Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Senin, 05 Mei 2014
Adab Dalam Bersahabat
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Al-Junaid rahimahullah berkata: Dikisahkan dari sekelompok syekh Sufi, dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah - yang berkata, “Kami tidak pernah bersahabat dengan orang yang mengatakan ini sandalku dan ini tempat air minumku.” Ada seseorang berkata kepada Sahl bin Abdullah- rahimahullah, “Sesungguhnya aku ingin bersahabat dengan Anda.”
Maka Sahl berkata kepadanya, “Jika salah seorang di antara kita mati maka yang lain akan bersahabat dengan siapa?” Orang tadi menjawab, “Allah!!”
Kemudian Sahl berkata, “Jika demikian, maka bersahabatlah dengan-Nya sejak sekarang.”
Seseorang berkata kepada Dzun-Nun al-Mishri - rahimahullah, “Dengan siapa aku berteman?”
Dzun-Nun menjawab, “Dengan Siapa pun yang apabila Anda sakit Dia menjengukmu, dan ketika Anda berbuat dosa Dia bisa menerima tobatmu.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Semua sahabat, yang Anda berkata kepadanya, `Tunaikan untuk kami.’ Kemudian la bertanya, `Ke mana?’ Maka ia bukanlah seorang sahabat.”
Dan Dzun-Nun - rahimahullah yang berkata, “Janganlah Anda bersahabat dengan Allah kecuali kecocokan (setuju dengan segala kebijakan-Nya), janganlah Anda bersahabat dengan makhluk kecuali dengan saling memberi nasihat, janganlah Anda bermuamalah dengan nafsu kecuali dengan cara menentangnya, dan jangan pula dengan setan kecuali Anda melawan dan memeranginya.”
Ahmad bin Yusuf az-Zujaji - Rahimahullah - berkata,
“Dua orang yang bersahabat laksana dua cahaya. Ketika keduanya berkumpul maka akan melihat apa yang sebelumnya mereka tidak pernah melihatnya.”
Perselisihan adalah pangkal perpecahan. Dan ini adalah godaan setan yang sangat halus dalam usaha memisah persahabatan dua orang yang bersahabat hanya demi Allah.
Abu Said al-Kharraz - Rahimahullah - berkata, “Saya bersahabat dengan para Sufi selama lima puluh tahun dan tak pernah terjadi perselisihan antara kami dengan mereka.” Kemudian ia ditanya, “Mengapa bisa demikian?” Maka la menjawab, “Sebab aku bersama mereka pada satu jiwa.”
Al Junaid-rahimahullah-berkata, “Sungguh saya ditemani seorang fasik yang berakhlak balk adalah lebih saya senangi daripada orang yarag pandai membaca al-Qur’an namun jelek akhlaknya.”
Ia juga berkata, “Saya pernah melihat orang botak yang selalu diam dan tak banyak bicara bersama Abu Hafsh an-Naisaburi - rahimahullah. Kemudian saya bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa orang ini?’ Mereka menjawab, ‘la adalah orang yang selalu menemani Abu Hafsh dan melayani kami. la telah menginfakkan seratus ribu dirham kepada Abu Hafsh dari kantongnya sendiri, kemudian la berhutang seratus ribu lagi kepada orang lain yang kemudian la infakkan kepadanya. Itu pun Abu Hafsh tidak memperkenankan la berbicara satu kalimat pun.”
Abu Yazid al-Bisthami - rahimahullah - berkata,
“Saya pernah berteman dengan Al as-Sindi. Saya selalu mengingatkan kewajiban yang la lakukan. Sementara la mengajariku Tauhid secara praktis.”
Abu Utsman berkata, “Aku pernah berteman dengan Abu Hafsh, waktu itu aku masih sangat muda. Kemudian ia mengusirku dan berkata, `Jangan duduk di sisiku.’ Maka aku tidak ingin mengimbangi ucapannya dengan berpaling darinya. Kemudian aku pergi ke belakang sambil berjalan, sementara wajahku tetap
kuhadapkan ke arahnya, sampai aku tidak terlihat lagi olehnya. Aku berniat akan menggali sumur untuk diriku sendiri di depan pintunya. Kemudian aku turun dan duduk di dalamnya kemudian tidak akan keluar lagi dari sumur tersebut kecuali bila diizinkannya. Ketika la melihat kemauanku tersebut maka la mendekatiku dan menerimaku kemudian aku dijadikan salah seorang sahabatnya yang paling dekat sampai la wafat.”
Saya mendengar Ibnu Salim berkata, “Saya bersahabat dengan Sahl bin Abdullah - rahimahullah - selama enam puluh tahun. Suatu ketika saya pernah bertanya kepadanya, `Saya telah mela- yanimu selama enam puluh tahun, tapi tidak sehari pun engkau pernah memperlihatkan saya orang-orang yang bermaksud datang kepadamu, dimana mereka adalah para wali Allah dan abdal’ Kemudian la menjawab, `Bukankah engkau sendiri yang mempersilakan mereka masuk menemuiku setiap hari? Apakah kemarin engkau tidak pernah melihat seorang yang memakai sarung dan siwak dimana la berbicara denganmu? la adalah termasuk dari mereka’.”
Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah - berkata, “Kami menemani Abu Abdillah al-Maghribi - rahimahullah. Pada saat itu kami masih sangat muda. la bepergian bersama kami melalui daratan dan gurun pasir. Ia juga ditemani seorang syeikh bernama Hasan, dimana la telah menemaninya selama tujuh puluh tahun. Jika salah seorang di antara kami melakukan kesalahan, dan dirl syeikh terjadi perubahan, maka kami minta bantuan kepada syeikh Hasan ini, sehingga la bisa mengembalikan kami pada kondisi sebelumnya.”
Disebutkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang suatu ketika la pernah berkata kepada sebagian sahabatnya, “Jika Anda termasuk orang yang takut binatang buas maka janganlah Anda menemaniku.”
Yusuf bin al-Husain ar-Razi berkata: Saya pernah berkata kepada Dzun-Nun al-Mishri, “Siapa yang pantas aku jadikan teman?” la menjawab, “Orang yang Anda tidak pernah menyem-bunyikan darinya sesuatu yang Allah mesti mengetahuinya dari Anda.”
Sementara itu, Ibrahim bin Adham - rahimahullah - jika ia ditemani oleh seseorang, maka la mengajukan tiga syarat:
1. Persahabatan adalah suatu pengabdian;
2. Memberi tahu kepadanya; dan
3. Tangannya dalam segala anugerah dunia yang dibukakan Allah kepadanya hendaknya seperti tangannya sendiri. Kemudian ada seseorang dari sahabatnya berkata, “Aku tidak sanggup melakukannya.” Maka Ibrahim bin Adham berkata kepada sahabatnya, “Saya kagum terhadap kejujuran Anda.” Dan Ibrahim bin Adham adalah seorang Sufi yang bekerja mengawasi kebun atau ikut memanen hasil pertanian dan kemudian hasilnya la bagikan kepada para sahabatnya.
Abu Bakar al-Kattani - rahimahullah - berkata, “Pernah ada seseorang menemaniku. Padahal dalam hatiku ada beban yang sangat berat. Kemudian suatu ketika aku memberinya pakaian, dengan harapan agar beban berat yang ada dalam hatiku bisa hilang. Namun tak kunjung hilang. Maka pada suatu hari aku membawanya ke rumah atau ke suatu tempat, dan aku katakan padanya, `Letakkan kaki Anda di atas pipiku.’ Namun la tidak mau melakukannya. Kemudian aku meyakinkannya lagi, Anda harus melakukan hal itu.’ Akhirnya la mau melakukannya, dan apa yang menjadi beban berat di hatiku akhirnya hilang.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Kisah ini saya dengar dari ad-Duqqi. Dan dari Syam saya bermaksud pergi ke Hijaz sehingga saya bisa bertanya langsung kepada Abu Bakar al-Kattani tentang kisah ini.
Abu All ar-Ribathi - rahimahullah - berkata:
Aku pernah menemani Abdullah al-Marwazi - rahimahullah. Sebelum aku berteman dengannya, la telah memasuki daerah gurun pasir tanpa membawa bekal apa pun. Ketika saya menemaninya la berkata kepadaku, “Mana yang lebih Anda sukai, Anda yang menjadi seorang pimpinan (amir) ataukah aku?”
Maka aku menjawabnya, “Anda-lah yang jadi pemimpin.”
Maka la berkata, “Jika demikian, maka Anda harus taat.” Aku pun menjawabnya, “Ya!”
Kemudian la mengambil keranjang (tas) dan mengisinya bekal kemudian ia panggul di punggungnya.
Ketika aku berkata padanya, “Berikan barang itu padaku biar aku yang membawanya.”
Maka la berkata sembari bertanya, “Bukankah aku yang menjadi pemimpin? Sehingga Anda harus taat kepadaku.” Kemudian pada suatu malam hujan mengguyur kami hingga pagi hari. Aku duduk di sebelahnya, sementara la berdiri lebih tinggi di atas kepalaku dengan mengenakan pakaian tebal dan berusaha menghalangi air hujan agar tidak membasahiku. Maka aku berkata sendiri dalam hatiku, “Andaikan aku mati dan tidak pernah berkata kepadanya, `Andalah yang menjadi pemimpin.
Kemudian la berkata, “Jika ada orang yang ingin menemani Anda maka temanilah dia sebagaimana Anda melihatku menemani Anda.”
Sahl bin Abdullah -rahimahullah - berkata, “Hindarilah berteman dengan tiga kelompok manusia: Para penguasa diktator yang lalai, orang-orang pandai membaca al-Qur’an yang suka mencari muka dan para Sufi yang bodoh.”
Inilah cara mereka bersahabat antara satu dengan yang lain dalam makna yang telah kami sebutkan kisah-kisahnya. Semoga yang sedikit ini bisa menjadi cukup bagi mereka yang cerdik dan berakal. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Al-Junaid rahimahullah berkata: Dikisahkan dari sekelompok syekh Sufi, dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah - yang berkata, “Kami tidak pernah bersahabat dengan orang yang mengatakan ini sandalku dan ini tempat air minumku.” Ada seseorang berkata kepada Sahl bin Abdullah- rahimahullah, “Sesungguhnya aku ingin bersahabat dengan Anda.”
Maka Sahl berkata kepadanya, “Jika salah seorang di antara kita mati maka yang lain akan bersahabat dengan siapa?” Orang tadi menjawab, “Allah!!”
Kemudian Sahl berkata, “Jika demikian, maka bersahabatlah dengan-Nya sejak sekarang.”
Seseorang berkata kepada Dzun-Nun al-Mishri - rahimahullah, “Dengan siapa aku berteman?”
Dzun-Nun menjawab, “Dengan Siapa pun yang apabila Anda sakit Dia menjengukmu, dan ketika Anda berbuat dosa Dia bisa menerima tobatmu.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Semua sahabat, yang Anda berkata kepadanya, `Tunaikan untuk kami.’ Kemudian la bertanya, `Ke mana?’ Maka ia bukanlah seorang sahabat.”
Dan Dzun-Nun - rahimahullah yang berkata, “Janganlah Anda bersahabat dengan Allah kecuali kecocokan (setuju dengan segala kebijakan-Nya), janganlah Anda bersahabat dengan makhluk kecuali dengan saling memberi nasihat, janganlah Anda bermuamalah dengan nafsu kecuali dengan cara menentangnya, dan jangan pula dengan setan kecuali Anda melawan dan memeranginya.”
Ahmad bin Yusuf az-Zujaji - Rahimahullah - berkata,
“Dua orang yang bersahabat laksana dua cahaya. Ketika keduanya berkumpul maka akan melihat apa yang sebelumnya mereka tidak pernah melihatnya.”
Perselisihan adalah pangkal perpecahan. Dan ini adalah godaan setan yang sangat halus dalam usaha memisah persahabatan dua orang yang bersahabat hanya demi Allah.
Abu Said al-Kharraz - Rahimahullah - berkata, “Saya bersahabat dengan para Sufi selama lima puluh tahun dan tak pernah terjadi perselisihan antara kami dengan mereka.” Kemudian ia ditanya, “Mengapa bisa demikian?” Maka la menjawab, “Sebab aku bersama mereka pada satu jiwa.”
Al Junaid-rahimahullah-berkata, “Sungguh saya ditemani seorang fasik yang berakhlak balk adalah lebih saya senangi daripada orang yarag pandai membaca al-Qur’an namun jelek akhlaknya.”
Ia juga berkata, “Saya pernah melihat orang botak yang selalu diam dan tak banyak bicara bersama Abu Hafsh an-Naisaburi - rahimahullah. Kemudian saya bertanya kepada teman-temannya, 'Siapa orang ini?’ Mereka menjawab, ‘la adalah orang yang selalu menemani Abu Hafsh dan melayani kami. la telah menginfakkan seratus ribu dirham kepada Abu Hafsh dari kantongnya sendiri, kemudian la berhutang seratus ribu lagi kepada orang lain yang kemudian la infakkan kepadanya. Itu pun Abu Hafsh tidak memperkenankan la berbicara satu kalimat pun.”
Abu Yazid al-Bisthami - rahimahullah - berkata,
“Saya pernah berteman dengan Al as-Sindi. Saya selalu mengingatkan kewajiban yang la lakukan. Sementara la mengajariku Tauhid secara praktis.”
Abu Utsman berkata, “Aku pernah berteman dengan Abu Hafsh, waktu itu aku masih sangat muda. Kemudian ia mengusirku dan berkata, `Jangan duduk di sisiku.’ Maka aku tidak ingin mengimbangi ucapannya dengan berpaling darinya. Kemudian aku pergi ke belakang sambil berjalan, sementara wajahku tetap
kuhadapkan ke arahnya, sampai aku tidak terlihat lagi olehnya. Aku berniat akan menggali sumur untuk diriku sendiri di depan pintunya. Kemudian aku turun dan duduk di dalamnya kemudian tidak akan keluar lagi dari sumur tersebut kecuali bila diizinkannya. Ketika la melihat kemauanku tersebut maka la mendekatiku dan menerimaku kemudian aku dijadikan salah seorang sahabatnya yang paling dekat sampai la wafat.”
Saya mendengar Ibnu Salim berkata, “Saya bersahabat dengan Sahl bin Abdullah - rahimahullah - selama enam puluh tahun. Suatu ketika saya pernah bertanya kepadanya, `Saya telah mela- yanimu selama enam puluh tahun, tapi tidak sehari pun engkau pernah memperlihatkan saya orang-orang yang bermaksud datang kepadamu, dimana mereka adalah para wali Allah dan abdal’ Kemudian la menjawab, `Bukankah engkau sendiri yang mempersilakan mereka masuk menemuiku setiap hari? Apakah kemarin engkau tidak pernah melihat seorang yang memakai sarung dan siwak dimana la berbicara denganmu? la adalah termasuk dari mereka’.”
Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah - berkata, “Kami menemani Abu Abdillah al-Maghribi - rahimahullah. Pada saat itu kami masih sangat muda. la bepergian bersama kami melalui daratan dan gurun pasir. Ia juga ditemani seorang syeikh bernama Hasan, dimana la telah menemaninya selama tujuh puluh tahun. Jika salah seorang di antara kami melakukan kesalahan, dan dirl syeikh terjadi perubahan, maka kami minta bantuan kepada syeikh Hasan ini, sehingga la bisa mengembalikan kami pada kondisi sebelumnya.”
Disebutkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang suatu ketika la pernah berkata kepada sebagian sahabatnya, “Jika Anda termasuk orang yang takut binatang buas maka janganlah Anda menemaniku.”
Yusuf bin al-Husain ar-Razi berkata: Saya pernah berkata kepada Dzun-Nun al-Mishri, “Siapa yang pantas aku jadikan teman?” la menjawab, “Orang yang Anda tidak pernah menyem-bunyikan darinya sesuatu yang Allah mesti mengetahuinya dari Anda.”
Sementara itu, Ibrahim bin Adham - rahimahullah - jika ia ditemani oleh seseorang, maka la mengajukan tiga syarat:
1. Persahabatan adalah suatu pengabdian;
2. Memberi tahu kepadanya; dan
3. Tangannya dalam segala anugerah dunia yang dibukakan Allah kepadanya hendaknya seperti tangannya sendiri. Kemudian ada seseorang dari sahabatnya berkata, “Aku tidak sanggup melakukannya.” Maka Ibrahim bin Adham berkata kepada sahabatnya, “Saya kagum terhadap kejujuran Anda.” Dan Ibrahim bin Adham adalah seorang Sufi yang bekerja mengawasi kebun atau ikut memanen hasil pertanian dan kemudian hasilnya la bagikan kepada para sahabatnya.
Abu Bakar al-Kattani - rahimahullah - berkata, “Pernah ada seseorang menemaniku. Padahal dalam hatiku ada beban yang sangat berat. Kemudian suatu ketika aku memberinya pakaian, dengan harapan agar beban berat yang ada dalam hatiku bisa hilang. Namun tak kunjung hilang. Maka pada suatu hari aku membawanya ke rumah atau ke suatu tempat, dan aku katakan padanya, `Letakkan kaki Anda di atas pipiku.’ Namun la tidak mau melakukannya. Kemudian aku meyakinkannya lagi, Anda harus melakukan hal itu.’ Akhirnya la mau melakukannya, dan apa yang menjadi beban berat di hatiku akhirnya hilang.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Kisah ini saya dengar dari ad-Duqqi. Dan dari Syam saya bermaksud pergi ke Hijaz sehingga saya bisa bertanya langsung kepada Abu Bakar al-Kattani tentang kisah ini.
Abu All ar-Ribathi - rahimahullah - berkata:
Aku pernah menemani Abdullah al-Marwazi - rahimahullah. Sebelum aku berteman dengannya, la telah memasuki daerah gurun pasir tanpa membawa bekal apa pun. Ketika saya menemaninya la berkata kepadaku, “Mana yang lebih Anda sukai, Anda yang menjadi seorang pimpinan (amir) ataukah aku?”
Maka aku menjawabnya, “Anda-lah yang jadi pemimpin.”
Maka la berkata, “Jika demikian, maka Anda harus taat.” Aku pun menjawabnya, “Ya!”
Kemudian la mengambil keranjang (tas) dan mengisinya bekal kemudian ia panggul di punggungnya.
Ketika aku berkata padanya, “Berikan barang itu padaku biar aku yang membawanya.”
Maka la berkata sembari bertanya, “Bukankah aku yang menjadi pemimpin? Sehingga Anda harus taat kepadaku.” Kemudian pada suatu malam hujan mengguyur kami hingga pagi hari. Aku duduk di sebelahnya, sementara la berdiri lebih tinggi di atas kepalaku dengan mengenakan pakaian tebal dan berusaha menghalangi air hujan agar tidak membasahiku. Maka aku berkata sendiri dalam hatiku, “Andaikan aku mati dan tidak pernah berkata kepadanya, `Andalah yang menjadi pemimpin.
Kemudian la berkata, “Jika ada orang yang ingin menemani Anda maka temanilah dia sebagaimana Anda melihatku menemani Anda.”
Sahl bin Abdullah -rahimahullah - berkata, “Hindarilah berteman dengan tiga kelompok manusia: Para penguasa diktator yang lalai, orang-orang pandai membaca al-Qur’an yang suka mencari muka dan para Sufi yang bodoh.”
Inilah cara mereka bersahabat antara satu dengan yang lain dalam makna yang telah kami sebutkan kisah-kisahnya. Semoga yang sedikit ini bisa menjadi cukup bagi mereka yang cerdik dan berakal. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Langganan:
Postingan (Atom)