Peran tarekat dalam penyebaran agama Islam di Minangkabau tidak dapat diragukan lagi. Pendekatan empatik yang menonjolkan nilai-nilai moral serta kemampuan adaptasi terhadap budaya lokal menjadi sangat ampuh dalam rangka islamisasi tersebut. Peranan surau dan ulama tarekat dalam gerakan keagamaan bukan saja dalam masa awal perkembangan Islam. Bahkan pada akhir abad ke-18 surau-surau tarekat Syaththariyah di Minangkabau tampil sebagai pelopor pembaharuan keagamaan. Begitu juga dilingkungan pengikut tarekat Naqsyabandiyah, pembaharuannya begitu nyata melalui Tuanku Nan Tuo. Besarnya peran kaum tarekat dalam Islamisasi di Minangkabau dapat ditemukan dari tumbuhnya pendidikan surau di Minangkabau. Padat tahap awal mulanya ada tiga surau yang berjasa besar dalam merintis pendidikan agama dan penyebaran tarekat, yakni : Surau Syekh Burhan al-Din (w. 1111 H/1698 M) di Tanjung Medan Ulakan Pariaman. Kemudian, Surau Syekh Abdurrahman (1777-1899 M) di Batuhampar Payakumbuh, dan Surau Syekh Abdurrahman Kumanggo (w. akhir abad ke-19 M.) di Batusangkar, pusat tarekat Samaniyah.
Penyebaran Islam melalui tarekat berawal dari keyakinan mereka akan adanya berkah dan karomah. Keyakinan akan adanya berkah mengundang datangnya para peziarah yang sekaligus berbai’ah dengan khalifahnya. Hal lain, yang membentuk jaringan ulama tarekat dan pengikutnya adalah kesamaan mereka dalam silsilah. Kekuatan silsilah direkat lagi oleh organisasi Jamaah Syathariyah bagi pengikut Tarekat Syathariyah dan Persatuan Pembela Tarekat Islam (PPTI) bagi pengikut tarekat Naqsyabandiyah. Sistem penyebaran Islam melalui ulama dan pengikut tarekat bersifat “multilevel” dan “multisektoral”. Pada level institusional kesurauan dijumpai adanya jaringan ulama yang dihubungkan dan terbentuk melalui adanya visi dan missi yang sama atau karena adanya jaringan intelektual (relasi murid-guru). Pada level ideologis (mungkin teologis) didapati pula jaringan ulama tarekat yang bersifat organisatoris.
Adanya bermacam-macam silsilah dalam tarekat Syatariyah di Minangkabau dengan puncak silsilahnya Syekh Burhan al-Din Ulakan ternyata melahirkan jaringan silsilah yang luas dan membentuk komunitas kaum tarekat yang solid dan terorganisir. Begitu juga halnya dengan silsilah tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau yang bermula dari Syekh Ismail Simabur dan dari Syekh Sulaiman Al-Zuhdi Efendi di Jabal Kubis Mekah. Jaringan komunikasi tarekat Naqsyabandiyah Minangkabau pada penghujung abad kesembilan belas punya kaitan erat dengan pusat penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Singapura dan Pulau Pinang. Pada tahun 1889, Konsul Belanda di Singapura melaporkan bahwa jumlah pengikut Naqsyabandiyah belum lama berselang menunjukkan peningkatan pesat. Mereka berjumlah lebih dari 500 orang (dari keseluruhan penduduk Muslim yang 35.000 orang), kebanyakan dari mereka adalah pendatang dari Jawa dan Melayu Singapura.
Bukan rahasia lagi bahwa ulama dan penganut terbesar dari Naqsyabandiyah di Sumatera dan Semanjung Malaya adalah keturunan Minangkabau. Perantau Minangkabau selalu aktif, baik sebagai penganut dan pengamal tarekat Naqsyabandiyah maupun sebagai kelompok yang anti pada tarekat. Secara internal konflik antar tarekat Naqsabandiyah dengan tarekat Syaththariyah diawali oleh Syekh dari Cangking, Jalal al-Din. Masyarakat menamainya dengan “golongan haji" atau orang puasa dulu (sebagai lawan) dari kalangan Syatthariyah yang dinamai dengan "orang puasa kemudian" atau "Agama Cangking” (sebagai lawan dari "Agama Ulakan”), dengan mengambil nama pusat Syaththariyah yang pertama di Ulakan Pariaman. Pertentangan antara Naqsyabandiyah dengan Syaththariyah terus berlanjut meskipun intensitasnya tidak lagi sekuat abad kedepalan belas dulu. Sampai masa kinipun kedua tarekat ini tetap memiliki potensi konflik. Fenomena konflik ini muncul ke permukaan ketika tarekat Syaththatiyah dapat mengorganisir jamaahnya melalui wadah organisasi Jamaah Syaththariyah.
Masalah pokok yang menjadi perbedaan tajam baik secara internal maupun antar tarekat pada umumnya adalah yang berkenaan dengan pemahaman tentang Keesaan Tuhan (Wahdaniyat). Ulama tarekat Naqsyabandiyah memiliki paham bahwa alam semesta ini adalah saksi atau dipandang sebagai bukti atas adanya Allah, yang dikenal dengan sebutan Wahdat al-Syuhud, Sedangkan dalam tarekat Syathariyah diyakini bahwa wujud (keberadaan) alam semesta ini pada hakikatnya hanyalah bayangan dari wujud Tuhan, yang wujud itu pada hakikatnya hanyalah Tuhan semata. Paham Wahdat al-Wujud yang berkembang di Ulakan sesudah Syekh Burhanuddin bukanlah berasal dari Syekh Burhanuddin sendiri. Sebab, Syekh Abd al-Rauf al-Sinkili, selaku guru Syekh Burhanuddin adalah ulama yang anti pada paham Wahdat al-Wujud. Dalam Kitab Tanbih al-Masyi misalnya ia menjelaskan ketidaksetujuannya dengan paham ini. Mengenai kapan corak Wahdat al-Wujud ada dalam tarekat Syattariyah, khususnya pengikut Syekh Burhanuddin Ulakan belum ada penelitian yang mengungkapkannya. Adapun timbulnya kecaman terhadap tarekat adalah dari kalangan ulama, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1276-133411/1852-1915). Kecaman Ahmad Khatib dinyatakannya dalam rangka menanggapi lima masalah, yaitu: Tarekat Naqsabandiyah itu adakah asalnya pada syara' atau tidak; Adakah silsilahnya sampai kepada Rasullullah; Bagimana meninggalkan makan daging ketika suluk; Suluk 40 hari, 30 dan 10 hari adakah asalnya pada syari'at, dan Rabithah dalam tarekat adakah asalnya pada sy'ari'at atau tidak. Tulisan Ahmad Khatib yang berisikan kritikan terhadap tarekat Naqsabadiyah antara lain : Kitab Izhar Zughal Al-Khazibin ila Tasyabbuhihim bi al-shadiqin, Naskah kitab ini ditulis Ahmad Khatib di Mekah, selesai pada tanggal 4 Zulkaedah 1324 H/1905 M yang di cetak di Kairo, 1908 M/1325 H. Kitab al-Ayat al-Bayyinat li al-Munshifin fi lzalat Khurafat Ba'dh al-Muta'asshifin (Bukti-bukti yang jelas untuk orang-orang yang insaf dalam melenyapkan khurafat dari sebahagian orang-orang yang fanatik). Kitab al-Saif al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh Ahl al-Ightirar (Pedang yang amat tajam untuk membasmi kata-kata seorang tukang tipu).
Kemudian, Syekh Abdul Karim Amarullah yang lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul (1879-1945). Buya Hamka menukilkan ada 4 buku ayahnya yang menolak tarekat antara lain: Izharu Asathir al-Mudhallin fi Tas'yabbuhihim bi al-Muhtadin (Menyingkap kebohongan orang-orang sesat dalam usaha mereka untuk menampakkan diri sebagai orang yang beroleh petunjuk). Kitab al-Suyuf al-Qathi'ah fi Da'wa al-Kazibah ( Pedang yang tajam untuk membinasakan pendapat-pendapat yang bohong). Tahun 1332/1914 ia melahirkan tulisannya yang berjudul Qathi' Riqab al-Mulhidin fi 'Aqaid al-Mufsiddin yang terbit di Bukit Tinggi. Selanjutnya DR. H. Abdullah Ahmad (1878-1933). Media penolakan Abdullah Ahmad terhadap tarekat adalah melalui majalah al-Munir yang didirikannya tahun 1911. Al-Munir memiliki kontribusi besar dalam mendobrak kebekuan berpikir dan sekaligus menjadi corong dari gerakan anti tarekat di Minangkabau. Syekh Thaher Jalal al-Din, lahir di Ampek Angkek Bukit Tinggi tahun 1869. Pada mulanya ia belajar di Mekah, kemudian melanjutkan pendidikaanya ke Mesir. Bahkan pada tahun 1911 ia pernah berkunjung ke London. Zainuddin Labay el-Yunisi melalui majalah al-Manarul Munir di Padang. Zainuddin Labay sangat keras mengatakan bahwa tarekat yang berkembang di Minangkabau bukanlah bahagian dari tasawuf. Syekh Muhammad Djamil Djambek yang di samping hadir dan terlibat aktif dalam perdebatan dengan kaum tua di Bukit Surungan Padang Panjang tahun 1905, ia juga menulis bantahannya terhadap tarekat Naqsyabandiyah, yang berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Tarekat Naqsabandiyah. Buku ini ditulisnya tahun 1940. Hamka, dalam beberapa tulisannya menyerang pahamWahdat al-Wujud dan tarekat Naqsyabandiyah serta menyatukan tarekat ke dalam kalangan aliran kebatinan yang "panteis" dan mengecamnya sebagai bid'ah.
Sementara itu, ulama pendukung dan pembela tarekat di Minangkabau antara lain adalah : Muhammad Ali Ibn Abdil Muthalib dan lebih dikenal Syekh Khatib Ali (1279-1355 H/1861-1936 M). Beliau menulis beberapa Risalah, diantaranya yaitu : Tulisannya adalah Risalah Naqsyiyah fi Thariqah Naqsyabandiyah, terjemahan dari kitab Risalah Naqsyiyah fi Assasi Ishthilah al-Naqsyabandiyah min al-Zikri al-Khaffiy wa al-Rabithah wa al-Muraqabah wa Daf’i al- I’thiraddh bi Zalik tulisan Sayyid Muhammad lbn Mahdi Al-Kurdi. Risalah keduanya, Miftah al-Shadiqiyyah fi Ishthilah al- Naqsyabandiyah terbit di Padang tahun 1326 H/ 1908 M. Buku ketiganya, Miftah al-Din li al-Mubtadi’ di cetak tahun 328 H/1910 M. dan Buku keempatnya adalah Burhan al-Haq terbit di Padang tahun 1337 H/1918 M. Syekh Muhammad Dalil ibn Muhammad Fatawi yang lebih populer dengan panggilan Syekh Bayang (1864-1923). Risalahnya pertamanya berjudul Dar al-Mau'izhah ditulis tahun 1326 H /1907 M. Buku keduanya adalah Al-Taragghubil Rahmat Allah ditulis tahun 1334 H/1916 M. Syekh Muhammad Sa'ad ibn Tanta (1257-1339 H/l857-1921 M) beliau dipopulerkan "Syekh Munka". Di antara beberapa karyanya adalah Irghamu Unuf al-Muta'annitin fi Inkarihim Rabtihah al- Wasilin (Untuk meremukkan kaum pembangkang yang mengingkari rabithah dan orang-orang yang bertawassul. Syekh Sulaiman Ar- Rasuli Candung yang menulis tiga buah buku, Pertama Dawa' al-Qulub Fi Qishashati Yusufa wa Ya’kub, kedua Risalah al-Aqwal al-Wasithah fi al-Zikri wa al-Rabithah dan ketiga al-Aqwal al-'Aliyah fi al-Thariqah al-Naqsyabandiyah. Al- Jalal al-Din yang dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis. Beliau telah menulis sebanyak 41 buah buku dan 35 buah di antaranya berkaitan dengan tasawuf dan tarekat. Di antara karyanya tentang Tarekat adalah : Pertahanan Tarekat Naqsyabandiyah, Buku ini terdiri dari 4 jilid yang ditulisnya mulai tahun 1941. Rahasia Mutiara Tharekat Naqsyabandiyah yang terdiri dari 6 jilid dan ditulis tahun 1950. Masalah Seribu (llmu Ketuhanan Yang Maha Esa), terdiri dari 5 jilid ditulis tahun 1950. Pembuka Rahasia Allah, yang terdiri dari 5 Jilid, mulai ditulis sejak tahun 1950. Majalah Sinar Keemasan, terbit mulai 1952. Buku Tiga Serangkai, ditulis tahun 1964.