Laman

Jumat, 05 September 2014

PERJALANAN NABI MUSA MENCARI JATI DIRI BISMI ALLAH

Diceritakan suatu ketika nabi musa as mencari seorang mursyid ahli tasauf yg konon bisa membukakan jati dirinya.bermula perjalannya bertemu dgn orang tua renta(jibril yg menyamar) yg menceritakan tentang seorang nabi allah yg ahli ma'rifat yaitu nabi khidir as.dikatakan kpda musa.
Jibril : hai anak muda,hendaklah engkau cari seorang mursyid yg benar2 mengenal akan tuhanmu,yg bisa membelah dadamu dan mengeluarkan kotoran2 dihatimu.
Musa : dimana aku bs bertemu dgn beliau wahai orang tua.
Jibril : ikutilah aliran sungai ini,,,??
Tanpa bnyk bicara musa pun berngkat mencari sosok sinabi khidir as,hingga jauhnya perjalanan blm bertemu jua,dan ketika ia telah sampai disuatu muara (persimpangan jalur air bertemu laut) lalu nabi musa bingung,hendak kemana melanjutkan langkahnya.dan ia pun berwudhu dan melakukan shalat 2 rakaat dan bermunajat kpda allah,meminta petunjuknya,ketika selesai shalat nabi musa hendak mengayunkan langkahnya tiba2 muncullah seekor ikan yg dtng menghampirinya dan berkata : wahai musa,ikutilah aku.nabi musa pun kaget,karena seekor ikan berbicara kpdanya.ia hnya berfikir,ini pasti petunjuk dr allah swt yg mendengar do'anya lalu musa pun mengikuti siikan hingga sampai pd sebuah desa dimana nabi khidir berada.singkat cerita ia pun bertemu dgn khidir as.
Musa : assalamu'alaika yaa ummu anbiyya khidir
Khidir : wa'alaikumussalam.
Musa : sungguh saya ingin bermursyid kpdmu dikarenakan ingin mengenal tuhanmu.
Khidir : kamu takkan mampu mengikutiku,jawabnya lalu ia pun menghampiri seorang bocah/anak kecil,lalu khidir membunuhnya.
Musa : hai khidir mengapa kamu membunuhnya.nabi khidir menjawab : kamu takkan mampu mengikutiku.musa bergumam dlm hatinya : apa benar ini seorang wali allah,lalu khidir mulai berangkat pergi menuju sebuah perahu.musa masih ragu dgn nabi khidir as dan ia pun trs mngkuti langkah nabi khidir hingga smpi pada sebuah perahu,tanpa bnyk bicara nabi khidir melobangi perahu trsbt dan langsung pergi meninggalkan perahu itu.musa ttp mengikutinya dr belakang hingga bertemu suatu tempat dan nabi musa menghentikan lngkah nabi khidir lalu bertanya.
Musa : mengapa km melakukan itu smua,bukankah perbuatanmu itu dimurka allah.khidir menjawabnya sambil tersenyum.
Khidir : tahukah km mengapa anak kecil td sy bunuh.
Musa : tidak
Khidir : karena ank td apa bila dibiarkan tumbuh besar,maka ia akan mencelakakan kedua orng tuanya yg hidup dlm kemiskinan (anak durhaka),tahukah km,knpa perahu td sy lubangi,karena ia akan menenggelami orang2 yg berada diatas lautan nnti.(karena perahu sdh tak layak ditumpangi orang/sdh rapuh)
Musa : bgmn km bs mengetahuinya,,,,,???
Khidir : BI ALLAH bersama allah.

SUBHANALLAH,ALHAMDULILLAH,ALLAHU AKBAR.
smoga cerita ini menjadi inspirasi buat kita smua yg sdng berthareqat dijalannya. Amieeen

MELIHAT WAJAH ULAMA’ DALAM BERTAREKAT


Keutamaan memandang wajah ulama
Mata yang memandang mempunyai pengaruh kuat dan berdampak signifikan terhadap aktiviti batiniyyah kita. Begitu kuatnya pengaruh itu sehingga mempengaruhi kekhusyu'kan seseorang untuk beribadah kepada Allah Ta'ala. Syekh Thahir bin Saleh Al-Jazairi dalam kitabnya: Jawahirul Kalamiyah menguraikan sebuah permasalahan:
‘Bagaimana mata mempunyai pengaruh, padahal mata itu hanya termasuk bahagian badan manusia yang lembut dan tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang dilihat, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari mata itu yang berhubungan dengan sesuatu yang dilihat?' Maka dijawab bahwa tidak ada yang menghalangi jika sesuatu yang lembut itu mempunyai pengaruh yang kuat, dan tidak diisyaratkan bahwa adanya pengaruh itu harus ada hubungannya, kerana sesungguhnya kita lihat sebahagian manusia yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan bila melihat kepada seseorang dengan pandangan yang mengandung amarah, kadang-kadang menyebabkan yang dipandang itu ketakutan dan gemetar, malah boleh menyebabkan kematiannya. Padahal pada lahirnya ia tidak memasukkan sesuatu pada yang dilihatnya dan tidak terjadi antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi hubungan ataupun sentuhan. Kalau magnet mempunyai kekuatan dapat menarik besi padahal tidak ada hubungan antara magnet dan besi yang ditariknya itu dan tidak keluar sesuatu yang dapat menyebabkan menariknya itu. Bahkan benda-benda yang lembut lebih besar pengaruhnya daripada benda-benda yang kasar. Kerana sesungguhnya perkara-perkara yang besar adalah timbul dari kuatnya kehendak dan niat, sedangkan kehendak dan niat itu termasuk hal yang tidak tampak. Maka tidak menghairankan kalau mata mempunyai pengaruh terhadap yang dipandangnya sekalipun mata itu sangat lembut, dan tidak ada hubungan atau sesuatu yang keluar dari mata itu.
Kekuatan dan kecepatan pengaruh mata dalam memandang telah disinggung oleh Nabi SAW dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas Ra.:
"Pandangan mata adalah suatu kebenaran. Jika ada sesuatu yang dapat mendahului taqdir (ketetapan Allah), maka sungguh pandangan mata akan mendahuluinya". (HR. Muslim). Kerana itulah mata boleh membahayakan, seperti hipnotis, dll. dan Nabi SAW mengajarkan kepada kita suatu do'a:
"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap syaitan, binatang buas, dan pandangan mata yang membahayakan".
Sari As-Saqathi Rhm. berkata: "Lidahmu adalah penyambung dari hatimu, dan wajahmu adalah cermin darinya. Pada wajahmu ditemukan apa yang ada di dalam hatimu".[1]
Ketika anak-anak Ya'qub ingin pergi ke Mesir, menemui Yusuf As. yang ketika itu sudah menjadi Perdana Menteri, Ya'qub As. menasihati mereka:
"Hai anak-anakku, janganlah kamu bersama-sama masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan!" (QS. Yusuf[17]: 67)
Qatadah mengatakan bahwa Ya'qub As. mengkhawatirkan mereka dari bahaya pandangan (Al-‘Ain) orang-orang yang melihat mereka kerana anak-anak Ya'qub As. tergolong orang-orang yang tampan dan berpenampilan menarik. Demikianlah Al-Quran mengisahkan tentang isyarat kuatnya pengaruh pandangan terhadap sesuatu yang diinginkan, yang difahami oleh sebahagian orang tertentu yang diberikan pengetahuan tentangnya.
Keutamaan pandangan kepada wajah seorang Ulama banyak sekali, di antaranya sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:
"Barang siapa memandang kepada wajah orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Allah menjadikan pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat".
Imam Al-Hafizh Al-Mundziri meriwayatkan sebuah hadits dari 40 hadits berkenaan dengan keutamaan menuntut ilmu, yakni bersabda Rasulullah SAW:
"Pandangan sekali kepada orang Alim lebih Allah cintai daripada ibadah 60 tahun, berpuasa siang harinya dan berdiri ibadah pada malamnya". Kemudian sabda beliau SAW: "Jika tiada Ulama niscaya binasa (celaka)lah umatku".
Hadits tersebut menunjukkan betapa besarnya keutamaan memandang wajah orang Alim secara lahiriyyah, dikeranakan seseorang yang melakukannya akan mendapat pengaruh kekhusyu'kan dan ketenangan hati sehingga mendorongnya kepada Hubbul Akhirah. Tidak semua Ulama dikategorikan seperti makna hadits di atas, kerana kata ‘Ulama' menggunakan Isim Makrifah (Al-'Ulamaa-u), yang menandakan ketertentuan/kekhususan. Tentunya Ulama yang dimaksud di sini adalah Ulama yang telah mencapai kemakrifatan yang Hakiki, dimana pancaran jiwanya mampu melenyapkan sekat-sekat yang menutupi hati. Maka Rabithah, yakni memandang wajah Syeikh dengan mata hati lebih diutamakan dan memiliki tempat yang khusus di kalangan Ahli-ahli Thariqat, sebagai penyatuan ruhaniyah seorang murid yang dhaif lagi faqir, dengan Syeikhnya yang kamil menuju Hadhrat Allah Ta'ala.
Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian ahli dzikir yang dapat menyebabkan orang lain ingat kepada Allah. Yakni dengan memandang wajahnya saja, membuat mereka teringat untuk dzikrullah. Hadits lain menyebutkan bahwa ‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang apabila orang lain memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Allah, jika mendengar ucapannya maka bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya maka tertariklah pada akhirat'.[3] Atas dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syekh Shufi) terdahulu sangat menganjurkan untuk senantiasa mengenang wajah Syeikhnya sebagai alat untuk mempermudah dzikir (ingat) kepada Allah SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.
Berkata Syekh Mushthafa Al-Bakri Rahimahullaahu Ta'ala:
"Dan di antara apa yang diwajibkan atas seorang murid adalah rabithah hatinya dengan Gurunya dan maknanya bahawa murid senantiasa mengekalkan atas penyaksian akan rupa Syeikhnya. Inilah merupakan syarat yang dianjurkan bagi kaum Sufi yang mewariskan kepada maqam makrifat yang tinggi". (Hidayatus Salikin)

TUJUAN HIDUP HAKIKI


Sepanjang perjalanan hidup dan kehidupan, seorang hamba senantiasa dituntut untuk berusaha menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Di mana mereka harus sadar akan posisi dirinya sebagai hamba Allah (‘abid) yang harus taat dan tunduk terhadap segala titah-Nya, sebagai yang disembah (al-ma’bud) dalam kondisi apa pun adanya. Dalam menuju kesana banyak cara yang ditempuh sesuai dengan cara dan pendekatan bermacam-macam dan berbeda-beda, antara lain, dengan mengasingkan diri dari keramaian, menjauhkan diri dari kehidupan materi, memilih hidup sederhana. Aktifitas-aktifitas semacam itu kemudian disebut dengan kehidupan asketis (zuhud). Semua perjalanan yang dilalui itu adalah semata-mata dalam rangka menemukan tujuan hidup hakiki yang merupakan kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Dalam perkembangan selanjutnya, perjalanan spiritual yang demikian itu kemudian dikenal dengan perjalanan dan pengalaman sufistik. Sedangkan tujuan dari perjalanan sufistik tersebut adalah semata-mata untuk memperoleh hubungan langsung dan didasari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di Hadirat Allah swt. Intisari dari ajaran sufisme ini adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Adapun kesadaran berada dengan Allah itu dapat mengambil bentuk ittihad (penyatuan diri dengan Tuhan), hulul (manifestasi Tuhan dalam diri manusia), ma’rifat (Melihat-Nya) ataupun mahabbah (Mencintai-Nya).
Dengan berbagai metode dan pendekatan yang ditempuh seorang sufi seperti itu, maka dalam kaitan ini, Imam Jakfar Ash-Shadiq pernah mengatakan, bahwa dalam beribadah kepada Allah akan ditemui tiga macam bentuk: Pertama, kaum yang menyembah Allah karena takut. Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Allah kerena untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang menyembah Allah karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyembah Allah karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Allah swt.
Pada dasarnya tuntunan dan ajaran tasawuf adalah menekankan pada asfek esoteris (batin) dan bukan pada eksoteris (lahir), maka dalam praksisnya seseorang salik (pelaku tasawuf) senantiasa ingin mensucikan dirinya dari hal-hal yang kotor yang masih melekat pada hati dan jiwanya. Dia berusaha mengisinya dengan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidaklah berlebihan apabila seorang salik hatinya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendekat kepada kekasihnya, yaitu Allah swt. Banyak jalan yang ditempuh olehnya, antara lain dengan banyak berdzikir kepada Allah, maupun memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya.
Oleh karena itu, terdapat ungkapan yang berbunyi, “Apabila Islam dipisahkan dari aspek esoterisme-nya, maka ia hanya menjadi kerangka formalitas saja, sehingga orang-orang yang rasionalistik hanya menerima Islam sebagai keformalan semata. Apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan, sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Dalam tradisi keberagamaan ummat Islam, motivasi ibadah ummat awam lebih cenderung bersifat simbolistik-formalistik. Mereka beribadah hanya bermotifkan mencari pahala surga dan menjauhi neraka. Mereka menganggap surga dan neraka adalah tujuan akhirnya. Mereka tidak tahu bahwa tujuan yang lebih berarti dan bermakna dari ibadah tersebut. Ibarat seorang anak kecil yang dipaksa masuk sekolah (SD) oleh ibunya, karena sang anak tidak tahu tujuan dari pendidikan maka ibu memberikan motivasi berupa hadiah, kalau anaknya mau masuk sekolah akan diberikan baju baru, dan kalau naik kelas akan diberikan sepeda mini, dan terus sampai anaknya tamat SD masih tetap dimotivasi dengan hadiah-hadiah dan kalau sang anak tidak mau sekolah akan diancam dengan hukuman. Ketika sang anak sudah masuk SMP, dia sudah mulai tahu hakikat sekolah, dia mulai mengerti untuk apa sekolah, tujuannya bukan untuk mendapatkan sepeda mini, bukan untuk menghindari hukuman, tapi tidak lain untuk mencerdaskan dirinya sebagai bekal dalam menempuh kehidupan. Sungguh, betapa banyak ummat Islam beragama seperti anak kecil yang masuk sekolah karena hadiah, dan sangat disayangkan akan terus demikian tanpa tahu hakikat beragama.
Tentang hakikat beragama, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kitab ibarat tongkat yang diperlukan untuk berlatih agar bisa berjalan, ketika sudah pandai berjalan maka tongkat itu tidak diperlukan lagi dan justru akan memperlambat perjalanan. Betapa banyak orang yang terus memeluk dengan erat kitab/buku, terus asyik dengan dalil sampai akhir hayatnya, merasa sudah pandai barjalan padahal tidak pernah menempuh perjalanan.
Tujuan hidup yang hakiki adalah menemukan Allah, memandang keindahan wajah-Nya yang kekal abadi, barulah kemudian menghambakan diri dan mencintainya dengan sebenar-benar cinta, dari sanalah sumber hikmah dan karunia mengalir dengan deras, laksana guyuran air hujan dari langit.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan benih kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah swt (ma’rifatullah).
Menurut Jalaluddin Rumi, kebahagiaan tertinggi dalam perjalanan hidup adalah terletak pada pengetahuan sejati tentang Allah swt (Ma’rifatullah). Yang dapat diperoleh langsung melalui pengalaman bathin, yaitu hati (intuisi) yang bersih dan jernih akan materi-materi lewat bimbingan seorang Guru Mursyid yang Kamil dan sangat pengerti keadaan spiritual muridnya. Bukan dengan pendekatan intelektual-teologi, filsafat, atau indera lahiriah semata.
Rumi juga memandang bahwa ma’rifat adalah buah dari fana’. Dengan kata lain, ke-fana’-an adalah ma’rifat itu sendiri. Disinilah Rumi menemukan kebahagiaan tertinggi, yaitu ketika ia sampai pada tahap ke-fana’-an atau penyaksiaan kesatuan.
“Sesaat engkau fana pada-Ku, lebih baik itu pada dari engkau beramal seribu bulan”, fana’ itulah hakikat dari Lailatul Qadar, apabila orang menemukan malam itu lebih baik dari beribadah selama 1000 bulan.
Adapun bagi Rabi’ah al-Adawiyah, kebahagiaan tertinggi adalah terletak pada kasyf (terbuka hijab untuk bisa melihat Allah), yang terungkap dalam syairnya tentang cintanya, yaitu :
“Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu
Mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat”
Dengan demikian, tujuan cinta Rabi’ah adalah pencarian Kasyf (dapat melihat Allah) itu sendiri, sehingga tak tampak sedikitpun selain-Nya. Seperti yang di Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 113:
“….dimanapun engkau memandang disitulah Wajah Allah”
Al-Qur’an telah menggambarkan kepada kita betapa Maha dasyatnya memandang wajah Allah swt, surga dan seluruh isinya tidak akan bisa mengalahkan kebahagiaan memandang wajah-Nya, bahkan digambarkan kebahagiaan tertinggi penduduk surga adalah memandang wajah-Nya.
Masihkah kita berusaha berebut kapling di surga kalau sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan disana? Kebahagiaan itu adalah disaat kita bersama-Nya, menikmati perjamuan-Nya, memandang wajah-Nya, dari sanalah timbul rasa cinta yang menggelora, cinta yang menggetarkan seluruh jiwa dan raga, cinta yang tidak mampu ditulis walau seluruh air laut jadi tinta dan ranting kayu jadi pena. Cinta yang membuat Saidina Ali tidak merasakan pedih kakinya saat panah dicabut, cinta yang membuat Rabi’ah tidak merasakan pedih matanya tertusuk duri.
Inilah jalan kesufian, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya, merasakan getaran cinta-Nya setiap saat, inilah tujuan hidup hakiki…. Yaitu Berjumpa dengan SANG KEKASIH.

TASAWUF MEMBENTUK AHKLAK MULIA


Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisaa'(4):69)
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.: “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.” HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma’ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Dalam praktek realisasi ilmu Sufi khusunya tempo dulu, mutasawwif (orang Sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT. Disisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah Swt dalam beribadah. Disinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau ber-ma’rifat, selain itu berintrospeksi diri siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi Saw. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)”.
Jelas bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab “Al-Islaamu ‘ilmiyyun wa ‘amaliyyun” (Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.
Dalam kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”. Sedangkan Al-Junaid seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: “Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya.”
Ilmu Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: “Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf.
Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan (Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu Syeikh Siti Jennar yang mirip dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.
**
Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”. (Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil ‘aalamiin.***

KONTAK ROHANI


Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Diri rohani adalah inti daripada manusia. Diri rohani yang merupakan mitra dari diri jasadi (jasmani) dapat mengadakan kontak dengan diri rohani manusia lainnya, baik semasa masih sama-sama hidup atau sama-sama sudah mati atau salah seorang sudah mati dan yang lainnya masih hidup. Diri rohani tidak mengalami kematian, sedangkan yang mengalami kematian adalah diri jasadi.

Kontak Rohani Semasa Hidup
Kontak rohani semasa masih hidup yang sering juga dinamakan kontak batin seperti :
Antara imam dan makmum dalam shalat; Seorang makmum wajib berniat menjadi makmum dan konsekwensinya dia harus mengikuti imam sepenuhnya. Manakala makmum menyalahi perbuatan imam atau tidak sesuai dengan apa yang dilakukan imam, umpamanya imam sujud dia rukuk, imam tahiyat dia berdiri dan seterusnya, maka shalat si makmum tadi menjadi batal.
Antara anak dengan kedua orang tua; Hubungan betin kasih sayang, perasaan tanggung jawab antara kedua orang tua dan anak, dan sebaliknya, merupakan fitrah manusia. Banyak dalil dalam Al Qur’an maupun Al Hadist bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya dalam masalah nafkah, pendidikan, agama, dan sebagainya. Sebaliknya anak disuruh berbakti dan tidak boleh durhaka kepada kedua orang tuanya. (Q.S. Al Isra 17:23).
Antara suami dan isteri; Dengan akad nikah yang sah, maka terjadilah suatu hubungan atau ikatan batin yang kuat antara suami dan istri dan keluarga kedua belah pihak. Dengan akad nikah terjadilah mwaddah, rasa kasih sayang antara keduanya yang merupakan berkahnya nikah (Q.S. Ar Rum 30:21) dan menimbulkan suatu ikatan janji yang suci lagi kokoh kuat antara keduanya, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing (Q.S. An Nisa’ 4:21).
Antara murid dengan guru; Tidak ada di atas dunia ini seseorang memperoleh ilmu tanpa melalui guru, langsung atau tidak langsung. Seorang murid dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, sehingga dengan demikian terjadilah hubungan, kontak batin yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat.
Antara murid/salik dan Syekh Mursyid; Sama halnya antara murid dengan guru sekolah, bagitu pulalah halnya antara murid/salik dengan Syekh Mursyidnya, ada hubungan bathin yang sangat kuat satu dengan lainnya. Kalau antara murid dengan guru di kelas adalah transfer of knowledge, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka antara murid/salik dengan Syekh Mursyid adalah Transfer of Spiritual, mentransfer masalah-masalah kerohanian, membina iman dan taqwa (imtak). Masalah kerohanian adalah sangat halus dan tinggi yang dasar utamanya adalah wahyu dari Allah SWT. Karena itulah persyaratan Syekh Mursyid, jauh lebih sulit dan tinggi dibandingkan dengan guru di depan kelas. Syekh Mursyid adalah seorang yang berkualitas wali, karena dia membimbing rohani murid dalam berzikir dan beribadah. (Q.S. Al Kahfi 18:27).

Kontak Rohani Orang Hidup dengan Orang yang Meninggal dan Sebaliknya
Sesungguhnya arwah di alam barzah itu masih hidup, bsai mendengar, melihat, mengetahui dan berkomunikasi baik antara sesama arwah orang yang sudah meninggal, maupun dengan arwah orang yang masih hidup. Dalam kajian tasawuf, arwah para Nabi dan wali-wali Allah semasa hidupnya, arwahnya hidup di alam Syahadah dan juga hidup atau dapat berkomunikasi di alam gaib.
Seorang Syekh Mursyid dapat membimbing muridnya dari jarak tanpa batas baik semasa dia masih hidup maupun dia telah meninggal dunia karena sesungguhnya arwah para wali itu hidup disisi Allah. Sebagai contoh Syekh Abdul Wahab Rokan semasa Perang Aceh sekitar tahun 1890-an pernah di photo oleh tentara belanda ikut sebagai penjuang dipihak pasukan Aceh sehingga Belanda menganggap Beliau sebagai pemberontak. Padahal pada saat yang sama Beliau tidak pernah keluar dari rumahnya ber zikir/suluk selama berhari-hari. Saidi Syekh Dermoga Barita Raja Muhammad Syukur pernah menolong muridnya yang tenggelam di laut dan membawanya ke darat dengan selamat padahal pada saat yang sama Beliau sedang makan dengan santai di rumah Beliau. Lalu siapa yang mengangkat orang di laut? Atau siapa yang ikut dalam perang?
Hal-hal seperti ini bukan hal yang asing dalam Tarekat dan tentu saja kalau diuraikan penomena yang dialami oleh para pengamal tarekat sangat banyak dan sangat unik serta ajaib.
Di antara sesama kita pun bisa saling berkomunikasih secara rohani asal lengkap memenuhi rukun dan syaratnya. Pengkajian masalah roh atau diri rohani ini dan hubungan roh satu dengan roh lainnya, merupakan masalah pokok dan amat penting dalam kajian tasawuf dan tarekat. Tentang roh dapat kita ketahuai dengan jelas dari Firman Allah :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diiwaktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Az Zumar 39:42)
Menalaah tafsir ayat ini, baik dari tafsir Depag maupun tafsir Ibnu Qayyim dalam bukunya “Ar Ruh” dapat disimpulkan bahwa :
Roh orang yang meninggal keluar dari jasadnya dan roh itu ditahan oleh Allah SWT.
Roh orang yang tidur dilepaskan oleh Allah untuk kembali kepada jasadnya sampai dengan dia meninggal, sesuai dengan ajal yang ditetapkan baginya.
Roh Nabi, roh Rasul dan roh orang saleh yang tidur mengembara ke alam atas, alam malakut, alam rabbani dan dapat melihat kejadian yang telah lalu, sekarang dan yang akan datang. Dari penglihatannya itu kadang-kadang menzahir dan menjelma sebagai mimpi, maka mimpinya itu dinamakan mimpi yang benar atau ar ru’yatush-shalihah.

Kontak Rohani dengan Allah
Roh yang telah disucikan kemudian diajarkan cara berzikir kepada Allah barulah bisa mengadakan kontak dengan Allah dalam Shalatnya (Q.S. Al A’laa, 87:14-15). Tanpa disucikan terlebih dahulu mustahil roh kita bisa berhubungan dengan Allah karena Allah adalah Zat Maha Suci dan Maha Tinggi. Disinilah pentingnya kedudukan seorang Syekh Mursyid bukan hanya membimbing secara jasmani akan tetapi bisa mensucikan rohani sang murid dengan Nur Allah yang dititipkan dalam dadanya. Tentu saja seorang murid harus mengenal guru semasa Gurunya masih hidup, pernah bertemu dengan guru nya (berziarah) sehingga benar-benar mengenal Guru nya, dengan demikian akan terjadi kontak rohani baik semasa Guru nya masih hidup maupun sudah meninggal begitu juga sebaliknya. Banyak orang tersesat karena mencari Guru Rohani di hutan-hutan, di pinggir laut menunggu datang Nabi Khidir atau berzikir sendiri di rumah meninggu datangnya Syekh Abdul Qadir atau Syekh lainnya. Cara demikian justru akan semakin jauh kita dengan hakikat sebenarnya karena syetan dengan mudah datang menyerupai orang yang kita inginkan. Berguru secara rohani harus pernah perjumpa terlebih dahulu secara jasmani agar benar-benar terjaga.
Bukan hal mustahil seorang hamba yang telah disucikan dan dibimbing sampai ke tahap Makrifatullah bisa berkumunikasi dengan Allah dan bahkan melihat wajah-Nya karena roh itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kalau kita belum bisa berkomunikasi dengan Allah dalam artinya yang sebenarnya, belum bisa mendengar suara-Nya dan belum bisa melihat wajah-Nya berarti kita belum sampai ke tahap Makrifatullah. Kalaupun ada yang mengaku telah mencapai maqam Makrifatullah namun belum bisa memenuhi kriteria diatas maka makrifat nya hanya sampai kepada pemahaman saja atau makrifat kepada sifat dan nama-Nya belum kepada makrifat Zat-Nya. Carilah seorang Guru Mursyid yang benar-benar bisa mengantarkan rohani kita sampai ke tahap Makrifatullah karena hanya itu satu-satunya jalan yang paling aman untuk sampai ke hadirat-Nya.
Semoga Allah memberikan kita kesempatan untuk mengenal-Nya serta mengabdi dengan ikhlas kepada-Nya.

AGAMA ADALAH CINTA


Jika agama dengan segala kelengkapannya ingin di wakili dalam sebuah kata, maka kata yang paling tepat untuk mewakilinya adalah CINTA. Cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul, Cinta kepada saudara seiman dan cinta kepada semuanya. Cinta kepada Allah akan menimbulkan gairah kepada kita untuk melakukan pengabdian sepenuh hati kepada Allah dengan ikhlas tanpa pamrih.
Apa yang membuat Rasul begitu tabah dalam menyampaikan kebenaran, mengajak dan membimbing manusia untuk mengenal Allah, melewati masa-masa berat berupa penolakan dari orang-orang yang dekat dengan Beliau, sanak saudara dan teman-teman Beliau, karena rasa Cinta Rasul yang begitu besar kepada Allah SWT. Cinta tanpa syarat, mengalir begitu indah dalam darah dan setiap detak jantung Nabi.
Rasa cinta yang mendalam kepada Allah, kemudian melimpah dan mengalir dalam bentuk cinta kepada Agama, para sahabat dan seluruh ummat Beliau. Nabi tidak mengharapkan apa-apa, asal Beliau bisa berbuat untuk menyenangkan SANG PUJAAN HATI, itu sudah merupakan kebahagiaan tertinggi bagi Beliau.
Apa yang membuat Nabi sebagai manusia mulia dan terjamin masuk surga bahkan bisa memberikan syafaat kepada seluruh ummat manusia begitu tekun beribadah? Karena Rasa cinta yang begitu besar terhadap Allah. Ibadah bagi Nabi bukanlah untuk sekedar memenuhi kewajiban.
Meneladani Rasul, selayaknya kita juga beribadah kepada Allah atas dasar Cinta, sehingga tidak terlintas dalam pikiran imbalan atas ibadah yang kita lakukan, layaknya seorang pedagang atau ibadah yang dilakukan atas dasar rasa takut seperti layaknya seorang budak.
Semoga Allah selalu menuntun dan membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus dan benar, Jalan-Nya yang penuh dengan Rahmat Karunia, Cinta dan Kasih Sayang, amin..

PATUH...


Dalam dunia sufi, patuh kepada Guru secara zahir dan bathin merupakan syarat mutlak yang tidak bisa di tawar-tawar, hal yang wajib di penuhi oleh seorang murid agar dia berhasil dan tercapai tujuan dari berguru yaitu makrifat kepada Allah dan mendapat rahmat dan karunia-Nya. Dikalangan sufi, ilmu bukanlah hal yang pokok, amalan juga bukan hal utama, yang terpenting dari semua itu adalah PATUH kepada apa yang diperintahkan atau apa yang dilarang oleh Guru.
Dalam sebuah riwayat, Syekh Abdul Qadir Jailani ketika masih menjadi seorang murid tinggal bersama dengan Gurunya dan pada suatu malam dia terlambat pulang. Ketika mencoba membuka pintu, ternyata pintu itu terkunci. Karena Adab yang tinggi kepada Gurunya, dia tidak berani mengetuk pintu yang tentu saja akan mengganggu tidur Gurunya, kemudian dia tidur di depan pintu rumah sampai subuh. Ketika Gurunya keluar saat subuh, Abdul Qadir masih tidur kemudian terbangun. Gurunya kemudian bertanya, “Kenapa kamu tidur di sini?” Abdul Qadir menjawab, “Saya tidak berani membangunkan Guru”, kemudian Gurunya berkata, “Kamu sekarang menjadi seorang Wali!”.
Kisah Raden Sa’id yang menjaga tongkat Sunan Bonang sangat terkenal di masyarakat jawa dimana Raden Sa’id dengan patuh tanpa bertanya menjaga tongkat Gurunya dalam waktu yang lama. Berkat kepatuhan tersebut, Raden Sa’id kemudian diterima menjadi murid Sunan Bonang dan kemudian mengikuti jejek Gurunya menyebarkan agama Islam, menjadi seorang Wali Allah yang dikenal dengan gelar Sunan Kalijaga.
Kepatuhan kepada Guru bukanlah ajaran yang tiba-tiba muncul atau dibuat-buat, akan tetapi ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Nabi. Para sahabat sangat tinggi kepatuhannya kepada Nabi dan mereka hanya mengenal dua kata, “Sami’na wa Atha’na”, Kami dengar dan kami patuhi. Apapun yang diperintahkan Nabi dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh mereka dan apapun yang dilarang Nabi ditinggalkan oleh mereka. Tradisi ini kemudian secara turun temurun terpelihara di kalangan sufi, dikalangan para Wali Allah sampai saat ini dan sampai akhir zaman.
Guru Sufi mengatakan, “Setinggi apapun ilmu yang dimiliki seseorang dan sebanyak apapun amal yang kerjakannya tanpa ADAB maka hasilnya NOL”. Adab yang dimaksud disini salah satunya adalah kepatuhan kepada Guru. Beliau juga mengatakan bahwa ilmu hakikat itu turun dari Guru kepada murid dengan kasih sayang, dengan demikian kapatuhan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh murid sehingga kasih sayang Guru akan tercurahkan kepadanya.
Dengan di awali kepatuhan maka akan timbul rasa sayang dan cinta kepada Guru, dengan rasa itu pula akan tercurahkan kasih dan sayang dari Guru kepada kita. Mencintai orang yang dicintai oleh Allah maka Allah akan mencintai kita, menyayangi orang yang di sayangi oleh Allah maka Allah akan sayang kepada kita, inilah hal pokok yang harus dipenuhi oleh murid.
Seorang Wali Allah pasti memberikan perintah kepada muridnya bukan atas kehendak hatinya apalagi atas dasar hawa nafsu, Guru memberikan perintah atau menyuruh muridnya melakukan sesuatu pasti sebelumnya telah meminta persetujuan dari Allah lewat Muraqabah yang dimilikinya.
Setiap tindakan apapun yang dilakukan oleh Wali Allah kesemuanya berdasarkan firman Allah baik yang tertulis maupun yang langsung di ilhamkan Allah kedalam hatinya. Atas dasarnya itu maka seorang murid harus mempunyai keyakinan yang penuh kepada Guru, tidak ada keraguan sedikitpun, dengan demikian maka dalam mematuhi apa yang diperintahkan Guru bukan dalam kondisi terpaksa tapi dengan keikhlasan hati.
Harus diakui kepatuhan kepada Guru ini mendapat kritikan dikalangan orang-orang yang anti tarekat karena mereka tidak memahami hakikat dari kepatuhan itu sendiri. Kepatuhan mutlak ini hanya berlaku kepada Guru yang mempunyai derajat seorang Wali, sedangkan untuk yang tidak mempunyai derajat seperti itu tentu saja hal ini tidak berlaku. Seorang Wali Allah tidak mungkin menyuruh muridnya hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Agama, Hukum Negara dan yang melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Guru hanya menyuruh muridnya untuk mengamalkan apa yang telah diajarkan kepadanya, memperbanyak ibadah dan dzikir serta selalu menambah pengetahuan baik tentang syariat agama maupun ilmu-ilmu lain.
Hanya kepatuhan kepada Guru yang menyebabkan hijab akan terbuka sehingga bisa memandang hal yang tidak pernah terlintas dalam pikiran, bisa menyaksikan keagungan-Nya dan dengan kepatuhan itu pula akan melatih kita patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.

HAKEKAT KEHIDUPAN SUFI


Dalam kitab berjudul al-Majma’ dikatakan, “Kaum sufi adalah mereka yg bersikap sederhana dalam pakaian dan pandangan hidup.” Mungkin saja mereka tampak tertarik oleh kehidupan dunia, namun pengetahuan mereka diwujudkan dalam perilaku yg sopan dan santun sehingga orang-orang lain tertarik kepada mereka. Sesungguhnya mereka merupakan teladan bagi manusia. Mereka mengikuti ajaran-ajaran Allah. Dalam pandangan Tuhan, mreka berada di garis tedepan manusia; dalam pandangan para salik, terlepas dari penampialan lahiriah, mereka adalah orang-orang yg menawan hati. Mereka memiliki ciri yg sangat khas, karena mereka telah mencapai tingkatan tauhid yg sesungguhnya.
Dalam bahasa arab, kata tashawwuf, terdiri atas 4 huruf t, sh, w dan f. huruf pertama, t, adalah singkatan dari tawwab, tobat. Inilah langkah pertama yg harus ditempuh di jalan ruhani, yg meliputi langkah lahir dan langkah batin. Langkah lahir ditempuh dengan perkataan, perbuatan, dan perasaan. Secara lahiriah, orang yg bertobat harus memelihara hidupnya dari dosa dan maksiat serta condong kepada ketaatan; ia harus membebaskan diri dari penyimpangan dan kekafiran, seraya mencari keridhaan dan keselarasan. Langkah batin tobat ditempuh oleh hati. Langkah ini ditempuh dengan menyucikan hati dari segala noda dan salah. Langkah ini bersumber dari perlawanan terhadap hasrat duniawi dan keteguhan dalam kesucian. Tobat—yg merupakan kesadaran atas dosa dan kemestian meninggalkannya, juga merupakan kesadaran atas kebaikan dan tekad untuk mengamalkannya—akan membawa seseorang kepada tingkatan kedua.
Tingkatan kedua adalah keadaan tenang dan bahagia, shafa. Tingkatan ini pun meliputi dua langkah, yakni langkah menuju kesucian hati, dan langkah menuju inti hakikatnya.
Ketentraman datang dari hati yg bebas dari kecemasan. Keemasan disebabkan oleh kesenangan kepada dunia—makanan, minuman, tidur, dan cengkerama. Semua ini, seperti daya tarik bumi, menurunkan eter hati. Tentu saja, membebaskan diri dari tarikan duniawi merupakan langkah yg sangat berat karena ada ikatan lain yg membelenggu eter hati ke bumi, termasuk hasrat, kekayaan, juga cinta istri dan anak-anak.
Cara membebaskan dan menyucikan hati adalah mengingat Allah (berdzikir). Pada awlanya, dzikir dilakukan secara lisan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang, melafalkannya dengan keras sehingga kau dan orang lain mendengar dan mengingat-Nya. Ketika ingatan kepada-Nya telah mantap, dzikir berlangsung dalam hati dan mnjadi bagian batin; yg tertinggal hanya keheningan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (al-Anfal: 2)
Gemetar berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan berdzikir dan menyebut nama Allah, hati terjaga dari kelalaian, dibersihkan, dan diterangi. Dengan begitu, bentuk dan rupa rahasia alam gaib akan terpantul padanya. Rasulullah saw bersabda, “Para ulama secara lahir mengunjungi dan memeriksa segala sesuatu dengan pikiran mereka, sedangkan kaum bijak secara batin sibuk membersihkan dan menerangi hati mereka.”
Inti hati akan meraih ketentraman jika telah disucikan dari segala sesuatu dan disiapkan untuk hanya menerima dzat Alalh, yg akan memasukinya jika ia telah dihiasinya oleh cinta Ilahi. Inti hati dapat dibersihkan dengan dzikir batin dan terus-terusan melafalkan kalimat tauhid “la ilaha illallah” dengan lidah hakikat. Ketika hati dan intinya berada dalam keadaan tenteram dan bahagia maka tingkatan kedua, yg disimbilkan oleh huruf sh menjadi sempurna.
Huruf ketiga, w, adalah singkatan dari wilayah, yakni tingkatan kewalian para pecinta dan kekasih Allah. Tingkatan ini bergantung pada kesucian batin. Dalam kitab suci Al-Qur’an disebutkan bahwa para wali Allah itu “tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati;” dan bahwa “bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan akhirat.” (Yunus: 62 dan 64)
Orang yg telah mencapai maqam kewalian sepenuhnya mencintai dan terhubung kepada Allah. Buah keadaan ini adalah perilaku yg sopan dan kepribadian yg hangat. Inilah karunia Ilahi yg dianugerahkan kepadanya. Rasulullah saw bersabda, “Perhatikanlah akhlak Allah dan berperilakulah sesuai dengannya.” Pada tingkatan ini, seseorang telah menghapuskan sifat-sifat duniawinya yg fana dan menyatu dengan sifat-sifat Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
“Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi mata-nya, telingannya, tangannya, dan kakinya. Dia melihat melalui Aku, dia mendengar melalui Aku, dia berbicara melalui Aku, tangannya menjadi tangan-Ku, dan dia berjalan bersama Aku.”
Sucikan hatimu dari segala sesuatu dan ingatlah hanya kepada Allah, sebab: “Katakanlah olehmu, telah datang kebenaran dan telah binasa kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu binasa.” (al-Isra: 81)
Ketika kebenaran datang dan kebatilan binasa, tingkatan wilayah menjadi sempurna.
Huruf keempat, f, merupakan singkatan dari kata fana’, peniadaan diri. Diri yg batil dan keakuan luruh musnah ketika sifat-sifat Ilahi memasuki jiwa seseorang. Keakuan digantikan oleh keesaan.
Pada hakikatnya, kebenaran akan selalu ada; tak pernah hilang atau pun surut. Pemusnahan yg dimaksudkan di sini adalah bahwa seorang mukmin menyadari dan menyatu dengan dzat yg telah menciptakannya. Ketika berada bersama-Nya, ia menerima keridaan-Nya: wujud manusia yg fana’ menemukan eksistensinya dengan menyadari hakikat yg kekal. “Segala sesuatu musnah kecuali dzat-Nya…” (al-Qashash: 88)
Hakikat-Nya dikenali melalui keridhaan-Nya. Jika kau melakukan sesuatu karna Dia dan diridai-Nya, berarti kau telah mendekati hakikat-Nya, dzat-Nya. Setelah itu, semuanya musnah kecuali Yang Esa; Dia menyatu dengan orang yg diridai-Nya. Amal saleh adalah ibu yg melahirkan hakikat, yaitu jiwa sejati yg kembali. Allah berfirman, “Kepada-Nya naik perkataan yg baik dan amal yg saleh dinaikkannya. “ (Fathir: 10)
Jika seseorang berbuat karena segala sesuatu selain Allah, berarti telah menyekutukan Allah. Sebab ia telah menempatkan seseorang atau yg lainnya di tepat Allah. Menyekutukan Dia adalah dosa yg tak terampuni yg lambat laun akan membinasakan dirinya. Namun jika diri dan keakuan sirna, ia akan mencapai tingkat kebersatuan dengan Allah, yg dicapai di alam kedekatan kepada-Nya; alam yg dijelaskan oleh Allah dalam firman-nya:
“Sesungguhnya orang yg bertakwa itu … ditempat yg disenangi, di sisi Tuhan Yang Mahakuaasa.” (al-Qamar: 54-55)
Alam itu adalah alam hakikat sejati; hakikat segala hakikat; tempat keesaan dan ketunggalan. Itulah alam yg disediakan untuk para nabi, orang yg dicintai Allah, dan para kekasih-Nya. Allah bersama orang-orang yg benar. Ketika eksistensi ciptaan menyatu dengan eksistensi yg kekal, eksistensi keduanya menjadi tak terpisahkan. Ketika seseorang telah melepaskan dirinya dari semua ikatan duniawi untuk berada-bersama Allah, niscaya ia akan menerima kesucian yg kekal, yg tak pernah ternodai, dan “menjadi salah seorang penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. “ (al-A’raf: 42) . mereka adalah “orang yg beriman dan mengerjakan amal saleh” (al-A’raf: 42). Namun, “Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya.” (al-A’raf: 42).
Untuk bisa mencapai tingkatan penyatuan seperti itu, dibutuhkan kesabaran dan ketabahan, karena “Allah bersama orang-orang yg sabar.” (al-Anfal: 66)