawuf dari Mimbar Jumat”, dan “Mati Dulu, Baru Muslim”. Semuanya tentang proses mendengar atau memahami apa maunya Tuhan.
Ya, kunci gerak semua sistem profetik yang sekarang sedang dipopulerkan: ekonomi makrifah, akuntansi makrifah, manajemen makrifah dan sebagainya; adalah hidupnya ‘simcard’ untuk menjangkau alam ketuhanan: qalbu. Yang dalam berbagai istilah qurani (secara bertingkat-tingkat) disebut sebagai hati, jiwa, ruh, sampai kepada sirr. Dalam terminologi modernis digunakan bahasa semacam subsconscious mind, neuroscience, psycho-spiritual, dan sebagainya.
Kita di Kampus Darussalam, sebenarnya tidak susah untuk menggali kembali “epistemologi Ilahiah”. Sebab, dua tokoh besar intelektual Nusantara yang namanya diabadikan sebagai Kampus Unsyiah dan UIN adalah pengajar metodologi makrifat. Tinggal kesadaran kita semua untuk menggali kembali warisan sufistik mereka. Khususnya karya, ritual tazkiyatun nafs, dan amalan-amalan khawas Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansury. Baca artikel: “Teungku Syiah Kuala dan Nuruddin Ar-Raniry Berguru pada Dua Habib ini”.
Metodologi makrifat tidak dimaksudkan untuk menegasikan tradisi penggalian ilmu secara tekstual, aqliyah, observatif ataupun eksperimental. Melainkan untuk menyempurnakan semuanya. Sebab, letak “etika” pengetahuan (ihsan), baik dari sisi teoritis maupun aksiologis (praktis), terletak pada nilai konfirmatif dengan maunya Tuhan (al-Haqq).
Saya pribadi berterima kasih kepada Abuya Sayyidi Syeikh Ahmad Sufimuda, seorang ‘arif rabbani yang dengan penuh kasih sayang telah sedikit membuka mata kami, lahir dan batin, terhadap ontologi ketuhanan warisan berharga para nabi. Masih sangat sedikit yang kami tau dan rasakan. Perlu mujahadah dan riyadhah lebih banyak untuk menghilangkan dungu dan malas kami.
Kembali ke judul reflektif dari artikel ini: “Sudah hidupkah qalbu anda?” Jika belum, “Sudah berapa lama anda mati?” Dan, “Kapan mau anda hidupkan?”
HAKIKAT KEMATIAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Dalam kitab Dzikr Al-Maut, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengungkapkan, "Ketahuilah bahwa manusia memendam gagasan yang lancang dan keluru tentang hakikat kematian. Sebagian orang mengira kematian sebagai kesirnaan atau kelenyapan. Dianggap tidak.ada kebangkitan atau pengumpulan, juga tidak ada pembalasan atas kebaikan ataupun kejahatan. Kematian manusia dianggap seperti kematian hewan dan atau seperti keringnya daun atau tanaman. Ini adalah pandangan kaum ateis (al-Mulhidin) dan mereka tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Ada juga kelompok yang berpendapat bahwa manusia yang mati itu akan sirna sehingga selama tinggal di dalam kubur dia tidak menderita siksaan ataupun menikmati pahala suatu amal baik sampai dia dibangkitkan kembali di hati Pengumpulan.
Kelompok yang lain berpandangan bahwa ruh manusia itu abadi dan tidak musnah bersama kematian, bahkan ruh itulah yang menjadi objek pemberian pahala atau penjatuhan siksa tanpa jasad yang sama sekali tidak dibangkitkan kembali.
Semua anggapan ini adalah keliru dan menyimpang dari kebenaran. Hal ini karena akal sehat, ayat-ayat Al-Qur'an dan banyak Hadis bersaksi bahwa kematian berarti perubahan keadaan, dan bahwa setelah kematian jasad, ruh manusia tetap hidup dan merasakan siksaan ataupun kebahagiaan. Maka, perpisahan ruh dengan jasad adalah bahwa ruh sama sekali tidak lagi efektif bagi jasad. Karena itu, jasad pun tak lagi tunduk pada perintah-perintahnya.
Sesungguhnya, anggota badan adalah alat ruh, yang dipakai ruh untuk menggerakkan tangan, mendengar dengan telinga, melihat dengan mata, dan mengetahui hakikat dengan kalbunya. Kalbu disini hanya ungkapan lain untuk "ruh". Sedangkan ruh sendiri mampu mengungkapkan berbagai hal tanpa harus menggunakan perantara alat tertentu. Itulah sebabnya dia bisa mengenyam rasa sedih dan duka nestapa. Dengan cara yang sama, dia juga mengecap rasa senang dan gembira. Semua itu tidak bergantung pada anggota tubuh.
Jadi, semua yang inheren pada ruh akan tetap berada bersamanya setelah dipisahkan dari jasad. Sedangkan yang timbul sebagai akibat keterkaitannya dengan anggota-anggota tubuh akan lenyap bersamaan dengan matinya jasad hingga tiba saatnya ruh dikembalikan pada jasadnya.
Bukanlah hal yang mustahil untuk mengatakan bahwa di alam kubur, ruh akan dipersatukan kembali dengan jasad, dan tidak mustahil pula bahwa penyatuan itu akan ditunda hingga datangnya hari kiamat. Allah lebih mengetahui hal yang telah ditetapkan-Nya atas setiap hamba.
Tidak lagi berfungsinya jasad setelah kematian sama dengan tidak berfungsinya anggota-anggota tubuh tertentu semasa hidup seseorang karena telah rusaknya daya keseimbangan, atau adanya kehancuran pada urat-urat atau sel-sel sehingga menghalangi ruh untuk meresap ke dalamnya. Dengan demikian, ruh yang mempunyai daya pengetahuan, berpikir dan merasa tetaplah ada, dan tetap memfungsikan sebagian anggota badan tapi tak mampu mengfungsikan sebagian yang lain.
Kematian adalah ungkapan tentang tak berfungsinya semua anggota tubuh yang memang merupakan alat-alat ruh. Yang dimaksud dengan ruh disini adalah abstraksi yang dengannya manusia menyarap pengetahuan, rasa sakit, dan lezatnya kebahagiaan. Lalu, meskipun daya kerjanya pada anggota-anggota badan telah hilang, namun pengetahuan dan pemahaman tersebut tidaklah rusak. Begitu pula kemampuannya mencerap rasa gembira, sedih, rasa sakit, atau senang.
Ruhlah yang menjadi esensi manusia, dan karena itu ruh bersifat abadi. Dan, pada saat kematian, ruh mengalami dua perubahan.
Pertama, ruh terpisah dari mata, telinga, kaki.dan semua anggota tubuh, seperti halnya dia terpisah dari keluarga, anak dan istri, rekan, pelayan dan semuanya. Tak.ada perbedaan antara apakah dia meninggalkan mereka atau mereka meninggalkannya.
Sesungguhnya makna kematian adalah terpisahnya seseorang dari kekayaannya sehubungan dengan perpindahannya ke alam lain yang sama sekali berbeda dengan dunia ini. Jika di dunia ini dia memiliki sesuatu yang disenangi, dia nikmati dan selalu dia cari, maka rasa sesalnya setelah mati akan bertambah besar dan perpisahan dengannya akan semakin berat.
Perubahan kedua terletak pada kenyataan bahwa dengan kematian, terungkaplah segala hal yang tidak bisa diungkapkan kepadanya pada masa hidup, seperti yang sering kali terungkap kepada orang yang terbangun dari tidur, banyak hal-hal yang masih tersembunyi baginya pada saat dia masih tertidur, karena "semua manusia dalam keadaan tidur dan kematianlah yang akan menyadarkannya."
Hakikat mati sebelum mati
Mati sebelum mati menurut syekh abdul qadir al-jailani
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai hamba Allah, sadarilah bahwa engkau hanya sebatas diberi harapan. Maka, jauhilah segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla dengan kalbumu sehingga engkau dapat dekat kepada-Nya. Matilah engkau sebelum mati. Matilah engkau dari dirimu dan makhluk. Sungguh telah diangkat berbagai hijab dari dirimu dan Allah Azza wa Jalla.”
Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mati?” Lalu beliau menjawab, “Matilah dari mengikuti kemauan, hawa nafsu, tabiat dan kebiasaan burukmu, serta matilah dari mengikuti makhluk dan dari berbagai sebab. Tinggalkanlah persekutuan dengan mereka dan berharaplah hanya kepada Allah, tidak selain-Nya. Hendaklah engkau menjadikan seluruh amalmu hanya karena Allah Azza wa Jalla dan tidak mengharap nikmat-Nya.
Hendaklah engkau bersikap ridha atas pengaturan, qadha dan tindakan-Nya. Jika engkau melakukan hal yang demikian, maka hidup dan matimu akan bersama-Nya. Kalbumu akan menjadi tentram. Dialah yang membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Kalbumu akan selalu menjadi dekat kepada-Nya, selalu terhubung dan bergantung kepada-Nya. Engkau akan selalu mengingat-Nya dan melupakan segala perkara selain Diri-Nya.
Kunci surga adalah ucapan La ilรขha illa Allรขh, Muhammadur-Rasรปlullรขh. Sedangkan esok,, kunci surga adalah kefanaan dari dirimu, orang lain, dan segala sesuatu selain Allah, dan dengan selalu menjaga batas-batas syariat.
Kedekatan kepada Allah adalah surga bagi manusia, sedangkan jauh dari Allah adalah neraka untuk mereka. Alangkah indah keadaan seorang Mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Di dunia dia tidak berkeluh-kesah atas keadaaan yang dia alami, setalah dia memahami bahwa Allah meridhainya, dimana pun dia berada cukuplah bagiannya dan ridha dengan bagian itu. Kemanapun dia menghadapkan wajahnya, dia memandang dengan cahaya Allah. Setiap isyaratnya adalah kepada-Nya. Setiap kebergantungan adalah kepada-Nya. Setiap tawakalnya adalah hanya kepada-Nya.
Berhati-hatilah, jika ada seorang di antara engkau merasa bergembira berlebihan karena telah melakukan ketaatan, karena boleh jadi ada rasa takjub ketika dilihat orang lain atau berharap pujiannya. Barangsiapa di antaramu ingin menyembah Allah, hendaklah memisahkan diri dari makhluk. Sebab, perhatian makhluk pada amal-amal mereka dapat merusaknya. Nabi SAW bersabda, “Engkau mesti ber-uzlah, sebab uzlah adalah ibadah dan bentuk kesungguhan orang-orang shaleh sebelum kalian.”
Engkau mesti beriman, lalu yaqin dan fana dalam wujud Allah, bukan dalam dirimu atau orang lain. Dan, tetaplah menjaga batas-batas syariat dan meridhai Rasulullah SAW. Tidak ada karamah bagi orang yang mengatakan sesuatu selain hal ini. Karena, inilah yang terjadi dalam berbagai shuhuf dan lawh kalam Allah Azza wa Jalla.
Engkau harus selalu bersama Allah; memutuskan diri untuk selalu dengan-Nya; dan bergantung kepada-Nya. Hal demikian akan mencukupkan dirimu dengan pertolongan (ma’unah) di dunia dan akhirat. Dia akan menjagamu dalam kematian dan kehidupan, menjagamu dalam setiap keadaan. Engkau harus memisahkan yang hitam dari yang putih!”
–Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani.
Matilah sebelum mati
Matilah sebelum mati, itulah yang menjadi salah satu nasihat dari Rasulullah SAW. Tentu nasihat tersebut tidak sembarang diucapkan tanpa adanya makna dibalik kata-kata tersebut.
Banyak orang Islam sendiri yang mungkin bingung dengan apa yang harus dilakukan bila manusia mati sebelum ajal menjemput. Mati pada pembahasan kali ini bukan mengajarkan manusia untuk bunuh diri dan semacamnya, namun lebih kepada mati secara hawa nafsu.
Intinya adalah bahwa urusan duniawi seharusnya menjadi hal yang tidak diutamakan karena manusia dengan sifat duniawinya memiliki hawa nafsu yang besar. Berikut adalah penjelasan hakikat mati serta cara mati sebelum kematian yang sebenarnya datang.
Pesan dari Rasulullah, Matilah Sebelum Mati yang Sebenarnya
Mati memang pada dasarnya merupakan sebuah peristiwa di mana ruh manusia terbebas dari jasadnya, sehingga perlu diupayakan untuk tidak membuat ruh terkukung oleh hawa nafsu dan jasmani.
Manusia memegang kendali atas hawa nafsunya sehingga seharusnya hawa nafsu dapat dikontrol oleh ruh manusia, dan bukannya ruh manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu.
Mematikan diri seringkali dianggap sebagai bunuh diri, padahal bukan mati tersebut yang dimaksudkan oleh Rasulullah, namun lebih ke memperbaiki diri sebelum ajal menjemput.
Hakikat mati menurut Islam dan mematikan diri sebelum benar-benar meninggal atas sabda Rasulullah adalah dengan menutup mata sejenak dan mengimajinasikan bahwa jenazah Anda ada di atas keranda mayat dimana para pengantar jenazah turut mengiringi.
Intinya, keadaan bagaimana yang diinginkan sesudah meninggal, maka jadilah seperti yang diinginkan ketika Anda sekarang tengah hidup di dunia. Memperbaiki segala kesalahan adalah yang terutama berikut juga tingkah laku.
Bertaubat adalah jalan yang kemudian bisa ditempuh apapun perbuatan maksiat yang telah dilakukan. Ada lembaran baru yang bisa dibuka di kemudian hari untuk kemudian melanjutkan hidup dengan mendekatkan diri kepada Allah disertai hidup dengan budi pekerti yang benar.
Membersihkan diri dari pengkhianatan, iri hati dan dengki juga penting. Jika nantinya para saksi, yaitu makhluk ibarat pena Allah bersaksi baik, kesaksian tersebut akan Allah terima di sisi-Nya. Itulah cara belajar mati sebelum mati.
Mati yang dinasihatkan oleh Rasulullah sebenarnya adalah mati yang meninggalkan segala kemauan hawa nafsu dan kebiasaan buruk. Selain dari tabiat buruk yang perlu ditinggalkan, manusia juga dinasihatkan untuk meninggalkan makhluk dengan tidak bersandar serta mengikuti mereka.
Selain dari Allah, hendaknya manusia tidak berharap kepada makhluk lainnya. Amal yang diperbuat hendaknya hanya untuk Allah secara ikhlas. Bahkan dalam beramal pun manusia tidak boleh melakukannya hanya demi mengharap pahala dan nikmat-Nya semata, tapi karena memang Allah menjadi nomor satu dalam hidup seseorang. Belajarlah mati sebelum kematian itu datang secara sesungguhnya.
Manusia juga diharapkan untuk senantiasa ridha akan segala tindakan, qadha dan pengaturan dari Allah. Bila manusia bisa ridha dalam segala hal, maka hidup dan mati tidak akan perlu dikhawatirkan karena manusia akan selalu bersama-Nya.
Dengan melakukan mati sebelum meninggal yang sebenarnya, ada ketentraman yang akan memenuhi kalbu. Kalbu manusia akan dapat selalu dekat kepada Allah dan mengandalkan-Nya daripada ke sesama manusia.
Berbagai keuntungan bisa didapat dengan mematikan diri sebelum mati, yaitu diri kita akan dicukupkan dengan ma’unah atau pertolongan di dunia dan akhirat. Allah-lah yang akan memberikan perlindungan, senantiasa menjaga umat-Nya dalam kehidupan dan kematian serta di segala kondisi.
Poin utama mematikan diri adalah untuk bisa memahami yang baik dan yang buruk. Demi hidup yang lebih baik di dunia dan akhirat, maka coba untuk matilah sebelum mati.
MATI SEBELUM MATI
Ada satu istilah sufi,
Iaitu mati sebelum mati,
Apakah maksud mati si sufi,
Bukan bercerai nyawa dari badan,
Bercerai nyawa dari badan,
Itu hanya perpindahan,
Berpindah dari alam benda,
Masuk ke dalam alam nyawa,
Namun kita hidup juga,
Hanya berpindah alam saja,
Hidup terus wujud,
Kerana ia pancaran Al-Wujud,
Di alam sana kita wujud juga,
Melihat tanpa mata,
Mendengar tanpa telinga,
Lebih jelas dan nyata,
Kerana dinding badaniah tidak ada,
Apakah mati menurut si sufi,
Dengarlah huraian di bawah ini,
Mati di sini dalam khayalan,
Dalam khayalan dan perasaan,
Khayalan dan perasaan,
Sangat penting dalam kesufian,
Matikan ego mu,
Matikan nafsu amarahmu,
Matikan kepentingan diri,
Tegakkan kepentingan ilahi,
Nafikan dirimu ithbatkan allah,
Hingga terasa tiada wujud selain allah,
Hingga terasa dirimu kosong belaka,
Hanya Allah segala gala,
Hingga terasa tidak ada segala sesuatu,
Yang ada hanya zat yang maha satu,
Bila allah terdiri dalam hati,
Terasa lenyap diri sendiri,
Nafi yang lain ithbatkan Allah,
Itulah rahsia Laailaha'illallah,
Terasalah dalam perasaan si sufi,
Dia telah binasa dan mati,
Yang hidup hanya Allah,
Yang wujud hanya Allah,
Inilah dalam perasaan,
Inilah dalam khayalan,
Orang sufi orang ruhani,
Merenung jauh ke dalam diri,
Berbagai ilham mereka perolehi,
Orang bukan sufi sukar mempercayai,
Bukan senang menjadi sufi,
Perlu latihan secara ruhani,
Mereka bersembahyang mereka berpuasa,
Mereka berzikir segenap masa,
Bersihkan hati hingga bergilap,
Bercahaya bersinar tiada lagi gelap,
Hati dicuci dengan zikrullah,
Jiwa yang kembali mengadap Allah,
Guru itu sebagai pembimbing,
Menuju ma'rifat yang hening,
Ma'rifat itu pengenalan,
Mengenal Allah mengenal insan,
Apabila sampai ke ma'rifat suci,
Terasalah ia hampirnya rabbi,
Terlalu hampir terlalu nyata,
Lidah kelu hendak berkata,
Tidak dapat dikatakan,
Hanya terasa dalam khayalan,
Orang sufi hampir dengan Robbi,
Mereka kosong dari ego sendiri,
Mereka menjadi cermin Allah,
Mereka menjadi tanda tanda Allah,
Mereka itu sudah kembali,
Kembali ke hadrat ilahi,
Badan didunia tapi ruh disisi Allah,
Mati pada diri..tapi hidup dalam Allah,
Mereka itu hamba Allah sejati,
Mereka itu hanya menifestasi,
Kalau kau perangi wali Allah,
Kau sebenarnya memerangi Allah,
Kalau kau wali Allah,
Lontaranmu lontaran Allah,
Pukulanmu pukulan Allah,
Bukan kau yang melakukan...sebenarnya Allah,
Wali Allah sufi sejati,
Doanya makbul di restui ilahi,
Mereka menjadi khalifah Allah,
Mereka hanya ayat ayat Allah,
Belajarlah pada syekh sufi,
Agar kau diberkati ilahi,
Terlalu hampir sekali,
Terasa diri tiada lagi,
Matilah diri hiduplah Allah,
Semata mata yang ada hanya Zat Allah
Empat Macam Kematian Menurut Para Sufi
Kitab Tanwirul Qulub merupakan salah satu kitab yang banyak dikaji dalam pesantren. Kitab karya Syekh Muhammad Amin al-Kurdi tersebut membahas berbagai tema, salah satunya mengenai tasawuf. Di kalangan ahli tarekat, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi merupakan penganut Thariqah Naqsabandiyah.
Salah satu bab yang dibahas dalam kitab ini adalah bab mengenai nafsu. Syekh Amin memasukkan buah pikiran dari Imam Hatim Al-Asham. Imam Hatim Al-Asham adalah ulama besar dari Khurasan. Kealimannya sudah diakui banyak orang.
Syekh Amin menulis bahwa barang siapa yang mengikut madzabku (Imam Hatim Al-Ashom), maka haruslah ia menjalani empat macam perkara kematian. Madzab yang dimaksud adalah perjalanan dalam tasawuf.
Empat kematian tersebut adalah, mautu akhmar, mautu aswad, mautu abyadh, dan mautu akhdhor. Lantas apa maksud dari empat kematian ini?
Mautu akhmar atau kematian merah adalah bagaimana seorang sufi melawan hawa nafsunya sendiri. Nafsu sebagai barang halus bisa bersembunyi melalui hal-hal yang lembut pula. Sehingga seakan-akan ia tidak tampak. Laku dalam kematian ini adalah sufi melawan hawa nafsu dalam diri sendiri hingga bagian-bagian yang lembut.
Nabi Muhammad sendiri pernah memperingatkan sahabat yang tengah merayakan euforia kemenangan saat perang Badar. Perang yang dicatat sejarah sebagai salah satu perang yang maha dasyat tersebut, dikatakan Nabi bahwa masih ada yang lebih dahsyat dari pada perang tersebut. “Lalu apa itu Nabi?” tanya sahabat kepada Nabi SAW.
Nabi SAW menjawab perang yang lebih dahsyat adalah perang melawan hawa nafsu. Nafsu memang tidak kelihatan oleh mata seperti perang menggunakan senjata. Oleh karena itu, melawan nafsu adalah salah satu bentuk jihad.
Mautu aswad atau kematian hitam adalah menahan derita yang berasal dari sesama makhluk. Sufi menanggung segala bentuk hinaan atau celaan dari manusia lainnya. Sufi menanggung derita demi kemaslahatan umat.
Sufi tahan akan segala bentuk godaan yang berasal dari manusia, tidak hanya godaan yang dilayangkan oleh setan. Jika dikonstektualisasikan dengan zaman sekarang adalah tahan akan godaan nyinyiran tetangga, nyinyiran di media sosial dan tahan dari pihak yang suka menynyir orang lain, apalagi tanpa bukti yang jelas.
Mautu abyadh atau kematian putih. Dalam hal ini sufi memperhatikan porsi dalam perutnya. Ia tahan akan godaan lapar dan tidak makan secara berlebihan. Dengan merasa lapar, ia akan menjaga hati dan pikirannya. Mengenai kematian ini, bukan berarti tidak makan untuk menjadi sufi. Beribadah, bekerja, dan mencari ilmu juga membutuhkan tenaga.
Allah menciptakan beragam tumbuhan dan hewan juga untuk dinikmati dengan ketentuan tertentu, seperti halal-haramnya. Yang tidak diperkenankan adalah memakan makanan melebihi porsinya. Karena kekenyangan dapat menyebabkan malas. Hikmah lainnya dalam kematian ini adalah kita dapat berbagi makanan dengan tetangga atau teman, sehingga tidak memakannya semua atau membiarkannya mubadzir dengan alasan sufi menahan lapar.
Mautu akhdhor atau kematian hijau. Dalam hal ini seorang sufi harus menjaga pakainnya dari kemewah-mewahan atau dalam bahasa zaman sekarang, glamor. Memakai pakaian sesuai dengan waktu dan tempatnya.
Dalam pepatah Jawa terdapat kalimat, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono. Artinya, harga diri seorang dari lidahnya dan harga diri badan dari pakaian. Pakaian menentukan harga diri seorang di hadapan orang lain. Tetapi memakai pakaian yang glamor juga tidak dibenarkan. Sufi menunjukkan kesederhanaan dalam berbusana. Hikmah yang bisa diambil dari kematian ini adalah tidak membedakan si kaya dan si miskin. Dengan berpakaian sederhana akan memutus jarak manusia berdasarkan gaya hidupnya.
Perkataan Imam Hatim yang ditulis oleh Syekh Amin memberikan banyak hikmah bagi kita yang hidup di zaman milenial ini, dengan segala godaannya, tidak ada salahnya mempraktekkan laku tasawuf yang dirumuskan oleh Imam Hatim Al-Asham ini.
Tanda-tanda Kematian dalam Islam Menurut Imam Al-Ghazhali
Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tidak dipungkiri lagi bahwa kita hanyalah menunggu waktu untuk kembali kepada Sang Pencipta, tanpa tahu kapan hal itu akan terjadi, di mana kita akan mati dan bagaimana kita mati. Semua merupakan rahasia Illahi yang tidak akan pernah diketahui oleh manusia.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).
Hanya saja dengan bekal keimanan dan ketakwaannya, sesorang bisa saja lebih peka terhadap tanda-tanda kematian yang akan mendatanginya. Sebagaimana Imam Al-Ghazali yang diriwayatkan telah mengetahui tanda-tanda akan datangnya kematian sehingga beliaupun mempersiapkan diri dalam menghadapi sakaratul maut.
Termasuk dengan mandi, berwudlu dan mengenakan kain kafan hingga sebatas tubuhnya karena untuk bagian kepala beliau meminta bantuan kakaknya, yaitu Imam Ahmad. Hingga akhirnya beliau wafat ketika sang kakak mengkafani bagian wajahnya. Adapun tanda-tanda akan datangnya kematian menurut Imam Al-Ghazali adalah seperti berikut ini:
Tanda-tanda kematian 100 hari Pertama
Tanda kematian di 100 hari sebelum ajal menjadi peringatan bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Karena pada dasarnya semua umat muslim akan merasakan tanda ini, hanya saja kemungkinan ada yang menyadari sebagai tanda kematian namun ada pula yang mungkin mengabaikannya.
Adapun tandanya lazim terjadi setelah waktu Asar, dimana seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah bergetar hingga menggigil. Bagi mereka yang menyadari tanda ini tentu akan memanfaatkan waktu hidupnya dengan sebaik mungkin untuk mencari bekal yang akan dibawa mati nanti.
Tanda Kedua 40 hari sebelum kematian
Tanda kematian di 40 hari sebelum ajal lazim terjadi setelah waktu Asar, dimana pada bagian pusat akan terasa berdenyut. Selain itu diriwayatkan pula bahwa sebelum ajal menjemput telinga terasa berdengung secara terus menerus.
Tanda Ketiga Tujuh hari sebelum kematian
Pada orang yang tengah sakit keras, pada hari ke-tujuh menjelang kematian selera makan justru meningkat sehingga ingin menikmati makanan tertentu sesuai keinginannya.
Tanda Keempat 3 hari sebelum kematian
Lazim dirasakan adanya denyutan pada tengah dahi, nafsu makan menurun atau bahkan tidak mau makan. Mata akan terlihat memudar sehingga tidak lagi bersinar, hidung perlahan turun, telinga terlihat layu dan telapak kaki sukar ditegakkan.
Tanda Kelima 1 hari sebelum kematian
Sesudah waktu Asar, akan terasa sebuah denyutan pada bagian ubun-ubun sebagai pertanda bahwa tidak akan menemui waktu Asar di keesokan harinya.
Tanda akhir dimana kematian telah datang
Akan terasa dingin di bagian pusat hingga turun ke pinggang selanjutnya menjalar naik ke bagian halkum, sehingga harus senantiasa berdzikir dan mengucapkan kalimat syahadat secara terus menerus sampai malaikat maut menghampiri dan menjemput ruh untuk kembali kepada Allah yang memilikinya.
Lalu bagaimana dengan kematian mendadak yang sering terjadi di sekitar kita?
Ada kalanya kita masih menjumpai sanak saudara atau tetangga di pagi hari, namun ternyata di sore hari mereka sudah berpulang, entah karena mengalami musibah atau bahkan dalam keadaan yang tidak sakit sedikitpun. Tentu semua adalah ketentuan dari Allah Yang memberikan kehidupan dan kemudian mewafatkan. Manusia sedikit pun tidak memiliki daya upaya untuk menghindar atau menunda terjadinya kematian.
Allah SWT berfirman: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34).
Kematian mendadak tentu menjadi fenomena yang patut diwaspadai agar tidak menimbulkan penyesalan di alam kubur nanti. Dalam beberapa riwayat, banyaknya kematian mendadak merupakan tanda akhir zaman yang ternyata sudah sering kita temui saat ini. Sudah sepatutnya bagi kita untuk senantiasa mempersiapkan diri menghadapi kematian kapanpun ajal menjemput. Berserah diri kepada Allah dan memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya melalui peningkatan keimanan maupun ketakwaan serta akhlak yang lebih baik lagi akan menjadikan kita lebih tenang dan damai dalam menghadapi kematian.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir.” (HR. Ath-Tabrani).
Wallahu a’lam Bish-shawab.
Aku bertemu dengan malaikat maut
Aku malu menziarahi tarikh waktu
Aku tergoda meralat rindu
Kutulis macapat cinta pada ayat-ayat senyapku
Dengan pena khusnul khatimah
Kucatat mantra makrifat
Pada lembar syair buluh perindu
Kematian itu tak pernah kemana-mana
Sebab ia ada dimana-mana
Sedekat urat di leherku
Selurus arus maskumambang
Kematian tak pernah berpura-pura
Ia menyelinap dalam ribuan pori-pori
Meregang nyawa
Meredupkan gurindam rindu
Berpapasan dengan maut
Telah kuwasiatkan cintaku
PadaMu Sang Penyuluh kegelapan itu
Di altar kematian ini
Kukibarkan putih kafanku
Syahadat yang kusarikan di kelembutan iman
Iman yang kuamankan di relung kalbu
Adalah darah-daging amalku
Sejengkal ajal akan mengantarkan ronta rinduku
Bertemu kekasih dengan sekuntum tasbih
Memetik putik merekah sembah di taman kalbu
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
By ✍️ hamin tehupelasury
Semoga bermanfaat ๐๐