Lalu Apa Sebenarnya Jihad?
Secara bahasa, kata jihad terambil dari kata “jahd” yang berarti “letih/sukar”, karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat kata jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti “kemampuan”, karena jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan (Shihab, 1996: 501). Dalam hukum Islam, jihad adalah segala bentuk maksimal untuk penerapan ajaran Islam dan pemberantasan kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dengan tujuan mencapai rida Allah Swt.
Dalam pengertian luas, jihad mencakup seluruh ibadah yang bersifat lahir dan batin dan cara mencapai tujuan yang tidak kenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan pamrih, baik melalui perjuangan fisik, emosi, harta benda, tenaga, maupun ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. selama peroide Mekah dan Madinah. Selain jihad dalam pengertian umum, ada pengertian khusus mengenai jihad, yaitu memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam dan makna inilah yang sering dipakai oleh sebagian umat Islam dalam memahami jihad.
Kesalahan memahami jihad yang hanya dimaknai semata-mata perjuangan fisik disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengertian jihad secara khusus banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik senantiasa dikaitkan dengan peperangan, pertempuran, dan ekspedisi militer. Hal ini membuat kesan, ketika kaum Muslim membaca kitab fikih klasik, jihad hanya semata-mata bermakna perang atau perjuangan fisik, tidak lebih dari itu. Kedua, kata jihad dalam Al-Quran muncul pada saat-saat perjuangan fisik/perang selama periode Madinah, di tengah berkecamuknya peperangan kaum Muslim membela keberlangsungan hidupnya dari serangan kaum Quraisy dan sekutu-sekutunya. Hal ini menorehkan pemahaman bahwa jihad sangat terkait dengan perang. Ketiga, terjemahan yang kurang tepat terhadap kata anfus dalam surat Al-Anfal ayat 72 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Anfal [7]: 72).
Kata anfus yang diterjemahkan dengan “jiwa”, menurut Quraish Shihab tidak tepat dalam konteks jihad. Makna yang tepat dari kata anfus dalam konteks jihad adalah totalitas manusia, sehingga kata nafs (kata tunggal dari anfus) mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, dan pikiran.
Kesalahan yang sama juga dialami oleh para pengamat Barat yang sering mengidentikkan jihad dengan holy war atau perang suci. Jihad yang didefinisikan sebagai perang melawan orang kafir tidak berarti sebagai perang yang dilancarkan semata-mata karena motif agama. Secara historis, jihad lebih sering dilakukan atas dasar politik, seperti perluasan wilayah Islam atau pembelaan diri kaum Muslim terhadap serangan dari luar. Oleh sebab itu, holy war adalah terjemahan keliru dari jihad. Holy war dalam tradisi Kristen bertujuan mengkristenkan orang yang belum memeluk agama Kristen, sedangkan dalam Islam jihad tidak pernah bertujuan mengislamkan orang non-Islam.
Munawar Chalil dalam buku Kelengapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. mengutip pendapat Muhammad Abduh, Ibnul-Qayyim dalam Zaad Al-Ma?ad, dan Syeikh Thanthawi Jauhari, menyatakan bahwa orang-orang kurang mengerti, menyangka bahwa jihad itu tidak lain adalah berperang dengan kafir. Sebenarnya tidak begitu. Jihad itu mengandung arti, maksud, dan tujuan yang luas. Memajukan pertanian, ekonomi, membangun negara, serta meningkatkan budi pekerti umat termasuk jihad yang tidak kalah pentingnya ketimbang berperang.
Jihad Akbar
Perang Badar, perang besar pertama antara kaum Muslimin yang hanya berjumlah 313 orang, harus bertarung melawan musyrikin Quraisy yang berjumlah 950 orang, yang berakhir dengan kemenangan gemilang kaum Muslimin, perang yang begitu besar oleh Rasulullah saw. dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perang lain. Yaitu perang melawan hawa nafsu. Ucapan beliau, seusai perang Badar, Roja’na minal jihadil asghar, ilal jihadil akbar. Jihadun nafsu. Kita keluar dari jihad kecil, menuju ke jihad besar. Yaitu jihad melawan hawa nafsu...
Berdasarkan hadist di atas jihad yang dinginkan oleh Rasulullah sebenarnya bukanlah jihad dalam arti peperangan yang penuh dengan kekerasan akan tetapi perang mewalan syetan dalam diri sendiri yang merupakan musuh terbesar manusia yang jauh lebih berat. Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa musuh kita yang sebenarnya dan teramat nyata adalah syetan yang terus menerus akan menggoda sepanjang hidup kita. Nabi juga pernah mengatakan bahwa orang kuat itu bukanlah orang yang menang dalam bergulat akan tetapi orang yang bisa menahan amarahnya ketika dia akan marah.
Mengharapkan pahala syahid disambut oleh ribuan biadadari di surga dengan cara peperangan membunuh orang lain bisa jadi akan mengurangi keikhlasan hati dan justru akan mengantarkan kita ke Neraka. Terlepas benar atau salah tindakan Amrozi akan tetapi saya lebih melihat dari sudut pandang moral, orang-orang yang dianiaya oleh Amrozi cs bukan hanya orang yang berbeda agama namun juga termasuk orang Islam yang mengakui Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul, bukankah do’a orang-orang yang teraniaya di makbulkan Tuhan? Bukankah membunuh orang muslim merupakan dosa besar yang tidak terampuni?
Kita telah menyaksikan tindakan-tindakan brutal yang kemudian sebagian orang menyebutkannya sebagai Jihad dan belum tentu itu jihad, kalaupun benar itu jihad namun masih dalam pada tataran jihad kecil. Marilah kita lebih menfokuskan kepada jihad Akbar, yaitu jihad melawat hawa nafsu dan syetan dalam diri kita yang terus menerus memperdaya agar kita melakukan tindakan-tindakan yang benar menurut kita namun dimurkai oleh Allah. Jihad Akbar adalah berzikir menghilangkan sifat-sifat tercela dalam diri kita dalam Suluk/’Itikaf serta memperbanyak ‘Ubudiyah sebagai wujud rasa penghambaan diri kita kepada Allah SWT. Disaat kita berzikir dibawah bimbingan Mursyid yang digambarkan oleh Nabi sebagai Taman Surga maka kekal-lah Nur Allah dalam diri kita dengan demikian tanpa sadar kita telah berada di Surga mulai dari dunia ini sampai ke akhirat kelak. Semoga Allah SWT akan selalu menuntun dan membimbing kita kearah yang di inginkan-Nya, Amien.