Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Minggu, 02 Februari 2014
GURU RUHANI
Wahai Saudaraku………
Benarlah apa yang sudah ditetapkan bahwa untuk menuju kepada Maqom
Ma’rifatullah itu kita harus melewati Mursyid yang membimbing mulai dari
Syari’at lalu naik kepada Thoriqot kemudian menuju kepada Hakikat.
Kemudian pada Hakikat itulah berkah dari pada Nurun Ala Nurin menyinari
Qolbu menembus kepada Sir Otak pada Akal lalu terbukalah Sir Ma’rifat
pada Diri.
Di Maqom Ma’rifat itu Qolbunya lebih Dominan daripada Akalnya, Akal berperan mengikuti Suasana Qolbunya.
Katakanlah apa yang saya tulis ini hanya sebagai Sharing untuk
sama-sama berbagi pengetahuan yang pada Hakikatnya Pengetahuan Ilmu itu
hanyalah milik Allah Swt. Dan tidaklah di Dunia yang Fana ini kita
adalah Saudara se Iman dan se Keyakinan yang walaupun mungkin ada beda
pendapat tetapi tujuannya tetap SATU dan kembali kepada yang SATU. Dan
juga saya harap Saudaraku Sufi Muda juga tidak segan-segan untuk
memberikan masukkannya kepada Saya, itulah hikmahnya sebagai Saudara
saling isi mengisi. Karena pada Zahirnya manusia itu ada kekurangan dan
kelebihannya.
Wahai Saudaraku…………
Engkau telah
mengatakan bahwa Posisi Mursyid itu sangatlah penting bagi sang Salik
untuk mendapatkan Pencerahan Nur Muhammad Saw, sehingga wajib bagi kita
untuk ta’at, hormat, tunduk, cinta, memuliakan dll kepada Mursyid.
Karena dengan keta’atan kepada Mursyid sama halnya ta’at kepada
Rosulullah Saw dan Ta’at kepada Rosulullah Saw sama halnya kita Ta’at
kepada Allah Swt.
Jika kita kembali kepada Sejarah bahwa
sebagian Sufi ada yang mendapatkan Pencerahan itu melalui Mursyid yang
mempunyai silsilah Ilmu (mata rantai) seperti yang Anda kupas di Blog
Sufi Muda. Tetapi kita tidak bisa membantah bahwa ada juga sebagian para
Sufi yang mendapatkan Pencerahan itu tidak melalui Mursyid yang
mempunyai Silsilah Ilmu (Mata Rantai), akan tetapi dengan Kepasrahan
diri serta keikhlasan diri maka mereka juga mendapatkan Pencerahan di
Dirinya.
Bagi Saya itu menunjukkan Maha Adil dan Maha
Bijaksanya Allah Swt. Kebenaran itu di dapat tidak hanya melalui Mursyid
yang mempunyai Silsilah Ilmu melainkan juga melalui Mursyid yang
mempunyai silsilah Spiritual/Rasa. Walaupun sekilas sama antara Silsilah
ilmu dengan silsilah Spiritula/Rasa akan tetapi ada perbedaan yang
sangat tipis diantara keduanya.
Kemudian Naiknya Maqom
seseorang menuju Alam Robbani/Alam Lahut tentu ia melalui
pendidikan/sekolah dengan Mursyid yang berbeda secara Zahir tetapi pada
Hakikatnya Satu.
Awalnya kita memandang kepada Mursyid
Zahir, sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghozali bahwa jika Engkau
tidak bisa mengingat Allah Swt maka ingatlah engkau kepada Guru yang
sangat berpengaruh di jiwamu maka hakikat gurumu itu akan menyampaikan
ke hadirat Allah. Lalu apakah kita hanya stop sampai disitu saja? Tentu
tidak! jika kita hanya sebatas Poin ke-1, dari sisi “kacamata” Spiritual
itu masih Sekolah Dasar (SD) walaupun dari sisi “kacamata” orang Awam
itu sudah luar biasa tingkatannya. Pada Maqom ini menurut Silsilah
Spiritual adalah “MAQOM THORIQOTULLAH”.
Pada Posisi ini Ia tidak
menuntut Ilmu kepada Mursyid Zahir lagi tetapi kepada Sir yang pada
Mursyid (Rosulullah). Pandangan Zahirnya ia tetap menghormati Mursyid
Zahirnya layaknya seorang Anak kepada Orang Tuanya tetapi Pendiriannya
sudah tidak kepada Mursyid itu lagi tetapi kepada Rosulullah. Syekh
Abdul Qodir Al-Jailani dalam Kitab Fathul Ghoibi mengatakan : “Bahwa
pada diri Nabi dan Rosul itu ada suatu Rahasia yang tidak diketahui oleh
siapapun begitu juga pada diri seorang Murid terkadang menyimpan suatu
Rahasia yang tidak diketahui oleh Gurunya, sebaliknya Sang Guru pun
menyimpan suatu rahasia yang tidak diketahui oleh Muridnya walaupun
Maqom Sang Murid telah hampir sampai kepada Maqom Sang Guru. Tatkala
Maqom si Murid sampai kepada Maqom Sang Guru maka tahulah ia akan
Rahasia Gurunya. Lalu Tuhan mengatakan pada dirinya ; Aku putuskan
dirimu dengan segala Makhluk, dengan segala isi dunia ini, dan juga Aku
putuskan dirimu dengan Gurumu, Cukuplah Engkau berdialog dengan Tuhanmu
Saja”. Pada Maqom ini Guru/Mursyid Zahir tak ubahnya hanya sebagai
Inang Pengasuh saja yang jika telah sampai umur 2 tahun maka ia tidak
menyusu lagi kepadanya. Dan dipandangnya Sir pada Mursyid zahirnya tadi
ada pada dirinya, yang Hidup di diri Mursyid itu adalah yang Hidup di
Dirinya Juga. Karena itu Fokus pandangannya tidak kepada yang diluar
dirinya lagi melainkan pandangannya tertuju kepada yang Hidup yang ada
pada Dirinya. Itulah Hakikat Muhammad pada Diri. Itulah Maqom menurut
Silsilah Spiritual adalah “MAQOM HAKIKATULLAH”.
Jika ia sudah
tidak memandang dan tidak memfokuskan Qolbunya kepada Mursyid Zahir lagi
dan hanya tertuju kepada Hakikat Muhammad yang ada pada Diri terus dan
terus dan tetap di dalam Musyahadahnya (tapi bukan berarti ia cuek
kepada mursyid zahirnya, Tidak! Ia tetap cinta dan hormat kepadanya
tetapi hanya sebatas Zahir layaknya anak kepada orangtuanya) maka Allah
Swt akan membukakan Tirai/Hijab yang sangat halus sekali sehingga akan
diketahuinya dan dikenalnya serta dirasakannya Tuhan sebenarnya Tuhan
atau Allah “Baqobillah”. Pada Maqom ini menurut Silsilah Spiritual
adalah “MAQOM MA’RIFATULLAH”.
Wahai Saudaraku………
Benarlah apa yang sudah ditetapkan bahwa untuk menuju kepada Maqom Ma’rifatullah itu kita harus melewati Mursyid yang membimbing mulai dari Syari’at lalu naik kepada Thoriqot kemudian menuju kepada Hakikat. Kemudian pada Hakikat itulah berkah dari pada Nurun Ala Nurin menyinari Qolbu menembus kepada Sir Otak pada Akal lalu terbukalah Sir Ma’rifat pada Diri.
Di Maqom Ma’rifat itu Qolbunya lebih Dominan daripada Akalnya, Akal berperan mengikuti Suasana Qolbunya.
Katakanlah apa yang saya tulis ini hanya sebagai Sharing untuk sama-sama berbagi pengetahuan yang pada Hakikatnya Pengetahuan Ilmu itu hanyalah milik Allah Swt. Dan tidaklah di Dunia yang Fana ini kita adalah Saudara se Iman dan se Keyakinan yang walaupun mungkin ada beda pendapat tetapi tujuannya tetap SATU dan kembali kepada yang SATU. Dan juga saya harap Saudaraku Sufi Muda juga tidak segan-segan untuk memberikan masukkannya kepada Saya, itulah hikmahnya sebagai Saudara saling isi mengisi. Karena pada Zahirnya manusia itu ada kekurangan dan kelebihannya.
Wahai Saudaraku…………
Engkau telah mengatakan bahwa Posisi Mursyid itu sangatlah penting bagi sang Salik untuk mendapatkan Pencerahan Nur Muhammad Saw, sehingga wajib bagi kita untuk ta’at, hormat, tunduk, cinta, memuliakan dll kepada Mursyid. Karena dengan keta’atan kepada Mursyid sama halnya ta’at kepada Rosulullah Saw dan Ta’at kepada Rosulullah Saw sama halnya kita Ta’at kepada Allah Swt.
Jika kita kembali kepada Sejarah bahwa sebagian Sufi ada yang mendapatkan Pencerahan itu melalui Mursyid yang mempunyai silsilah Ilmu (mata rantai) seperti yang Anda kupas di Blog Sufi Muda. Tetapi kita tidak bisa membantah bahwa ada juga sebagian para Sufi yang mendapatkan Pencerahan itu tidak melalui Mursyid yang mempunyai Silsilah Ilmu (Mata Rantai), akan tetapi dengan Kepasrahan diri serta keikhlasan diri maka mereka juga mendapatkan Pencerahan di Dirinya.
Bagi Saya itu menunjukkan Maha Adil dan Maha Bijaksanya Allah Swt. Kebenaran itu di dapat tidak hanya melalui Mursyid yang mempunyai Silsilah Ilmu melainkan juga melalui Mursyid yang mempunyai silsilah Spiritual/Rasa. Walaupun sekilas sama antara Silsilah ilmu dengan silsilah Spiritula/Rasa akan tetapi ada perbedaan yang sangat tipis diantara keduanya.
Kemudian Naiknya Maqom seseorang menuju Alam Robbani/Alam Lahut tentu ia melalui pendidikan/sekolah dengan Mursyid yang berbeda secara Zahir tetapi pada Hakikatnya Satu.
Awalnya kita memandang kepada Mursyid Zahir, sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghozali bahwa jika Engkau tidak bisa mengingat Allah Swt maka ingatlah engkau kepada Guru yang sangat berpengaruh di jiwamu maka hakikat gurumu itu akan menyampaikan ke hadirat Allah. Lalu apakah kita hanya stop sampai disitu saja? Tentu tidak! jika kita hanya sebatas Poin ke-1, dari sisi “kacamata” Spiritual itu masih Sekolah Dasar (SD) walaupun dari sisi “kacamata” orang Awam itu sudah luar biasa tingkatannya. Pada Maqom ini menurut Silsilah Spiritual adalah “MAQOM THORIQOTULLAH”.
Pada Posisi ini Ia tidak menuntut Ilmu kepada Mursyid Zahir lagi tetapi kepada Sir yang pada Mursyid (Rosulullah). Pandangan Zahirnya ia tetap menghormati Mursyid Zahirnya layaknya seorang Anak kepada Orang Tuanya tetapi Pendiriannya sudah tidak kepada Mursyid itu lagi tetapi kepada Rosulullah. Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dalam Kitab Fathul Ghoibi mengatakan : “Bahwa pada diri Nabi dan Rosul itu ada suatu Rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun begitu juga pada diri seorang Murid terkadang menyimpan suatu Rahasia yang tidak diketahui oleh Gurunya, sebaliknya Sang Guru pun menyimpan suatu rahasia yang tidak diketahui oleh Muridnya walaupun Maqom Sang Murid telah hampir sampai kepada Maqom Sang Guru. Tatkala Maqom si Murid sampai kepada Maqom Sang Guru maka tahulah ia akan Rahasia Gurunya. Lalu Tuhan mengatakan pada dirinya ; Aku putuskan dirimu dengan segala Makhluk, dengan segala isi dunia ini, dan juga Aku putuskan dirimu dengan Gurumu, Cukuplah Engkau berdialog dengan Tuhanmu Saja”. Pada Maqom ini Guru/Mursyid Zahir tak ubahnya hanya sebagai Inang Pengasuh saja yang jika telah sampai umur 2 tahun maka ia tidak menyusu lagi kepadanya. Dan dipandangnya Sir pada Mursyid zahirnya tadi ada pada dirinya, yang Hidup di diri Mursyid itu adalah yang Hidup di Dirinya Juga. Karena itu Fokus pandangannya tidak kepada yang diluar dirinya lagi melainkan pandangannya tertuju kepada yang Hidup yang ada pada Dirinya. Itulah Hakikat Muhammad pada Diri. Itulah Maqom menurut Silsilah Spiritual adalah “MAQOM HAKIKATULLAH”.
Jika ia sudah tidak memandang dan tidak memfokuskan Qolbunya kepada Mursyid Zahir lagi dan hanya tertuju kepada Hakikat Muhammad yang ada pada Diri terus dan terus dan tetap di dalam Musyahadahnya (tapi bukan berarti ia cuek kepada mursyid zahirnya, Tidak! Ia tetap cinta dan hormat kepadanya tetapi hanya sebatas Zahir layaknya anak kepada orangtuanya) maka Allah Swt akan membukakan Tirai/Hijab yang sangat halus sekali sehingga akan diketahuinya dan dikenalnya serta dirasakannya Tuhan sebenarnya Tuhan atau Allah “Baqobillah”. Pada Maqom ini menurut Silsilah Spiritual adalah “MAQOM MA’RIFATULLAH”.
JANGAN BIARKAN HATIMU MATI
“Diantara tanda-tanda matinya hati adalah jika anda tidak merasa susah
ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah, dan tidak menyesali
perbuatan dosa anda.”
Hati yang mati disebabkan oleh berbagai
penyakit kronis yang menimpanya. Manakala hati seseorang tidak sehat,
maka hati tentu sedang terserang penyakit-penyakit hati. Penyakit hati
itu begitu banyak yang terkumpul dalam organisasi Al-Madzmumat, dengan
platform gerakan yang penuh dengan ketercelaan dan kehinaan, seperti
takabur, ujub, riya’, hubbuddunya, kufur, syirik, dan sifat-sifat
tercela lainnya.
Ketika sikap-sikap mazmumat ini dihadapan pada kepentingan Allah, maka akan muncul tiga hal:
Manusia semakin lari dari Allah, atau
dia justru memanfaatkan simbol-simbol Allah untuk kepentingan hawa nafsunya, atau
yang terakhir dia dibuka hatinya oleh Allah melalui HidayahNya.
Ibnu Ajibah menyimpulkan dari al-Hikam di atas, bahwa kematian hati (qalbu) karena tiga hal:
1. Mencintai dunia,
2. Alpa dari mengingat Allah,
3. Membiarkan dirinya bergelimang maksiat.
Faktor yang menyebabkan hati hidup, juga ada tiga:
1. Zuhud dari dunia
2. Sibuk dizikrullah
3. Bersahabat dengan Kekasih-kekasih Allah
Tanda-tanda kematian hati juga ada tiga:
Jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah.
Tidak menyesali dosa-dosanya.
Bersahabat dengan manusia-manusia yang lupa pada Allah yang hatinya sudah mati.
Kenapa demikian?
Karena munculnya kepatuhan kepada Allah merupakan tanda kebahagiaan
hamba Allah, sedang munculnya hasrat kemaksiatan merupakan tanda
kecelakaan hamba.
Apabila hati hidup dengan ma’rifat dan iman
maka faktor yang menyiksa hati adalah segala bentuk yang membuat hati
menderita berupa kemaksiatan hati kepada Allah.
Yang membuatnya gembira adalah faktor ubudiyah dan kepatuhannya kepada Allah.
Boleh saja anda mengatakan :
Jika seorang hamba Allah bisa taat dan melaksanakan ubudiyah, itulah
tanda bahwa hamba mendapat Ridlo Allah. Hati yang hidup senantiasa
merasakan Ridlo Allah, lalu bergembira dengan ketaatan padaNya.
Jika seorang hamba Allah bermaksiat kepadaNya, itulah pertanda Allah menurunkan amarahNya.
Hati yang mati tidak merasakan apa-apa, bahkan sentuhan taat dan derita
maksiat tidak membuatnya gelisah. Sebagaimana yang dirasakan oleh
mayit, tak ada rasa hidup atau rasa mati.
Rasulullah saw, bersabda,
“Orang yang beriman adalah orang yang digembirakan oleh kebajikannya, dan dideritakan oleh kemaksiatannya.”
Soal Respon Terhadap Dosa
Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan, agar dosa dan masa lalu, jangan
sampai membelenggu hamba Allah, yang menyebabkan sang hamba kehilangan
harapan kepada Allah. Karena itu, rasa bersalah yang berlebihan yang
terus menerus menghantui hamba harus dibebaskan dari dalam dirinya. Sang
hamba harus tetap optimis pada masa depan ruhaninya di depan Allah.
Kebesaran ampunan Allah tidak bisa didilampaui oleh seluruh dosa-dosa
hambaNya. Ampunan Allah lebih agung, lebih besar dan lebih kinasih, pada
hambaNya yang bertobat. Karena itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri.”
Oleh sebab itu jangan sampai perbuatan maksiat itu membuat hamba-hamba Allah menjadi Su’udzon kepada Allah.
“Dosa besar apa pun, jangan sampai menghalangi Husnudzon (baik sangka) anda kepada Allah.”
Wacana ini sekaligus mengingatkan kita pada pembuka kitab Al-Hikam,
“Diantara tanda-tanda bergantung atau mengandalkan amal adalah rasa
pesimis kepada rahmat Allah ketika sang hamba berbuat dosa.”
Jika
anda masih mengandalkan amal, bukan mengandalkan Allah, berarti anda
akan pesimis jika kesalahan menimpa anda. Padahal kita harus
menggantungkan diri pada Allah, mengandalkan Allah, bukan mengandalkan
amal. Karena mengandalkan amal, bisa menciptakan rasa arogansi
spiritual, dengan merasa paling banyak beramal dan taat, kemudian merasa
paling benar, paling dekat dengan Allah.
Dalam soal harapan dan ketakutan, biasanya hamba terbagi menjadi tiga golongan;
Golongan pemula, biasanya terliputi oleh rasa khawatir dan takut, dibanding dorongan harapan.
Golongan menengah, biasanya seimbang natara harapan dan ketakutannya.
Golongan yang sudah sampai kepada Allah, lebih didominasi rasa harapan yang optimis kepada Allah.
Inilah yang tergambar pada saat gurunya Al-Junaid, Sarry as-Saqathy
dalam kondisi Maqbudl (terhimpit oleh suasana ruhaninya dalam Genggaman
Allah).
“Ada apa gerangan wahai paman?” Tanya Junaid.
“Oh, anakku, ada seorang pemuda datang kepadaku, kemudian bertanya padaku, “Apakah hakikat taubat itu?”.
Aku jawab, “hendaknya engkau tidak melupakan dosa-dosamu…”.
Tapi pemuda itu mengatakan sebaliknya, “Tidak. Tapi justru hendaknya
engkau melupakan dosa-dosamu..” Lalu pemuda itu keluar begitu saja.
Kemudian al-Junayd menegaskan, “Ya, menurutku yang benar adalah
kata-kata si pemuda tadi. Karena itu jika aku berada di musim panas,
lalu mengingat musim dingin, berarti aku berada di musim dingin.”
Pandangan As-Sary, benar, bagi para pemula. Sedangkan pandangan al-Junaid untuk mereka yang sudah sampai kepada Allah.
Bagaimana respon mereka yang mencapai tahap Ma’rifatullah?
“Siapa yang ma’rifat kepada Allah maka semua dosa adalah kecil di sisi KemahamurahanNya.”
Maksudnya, jika kita mengenal sifat dan Asma Allah yang Maha Murah,
para hamba akan terus optimis terhadap ampunan Allah, karena tidak ada
yang melebihi kebesaran dan keagungan ampunan Allah.
Sampai-sampai Rasul Allah SAW, menegaskan dalam hadits,
“Jika kalian semua berdosa, sampai dosa itu memenuhi langit, kemudian
kalian bertobat, Allah pun mengampuni kalian. Jika sudah tidak adalagi
hambaNya yang berbuat dosa, lalu datang para hamba Allah yang berbuat
dosa, para hamba ini pun memohon ampun kepada Allah, maka Allah juga
mengampuni mereka….. Karena sesungguhnya Allah Maha Ampun lagi
Mengasihi.”
Namun, seorang hamba tidak boleh terjebak oleh ghurur, dengan alibi, mengabaikan dosa, dan menganggap enteng dosa-dosa itu.
Hal demikian ditegaskan lagi oleh Ibnu Athaillah:
“Tak ada dosa kecil jika anda berhadapan dengan KeadilanNya, dan tak ada dosa besar jika anda berhadapan dengan FadhalNya.”
Hikmah ini harus difahami di dunia ini dengan penafsiran demikian:
Apabila seorang hamba berbuat kepatuhan, ketaatan, ubudiyah, berarti
itulah tanda bahwa sang hamba mendapatkan limpahan FadhalNya Allah.
Sebaliknya jika sang hamba bermaksiat, menuruti hawa nafsunya, berarti
merupakan pertanda bahwa si hamba berhadapan dengan KeadilanNya.
Tak
ada yang lebih kita takutkan dibanding kita menghadapi Keadilan Allah,
dan tak ada yang lebih dahsyat harapan kita dibanding kita menyongsong
Fadhal dan RahmatNya.
SISI BATIN AL-QUR’AN
Bismillahirrohmaanirrohiim…..
Alhamdulillahirobbil ‘aalamiin, Washolatuwassalamu ala sayyidina wa
mawlana Muhammadin Wa Ala Aalihi Washohbihi ajma’in. Amma ba’du.
Tulisan ini adalah Hasil dari pada Pengetahuan Saudara kita yang tidak
mau disebutkan Namanya. Cukup saya sebutkan dengan “Hamba Allah yang
Fakir”. Dimana Beliau mendapatkan Pengetahuan ini dari pada Karunia dan
Anugrah Allah yang datang kepadanya setelah melewati tahapan Ladunni.
Dan tulisan ini diberi judul oleh Beliau dengan Judul “SISI BATIN AL-QUR’AN”
Semoga tulisan ini berman’faat untuk kita semuanya yang berada di
Pondok Pengembara Jiwa, dan Rahmat Allah beserta saudara kita “Hamba
Allah yang Fakir” dan juga beserta kita semuanya. Aamiin.
Kata Pengantar
Assalammu’alaikum warohmatullahi wabarakaatuh
Bismillah irohmanirahim,
Al Quran dibawa oleh malaikat Jibril dan ditanamkan ke- kalbu Muhammad
saw dalam bentuk batin yang hakiki dan di-sampaikan kepada umatnya dalam
bahasa Arab sampai menjadi bentuk tekstual berupa Kitab Al Quran yang
dapat dibaca dengan mata Zohir.
Tetapi huruf,kata dan kalimat dalam bahasa manusia tidak mampu mengungkapkan seluruh makna Al Quran .
Melalui firman-firman-Nya Allah menunjuk hati yang di dalam dada sebagai alat untuk memahami.
Ilmu hati (batin) yang saya maksud ini pada kenyataannya saat ini sudah
langka, yang banyak adalah bahasan-bahasan yang diberi judul tasawuf
sehingga terkesan ilmu yang begitu sulit dan eksklusif untuk kalangan
tertentu saja. Padahal ilmu hati ini me-rupakan komponen paling penting
yang sebenarnya berada dalam satu kesatuan dalam agama Islam yang dibawa
oleh Muhammad Rasulullah saw dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib ra
kemudian sampai ke Zainal Abidin dan seterusnya.
Rasulullah saw
pernah bersabda: “kelak Islam hanya tinggal nama dan ucapan dibibir
saja” Gejalanya sudah muncul, contoh-nya, saat ini berapa banyak umat
Islam yang mengucapkan “bismillah” dan “la ilahaillah” hanya sekedar
dibibir saja tanpa memahami makna hakikinya apalagi mengamalkannya.
Kalimat yang begitu sakral telah diperlakukan sebagaimana halnya
mantera.
Dengan izin Allah, saya memberanikan diri menulis
makalah ini untuk keluargaku dan teman-teman dekat. Semoga Allah
melimpahkan rahmat-Nya atas mereka.
Dengan dilandasi semangat
mencari kebenaran bukan mencari -cari pembenaran, semoga Allah meridhoi
dan memilih kita ke dalam golongan yang diberi petunjuk-Nya. Amiin ya
Allah.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Hamba Allah yang Fakir
Bismillahirrohmaanirrohiim
Dalam pandangan orang-orang yang dikaruniai ilmu (Ulama) oleh Allah
SWT, Al Quran adalah Firman Ilahi yang terbuka dan tak terbatas. Tiap
huruf, kata dan kalimat yang terkandung di dalamnya memiliki makna yang
bertingkat-tingkat lapis demi lapis. Kitab Al Quran adalah kumpulan
ayat, yakni tanda-tanda yang menggambarkan hakikat yang sesungguhnya.
Kata ayat di dalam Kitab Al Quran bisa pula bermakna tanda-tanda yang
terdapat di alam. Bila di dalam Kitab Al Quran ayat berarti beberapa
kalimat yang mempunyai maksud sebagai bagian dari surat, maka di alam
raya, ayat berarti fenomena yang menjadi tanda tentang Sang Pencipta.
Allah SWT berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang
ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al
An’am:59)
Sebagaimana tiap ciptaan memiliki sisi tampak dan
sisi tak tampak, ayat-ayat dalam Kitab Al Quran juga memiliki sisi yang
tampak dan tak tampak (sisi batin). Bahkan lebih dari itu, sebuah hadis
mengatakan bagwa Al Quran memiliki beberapa lapisan, setiap lapis
memiliki pintu menuju cakrawala yang tak terbatas.
Dalam sebuah hadis dari Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib:
“sesungguhnya Al Quran turun dalam empat bentuk y.i: Ibarat (ungkapan
tekstual) untuk orang awam,Isyarat(permisalan) untuk orang khusus
(khawas), Latha’if (makna-makna yang lembut) untuk para wali dan Hakikat
untuk para Nabi.”
Hal demikian ini karena Al Quran merupakan
representasi tekstual dari lauh mahfuzd yang melambari seluruh
penciptaan. Oleh karena itu Ulama (orang-orang yang berilmu) memandang
Al Quran sebagai cakrawala yang luas, sebagaimana ilmuwan memandang alam
ini. Contohnya, para ilmuwan dapat mengetahui adanya medan magnet
sebagai alam yang tak tampak, bahkan mereka dapat memperkirakannya
sebagai struktur yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
Merujuk kepada ayat-ayat Al Quran, para Ulama dengan ilmunya yang
mendalam, melihat Al Quran sebagai sebuah semesta makna yang tidak
terbatas tetapi saling berhubungan. Medan makna yang terkandung dalam Al
Quran lebih luas daripada alam fisik, karena Al Quran juga bicara
tentang alam-alam lain diluar alam fisik. Lebih jauh, Al Quran membuka
cakrawala pemahaman dan pengetahuan yang belum tertampung oleh akal
pikiran dan imajinasi manusia.
Untuk menghindari kerancuan
dalam menafsirkan Al Quran, seseorang harus menelisik dengan runtut
pesan Al Quran secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, Al Quran harus
dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh. Memahami Al Quran secara
sepotong-sepotong termasuk dalam perkara yang dilarang oleh Al Quran itu
sendiri.
Allah SWT berfirman:
“Sebagaimana (Kami
telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada
orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang
telah menjadikan Al Qur’an itu terbagi-bagi.” (Al Hijr :90-91)
SISI BATIN AL-QUR’AN
Dalam kaitan dengan Al Quran, Rasulullah bersabda: “Al Quran memiliki
bentuk luar yang indah dan makna batin yang kaya” Beliau juga bersabda:
“Al Quran memiliki sisi batin dan sisi batin itu memiliki tujuh lapis
sisi batin.”
Al Quran merupakan kumpulan ayat, dimana sesuatu
yang nyata tidaklah terpisahkan dari yang tak tampak, sehingga ketika
seseorang memahami yang tampak, maka ia mengetahui bahwa dia mulai
memahami bagian yang tak tampak. Jadi, dibalik deretan huruf dan
rangkaian kata yang dikandungnya, Al Quran menyimpan petunjuk-petunjuk
dan makna-makna batin yang tak terhingga.
Allah berfirman :
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al
Qur’an (jelas maksudnya) dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (sarat
duga atau multi interpretatif). Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan
tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.”
(Ali Imran: 7)
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini (ayat-ayat mutasyabihat) Kami
buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu.” (Al Ankabut: 43)
“Sebenarnya, Al Qur’an itu
adalah ayat-ayat yang nyata (terang maknanya) di dalam dada orang-orang
yang diberi ilmu.(ulama) Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami
kecuali orang-orang yang zalim”.(Al Ankabut:49)
“Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih
rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin
bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang ingkar
mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan
perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak
ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,” (Al Baqarah:
26)
Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al Quran memiliki ta’wil yang samar atau sarat-duga.
Kalimat : Bismillahirrohmaanirrohiim…..
“Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang”
Kalimat ini dapat ditangkap sebagai kalimat pernyataan tentang suatu tindakan yang sedang dilakukannya.
Kata “dengan” pada kalimat tersebut menunjukkan bahwa orang itu
melakukan sesuatu “dengan” Nama Allah sebagaimana halnya dengan
pernyataan: “Dengan kacamata ” maka kacamata adalah sesuatu yang
digunakan untuk dapat membaca.
Dengan interpretasi yang lain,
ada juga penterjemah yang menambahkan kata “menyebut” diantara Bis dan
Mi sehingga bismillah diterjemahkan menjadi “Dengan Menyebut Nama Allah”
bahkan ada yang menterjemahkannya menjadi “Atas Nama Allah”. Beberapa
terjemahan tadi menunjukkan bahwa”Bismillah” juga tergolong
mutasyabihat.
Demikian juga dengan ayat :
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (Al Alaq: 1)
Ini menunjukkan bahwa Al Quran memiliki kemungkinan untuk dipahami
secara luas dan dalam . Bahkan mengapa surat yang pertamakali turun
yakni Al Alaq ditempatkan pada urutan ke 96 tentunya menjadikan urutan
surat-surat dalam Al Quran juga menjadi mutasyabihat. Kenyataannyalah
bahwa sebagian besar ayat-ayat Al Quran, bahkan urutan suratnya adalah
mutasyabihat (sarat duga).
Firman Allah terekam di Al Quran
dalam bentuk huruf dan kata, sementara tindakannya terungkap di alam
semesta dalam kejadian yang faktual. Antara kata dan kejadian ini
terdapat jalinan yang jelas bagi orang-orang yang berilmu.
Itulah mengapa seorang hamba tidak akan pernah menemukan pertentangan
pada saat mencari pengetahuan tentang alam melalui metedologi saintifik
dan menerima pengetahuan tentang alam gaib dari wahyu Al Quran. Bahkan
dengan penuh keyakinan ia akan menyadari bahwa dibalik tanda-tanda fisik
terdapat makna-makna batin yang luas dan dalam, sehingga ia akan
senantiasa mencari petunjuk-petunjuk dari Al Quran dan Hadis mengenai
makna-makna itu.
Kitab Al Quran adalah kitab yang menghimpun
atau merangkum seluruh pengetahuan, keinginan, kekuasaan dan perbuatan
Allah. Perintah untuk membaca (iqra) merupakan ajakan untuk memahami Al
Quran, bukan sekedar melafalkannya. Allah berulang-ulang menyebutkannya
dalam Kitab Al Quran, dan salah satu ayat-Firman-Nya :
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al Qamar: 17)
Lalu, bagaimana kita bisa memahami Al Quran secara mendalam dengan baik
dan benar sehingga tidak terkena ancaman Allah yang dinyatakan dalam
firman-Nya : “Adapun orang-orang yang dalam “hatinya condong kepada
kesesatan“, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya,” (Al Imran
7). Pada ayat tersebut Allah memberikan rambu pada kalimat: “dalam
hatinya condong kepada kesesatan,” dan “tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”
Kata-kata kunci pada dua kalimat di atas adalah : hati, cenderung sesat dan ilmu yang mendalam.
Dengan tidak mengesampingkan pentingnya ilmu pengetahuan
(obyektif-empiris) yang kita bina di dalam otak dengan cara belajar di
sekolah, di universitas agama dsb, yang sangat penting dalam memahami
ayat-ayat Allah sampai ke sisi batinnya, adalah ilmu hati yang terletak
di dalam dada. Hati dan otak adalah dua unsur materi sangat berbeda baik
dari segi materi, wilayah persepsi, fungsi dan dayanya.
Penting untuk kita sadari, bahwa kemampuan akal (otak) untuk memahami
secara obyektif-empiris, ada batasnya. Contohnya, untuk memahami dimana
ujung batas dari alam semesta ini saja akal tidak dapat menjangkaunya.
Apalagi untuk secara langsung memahami sesuatu yang batin.
Kitab Al Quran ada menjelaskan bahwa dengan berpikir saja tidak cukup untuk memahami Al Quran.
Firman Allah :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali dengan persangkaan
(pikirannya) saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.” (Yunus:36)
Bahkan yang sebenarnya, mereka
mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan ilmunya dan belum
datang kepada mereka takwilnya (penjelasannya).
“Demikianlah
orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan. Maka perhatikanlah
bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 39)
Kedua ayat di atas Allah menujukkan sesuatu yang batin harus dipahami dengan ilmu batin(hati)
Karenanya, untuk memahami Al Quran pada sisi batinnya, perlu masuk ketingkat persepsi yang lebih tinggi.
Bila alat yang bernama akal itu sudah tidak berdaya, maka selain akal, alat apa lagi yang dapat kita pakai untuk memahami?
Rasulullah bersabda: “Di dalam dada, ada segumpal daging, yang bila
baik itu daging maka baiklah semua amal perbuatannya, bila buruk, maka
buruklah amal perbuatannya itulah kalbu.” (segumpal daging yang dimaksud
= jantung/heart).”
Allah menjelaskan melalui Firman²-Nya :
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (Al Hajj: 46)
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai (hatinya lalai dari ingat Allah).” (Al Araaf
:179)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu
tidak dapat memperdengarkan melainkan kepada orang-orang yang beriman
dengan ayat-ayat/tanda-tanda Kami, mereka itulah orang-orang yang
berserah diri (kepada Kami).” (Ar Ruum: 53)
Dari firman Allah
di atas dapat kita simpulkan bahwa Hati yang terletak di dalam dada
memiliki sesuatu untuk memahami sisi batin Al Quran. Sesuatu itu
diterangkan Allah sebagai mata hati.
Pada ayat-ayat di atas
Allah telah menunjuk hati sebagai pusat kesadaran manusia, bukan
pikirannya. Jadi Islam mendahulukan hati yang aktif, sebagai pusat
kesadaran, menghasilkan ilham, kemudian dilanjutkan dengan berpikir
dengan akalnya.
Nah, ilmu hati inilah yang harus dipelajari
dari sumber yang benar sehingga dapat melepaskan kita dari kesesatan
dalam memahami pesan-pesan Allah yang terekam dalam Kitab Al Quran.
Tentang Al Quran yang batin di terangkan Allah melalui ayat-ayat dalam Kitab Quran :
“Tidaklah Al Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; yang membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya dan dan menerangkan Kitab yang tidak ada
keraguan di dalamnya (Kitab Al Quran) dari Tuhan semesta alam.” (Yunus :
37)
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata
(terang maknanya) di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.(ulama) Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang
zalim”.(Al Ankabut:49)
Al Quran yang batin ini menjadi furqan membedakan (menunjukkan) yang haq (kebenaran) dan yang batil (salah).
“Sebelum (Kitab Al Qur’an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia
menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang ingkar terhadap
ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa
lagi mempunyai balasan (siksa).”
“Hai orang-orang yang beriman
(tanda2 orang beriman: Al Anfal ayat:2), jika kamu bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan
segala kesalahan-kesalahanmu (dalam proses memahami) dan mengampuni
(dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al Anfaal :
29)
“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia,
(tertulis) pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak (dapat)
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Al Waqiah : 77-79)
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (baca juga Al
Baqarah 97) (Asy Syu’araa :192–195)
“Dan sekiranya ada suatu
bacaan yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi
jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat
berbicara, (tentu Al Qur’an itulah dia). Sebenarnya segala itu adalah
kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui
bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah
memberi petunjuk kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang ingkar
senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau
bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah
janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. ( Ar Ra’d : 31)
Selain ilmu, Allah mengisyaratkan juga ada syarat-syarat lainnya agar
Hamba-Nya mendapat rahmat dan petunjuk. Karenanya, sihamba haruslah
berupaya (berjihad di jalan Allah) untuk memenuhi syarat-syarat
tersebut.
Pada surat yang pertama (Al Fatihah:1-7) Allah berfirman :
“Dengan nama Allah. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,(Harus
bagaimana kita dengan nama-Nya agar Allah kasih dan sayang kepada kita)
Segala puji bagi Allah, Tuhannya semesta alam,
Yang menguasai hari pembalasan.(Lebih dari sekedar percaya, kita harus meyakini Akhirat dalam segala aspeknya)
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Tunjukilah kami jalan yang lurus,(inilah permintaan yang harus kita
mohon pertolongan Allah dengan sungguh-sungguh agar dibimbing-Nya
menemukan jalan yang lurus agar dapat menyembah-Nya dengan benar)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka (para Nabi-nabi dan orang-orang saleh);
bukan (jalan) mereka yang dimurkai (orang kafir dan munafiq)
dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.(tidak paham atau salah memahami karena buta mata hatinya)
“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Qur’an) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi
al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (Al
Baqarah : 269)
Siapa yang Allah maksudkan dengan“orang yang berakal” itu?
Dijelaskan-Nya dalam surat Ali Imran :190-191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring
(setiap saat) dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran : 190-191)
Dari kedua ayat Ali Imran 190-191 di atas dapat kita tangkap bahwa
seseorang disebut berakal bila pada saat yang sama dia dapat melakukan
dua jenis pekerjaan sekaligus yaitu berzikir dengan hatinya secara
kontinyu (tak lepas sedetikpun) dan berpikir dengan akalnya (otak)
tentang ciptaan-Nya. Hatinya aktif berzikir sehingga mampu menerima
ilham yang dikaruniakan Allah kepadanya dan ditransfer ke akalnya untuk
dipikirkannya kemudian menjadi hikmah. Bila hatinya hidup (aktif
berzikir), maka ia terjaga dari hati yang condong kepada kesesatan dan
Hati yang sesat (tidak berzikir) tidak akan terilhami dengan kebenaran
yang hakiki.
“(Al Qur’an) ini adalah keterangan bagi seluruh
manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
(Ali Imran :13
“Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami
turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu
diberi rahmat,” (Al An’aam :155)
“Dan sesungguhnya Kami telah
mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur’an) kepada mereka yang Kami telah
menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. ” (Al A’raaf :52)
“Dan apabila
dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al A’raaf :204)
“(Al
Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya
mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui
bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran.” (Ibrahim : 52)
“(Dan ingatlah)
akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi
atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad)
menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Al Nahl
:89)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut nama Allah maka gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,” (Al Anfaal: 2)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
khusyuk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah
turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras (tidak dapat
ingat Allah). Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik”. (Al Hadiid:16)
(d.p.l: Belumlah dikatakan seseorang itu beriman (dengan benar) bila hatinya belum dapat khusyu’ mengingat Allah)
Ketidak mampuan sebagian orang untuk menangkap makna dan petunjuk yang
terkandung dalam Al Quran berasal dari hijab-hijab kegelapan / penyakit
hati yang menutupi hati mereka. Berulang-ulang Al Quran mengungkapkan
mengenai penutup atau dinding yang menyekat hati manusia untuk dapat
memahami.
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah
Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka
berdusta.” (Al Baqarah : 10)
“Dan di antara mereka ada orang
yang mendengarkanmu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati
mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan
di telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran),
mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang
kepadamu untuk membantahmu, orang-orang ingkar itu berkata: “Al Qur’an
ini tidak lain hanyalah dongengan (cerita tentang / sejarah) orang-orang
dahulu”.
(Al An’am: 25)
“Dan apabila kamu membaca Al Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.” (Al Isra’: 45)
“dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di
telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu
menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke
belakang karena bencinya.” (Al Israa’:46)
“Dan demikianlah Kami
telah menurunkan Al Qur’an yang merupakan ayat-ayat yang nyata; dan
bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”
(Al Hajj : 16)
Bagi orang yang tidak berilmu dan tidak beriman,
ayat-ayat Al Quran terutama yang mustasyabihat akan terhijab baginya,
sehingga hanya berupa teks yang mati dan bisu, sehingga tertutup untuk
mereka pahami.
Selain itu, Allah juga mewajibkan agar pada saat
mulai membaca Al Quran kita lebih dulu berlindung kepada Allah dari
setan yang terkutuk.
“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An Nahl: 9
Tentu saja kita tidak boleh membatasi makna ayat ini sekedar sebagai
perintah untuk ber-isti’adzah, karena ber-isti’adzah secara batin jauh
lebih penting untuk mendapatkan perlindungan Allah daripada hanya
sekedar secara lahiriah.
“bismillah” dan “ísti’adzah” merupakan
dua titik kecil yang menunjukkan adanya sisi batin dalam Al Quran yang
tanpa ilmu yang tepat yaitu ilmu hati (batin) maka akan sangat pelik
untuk memahami dan mengamalkannya, bahkan dapat tersesat.
Firman Allah :
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (Al Hajj: 46)
“Dan Kami memalingkan hati dan penglihatan
mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur’an) pada
permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya
yang sangat” (Al An’aam:110)
“Sesungguhnya Allah tiada segan
membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.
Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu
benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang ingkar mengatakan: “Apakah
maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu
banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula)
banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan
Allah kecuali orang-orang yang fasik,(yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al
Baqarah: 26-27)
Allah berfirman :
“Maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Al Hajj: 46)
Pada
frase “hati yang dengan itu mereka dapat memahami”dan “hati yang di
dalam dada” Secara jelas Allah memberi petunjuk bahwa segumpal daging
(jantung / heart) yang di dalam dada itu adalah alat untuk memahami.
“padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”(Ali Imran: 7)
Sebagai contoh, orang yang memiliki ilmu yang mendalam dalam hal
ilmu pengetahuan dan ilmu hati adalah Imam Al Gazali yang tentunya tidak
dapat kita bandingkan dengan kedalaman ilmu Rasulullah saw.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta tanggung jawabnya.” (Al Israa’:36)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Al Maa-idah : 35)
“Dan Kami
tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada Ahli zikir
(zikir=mengingat) jika kamu tidak mengetahui,” (An Nahl: 43)
Pada ayat 43 An Nahl ini, Allah tidak mengatakan untuk bertanya kepada
ahli pikir tetapi Allah menyuruh kita bertanya kepada ahli zikir (d.p.l :
ahli dalam hal mengingat Allah).
“Yang demikian (siksaan) itu
adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu
ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu
merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (Al Anfaal: 53)
Pada ayat
Al Anfaal: 53 di atas jelas bahwa Allah tidak akan memberi begitu saja
tanpa hamba-Nya berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkan suatu nikmat.
Karenanya manusia wajib mencari jalan dan berusaha keras dijalan-Nya
(Al Maidah:35)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu(dalam proses memahami) dan
mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al
Anfaal:29)
Kata-kata kunci pada ayat-ayat yang tertulis di atas adalah sebagai berikut:
“janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Al Israa’:36)
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, (Al Maa-idah:35)
bertanyalah kepada Ahli zikir (An Nahl:43)
berjihadlah pada jalan-Nya (Al Maa-idah:35)
sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat
yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu
merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri‘
jika kamu
bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan
“orang-orang yang mendalam ilmunya”(Ali Imran: 7)
Pada ke enam frase di atas dapat kita lihat bahwa Allah telah mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu
hati agar furqaan dalam hatinya menjadi aktif hingga ilmunya jadi mendalam.
Akhirul kalam, dalam usaha memenuhi perintah Allah untuk memahami Al
Quran, kita perlu dukungan kedua ilmu utama yaitu ilmu akal dan ilmu
hati yang harus dipelajari dari masing-masing sumbernya. Semoga kita
tidak terperangkap dalam keadaan “tidak tahu bahwa kita tidak tahu”
sehingga tanpa sadar telah tersesat dan berlaku fasik. Siapakah kiranya
yang dapat menolong kita bila Allah itu sendiri yang telah menyesatkan
karena telah kita zalimi diri sendiri. Audzubillahminzalik.
Firman Allah:
“Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah
orang-orang yang tuli dan bisu, mereka tidak mengerti apa-apa.” (Al
Anfaal: 22)
Tiada gading yang tak retak, bila ada pendapat yang kurang dan salah, mohon petunjuk dan pendapat.
“Hamba Allah yang Fakir”
CINTANYA TAK KAN PERNAH PADAM
Ketika Al-Musthafa berada dihadapan , kupandangi pesonanya dari ujung kaki hingga kepala, Tahukah kalian apa yang terjelma ?
….Ya ….. Cinta ! (Abu Bakar ra)
Nabi demam kembali, kini panasnya semakin tinggi. Lemah ia berbaring,
menghadapkan wajah pada Fatimah anak kesayangan. Sudah beberapa hari
terakhir, kesehatannya tidak lagi menawan. Senin itu, kediaman manusia
paripurna didatangi seorang berkebangsaan Arab dengan wajah rupawan. Di
depan pintu, ia mengucapkan salam “Assalamu’alaikum duhai para keluarga
Nabi dan sumber kerasulan, bolehkah saya menjumpai kekasih Allah?”.
Fatimah yang sedang mengurusi ayahnya, tegak dan berdiri di belakang
pintu “Wahai Abdullah, Rasulullah sedang sibuk dengan dirinya sendiri”.
Fatimah berharap tamu itu mengerti dan pergi, namun suara asing semula
kembali mengucapkan salam yang pertama.
“Alaikumussalam, hai hamba Allah” kali ini Nabi yang menjawabnya.
“Anakku sayang, tahukah engkau siapakah yang kini sedang berada di luar?”
“Tidak tahu ayah, bulu kudukku meremang mendengar suaranya”
“Sayang, dengarkan baik-baik, di luar itu adalah dia, pemusnah
kesenangan dunia, pemutus nafas di raga dan penambah ramai para ahli
kubur”. Jawaban nabi terakhir membuat Fatimah jatuh terduduk. Fatimah
menangis seperti anak kecil.
“Ayah, kapan lagi aku akan
mendengar dirimu bertutur, harus bagaimana aku menuntaskan kerinduan
kasih sayang engkau, tak akan lagi ku memandang wajah kesayangan
ayahanda” pedih Fatimah. Nabi tersenyum, lirih ia memanggil ” Sayang,
mendekatlah, kemarikan pendengaranmu sebentar”. Fatimah menurut, dan
Kekasih Allah itu berbisik mesra di telinga anaknya,
“Engkau
adalah keluargaku yang pertama kali menyusul sebentar kemudian”.
Seketika wajah Fatimah tidak lagi pasi tapi bersinar. Lalu kemudian,
Fatimah mempersilahkan tamu itu masuk. Malaikat pencabut maut berparas
rupawan itu pun kini berada di samping Muhammad.
“Assalamu’alaikum ya utusan Allah” dengan takzim malaikat memberi salam.
“Salam sejahtera juga untukmu pelaksana perintah Allah, apakah tugasmu
saat ini, berziarah ataukah mencabut nyawa si lemah?” tanya nabi. Angin
berhembus dingin.
“Aku datang untuk keduanya, berziarah dan
mencabut nyawamu, itupun setelah engkau perkenankan, jika tidak Allah
memerintahkanku untuk kembali”
“Di manakah engkau tinggalkan Jibril? Duhai Izrail?”
“Ia kutinggal di atas langit dunia”.
Tak lama kemudian, Jibril pun datang dan memberikan salam kepada seseorang yang juga dicintanya karena Allah.
“Ya Jibril, gembirakanlah aku saat ini” pinta Al-Musthafa.
Terdengar Jibril bersuara pelan di dekat telinga manusia pilihan,
“Sesungguhnya pintu langit telah di buka, dan para Malaikat tengah
berbaris menunggu sebuah kedatangan, bahkan pintu-pintu surga juga telah
dilapangkan hingga terlihat para bidadari yang telah berhias
menyongsong kehadiran yang paling ditunggu-tunggu”.
“Alhamdulillah, betapa Allah maha penyayang” sendu Nabi, wajahnya masih saja pucat pasi.
“Dan Jibril, masukkan kesenangan dalam hati ini, bagaimana keadaan ummatku nanti”.
“Aku beri engkau sebuah kabar akbar,
Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Aku, telah mengharamkan surga bagi
semua Nabi, sebelum engkau memasukinya pertama kali, dan Allah
mengharamkan pula sekalian umat manusia sebelum pengikutmu yang terlebih
dahulu memasukinya” Jawaban Jibril itu begitu berpengaruh. Maha suci
Allah, wajah Nabi dilingkupi denyar cahaya. Nabi tersenyum gembira.
Betapa ia seperti tidak sakit lagi. Dan ia pun menyuruh malaikat izrail mendekat dan menjalankan amanah Allah.
Izrail, melakukan tugasnya. Perlahan anggota tubuh pembawa cahaya
kepada dunia satu persatu tidak bergerak lagi. Nafas manusia pembawa
berita gembira itu semakin terhembus jarang. Pandangan manusia pemberi
peringatan itu kian meredup sunyi. Hingga ketika ruhnya telah berada di
pusat dan dalam genggaman Izrail, nabi sempat bertutur, “Alangkah
beratnya penderitaan maut”. Jibril berpaling tak sanggup memandangi
sosok yang selalu ia dampingi di segala situasi.
“Apakah engkau membenciku Jibril”
“Siapakah yang sampai hati melihatmu dalam keadaan sekarat ini, duhai cinta,” jawabnya sendu.
Sebelum segala tentang manusia terindah ini menjadi kenangan, dari bibir manis itu terdengar panggilan perlahan
“Ummatku… Ummatku….”. Dan ia pun dengan sempurna kembali.
Nabi Muhammad Saw, pergi dengan tersenyum, pada hari senin 12 Rabi’ul
Awal, ketika matahari telah tergelincir, dalam usia 63 tahun.
Muhammad, Nabi yang Ummi, Kekasih para sahabat di masanya dan di
sepanjang usia semesta, meninggalkan gemilang cahaya kepada dunia.
Muhammad, pemberi peringatan kepada semua manusia, menorehkan
dalam-dalam tinta keikhlasan di lembaran sejarah. Muhammad, yang
bersumpah dengan banyak panorama indah alam:
“demi siang bila
datang dengan benderang cahaya, demi malam ketika telah mengembang, demi
matahari sepenggalah naik”, telah membumbungkan Islam kepada cakrawala
megah di angkasa sana.
Ia, Muhammad, menembus setiap gendang telinga sahabatnya dengan banyak kuntum-kuntum sabda pengarah dalam menjalani kehidupan.
Ia, Muhammad, yang di sanjung semua malaikat di setiap tingkatan
langit, berbicara tentang surga, sebagai tebusan utama, bagi setiap
amalan yang dikerjakan.
Ia, Muhammad yang selalu menyayangi
fakir miskin dan anak yatim, menggelorakan perintah untuk senantiasa
memperhatikan manusia lain yang berkekurangan. Dan Ia, Muhammad, tak
akan pernah kembali lagi.
Sungguh, Madinah berubah kelabu. Banyak manusia terlunta di sana.
Dan Aisyah ra, yang pangkuannya menjadi tempat singgah kepala
Rasulullah di saat terakhir kehidupannya, menyenandungkan syair kenangan
untuk sang penerang, suaranya bening. Syahdunya membumbung ke jauh
angkasa.
Beginilah Aisyah menyanjung sang Nabi yang telah pergi :
Wahai manusia yang tidak sekalipun mengenakan sutera,
Yang tidak pernah sejeda pun membaringkan raga pada empuknya tilam
Wahai kekasih yang kini telah meninggalkan dunia,
Kutau perutmu tak pernah kenyang dengan pulut lembut roti gandum
Duhai, yang lebih memilih tikar sebagai alas pembaringan
Duhai, yang tidak pernah terlelap sepanjang malam karena takut sentuhan neraka Sa’ir
Dan Umar r.a yang paling dekat dengan musuh disetiap medan jihad itu, kini menghunus pedang.
Pedang itu menurutnya diperuntukkan untuk setiap mulut yang berani
menyebut kekasih kesayangannya telah kembali kepada Allah. Umar tatap
wajah-wajah para sahabat itu setajam mata pedangnya, meyakinkan mereka
bahwa Umar sungguh-sungguh.
Umar terguncang. Umar bersumpah.
Umar berteriak lantang. Umar menjadi sedemikian garang. Ia berdiri di
hadapan para sahabat yang terlunta-lunta menunggu kabar manusia yang
dicinta.
Dan Abu Bakar, sahabat yang paling lembut hatinya,
melangkah pelan menuju jasad manusia mulia. Langkahnya berjinjit,
khawatir akan mengganggu seseorang yang tidur berkekalan, pandangannya
lurus pada sesosok cinta yang dikasihinya sejak pertama berjumpa. Raga
berparas rembulan itu kini bertutup kain selubung. Abu Bakar hampir
pingsan.
Nafasnya berhenti berhembus, tertahan. Sekuat tenaga,
ia bersimpuh di depan jasad wangi al-Musthafa. Ingin sekali membuka
penutup wajah yang disayangi arakan awan, disanjung hembusan angin dan
dielu-elukan kerlip gemintang, namun tangannya selalu saja gemetar. Lama
Abu bakar termenung di depan jenazah pembawa berkah.
Akhirnya,
demi keyakinannya kepada Allah, demi matahari yang masih akan terbit,
demi mendengar rintihan pedih ummat di luar, Abu bakar mengais sisa-sisa
keberanian. Jemarinya perlahan mendekati penutup tubuh suci Rasulullah,
dan dijumpailah, wajah yang tak pernah menjemukan itu. Abu bakar
memesrai Nabi dengan mengecup kening indahnya. Hampir tak terdengar ia
berucap, “Demi ayah dan bunda, indah nian hidupmu, dan indah pula
kematianmu. Kekasih, engkau memang telah pergi”.
Abu bakar menunduk. Abu Bakar mematung. Abu Bakar berdoa di depan tubuh nabi yang telah sunyi.
Dan Bilal bin Rabah, yang suaranya selalu memenuhi udara Madinah dengan
lantunan adzan itu, tak lagi mampu berseru di ketinggian menara mesjid.
Suaranya selalu hilang pada saat akan menyebut nama kekasih ‘Muhammad’.
Di dekat angkasa, seruannya berubah pekik tangisan. Tak jauh dari
langit, suaranya menjelma isak pedih yang tak henti. Setiap berdiri
kukuh untuk mengumandangkan adzan, bayangan Purnama Madinah selalu saja
jelas tergambar.
Tiap ingin menyeru manusia untuk menjumpai
Allah, lidahnya hanya mampu berucap lembut, “Aku mencintaimu duhai
Muhammad, aku merindukanmu kekasih”. Bilal, budak hitam yang kerap di
sanjung Nabi karena suara merdunya, kini hanya mampu mengenang Sang
kekasih sambil menatap bola raksasa pergi di kaki langit.
Dan, terlalu banyak cinta yang menderas di setiap jengkal lembah madinah. Yang tak pernah bisa diungkapkan.
Semesta menangis.
***
Sahabat, Sang penerang telah pergi menemui yang Maha tinggi.
Purnama Madinah telah kembali, menjumpai kekasih yang merindui.
Dan semesta, kehilangan pelita terindahnya.
Saya mengenangmu ya Rasulullah, meski hanya dengan setitik tinta pena.
Saya mengingatimu duhai pembawa cahaya dunia, meski hanya dengan selaksa kata.
Dan saya meminjam untaian indah peredam gemuruh dada, yang dilafadzkan
Hasan Bin Tsabit, salah seorang sahabat penyair dari masa mu:
Engkau adalah ke dua biji mata ini
Dengan kepergianmu yang anggun,
Aku seketika menjelma menjadi seorang buta
Yang tak perkasa lagi melihat cahaya
Siapapun yang ingin mati mengikutimu
Biarlah ia pergi menemui ajalnya,
Dan Aku,
Hanya risau dan haru dengan kepergian terindahmu
Sahabat, kenanglah Nabi Muhammad Saw, meski dalam kelenggangan yang
sempurna, agar hal ini menjadi obat ajaib, penawar dan penyembuh
kegersangan hati yang kerap berkunjung.
Agar, di akhirat kelak, dengan agung Nabi memanggil semua manusia yang senantiasa merindukan dan mencintainya.
Adakah yang paling mempesona dihadapanmu, ketika suara suci Nabi
menyapamu anggun, menjumpaimu dengan paras yang tak pernah kau mampu
bayangkan sebelumnya. Adakah yang paling membahagiakan di kedalaman
hatimu, ketika sesosok yang paling kau cinta sepenuh jiwa dan raga,
berada nyata di dekatmu dan menemuimu dengan senyuman yang paling manis
menembusi relung kalbu. Dan adakah di dunia ini yang paling menerbangkan
perasaanmu ke angkasa, ketika jemari terkasih menggapaimu untuk
memberikan naungan perlindungan dari siksa pedih azab neraka.
Adakah sahabat ???
Jika saat ini ada yang bening di kedua sudut kelopak matamu,
berbahagialah, karena mudah-mudahan ini sebuah pertanda. Pertanda cinta
tak bermuara.
Dan, ketika kau tak dapati air mata saat ini, kau sungguh mampu menyimpan cinta itu di dasar hatimu.
Salam saya, untuk semua sahabat. Mari bersama bergenggaman, saling
mengingatkan, saling memberikan keindahan ukhuwah yang telah Rasulullah
tercinta ajarkan.
Mari Sahabat !
Allohuma Solliala Muhammad …wa ala ali Muhammad ……
Untuk kemuliaan manusia termulia dan tercinta sayyidina Rasulullah Muhammad SAW
Bihurmati Habib Al fatihah
CIN
Kebenaran Surat Ar-Rahman 19-20: Dua Laut yang Tidak Pernah Bercampur
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu.
Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” (Q.S.
Ar-Rahman:19-20)
dua lautan yang tidak pernah bercampur, seolah-olah ada sekat atau dinding yang memisahkannya.
Subhanallah, Maha Besar Allah Yang Maha Agung. Ternyata air laut yang
tidak bercampur itu benar-benar ada. Saya sudah sering membaca ayat
tersebut, tapi masih belum tahu di mana gerangan air laut yang tidak
pernah bercampur itu. Ayat lain yang menceritakan fenomena yang sama
terdapat pada Surat Al-Furqan ayat 53 yang berbunyi:
“Dan
Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini
tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara
keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S. Al-Furqaan:53)
Dua lautan yang tidak bercampur itu terletak di Selat Gibraltar, selat
yang memisahkan benua Afrika dan Eropa, tepatnya antara negera Maroko
dan Spanyol
Dari hasil googling saya di internet, saya
menemukan penjelasan ilmiah tentang laut tersebut. Berikut hasil kutipan
saya saya dari berbagai sumber di internet:
Arus Selat
Gibraltar memang sangat besar di bagian bawahnya. Hal ini dikarenakan
perbedaan suhu, kadar garam, dan kerapatan air (density)nya. Air laut di
Laut Tengah (Mediterania) memiliki kerapatan dan kadar garam yang lebih
tinggi dari air laut yang ada di Samudera Atlantik. Menurut sifatnya,
air akan bergerak dari kerapatan tinggi ke daerah dengan kerapatan air
yang lebih rendah. Sehingga arus di selat Gibraltar bergerak ke barat,
menuju Samudera Atlantik. Lalu apakah air ini akan bercampur dengan air
di Samudera Atlantik?
TIDAK!. Lho?? Ternyata ketika air laut
dari Laut Tengah menuju Samudera Atlantik, mereka tidak mencampur.
Seakan ada sekat yang memisahkan kedua jenis air ini. Bahkan batas
antara kedua air dari dua buah laut ini sangat jelas. Air laut dari
Samudera Atlantik berwarna biru lebih cerah. Sedangkan air laut dari
Laut Tengah berwarna lebih gelap. Inilah keajaiban alam. Tidak hanya itu
yang aneh dari perilaku dari kedua air laut ini. Ternyarta, air laut
dari laut Tengah yang tidak mau bercampur dengan air laut dari Samudera
Atlantik ini menyusup dibawah air laut yang berasal dari Samudera
Atlantik. Air dari Laut Tengah ini menyusup di bawah air dari Samudera
Atlantik di bawah kedalaman 1000 meter dari permukaan Samudera Atlantik.
Bagaimana bisa terjadi?
Ceriteranya begini. Air laut dari Lautan Atlantik memasuki Laut
Mediterania atau laut Tengah melalui Selat Gibraltar. Keduanya mempunyai
karakteristik yang berbeda. Suhu air berbeda. Kadar garam nya berbeda.
Kerapatan air (density) airpun berbeda. Waktu kedua air itu bertemu di
Selat Gibraltar, karakter air dari masing-masing laut tidak berubah.
Dari atas ferry yang kami naiki, masih bisa terlihat dengan jelas mana
air yang berasal dari Lautan Atlantik, dan mana air yang berasal dari
laut tengah atau laut Mediterania. Kalau dipikir secara logika, pasti
bercampur, nyatanya tidak bercampur. Kedua air laut itu membutuhkan
waktu lama untuk bercampur, agar karakteristik air melebur. Penguapan
air yang di Laut Mediterania sangat besar, sedang air dari sungai yang
bermuara di Laut Mediterania berkurang sekali. Itulah sebabnya air
Lautan Atlantik mengalir deras ke Laut Mediterania.
Arus air alut di Selat Gibraltar
Sifat lautan ketika bertemu, menurut modern science, tidak bisa
bercampur satu sama lain. Hal ini telah dijelaskan oleh para ahli
kelautan. Dikarenakan adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan
mencegah kedua air dari lautan tidak becampur satu sama lain, seolah
terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka.
Air laut
Mediteranian, yang berwarna biru tua, menyusup sampai kedalaman 1000 m
dari permukaan laut, di lautan Atlantik, dan terus masuk sejauh ratusan
km di lautan Atlantik dan tetap tidak berubah karakteristiknya.
Subhannallah.
Saya terkagum-kagum dengan fenomena alam ciptaan
Allah SWT. Al-Quran sudah menyebutkan fenomena ini 15 abad yang lalu,
dan ilmu pengetahuan modern mengungkapkannya pada abad 20.
Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Maha benar Allah Yang Maha Agung.
KESADARAN RUHANI
- Bismillahirrohmaanirrohiim
Sekian lama kuberjalan tertatih tatih jatuh bangun babak belur berjuang menata laku meniiti kepahaman atas diri demi ingin mengenal, menuju dan mencintaiNYA, berharap akan ridloNYA semata.
Dalam kelelahan aku bersandar pada pohon lamunan dibawah ranting ranting pemahaman menatap ranum buah kesadaran, Maka jadilah tulisan ringan tanpa bobot namun insya Allah bermanfaat bagi pejalan ruhani pemula seperti saya ini
Kesadaran RUHaNI merupakan bentuk kesadaran tertinggi dimana gerak dan diam disetiap kedipan mata, tarikan,hembusan napas dan detak jantung ntu karena RUH dari dan yg akan kembali kepadaNYA pula. Terjaganya kesadaran RUHaNI yg demikian terus menerus insya Allah secara bertahap akan melahirkan kesadaran kesadaran baru dalam bentuk ikhlas, tawaqal, sabar, syukur dll bentuk ketaatan dan sifat sifat terpuji.
Untuk menjaga kesadaran Ruhani tersebut maka selalu berzikir disetiap kedipan mata, tarikan napas, hembusan napas dan detak jantung kita ketika duduk, berdiri, berjalan dan berbaring merupakan perintah yang wajib bagi umat islam, terutama dalam menjalankan perintah SHOLAT yang menjadi induknya bagi semua ibadah sebagaimana perintah ALLAH :”….wa aqiimi sholata li dzikri”
Sekedar menyamakan persepsi bahwa zikir itu berbeda dengan wirid, wirid (mengulang ulang suatu bacaan tertentu dengan cara tertentu) merupakan salah satu jalan atau metode mencapai zikir (ingat).
Memahami zikir secara sederhana adalah
1. mengingat perintaNya untuk dijalani,
2. mengingat laranganNya untuk dihindari,
3. mengingat ujianNya untuk disabari dan
4. mengingat nikmatNya untuk disyukuri.
Lebih dalam lagi, berzikir adalah menyatukan cipta, rasa dan karsa dalam qudrat dan irodatNya.
Kesadaran ruhani itu lebih pada merasakan (menyaksikan dengan rasa – rahsa – rahasiaNYA) bahwa diri dalam segala aktifitasnya selalu sadar dalam liputan asma sifat dan af’alNya, menyandarkan sababiyyah perbuatan manusia karena perbuatan (af’al) NYA, bukanlah perbuatan manusia yang menjadi sababiyyahnya, jadi ketika manusia berzikir sesungguhnya telah didahului oleh zikirnya ALLAH kepada manusia, amal ibadah manusia didahului oleh anugerahNya kepada manusia yang menjadi sababiyyah manusia tersebut bisa beribadah.
Zikir dengan penuh kesadaran ruhani akan berbuah cahaya keyaqinan mengendap pada diri dalam ketenangan dan kestabilan jiwa, menjadikan ia tahan uji dan tahan banting tiada rasa takut baginya karena cahaya keyaqinan senantiasa menyiram akar akar jiwanya menumbuhkan kesadaran demi kesadaran baru (Mahabbatullah) yang kian kokoh dan kuat mengikat jiwanya yang hanya mau terikat kepada sang khaliq semata, jadilah ia pantulan bagi cahayaNYA lalu memancar pada jagad dirinya menembus dan menebar keluar dari dirinya menerangi alam sekitarnya, FainsyaAllah inilah yang dimaksud dalam quran “ahli zikir bagaikan cahaya berjalan diantara umat manusia”
Kesadaran yang demikian sudah barang tentu akan menghindarkan atau paling tidak akan mengikis secara bertahap manusia dari rasa peng”aku”an (ego) yang selalu jadi hijab bagi diri untuk bertemu denganNYA. Namun dengan terkikis dan hilangnya rasa memiliki, dan rasa takut kehilangan (nb : didominasi oleh) “aku” justru akan melahirkan perilaku terpuji (al : tawadlu, ikhlas, tawaqal, syukur dan sabar) serta mensifati dirinya sebagai hamba yang faqir, hina, bodoh dan lemah tiada daya dan upaya dihadapan sang Khaliq, benarlah apa yang dikatakan para sesepuh bahwa “Bisa merasa tapi tidak merasa bisa”
Dus perilaku dan sifat demikian akan menggiringnya pada maqom yang terpuji (muhammad) dan suri tauladan bagi hamba hamba lainya. Subhanallah…
Diri berharap semoga diperjalankan sebagai hamba yang dikehendaki menjadi bagian dari hamba hambaNya yang senantiasa dianugerahi kesadarah ruhani dan jalan istiqomah menuju dan mendapatkan ridloNya. Amiin
Atas koreksi dan tambahannya serta kepada banyak saudaraku seperjalanan yang telah telaten membimbingku tak terhitung diri mengucapkan terimakasih.
Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?
Selama ini diasumsikan bahwa antara syariah dengan tasawuf merupakan
dua sisi ang selalu dihadapkan secara vis a vis. Fanatisme syariah (baca
: fuqaha) memandang haram atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil
dan argumentasi, baik secara naql maupun nalar. Sementara para pelaku
tasawuf tidak ketinggalan dalam mengkritik para fuqaha yang hanya
melihat hitam di atas putih dan formalitas belaka, tanpa menangkap
essensi Islam. Rumor di kalangan masyarakat jawa, bahwa syaringat
(bacaan orang jawa) itu dipahami nek sare njengat atau kata Mekah
dipahami nek turu mekakah menjadi salah satu bukti kesenjangan antara
syariat dan tasawuf.
Patut dicatat, bahwa insiden al-fitnah
al-kubra yang menghantarkan jatuhnya Khalifah Ali dari ke-khilafah-an,
diganti Muawiyah merupakan sumber utama bagi perpecahan kaum muslimin
dalam berbagai sekte dan aliran.
Para analis sepakat bahwa,
peristiwa ini awalnya bersifat politis, kemudian merembet kepada wilayah
aqidah serta aspek-aspek keagamaan lainnya. Fenomena semacam ini pada
akhirnya juga mewarnai hampir semua polemik di tubuh umat Islam yang
mengatasnamakan agama.
Al-Hallaj (w. 309 H) diekskusi dengan
dakwaan menyebarluaskan ajaran hulul dalam tasawuf. Ajaran itu
diputuskan sesat oleh penguasa berdasar legitimasi para fuqaha mazhab
dhahiriy.
Penentuan sesat atas pengalaman batin al-Hallaj jelas
lebih bermuatan politis, karena keberpihakan al-Hallaj –sebagai seorang
shufi agung yang sudah tidak ada ruang untuk membenci– kepada rakyat
kecil dan kelompok marginal; seperti syiah, qaramithah serta non-muslim.
Di pula Jawa, kasus serupa dialami Syaikh Siti Jenar (Lemah Abang) yang
didakwa menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti, sehingga oleh
para wali kerajaan saat itu divonis hukuman pancung. Dari sinilah
akhirnya para fuqaha yang dimotori kepentingan politis penguasa
menciptakan ketegangan yang tak berujung antara syariah dan tasawuf.
Kebebasan para shufi dalam menaungi pengalaman batinnya serba diatur
oleh hukum formal. Karena itu, image pemisahan syariah dan tasawuf pada
mulanya lebih sebagai fenomena politisasi agama yang berimbas pada
dichotomi dua unsur utama ajaran Islam tersebut oleh kalangan awam atau
dijadikan senjati bagi para penguasa untuk mempertahankan status quo.
Distingsi kedua aspek penting dalam ajaran Islam tersebut sangat
dimungkinkan, karena antara keduanya memiliki sisi yang jelas tidak
dapat dipersamakan. Bahwa tasawuf itu lebih menempati wilayah batin atau
hati, suatu daerah yang tak dapat ditembus oleh inderawi manusia.
Wilayah ini bersifat immateri yang permanen. Ia hanya dapat diteropong
melalui cahaya (nur) emanasi Tuhan ke dalam masing-masing qalbu manusia
yang hanya dapat dideteksi melalui bashirah (mata hati). Sementara,
syariah bersifat lahiriah yang legal-formal yang dapat ditangkap mata
telanjang.
Integrasi syariah dengan tasawuf dengan demikian
menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syariah
merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf
berpangkal pada ajaran ihsan,
an-tabudallaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fainnahu yarak,
hendaknya kalian beribadah (bersyariat) seakan-akan kamu milhat-Nya, jika tidak sesungguhnya Dia melihatmu.
Implikasinya, jika dalam syariat diwajibkan thaharah (bersuci) sebelum
melaksanakan ibadah, maka untuk mampu menembus penglihtan Tuhan, tasawuf
mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.
Kemudian
apabila seorang sedang shalat; syariat mengharuskan memenuhi syarat dan
rukun, sementara tinjauan ihsan (shufistik) mengharuskan aktivitas hati
yang tulus, hudlur dan khusyu. Semakin mendalam realisasi shufistik
seseorang, pada gilirannya justeru semakin meningkatkan kualitas
ke-Islam-an dan syariah orang tersebut dalam mencapai derajat muhsin.
Di sisi lain, penguatan aspek tasawuf juga akan menjadi dinamisator
bagi jiwa seseorang. Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah
ar-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit bagi pelakunya.
Sebaliknya, syariat ibarat jalan yang akan dilalui shufi dalam
ber-revolusi, Apabila terlalu banyak hambatan dan lobangannya jangan
harap akan sampai pada terminal akhir. Secara eksplisit Allah swt sering
menyitir bahwa, wa maa khalaqtul jinna wal-insa illa li-ya buduni,
Maknanya, bahwa penciptaan jin dan manusia hanyalah untuk marifat
kepada-Nya. Marifat (pengenalan) mula-mula dengan secara inderawi
(syariah), namun setelah semakin dekat relasi inderawi saja tentu belum
cukup, maka muncullah pengalaman mahabbah (cinta), hulul, ittihad hingga
wihdatul wujud dari para shufi.
Dalam firman-Nya yang lain,
“wa lal-akhiratu khairun la-ka minal-ula” tidakkah, masa depan (akhirat,
ihsan/tasawuf) lebih baik daripada yang permulaan (dunia, syariat).
Nilai-nila spirit tasawuf atas syariah juga dapat kita jumpai dalam
setiap maqamat (station-station) dan ahwal para shufi, misalnya :
1. Taubat yang didasarkan atas firman Allah swt yaa ayyuhal-ladzina
amanuu tuubuu ilallahi taubatan nashuha,akan menumbuhkan sikap konsekuen
dan tanggung jawab seorang hamba;
2. Zuhud yang disandarkan atas firman-Nya wa kaanuu fi-hi minaz-ahidin, akan meningkatkan kebesaran jiwa manusia;
3. Faqr yang disandarkan firman-Nya lil-fuqarail-ladzina uhshiruu fii
sabiilillah..akan membentuk jiwa yang kharismatik dan mengikis sikap
oportunis;
4. Sabar yang didasarkan firman Allah innama
yuwaffash-shaabiruuna ajrahum bi-ghairi hisab, akan membentuk pribadi
yang bermental baja;
5. Tawakkal yang bersumber dari firman Allah wa alallahi fal-yatawakkalil mutawakkilun, akan membangun independensi seseorang,
6. Syukur fadzkuruu-ni adzkurkum, wasykuruu lii wa-laa takfurunakan memberangus keserakahan seseorang;
7. dan lain-lain demikian seterusnya.
Integrasi syariat dan tasawuf juga nampak dari pertautan ajaran jihad
dengan mujahadah. Jihad bersifat fisik, seperti berperang di medan
pertempuran, memerangi tempat kemaksiatan serta perjuangan material
lainnya. Sementara mujahadah lebih menekankan visi ruhani dalam menahan
hawa nafsu, amarah serta penyakit hati lainnya. Kedua bentuk pertempuran
di atas dalam Islam jelas tidak dapat dipilah-pilahkan antara satu
dengan lainnya, karena justeru akan menjadi komplemen.
Wal-Hasil, syariah dan tasawuf sebetulnya merupakan dua sisi mata uang
yang tak dapat dinegasikan dan dipertentangkan antara satu sisi dengan
sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut secara vis a vis, selain
akan memperlihatkan kebodohan seseorang, juga memberikan indikasi adanya
upaya politisasi Islam.
Karena itu, persoalan agama, sepanjang
tidak dijadikan komoditas politik akan mendamaikan kehidupan manusia,
tetapi jika sebaliknya akan nampak keras dan tidak membawa
kesejahteraan. Mereka yang termasuk kelompok terakhir, pasti bukan
tipologi shufi. Tasawuf dengan demikian mampu menjadi muara bagi semua
madzhab (sekte) yang bertebaran di bidang syariah, baik di kalangan
sunni, syii, mutazili maupun lainnya. Bahkan syariat lintas agama pun
mampu bersarang dalam tasawuf. Inilah essensi dan substansi Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)