Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Jumat, 28 Februari 2014
Inilah Cara Mudah Mengenal Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah
Mayoritas ulama sedunia berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) dan sekarang terkumpul dalam Empat Imam Madzhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali), bukan “Manhaj Salaf”. Mereka adalah ulama-ulama pilihan terbaik Allah SWT dan Dia tidak mengumpulkan ulama-ulama-Nya berada dalam kesesatan. Sabda Rasulullah SAW (hadits hasan dari jalur Ibnu Umar):
ان الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة , و يد الله على الجماعة , و من شد شد الى النار
Artinya:
“Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mengumpulkan ummat (maksudnya ulama di kalangan ummat)-ku atas kesesatan. Dan kekuatan Allah berada atas jama’ah (ulama Ahlussunnah wal Jama’ah). Barangsiapa menyendiri (keluar dari jama’ah), maka akan bertempat di neraka.”
{Keterangan dari kitab “Faidhul Qadir Syarah Al-Jami’ Ash-Shaghir min Ahaditsi Al-Basyir An-Nadzir” karya Imam Muhammad Abdur Ra’uf Al-Munawi, jilid 2 halaman 271, cetakan “Darul Fikr”, Beirut, Libanon}.
Dengan demikian, ta’at kepada ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berarti ta’at kepada Allah. Sedangkan memisahkan diri dari jama’ah Ahlussunnah wal Jama’ah (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali), berarti matinya tidak diridhoi Allah dan matinya dalam keadaan mati jahiliyah, sebagaimana tersebut di dalam kitab “Nihayatul Arab fi Fununil Arab” karya Syeikh Syihabuddin Ahmad biin Muhammad an-Nuwairi jilid 6 halaman 12 cetakan Mesir, Rasulullah SAW bersabda dari jalur Abu Hurairah sebagai berikut:
من خرج من الطاعة و فارق الجماعة ثم مات مات ميتة جاهلية
Artinya:
“Barangsiapa keluar dari jalur ketaatan kepada Allah SWT dan memisahkan diri dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA), jika suatu saat nanti ia mati (sebelum taubat), maka matinya dalam keadaan mati Jahilihiyyah.”
Perlu diketahui bahwa ada tiga ciri golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu:
1. Dalam ilmu fiqih menganut kepada salah satu Empat Imam Madzhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali).
2. Dalam ilmu tauhid (aqidah / aqa’id / ushuluddin) menganut kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324 H. / 873-935 M.) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (239-333 H. / 853-944 M.), bukan menganut kepada aqidah Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabisme (1111-1206 H. / 1701-1793 M.).
3. Dalam Ilmu Tasawuf menganut kepada Imam Al-Junaidi Al-Baghdadi (wafat 297 H. / 910 M.), Imam Abul Hasan Asy-Syadzili (591-656 H. / 1195-1258 M.), dan Imam Al-Ghozali (450-505 H. /1058-1111 M.).
Di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 diterangkan sebagai berikut:
قد كان مسلمو الأقطار الجاوية فى الأزمان السالفة الخالية متفقي الاراء و المذهب , متحدي المأخذ و المشرب , فكلهم فى الفقه على المذهب النفيس مذهب الامام محمد بن ادريس , و فى أصول الدين على مذهب الامام أبى الحسن الأشعري , و فى التصوف على طذهب الامام الغزالي و الامام أبى الحسن الشاذلي رضي الله عنهم أجمعين
Artinya:
“Pada masa lalu Umat Islam di Jawa sepakat dalam berpendapat dan bermadzhab dengan satu rujukan dan pegangan, yaitu dalam bidang fiqih mengikuti kepada Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dalam masalah ushuluddin mengikuti kepada madzhab Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, dan dalam bidang tasawuf mengikuti kepada Imam Al-Ghozali dan Imam Abul Hasan Asy-Syadzili”.
قال العلامة الشيخ
ثم انه حدث فى عام ألف و ثلاثمائة و ثلاثين أحزابا متنوعة , و أراء متدافعة , و أقوال متضاربة , و رجال متجاذبة , فمنهم سلفيون فائمون على ما عليه أسلافهم من التمذهب بالمذهب المعين , و التمسك بالكتب المعتبرة المتداولة , و محبة أهل البيت و الأولياء و الصالحين , و التبرك بهم أحياء و أموات , و زيارة القبور , و تلقين الميت , و الصدقة عنه , و اعتقاد الشفاعة و نفع الدعاء و التوسل و غير ذلك
Artinya:
“Kemudian pada tahun 1330 H muncul bermacam-macam golongan, pendapat-pendapat yang bertentangan, pikiran-pikiran yang berseberangan , dan para tokohnya saling tarik-menarik (kontroversi). Dari mayoritas para tokoh, ada para ulama salaf yang konsisten terhadap kesalafan-nya, yang mengikuti terhadap madzhab yang telah ditentukan, dan berpegang teguh pada kitab-kitab yang dianggap presentatif (mu’tabaroh) yang biasa beredar (masyhur). Mencintai ahli bait (keluarga Nabi Muhammad SAW), mencintai para wali dan orang-orang yang shaleh, mengambil berkah kepada mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, ziarah kubur, men-talqin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini adanya syafa’at (pertolongan), manfa’at do’a, wasilah dan lain-lain”.
8 PENGERTIAN CINTA MENURUT AL QUR'AN
Menurut Hadits Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu).
Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga :
Lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain,
Lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan
Lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.
Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Alloh SWT, dengan membaca firmanNya, lebih suka bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain.
Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
Cinta Mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.
Cinta Mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.
Cinta Syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
Cinta Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
Cinta Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33)
Cinta Syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam Surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari Hadist riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi
Cinta Kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)
Mi’raj Abu Yazid Al-Busthami (2)
Abu Yazid mengisahkan sebagai berikut:
“Aku memandang Allah dengan mata keyakinan setelah Dia mengangkatku ke derajat kemerdekaan dari semua makhluk dan setelah Dia memberikan pencerahan padaku dengan cahaya-Nya, menyingkap padaku rahasia rahasia-Nya yang menakjubkan dan memanifestasikan padaku kebesaran ke-’Dia’-an-Nya. Kemudian aku memandang diriku sendiri, dan merenungkan dalam dalam rahasia-rahasia dan sifat-sifatku. Cahayaku adalah kegelapan di sisi cahayaNya; kebesaranku menyusut dan menjadi keburukan di sisi kebesaranNya; kemuliaanku hanyalah kesombongan di sisi kemuliaanNya. Milik-Nya lah segala kesucian, dan milikkulah segala kekotoran.
Saat aku memandang lagi, aku melihat keberadaanku berasal dari cahaya-Nya. Aku sadar bahwa kemuliaanku berasal dari kebesaran dan kemuliaan-Nya. Apa saja yang aku lakukan, aku lakukan dengan kemampuan yang berasal dari kemahakuasaan-Nya. Apa pun yang dilihat oleh mata tubuh fisikku, dilihat melalui-Nya. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas; semua ibadahku merupakan karunia-Nya, bukan dariku, namun aku menyangka, bahwa akulah yang menyembah Nya.
Aku berkata, “Ya Allah, apa ini?”
Dia berkata, “Aku, dan bukan selain-Ku.”
Lalu Dia menjahit mataku, agar tidak menjadi sarana untuk melihat, agar aku tidak dapat melihat. Kemudian Dia mengajarkan akar permasalahan, yakni ke-Dia-an-Nya, pada pandangan mataku. Dia mencerabutku dari keberadaanku, dan membuatku abadi melalui keabadian-Nya, dan Dia memuliakanku. Dia menyingkapkan padaku keesaan-Nya, tak terdesak oleh keberadaanku.
Allah, Sang Kebenaran, meningkatkan realitas dalam diriku. Melalui-Nya aku memandang-Nya, dan aku memandang-Nya dalam realitas.
Di sana aku berdiam sejenak, dan aku menemukan ketenangan. Aku menutup telinga penentangan; aku menarik lidah hasrat ke dalam tenggorok kekecewaan. Aku mengabaikan pengetahuan yang dipelajari, dan mengenyahkan campur tangan jiwa yang mengajak kepada keburukan. Aku tetap diam sejenak, tanpa kelengkapan apa pun, dan dengan tangan kesucian-Nya aku menyapu bid’ah dari jalan akar prinsip-prinsip.
Allah mengasihiku. Dia mengaruniaiku pengetahuan abadi, dan memasang lidah kebaikan-Nya kedalam tenggorokku. Dia menciptakan bagiku mata dari cahaya-Nya, maka aku melihat semua makhluk melalui-Nya. Dengan lidah kebaikan-Nya aku berkomunikasi dengan-Nya, dari pengetahuan-Nya aku memperoleh pengetahuan, dan dengan cahaya-Nya aku memandang-Nya.
Dia berkata, “Wahai engkau yang semua tanpa semua maupun dengan semua, tanpa kelengkapan maupun dengan kelengkapan!”
Aku berkata, “Ya Allah, jangan biarkan aku terperdaya oleh hal ini. Jangan biarkan aku berpuas diri dengan keberadaanku, tidak merindukan-Mu. Lebih baik Engkau menjadi milikku tanpaku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa-Mu. Lebih baik aku berbicara pada-Mu melalui-Mu, daripada aku berbicara pada diriku sendiri tanpa-Mu.”
Dia berkata, “Mulai sekarang, perhatikanlah hukum (agama), dan janganlah melanggar perintah serta larangan Ku, agar perjuanganmu beroleh rasa syukur Kami.”
Aku berkata, “Aku telah menyatakan keimananku dan hatiku percaya dengan teguh. Jika Engkau bersyukur, lebih baik Engkau bersyukur pada diri-Mu sendiri daripada kepada hamba-Mu; dan jika Engkau menyalahkan, sesungguhnya Engkau Mahasuci dari segala kesalahan.”
Dia berkata, “Dari siapa engkau belajar?”
Aku mengatakan, “Dia Yang mengajukan pertanyaan lebih mengetahui daripada yang ditanya; karena Dia adalah Yang Dirindukan sekaligus Yang Merindu, Yang Bertanya sekaligus Yang Menjawab.”
Ketika Dia telah membuktikan kesucian jiwaku yang terdalam, jiwaku mendengar suara kepuasan-Nya; Dia menyelubungiku dengan keridhaan-Nya. Dia memberi pencerahan kepadaku, dan mengantarkanku keluar dari kegelapan jiwa jasmani dan pelanggaran pelanggaran watak badaniah. Aku sadar bahwa melalui-Nya-lah aku hidup; dan karena karunia-Nya lah aku dapat menghamparkan permadani kebahagiaan dalam hatiku.
Dia berkata, “Mintalah apa saja yang engkau inginkan.”
Aku mengatakan, “Aku menginginkan-Mu, karena Engkau lebih baik daripada karunia, lebih besar daripada kedermawanan, dan melalui-Mu aku telah menemukan kepuasan dalam diri-Mu. Karena Engkau milikku, aku telah menggulung lembaran karunia dan kedermawanan, dan jangan cegah aku dari-Mu, dan jangan tawarkan aku apa yang rendah di hadapan-Mu.”
Sejenak, Dia tidak menjawabku. Kemudian, sambil menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, Dia berkata, “Kebenaran yang engkau katakan, dan realitas yang engkau cari, di dalamnya engkau telah melihat dan mendengar kebenaran.”
Aku mengatakan, ‘Jika aku telah melihat, melalui-Mu-lah aku melihat. Dan jika aku telah mendengar melalui-Mu-lah aku mendengar. Pertama Engkaulah yang mendengar, kemudian baru aku mendengar.”
Dan aku memanjatkan banyak pujian kepada-Nya. Karenanya. Dia memberiku sayap keagungan, sehingga aku dapat terbang dalam wilayah kemuliaan dan melihat karya karya-Nya yang menakjubkan.
Melihat kelemahan dan kebutuhanku, Dia memperkuatku dengan kekuatan-Nya dan menghiasiku dengan perhiasan-Nya.
Dia menyematkan mahkota kemurahan hati dikepalaku, dan membukakan pintu istana keesaan bagiku. Ketika Dia melihat bahwa sifat-sifatku menjadi hampa di hadapan sifat-sifat-Nya, Dia menganugerahiku sebuah nama dari kehadiran-Nya dan memanggilku dengan keesaan-Nya. Ketunggalan pun mewujud, dan kejamakan pun lenyap.
Dia berkata, “Keridlaan Kami adalah keridlaanmu, dan keridlaanmu adalah keridlaan Kami. Perkataanmu tidak memuat kekotoran, dan tak ada yang membebanimu dalam ke-’Aku’-anmu.”
Lalu Dia membuatku merasakan tikaman kecemburuan, dan membangkitkanku lagi. Aku bangkit dalam kesucian dari tungku ujian.
Kemudian Dia berkata, “Milik siapakah kerajaan?”
Aku mengatakan, “Milik Mu.”
Dia berkata, “Milik siapakah perintah?”
Aku mengatakan, “Milik Mu.”
Dia berkata, “Milik siapakah pilihan?”
Aku mengatakan, “Milik Mu.”
Karena kata-kata ini sama dengan apa yang telah Dia dengar saat perjanjian awal (zaman Azali, red), Dia berkehendak untuk menunjukkan padaku bahwa bila tanpa kasih sayang Nya, makhluk tidak akan pernah menemukan ketenangan; dan bahwa bila tidak karena cinta Nya, kemahakuasaan Nya dapat menimbulkan kerusakan pada segala hal.
Dia memandangku dengan mata yang meliputi melalui perantara ke-mahapemaksa’-an-Nya; dan sekali lagi, tak ada jejakku yang terlihat.
Dalam kemabukanku, aku menghempaskan diriku ke setiap lembah. Aku meleburkan tubuhku dalam setiap tungku peleburan, dalam kobaran api cemburu.
Aku memacu kuda pencarian dalam padang belantara yang luas; tak ada permainan yang aku lihat yang lebih baik daripada kefakiran yang sangat, tak ada sesuatu yang aku ketahui yang lebih baik daripada ketidakmampuan absolut. Tak ada lampu yang aku lihat yang lebih terang daripada diam, tak ada kata-kata yang aku dengar yang lebih baik daripada kebungkaman. Aku menjadi penghuni istana kesunyian; aku mengenakan pakaian ketabahan, hingga segala persoalan mencapai inti mereka.
Dia melihat lahir dan batinku hampa dari cacat watak badaniah. Dia membuka celah kelegaan dalam dadaku yang kelam, dan memberiku lidah pembebasan dan penyatuan. Maka kini aku memiliki lidah kemuliaan abadi, hati cahaya ilahiah, dan mata karya Ilahi. Dengan pertolongan Nya aku bicara, dengan kekuatan Nya aku menggenggam.
Karena melalui-Nya aku hidup, aku takkan pernah mati. Karena aku telah mencapai tingkatan ini, tandaku kekal, ekspresiku abadi, lidahku adalah lidah penyatuan, jiwaku adalah jiwa pembebasan. Bukanlah dariku aku bicara, aku hanya penyampai belaka; juga bukan melaluiku aku bicara, aku hanya pengingat belaka. Dia menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya, aku tiada lain hanya penerjemah belaka. Kenyataannya, Dialah Yang berbicara, bukan aku.
Kini, selelah membesarkan aku, Dia berbicara lagi, “Para makhluk ingin melihatmu.”
Aku berkata, “Aku tidak ingin melihat mereka. Namun jika Engkau berkehendak untuk menghadirkanku ke hadapan para makhluk-Mu, aku tidak akan menentang-Mu. Letakkan aku dalam keesaan-Mu, sehingga ketika makhluk-makhluk-Mu melihatku dan memandang karya-Mu, mereka akan melihat Yang Mencipta, dan aku tidak berada di sana sama sekali.”
Dia mengabulkan permohonanku; Dia menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, dan membuatku melampaui maqam watak badaniahku.
Lalu Dia berkata, “Datanglah ke hadapan para makhluk-Ku.”
Aku mengambil satu langkah menjauhi Yang Hadir (Allah swt.). Pada langkah kedua, aku terjatuh seketika. Aku mendengar pekikan, “Kembalikan kekasih-Ku, karena dia tidak bisa tanpa-Ku, dia juga tidak mengetahui jalan keselamatan menuju Aku.”
Mi’raj Abu Yazid Al-Busthami (1)
Oleh: Fariduddin ‘Aththar
Abu Yazid Thaifur ibnu ‘Isa ibnu Surusyan al-Bisthami, cucu seorang Zoroastrian (penganut Zoroastrianisme/ajaran Zoroaster), lahir di Bistham di timur laut Persia, di sana pula ia wafat pada tahun 261 H/874 M atau 264/877 M, dan hingga kini makamnya masih ada.
Ia adalah pionir aliran ekstatik (“mabuk”) dalam sufisme. Ia dikenal karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada ketuhanan. Ia sangat mempengaruhi imajinasi para sufi yang hidup setelah masanya, terutama dengan penggambarannya tentang perjalanan menuju surga (sebagai imitasi mi’raj-nya Rasulullah Muhammad saw.).
Ayahnya adalah salah seorang yang terpandang di kota Bistham. Riwayat kehidupan Abu Yazid yang luar biasa dimulai sejak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Ibunya berkata padanya, “Setiap kali ibu memasukkan makanan yang syubhat ke mulut ibu, engkau meronta ronta dalam kandungan dan tak mau diam sampai ibu mengeluarkan makanan itu dari mulut ibu.”
Pernyataan ini dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
lbunya menyekolahkannya. Di sekolah, Abu yazid mempelajari Al-Quran. Suatu hari, gurunya menjelaskan makna salah satu ayat di surah Luqman: “Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini menggetarkan hati Abu Yazid.
“Guru,” katanya seraya meletakkan buku catatannya, “izinkanlah aku untuk pulang dan mengatakan sesuatu kepada ibuku.”
Gurunya mengizinkannya, dan Abu Yazid pun bergegas pulang.
“Ada apa, Thaifur,” pekik ibunya, “mengapa engkau pulang? Apa mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus.”
“Tidak,” Jawab Abu Yazid. “Pelajaranku telah sampai kepada ayat di mana Allah memerintahkan aku untuk mengabdi kepada Nya dan kepada Ibu. Aku tidak akan sanggup melaksanakan keduanya sekaligus. Ayat ini menggetarkan hatiku. Hanya ada dua pilihan: lbu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik lbu sepenuhnya, atau lbu menyerahkanku kepada Allah agar aku dapat sepenuhnya bersamaNya “
Suatu malam, ibuku memintaku untuk mengambilkannya air minum. Aku bergegas mengambilkan air minum untuknya, namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil kendi, namun kendi ini juga kosong. maka aku pun pergi ke sungai dan mengisi kendi dengan air. Ketika aku kembali ke rumah, ibuku telah tertidur.
Malam itu udara begitu dingin. Aku memegang teko dengan tanganku. Ketika ibuku terbangun, ia pun minum dan mendoakanku. Lalu ia melihat bahwa teko itu membuat tanganku membeku kedinginan.
‘Mengapa tak engkau letakkan saja teko itu?’ tanya ibuku.
“Aku takut tatkala lbu terbangun, aku tidak ada di sisi Ibu,’ jawabku.
Setelah ibunya menyerahkannya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bistham dan selama tiga puluh tahun berkelana dari satu daerah ke daerah lain, mendisiplinkan dirinya dengan ibadah dan rasa lapar yang sinambung. Ia mendatangi 113 pembimbing spiritual dan mengambil manfaat dari mereka semua.
Di antara mereka ada yang dijuluki Ash-Shadiq. Abu Yazid sedang duduk ketika gurunya itu tiba-tiba berkata, “Abu Yazid, ambilkan aku buku dari jendela itu.”
“Jendela? jendela yang mana?” tanya Abu Yazid.
Gurunya balik bertanya, “Selama ini engkau selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak pernah,” jawab Abu Yazid. “Apa urusanku dengan jendela? Ketika aku berada dihadapanmu, aku menutup mataku dari hal hal lain. Aku datang kepadamu bukan untuk melihat lihat.”
“Kalau begitu,” kata sang guru, “pulanglah ke Bistham. Usahamu telah sempurna.”
Abu Yazid diberi tahu bahwa di suatu tempat tinggallah seorang guru besar. Abu Yazid jauh-jauh datang untuk menemuinya. Ketika ia mendekat, ia melihat sang guru kondang itu meludah ke atas kiblat. Abu Yazid seketika itu pula bergegas kembali pulang. Ia berujar, “Jika ia memiliki ilmu sedikit saja, ia tidak akan pernah melecehkan-Nya.”
Dalam kaitannya dengan hal ini, dikatakan bahwa rumah Abu Yazid terletak sekitar empat puluh langkah dari sebuah masjid, dan ia tidak pernah sekali pun meludah di jalan demi menghormati masjid itu.
Abu Yazid membutuhkan waktu dua belas tahun penuh untuk tiba ke Ka’bah. Itu karena di setiap melewati tempat ibadah yang ia lalui, ia selalu membentangkan sajadahnya dan mendirikan salat dua rakaat.
“Tempat ibadah ini bukanlah serambi istana para raja duniawi, di mana orang dapat lewat kesana-kemari dengan seenaknya,” katanya.
Akhirnya, ia sampai juga di Ka’bah, tapi tahun itu ia tidak pergi ke Madinah.
“Tidaklah pantas menjadikan kunjungan ke Madinah sebagai sekadar bagian dari kunjunganku kali ini,” ia menjelaskan. “Aku akan mengenakan pakaian haji tersendiri, bukan yang kupakai saat ini, untuk kunjunganku ke Madinah.”
Tahun berikutnya, ia kembali, mengenakan pakaian haji tersendiri. Di suatu kota, ia berpapasan dengan sekelompok besar orang yang kemudian menjadi para muridnya. Ketika ia pergi, orang-orang itu mengikutinya.
“Siapa mereka?” tanyanya sambil menengok ke belakang.
Terdengarlah jawaban, “Mereka ingin menemanimu.”
“Ya Allah!” pekik Abu Yazid. “Aku mohon pada-Mu, jangan jadikan aku selubung antara para hambaMu dan diri-Mu!”
Lalu dengan tujuan menghapus kecintaan orang-orang itu kepadanya dan agar dirinya tidak Menjadi penghalang dijalan mereka (menuju Allah) setelah salat Subuh, Abu Yazid memandang mereka dan berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
“Dia sudah gila” pekik orang-orang itu. Dan mereka pun pergi meninggalkan Abu Yazid.
Abu Yazid menyusuri jalannya. Di perjalanan, ia menemukan tengkorak yang bertuliskan: “Tuli, Bisu, dan buta, maka mereka tidak mengerti.”
Ia memungut tengkorak itu, dan sambil menangis ia menciumnya.
“Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi yang dibinasakan Allah, karena ia tidak memiliki telinga untuk mendengar suara abadi, tidak memiliki mata untuk melihat keindahan abadi, tidak memiliki lidah untuk mengagungkan kebesaran Allah, tidak memiliki akal untuk memahami sedikit saja dari pengetahuan hakiki Allah. Ayat ini berbicara tentangnya.”
Setelah Abu Yazid mengunjungi Madinah, ia melihat perintah untuk kembali guna merawat ibunya. Ia pun segera bertolak menuju Bistham, diiringi oleh sekelompok orang. Berita kembalinya Abu Yazid tersebar ke seluruh kota Bistham, dan masyarakat Bistham pun keluar menuju perbatasan kota untuk menyambutnya. Abu Yazid tampak sangat disibukkan oleh perhatian yang ditunjukkan masyarakat Bistham, sehingga ia khawatir hal itu akan mencegahnya dari Allah. Ketika mereka mendekatinya, ia mengeluarkan roti dari lengan bajunya. Saat ini bulan Ramadlan, namun Abu Yazid malah berdiri dan makan roti. Seketika setelah masyarakat Bistham melihat hal ini, mereka pun meninggalkan Abu Yazid. “Tidakkah kalian lihat?” Abu Yazid berkata pada para muridnya. “Aku menaati aturan agama, namun masyarakat malah menolakku.”
Ia menunggu dengan sabar hingga malam tiba. Pada tengah malam, ia memasuki kota Bistham dan menuju ke rumah ibunya. Di sana, ia berdiri dan mendengar suara ibunya berwudlu dan berdoa.
“Ya Allah, jagalah orang buangan kita (maksudnya Abu Yazid). Buatlah hati para syekh (guru spiritual) cenderung padanya, dan berikanlah ia petunjuk agar dapat melakukan segalanya dengan baik.”
Abu Yazid menangis ketika ia mendengar kata-kata ini. Kemudian ia mengetuk pintu.
“Siapa itu?” pekik ibunya.
“Orang buanganmu,” jawab Abu Yazid.
Sambil menangis, sang ibu membuka pintu. Pandangan matanya tampak suram.
“Thaifur,” kata sang ibu pada anaknya, “tahukah engkau apa yang telah menyuramkan pandangan mataku? Tangisan. Aku kerap menangis selama terpisah darimu, dan punggung ibu bungkuk dua kali lipat karena menanggung beban kesedihan.”
Abu Dzar Al-Ghifari
Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar
seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat
dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter,
kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya
semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi,
termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.
Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.
Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.
Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.
Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.
Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah SAW dengan ajaran Islam.
Abu Dzar segera menemui Rasulullah SAW. Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah SAW, tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.
Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.
Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.
Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah SAW ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu.
Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.
Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.
Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.
Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.
Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah SAW dengan ajaran Islam.
Abu Dzar segera menemui Rasulullah SAW. Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah SAW, tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.
Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.
Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.
Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah SAW ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu.
Sifat Kaum Sufi dan Siapa Mereka?
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata: Adapun sifat sifat kaum Sufi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah dijawab oleh Abdul Wahid bin Zaid – sebagaimana yang pernah saya terima – dimana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Hasan al-Bashri – rahimahullah – ketika ditanya, “Siapakah kaum Sufi itu menurut Anda?” Ia menjawab, “Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya (Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Sufi.”
Dzun Nun al-Mishri – rahimahullah – ditanya tentang Sufi, kemudian ia menjawab, “Seorang Sufi ialah orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh sesuatu yang hilang darinya.” DzunNun juga pernah mengemukakan, “Orang-orang Sufi adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya.”
Pernah ditanyakan pada sebagian orang Sufi, “Siapa yang pantas menjadi sahabatku?” Maka ia menjawab, “Bertemanlah dengan kaum Sufi, karena di mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan. Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga tak membuat Anda merasa bangga (ujub).”
Al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, “Siapa mereka?” Ia menjawab, “Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.”
Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, maka ia menjawab, “Kaum Sufi ialah orang yang mendengar sama’ (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana (sebab).”
Orang-orang Syam menyebut kaum Sufi dengan sebutan fuqara’ (orang orang fakir kepada Allah). Dimana mereka memberikan alasan, bahwa Allah swt. telah menyebut mereka dengan fuqara’ dalam firman Nya:
“(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah, dimana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar).” (Q.s. al Hasyr:8).
Dan firman Nya pula:
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah.” (Q.s. al Baqarah: 273).
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Nahya al-Jalla’ – rahimahullah – ditanya tentang seorang Sufi. Maka ia menjawab, “Kami tidak tahu akan adanya persyaratan ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah Azza wajalla dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-Haq, Allah tidak menghalanginya untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang disebut seorang Sufi.”
Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Sufi awalnya berasal dari kata Shafawi (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam mengucapkan, maka diganti menjadi Shufi.
Abu Hasan al Qannad rahimahullah ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Kata itu berasal dari kata Shafa’, yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah Azza wa jalla dalam setiap, waktu dengan penuh setia.”
Sebagian yang lain berkata, “Sufi adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama.” Ada pula yang lain ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Makna Sufi adalah apabila seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan oleh al-Haq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang Sufi. Karena ia telah dibersihkan.”
Syekh Abu Nashr – rahimahullah – berkata: jika Anda ditanya, “Siapa pada hakikatnya kaum Sufi itu?” Coba terangkan pada kami! Maka Syekh Abu Nashr as-Sarraj memberi jawaban, “Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum Nya, mengamalkan apa yang Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintah untuk mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut (sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap, orang yang sanggup menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati.”
Abu Hasan al Qannad – rahimahullah – berkata, “Tasawuf adalah nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda beda dalam berbagai makna dan kondisi spiritual.”
Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli – rahimahullah – ditanya tentang mengapa para kaum Sufi disebut dengan nama demikian. Ia menjawab, “Karena masih ada bekas yang mengesan di jiwa mereka. Andaikan tidak ada bekas tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat dan bergantung pada mereka.”
Disebutkan juga bahwa kaum Sufi adalah sisa-sisa orang-orang terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi saw., pent.).
Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang orang yang mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para Nabi dan orang orang saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan cukup panjang. Banyak jawaban tentang tasawuf, dimana sekelompok orang telah memberikan jawaban yang berbeda beda. Di antaranya adalah Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi rahimahullah yang memberikan jawaban lebih dari seratus jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.
Ali bin Abdurrahim al-Qannad – rahimahullah – memberi jawaban tentang tasawuf dan lenyapnya orang-orang Sufi dalam untaian syairnya:
Ketika Ahli Tasawuf telah berlalu, tasawuf menjadi keterasingan, jadi teriakan, ekstase dan riwayat.
Ketika berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu dan hati yang bersinar,Nafsumu telah mendustaimu, tak ada pijakan jalan nan indah
Hingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata, mengalir rahasia yang ada di dalam dirimu terbuka Tampaklah aktivitas dan rahasia bergururan.
Di kalangan para guru (syekh) Sufi ada tiga jawaban tentang tasawuf.
Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasulullah saw. dalam syariat.
Kedua, jawaban dengan lisanul-haqiqah (bahasa hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit.
Ketiga, jawaban dengan lisanul-Haq (bahasa al-Haq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut kaum Sufi.
Saya pernah bertanya pada al-Hushri, “Siapakah sebenarnya seorang Sufi menurut pandangan Anda.” Ia menjawab, “Ia adalah seorang manusia yang tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang menempatkannya di atas bumi dan Dia pulaYang menaunginya dengan langit. Bukan bumi atau langit itu sendiri.”
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitab Allah menurut pendapatku semata.”
CINTA KETUHANAN
Ahli Makrifat itu tidak mempunyai makrifat jika ia tidak mengenal Allah dari segala
sudut dan dari segala arah mana saja ia menghadap. Ahli Hakikat hanya ada satu arah iaitu ke arah Yang Hakiki itu sendiri. ”Ke mana saja kamu memandang, di situ ada Wajah Allah” (Al-Qur-an)
“Ke mana saja kamu memandang”, sama ada dengan deria atau akal atau khayalan, maka di situ ada Wajah Allah”.
Persoalan kita kenal dan tahu berkenaan ahli makrifat dan apakah makrifat itu tidak timbul di sini. Petah berkata-kata dan cekap dalam berhujah berkenaan dengan apa yang berkaitan dengan mereka tidak diperlukan di sini.
Apa yang perlu di sini adalah kesedaran diri kita berkenaan pekerjaan dan keadaan mereka. Mereka cuma ada satu pandangan sahaja yakni “Ke mana saja kamu memandang, di situ ada Wajah Allah”
Tahu dan boleh tidak sama dengan “yang sedar diri”. Yang sedar kepada pekerjaan diri mereka dan yang sedar dengan keadaan diri mereka.
Apabila diminta mereka berkata, maka mereka akan bertutur mengikut pekerjaan diri mereka dan mengikut keadaan diri mereka. Bukan dengan sangka-sangkaan ilmunya, bukan dengan cerita itu dan cerita ini, tetapi disampaikan mengikut kesedaran berkenaan pekerjaan dirinya dan keadaan dirinya.
Mereka berkata dalam keadaan sedar diri dan bertutur dengan bahasa pekerjaan dan keadaan dirinya.
Ini bukanlah soal Mengenal Allah apabila hijab itu tersingkap, tetapi adalah soal MengenalNya dalam hijab itu sendiri……….Kesempurnaan adab itu ialah memerlukan hijab itu dipelihara………
Berhadapan dengan yang buta tidaklah perlu kebenaran itu dipertahankan. Tidak usah berhujah, jauh sekali daripada berjidal kerana itu adalah hal-ahwal mereka yang buta. Biarkan si buta melalak-lalak mempertikaikan barang yang kita miliki. Walau bagaimana kita susun aturkan perihal barang milik kita dengan kata-kata yang benar, si buta akan tetap tidak akan dapat nampak “barang pesaka’ yang kita simpan. Kefahaman mereka berkenaan barang pesaka ini tidak sama dengan mata yang melihat dan menyaksikan keujudannya. Bersabarlah dengan lidah yang kelu tanpa bahasa.
Jika pemberian yang sedikit itu sudah kita hilang kesabaran diri, bagaimana mungkin untuk menanggung sesuatu yang lebih besar.
Yakinilah wahai saudara-saudaraku. Semoga Allah memberikan PetunjukNya kepada anda bahawa…….
Hanya Cinta kepada Allah yang boleh menamatkan perbalahan ini. Hanya Cinta yang boleh menolong apabila anda meraung meminta tolong dari cengkaman mereka. Mulut bisu dalam Cinta; perbalahan tidak ada. Si ‘asyik kuatir untuk menjawab balik perbalahan itu, kerana takutkan mutiara keruhanian(mistik) itu keluar dari mulutnya.
Umpama burung hinggap di atas kepala anda dan anda kuatir ia terbang lari. Anda tidak bergerak atau menghembuskan nafas yang kuat. Anda tahankan diri anda supaya tidak terbatuk. Semua itu takutkan burung itu terbang. Kalau ada orang bertanya, anda letakkan jari di mulut yang bertutup memberi isyarat “diam”.
Cinta Ketuhanan ibarat burung itu. Ia membuatkan anda tidak mahu membuka mulut. Ibarat cerek yang panas dan menggelegak airnya. Tudung cerek itu anda tutupkan supaya airnya tidak keluar.
Fudhoil bin Iyadh seorang wali Allah berkata kepada seorang lelaki;
“Jika sesiapa bertanya kepada mu samada kamu cinta kepada Allah, hendaklah kamu diam kerana jika kamu kata: ”Saya tidak cinta kepadaNya”, maka kamu kafir dan jika kamu berkata, ”Saya cinta”, maka perbuatan kamu berlawanan dengan katamu.”
FAHAMILAH WAHAI DIRIKU…………
— oo —
Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari tempat berangkat
ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. Sangat sulit menceritakan pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu. Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan disebut hal.
Ada segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya’, kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir, “Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas cahayamu” (QS 57:13).
Dalam kelompok awliya’ juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja diantara orang-orang yang tinggi) disebut awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.
lbnu Umar meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menolak bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh– dari seratus keluarga tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).
Penghulu para awliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. “Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Karena merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong” (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi Saw., “Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘ Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa
agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.”
Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada mereka. Kata Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai
kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa.” Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya’, kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya?
Seperti kita semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima adrakuha?” Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin” (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim). Dalam hadis
lain, Nabi berkata, “Bishidqil wara’, wa husnin niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan
hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).
Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita? Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha (kedermawanan).
Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit –keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada “aku” sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk “aku”. Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi “milikku.” Orang yang dermawan adalah orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah bergeser ke falsafah “Untuk Dia”.
Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka”. Tanpa kedermawanan, shalat, shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan.
Orang dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata, “Engkau sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”
Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya, kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan, karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan olongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi agamanya masih berkutat dalam keakuannya.
An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.
Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari tempat berangkat
ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. Sangat sulit menceritakan pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu. Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan disebut hal.
Ada segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya’, kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir, “Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas cahayamu” (QS 57:13).
Dalam kelompok awliya’ juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja diantara orang-orang yang tinggi) disebut awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.
lbnu Umar meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menolak bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh– dari seratus keluarga tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).
Penghulu para awliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. “Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Karena merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong” (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi Saw., “Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘ Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa
agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.”
Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada mereka. Kata Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai
kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa.” Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya’, kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya?
Seperti kita semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima adrakuha?” Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin” (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim). Dalam hadis
lain, Nabi berkata, “Bishidqil wara’, wa husnin niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan
hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).
Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita? Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha (kedermawanan).
Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit –keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada “aku” sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk “aku”. Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi “milikku.” Orang yang dermawan adalah orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah bergeser ke falsafah “Untuk Dia”.
Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka”. Tanpa kedermawanan, shalat, shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan.
Orang dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata, “Engkau sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”
Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya, kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan, karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan olongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi agamanya masih berkutat dalam keakuannya.
An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.
Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Kisah Wanita Sholehah Yang Buruk Rupa,
Kisah Wanita Sholehah Yang Buruk Rupa, Meluluhkan Hati Sang Ulil Amri (Penguasa) Hingga Jatuh Hati Padanya
Seorang gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar dihadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita.
Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta.
Dengan keheranan sang Gubernur bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau?”
Janda bermuka buruk itu menjawab, “Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bukan dinar melainkan bekal akhirat.”
“Maksud engkau?” tanya sang Gubernur mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu.”
Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu shalat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal.”
Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernur merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang Gubernur jatuh cinta kepada perempuan lusuh yang berparas hanya lebih bagus sedikit dari yang paling buruk itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis pikir, bagaimana seorang gubernur bisa menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu.
Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernur dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur lantas memerintah agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya bingung dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, ternyata ada orang yang dianggap gila yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan.Gubernur lalu bertanya, “Mengapa kau banting gelas itu?”
Tanpa takut wanita itu menjawab, “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa Tuan berkurang lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi.”
Gubernur terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
Sebab lainnya?” tanya Gubernur.Wanita itu menjawab, “Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Alquran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan.”
Gubernur kian takjub. Demikian pula para tamu undangannya. “Masih ada sebab lain?”
Perempuan itu mengangguk dan berkata, “Ketiga, dengan saya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernurnya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya.”Maka ketika kemudian Gubernur yang kematian istrinya itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkan berbalik sangat gembira karena Gubernur memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada gubernurnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.
Seorang gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar dihadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita.
Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta.
Dengan keheranan sang Gubernur bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau?”
Janda bermuka buruk itu menjawab, “Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bukan dinar melainkan bekal akhirat.”
“Maksud engkau?” tanya sang Gubernur mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu.”
Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu shalat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal.”
Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernur merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang Gubernur jatuh cinta kepada perempuan lusuh yang berparas hanya lebih bagus sedikit dari yang paling buruk itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis pikir, bagaimana seorang gubernur bisa menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu.
Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernur dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur lantas memerintah agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya bingung dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, ternyata ada orang yang dianggap gila yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan.Gubernur lalu bertanya, “Mengapa kau banting gelas itu?”
Tanpa takut wanita itu menjawab, “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa Tuan berkurang lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi.”
Gubernur terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
Sebab lainnya?” tanya Gubernur.Wanita itu menjawab, “Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Alquran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan.”
Gubernur kian takjub. Demikian pula para tamu undangannya. “Masih ada sebab lain?”
Perempuan itu mengangguk dan berkata, “Ketiga, dengan saya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernurnya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya.”Maka ketika kemudian Gubernur yang kematian istrinya itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkan berbalik sangat gembira karena Gubernur memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada gubernurnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.
TALWIN DAN TAMKIN
Talwin merupakan sifat orang-orang
yang memliki tingkah laku tahapan.
Tamkin
adalah sifat ahli hakikat.
Seorang hamba yang
masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah,...
maka dialah pemilik talwin.
Sebab, dalam
perjalanannya masih menjumpai tahap demi
tahap, berpindah dari satu predikat ke
predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai,
mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun)
.
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di
suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat
menetap
Orang yang berada di tahap talwin
selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada
tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul)
kemudian sambung (ittishal).
Tanda sampai
itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata :
“Berakhirlah penggembaraan para pencari
menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila
telah sampai kemenangan dalam jiwanya,
berarti mereka telah samapi.”
Mereka berharap demikian, sebagai
pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan
termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala
hamba menetap abadi dalam kondisi itu,
dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a.
berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam
talwin, kemudian kembali dari mendengarkan
Kalam, dan berharap untuk menutup
wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi
tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad
saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian
kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa
yang disaksikan pada malam itu, tidak
berpengaruh. Kisah demikian juga
dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang
melihat Yusuf as. Ketika mereka secara
bersamaan memotong jemari tangannya, saat
melihat raut muka Yusuf as.
Dengan tampang
yang menghanyutkan dan mengejutkan.
Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih
sempurna ketimbang mereka dalam
mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak
hati itu ia tidak berubah, karena ia telah
memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwa
Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati
dalam diri hamba karena satu dari dua
persoalan : Kalau tidak karena adanya
kekuatan yang tiba, atau justru karena
kelemahan dirinya. Sedangkan ketenangan
atau kediaman dari hamba juga karena dua
hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan
sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-
Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi
dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin,
terpaku pad dua hal. Pertama , tidak ada jalan
lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul
saw.
dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi sebagaimana
adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku,
niscaya para Malaikat akan menjabat tangan
kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi,
dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi)
.
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak
dapat leluasa di dalamnya kecuali
Tuhanku .” (H.r. Tirmidzi).
Kedua , sah berada dalam kondisi
kelanggengan, mengingta ahli hakikat
melakukan tahapan dari sifat yang
mempengaruhi melalui berbagai jalan.
Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ...
Niscaya para malaikat akan menjabat tangan
kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil.
Jabat tangan dari Malaikat tidak apda
kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits
Nabi saw. “ Sesungguhnya Malaikat
meletakkan sayapnya pada pencari ilmu,
sebagai rasa ridha terhadap apa yang
dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan
Baihaqi).
Sedangkan sabdanya : “Aku punya
waktu (khusus).” Dikondisikan menurut
persepsi pendengar. Namun dalam seluruh
tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di
atas hakikat.
Yang pertama , bisa dikatakan : Seorang
hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-
tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah
saja bila predikatnya bertambah dan
berkurang. Apabila telah sampai pada Yang
Haq dengan meninggalkan hukum-hukum
kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan
cara tidak dikembalikan pada penyakit-
penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin
dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut
proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt.
mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak
ada batas bagi kekuasaan-Nya.
Karenanya,
jika hamba senantiasa dalam tahap yang
bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip
haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia
menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari
sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena
tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada
jenis manapun. Sedangkan orang yang
merasuk dalam musyahadahnya, dan secara
universal relevan dengan rasanya, maka tiada
batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu,
batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu
juga berkaitan dengan jagad raya seisinya,
jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan
(mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap
talwin maupun tamkin, tidak ada maqam
ataupun haal. Sepanjang ia berada pada
predikat tersebut, ia tak terbebani tugas
(takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali
jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu
semua, maka ia berada dalam situasi dimana
dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan
dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun,
padahal mereka itu tidur dan Kami balik-
balikan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-
Kahfi:18).
CEMBURU
Alloh berfirman :
قل انّماحرّم ربّي الفواحش ما ظهر وما بطن
“Katakanlah , Tuhanku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi”. (QS Al-A’raf 33)
RasuluLlah SAWW bersabda :
ما احد اغير من الله تعالى ومن غيرته حرّم الفواحش ما ظهر منها وما بطن
“Tiadalah seseorang yang lebih cemburu dari Alloh. Termasuk kecemburuannya adalah mengharamkan perbuatan yang keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi”.
Sabda Beliau yang lain :
انّ الله يُغار وإنّ المؤمنين يغار وغيرة الله تعالى أن يأتي العبد المؤمن ما حرّم الله تعالى عليه
“sesungguhnya Alloh cemburu dan orang mukmin cemburu. Kecemburuan Alloh adalah jika seorang hamba yang beriman melakukan perbuatan yang diharamkan Alloh Ta’ala”.
Ustadz Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Cemburu adalah kebencian terhadap keikut sertaan orang lain”. Jika Alloh telah cemburu artinya Alloh tidak rela keikut sertaan selain-Nya yang berhak ditaati hamba-Nya. Diceritakan dari Sariy As-Saqthi bahwa pernah dibacakan sebuah ayat di hadapannya :
وإذا قرأت القرآن جعلنا بينك وبين الذين لا يؤمنون بألاخرت حجابا مستوراً
“Dan paabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup”. (QS Al-Isra 45)
Kata sarry kepada sahabat-sahabatnya, “Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan dinding itu ?” Dinding penutup adalah cemburu. Tiada seorangpun yang lebih cemburu daripada Alloh”. Adapun yang dimaksud Sariy dalam ucapannya, “dinding penutup ini adalah cemburu”, adalah Alloh tidak menjadikan orang-orang kafir mengetahui kebenaran agama”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “sesungguhnya orang-orang yang malas beribadah adalah mereka yang mengikat kebenaran di bawah kaki mereka seperrti orang yang hina, sehingga mereka lebih suka menjauh dari Alloh dan Alloh menjadikan mereka menunda-nunda ibadahnya. Mereka menjadi terlambat dalam hal ini mereka seolah-olah mengatakan :
Aku adalah orang yang jatuh cinta
Pada orang yang aku cintai
Akan tetapi keburukan menghalangiku
Dari memandang orang yang saya cintai
Dalam hal ini mereka juga mengatakan,”Bagi orang sakit yang tidak dikunjungi bagaikan orang yang mengininkan akan tetapi tidak terbalaskan keinginannya”.
Al-Abbas Al-Zauzani berkata,”Saya memiliki suatu awal kebaikan. Saya tahu berapa jarak yang akan saya tempuh untuk mencapai tujuan keselamatan yang saya inginkan. Disuatu malam saya melihat dalam mimpi melihat saya tergelincir dari lereng yang tinggi, lalu saya ingin sekali sampai ke puncak. Saya sangat sedih sekali, kemudian saya terbangun. Saya mendengar seseorang berkata, “Wahai Abbas, Alloh belum menghendakimu sampai kepada sesuatu yang kamu ingini, namun Alloh membuka Al-Hikmah dari lisanmu”. Kata Al-Abbas “Lalu di pagi harinya saya diilhami beberapa kalimat Al-Hikmah”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Seorang Syaikh memiliki kondisi dan waktu tesendiri bersama Alloh sehingga ia tidak tampak seaat di tengah-tengah orang fakir, kemudian setelah itu ia tampak tidak seperti pada waktu itu”. Hal itu ditanyakan kemudian dijawab, “Ah, sesungguhnya tabir telah menutupinya”.
Ustadz Abu Ali jika di tengah-tengah majlisnya terjadi sesuatu yang mengganggu hati para jama’ah, ia mengatakan, “Ini adalah termasuk kecemburuan Alloh, Dia menginginkkan cerahnya waktu ini tidak dilalui bersama mereka”.
Dia ingin mendatangi kita
Sehingga ketika melihat suatu cermin kecantikan wajahnya
Meka dia menghalanginya untuk mendatanginya
Sebagian ulama shufi ditanya, “Apakah kamu ingin melihatnya ?”
“Tidak”.
Kenapa?”
Saya mensucikan kecantikan itu dari pandangan orang sepertiku”
Sesungguhnya saya hasud
Terhadap kedua pandangan mataku terhadapmu
Sehingga kupejamkan mataku
Jika aku melihatmu
Saya melihatmu berlenggang penuh keindahan
Yang membuatku tertarik
Sehingga saya cemburu kepdamu
Karena keindahanmu
Dalf Asy-Syibli pernah ditanya.”Kapan kamu beristirahat ?”
“Jika saya tidak melihat orang yang mengingatnya” jawabnya.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq pernah menyampaikan sabda Nabi SAWW tentang tabiat beliau kepada seorang pasukan berkuda dari suku badui yang mengundurkan diri, lalu beliau mengijinkannya.
“Semoga Alloh memanjangkan usiamu,” kata Baduwi, “dari suku manakah kamu?”
Seseorang dari Quraisy” jawab Nabi SAWW.
Para sahabat yang mendengar menjadi marah dan langsung menghardiknya, “Celakalah kamu sampai kamu tidak tahu Nabimu”
Menurut Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq jawaban Rasul yang berbunyi “Seseorang dari Quraisy” adalah suatu gambaran tentang kecemburuan. Jika tidak, maka bagi setiap muslim wajib mengetahui RasuluLloh SAWW. Alloh kemudian menjadikan lisan para sahabat untuk memperkenalkan Beliau kepada orang baduwi. Sementara menurut sebagian ulama, cemburu adalah termasuk sifat sufi pemula. Sesunguhnya orang yang mengesakan tidak dapat menyaksikan kecemburuan dan tidak punya pilihan lain dan juga tidak bertindak sesuka hatinya dalam kekuasaan. Akan tetapi, urusan-urusan Alloh lah yang paling utama dalam memutuskan semua yang diputuskan.
Sa’id bin Salam Al-Maghribi berkata, “Cemburu itu perbuatan orang-orang yang belum mantap tauhidnya, adapun orang-orang yang ahli hakikat, tidak “
Dalf Asy-Syibli berkata, “Cemburu ada dua, kecemburuan manusia kepada yang lain dan kecemburuan Tuhan kepada hati memberi tenaga pada manusia untuk tidak peduli pada selain Alloh”. Lebih jelasnya dapat difahami pada keterangan berikut ini : Cemburu itu ada dua, kecemburuan Alloh pada haba yang mengandung makna mengajak manusia untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya sehingga ia menninggalkan-Nya. Kecemburuan hamba karena Alloh mengandung pengertian tentang seorang hamba yang tidak melakukan apa saja selain karena Alloh. Dengan demikian cemburu pada Alloh adalah suatu kebodohan, atau bisa saja menjadikannya meninggalkan agama. Sedangkan cemburu karena Alloh bisa menjadikannya megagungkan hak-hak Alloh dan membersihkan perbuatan untuk ditujukan semata-mata karena Alloh. Dan ketahuilah bahwa termasuk sunatuLloh kepada para Wali-Nya adalah bahwa jika mereka berada pada selain Alloh, cenderung pada selain-Nya, maka Alloh akan mengacaukan hati-Nya, sehingga mereka kembali membersihkan hatinya semata-mata karena Alloh tanpa tergiur kepada selain Alloh. Sebagaimana Nabi Adam AS ketika merasa senang diabadikan di surga, maka Alloh mengeluarkannya. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS ketika Beliau heran diperintah untuk menyembelih Nabi Ismail AS, maka Alloh mengeluarkan sifat heran tersebut dari hati Nabi Ibrahim AS :
“Ketika keduanya berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya) (QS Ash-Shafat 103)
‘Dan Alloh pun membersihkan hatinya dengan tebusan yang lain’
Muhammad bin Hasan bercerita :Ketika saya mengelilingi gunung libanon, tiba-tiba muncul seorang pemuda di hadapan kami yang badannya terbakar oleh panasnya udara. Ketika melihat saya dia langsung berpaling dan berlari, lalu saya mengejar dan mengikutinya.
“Nasihatilah saya !” teriak saya dari jarak yang agak dekat.
Tanpa berpaling, pemuda itu meninggalkan pesan, Hati-hatilah sesungguhnya Dia sangat pencemburu. Dia tidak ingin di hati hamba-Nya ada ketertarikan kepada selain-Nya”. Pemuda itu segera menghilang dan saya merenungkan kata-katanya”.
An-Nashr Abadzi berkata, “Alloh itu sangat pencemburu. Diantara kecemburuann-Nya adalah Dia tidak memberikan jalan untuk menuju kepada-Nya di jalan selain jalan-Nya.” Dikatakan bahwa Alloh telah mewahyukan kepada sebagian Nabi-Nya bahwa si Fulan membutuhkan-Ku dan Aku juga membutuhkannya. Jika ia telah memenuhi kebutuhan-Ku maka Aku akan memenuhi kebutuhannya”.
Setelah memperoleh wahyu, maka Nabi tersebut bertanya dalam munajatnya, “Tuhan, bagaimana Engkau mempunyai kebutuhan ?”
“Dia mempunyai kecenderungan kepada selain-Ku, kemudian membersikan hatinya, sehingga Aku memenuhi kebutuhan-Nya, “ Jelas Alloh
Al-Kisah, Abu Yazid Al-Bustami pernah melihat dalam mimpi ada sekelompok bidadari. Dai memandang mereka sampai menghabiskan waktunya dalam berapa hari. Ketika mimpinya terulang lagi, ia tidak menoleh dan mengatakan kepada mereka, “Kamu sekalian hanya akan menyibukkan saya”.
Suatu hari Rabiah Al-Adawiyah mengalami sakit. Salah seorang pengunjung menanyakan keadaannya.
“Apa penyebab penyakitmu ?”
“Saya telah melihat surga di hatiku, lalu Tuhan mendidikku. Dia menegurku,dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Dia berkata sambil memandang Tuhan di dalam hatinya.
Diriwayatkan dari Sariy As-Shaqthi yang menceritaakan, :Saya pernah mencari seorang teman. Daerah-daerah yang saya duga menjadi tempat tinggalnya saya datangi, sampai akhirnya saya tiba dan melewati daerah berbukitan. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sekelompok orang yang terkena penyakit parah. Diantara mereka ada yang buta, ada pula yang menderita penyakit yang menyengsarakan. Saya Tanya kepada seseorang tentang keadan mereka.
“Di tempat ini setahun sekali dilewati oleh seorang laki-laki aneh yang mendoakan orang-orang sakit yang meminta doanya, dan ternyata mereka sembuh”. Jawab mereka.
Kemudian dengan sabar saya ikut menananti kedatangannya bersama mereka. Waktupun berjalan dan waktu yang saya tunggu pun tiba, ia mendekati orang-orang yang memohon berkah doanya, lalu mendoakan dan mereka sembuh. Tanpa berkata berkata apa-apa lelaki aneh itu melanjutkan perjalanannya. Saya memandangnya sejenak lalu mengikuti jejaknya. Setelah agak jauh, saya menyapanya, “Tuan saya mempunyai penyakit bathin, apa obatnya ?”.
“Wahai Sariy, tinggalkanlah saya. Sesunguhnya Dia sangat pencemburu. Dia tidak mau melihatmu cenderung kepada selain-Nya sehingga Dia berpaling darimu.” Laki-laki aneh itu meninggalkan pesan kemudian pergi.
Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Diantara kecemburuan-Nya terlihat ketka orang-orang berzikir kepada-Nya dengan hati yang lengah, maka Dia tidak mempedulian mereka”.
Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq RahimahuLloh berkata, “ketika seorang Baduwi masuk masjid RasuluLloh SAWW dan kencing di dalamnya, para sahabat marah dan mengusirnya. Mereka merasa malu dan tidak bisa menerima perbuatannya. Demikian juga seorang hamba yang tahu keagungan Tuhannya. Dia merasa sulit mendengarkan zikir orang yang lengah dan beribadah dengan tidak menjaga kesopanan”.
Al-Kisah ketika Dalf Asy-Syibli ditinggal mati puteranya yang bernama Abul Hasan, isterinya gelisah dan memotong-motong rambutnya. Sementara Asy-Syibli masuk kamar mandi dan melumuri jenggotnya dengan sabun yang hendak dicukurnya. Setiap orang yang datang hendak berta’ziyah menanyakanya, “Apa yang kamu lakukan, wahai Abu Bakar ?”
“Ikut berduka cita bersama isteriku”. Jawabnya.
“Jelaskan kepada kami wahai Abu Bakar, mengapa seperti itu yang kamu lakukan ?”
“Saya tahu mereka mengucapkan bela sungkawa kepadaku dengan hati yang lengah. Mereka mengatakan, ‘semoga Alloh memberimu pahala’ maka saya menebus kelengahan zikir mereka dengan jenggotku.” Jawab Asy-Syibli.
Ahmad An-Nuri seoarng shufi pengembara ketika sedang dalam perjalanannya dia mendengar suara azan, lalu menjawabnya dengan jawaban lain, “Tusukan dan racun kematian.” Selang beberapa detik dia mendengar lolongan suara anjing, lalu menjawab, “Baik, semoga engkau berbahagia”. Orang yang mendengarnya memprotes,” Sesungguhnya hal ini sama dengan meninggalkan agama karena mengatakan tusukan dan racun kematian untuk jawaban suara azan dan menyambut lolongan anjing dengan jawaban yang baik.” Dia menjawab, “Karena suaranya bagaikan kepala orang yang berzikir kepada Alloh dengan hati yang lengah. Sedangkan tentang anjing itu Alloh berfirman :
وإنّ من شئء إلا يسبح بحمده
Dan tidak satupun makhluk melainkan bertasbih dengan memuji-Nya (QS Al-Isra 44)
Dalf Asy Syibli pernah berazan. Ketika sampai pada kalimat syahadatain ia berkata, “Kalau bukan karena Engkau memerintahkan saya, pasti saya tidak ingat selain-Mu”.
Al-Kisah seseorang mengucapkan “Maha besar Alloh” lalu ditmpali seorang ulama sufi, “Saya suka jika kamu membersihkan zikirmu ini”.
Abul Hasan Al-Khazfani mengatakan, Tiada Tuhan selain Alloh dari dalam hati : Muhammad utusan Alloh, dari telinga. Barang siapa melihat dari lahir kata ini, pasti dia akan mengira bahwa ucapan ini meremehkan syariat dan tidak mengingat bahaya kecemburuan Alloh. Karena kekuasaan Alloh mengecilkan yang lain-Nya
Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy
Firman Allah swt.:
“Dan janganlah kamu mengusir orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah Nya.” (Q.s. AI An’aam: 52).
Diriwayatkan oleh Anas ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.” Seseorang bertanya, “Bagaimana Dia mempekejakannya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Dia akan memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.” (H.r. Tirmidzi).
Kehendak (iradat) adalah jalan permulaan para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah swt. Sifat ini disebut “kehendak” (iradat) hanya karena kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba tidak menghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya. Manakala hal ini terjadi di awal langkah menuju jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan diserupakan pada keinginan yang mendahului semua persoalan.
Seorang murid mendapat sebutan demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim disebut demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu) merupakan isim-isim musytaqat.
Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang menghendaki (murid) identik dengan orang yang tidak berkehendak itu sendiri. Seseorang yang belum menanggalkan kehendak dirinya bukanlah seorang murld. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak mempunyai kehendak bukanlah seorang murid.
Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelaskan, “Iradat adalah berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Oleh karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari praktik-praktik kebiasaan.
Hakikat iradat adalah kebangkitan qalbu dalam mencari Al-Haq. Karena itu dikatakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang menyakitkan, yang membuat remeh setiap yang menakutkan.
Sebagian syeikh menuturkan, “Suatu ketika aku hanya seorang diri di padang pasir dan jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku berteriak, ‘Wahai manusia, berbicaralah kepadaku! Wahai jin, berbicaralah kepadaku!’ Lalu sebuah suara gaib berseru kepadaku, ‘Apakah yang engkau kehendaki?’ Aku menjawab, ‘Aku menghendaki Allah swt.’ Suara itu bertanya, ‘Kapankah engkau menghendaki Allah swt.’?”
Maksudnya, orang yang memanggil-manggil manusia dan jin dengan kata-kata, “Berbicaralah kepadaku!” bagaimana ia dapat disebut menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar dalam kehendaknya baik siang maupun malam. Ia berjuang keras secara lahiriah, sementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, menanggung kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua bentuk. Seperti yang terkandung dalam sebuah syair:
Kulibas malam dengan gairahnya
tiada harimau dan serigala serigala
yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakah, “Kehendak (iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan kilatan-kilatan dalam jiwa.”
Yusuf ibnul Husain menuturkan, “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang perintah Abu Sulaiman dalam semua hal.
Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di majelisnya. Ahmad melaporkan, ‘Tungku sudah menyala, apa perintahmu?’ Abu Sulaiman diam, tidak menjawab. Ahmad mengulangi perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan nada seakan-akan jengkel kepadanya, ‘Pergilah kamu dan duduk diatasnya saja!’
Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu Sulaiman segera memerintahkan, ‘Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menentang perintahku.’ Maka orang orang pun pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”
Dikatakan, “Di antara sifat sifat murid adalah bahwa ia senang melaksanakan shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat, dan sabar dalam menaati aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt, memiliki rasa malu di hadapan Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa pun yang dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain, dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhannya.”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan, ‘Ada tiga hal yang menyiksa hati seorang murid: Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.” Sescorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia menjawab, “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim al-Asham mengajarkan, “Jika engkau datang kepada seorang murid yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia telah menunjukkan kerendahan dirinya.”
Al-Kattany berkata, “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut: tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala terpaksa.”
Al-Junayd mengatakan, “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pangkal iradat, engkau melakukan isyarat menuju Allah swt. dan engkau menernukan Dia dengan isyarat itu.” Saya lalu bertanya, ‘Apakah yang mencakup seluruh persoalan tentang iradat?” Ia menjawab, “Yaitu bahwa engkau menemukan Allah swt. tanpa isyarat.” Ad-Daqqaq menjelaskan, “Seorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan, “Jika murid mendengar sesuatu tentang ilmu kaum Sufi, dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam hati hingga akhir hayatnya. Jika ia berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan dilupakannya.”
Al-Wasithy berkomentar, “Tahapan pertama seorang murid adalah kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri. “
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Hal tersulit bagi para murid adalah bergaul dengan orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin al Husain mengatakan, “Jika engkau melihat seorang murid terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta pekerjaan-pekerjaan halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa tidak sesuatu pun hasil yang akan muncul darinya.”
Seseorang bertanya kepada al-Junayd, ‘Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab, “Cerita-cerita adalah salah satu tentara Allah, yang menguatkan qalbu para murid.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya, ‘Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?” Al-Junayd menegaskan, “Ya, dalilnya adalah firman Allah swt, ‘Dan semua kisah dari Rasul rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’.” (Q.s. Huud: 120).
Al-Junayd mengatakan, “Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan ilmu pengetahuan para ulama.”
Perbedaan antara yang berkehendak (murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia bukan yang dikehendaki Allah swt, niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendakinya secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat (terhadap Nya).”
Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut mereka, murid adalah seorang pemula, sedangkan murad berada pada pangkalnya.
Murid dibimbing melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorang murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya.
Murid dipaksa untuk bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketentraman. Sunnatullah bagi para penempuh cita cita beraneka ragam: Mayoritas mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan yang berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang agung. Tetapi sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada awalnya, belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak olah ruhani, tetapi sebagian besar dari mereka kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan anugerah bersama mereka riyadhah, agar selaras garis garis ketentuannya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan, “Murid menanggung, sedangkan murad ditanggung.”
Ia juga berkomentar, “Musa as. Adalah seorang murid sebab beliau berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!’ (Q.s. Thaha: 25). Nabi kita Muhanmad saw. adalah seorang murad, sebab Allah swt. berfirman mengenai diri beliau, ‘Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?’(Q.s. Al-Insyirah: 1 4).
Nabi Musa as. juga memohon, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau!’ Allah swt. berfirman, ‘Kamu sekali kali tidak akan sanggup melihat Ku.’ (Q.s. AI-Araf 143). Allah swt. berfirman kepada Nabi kita, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?’ (Q.s. Al-Furqan: 45). Kata-kata, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu?’ dan ‘Bagaimana Dia memanjangkan bayangbayang?’ dimaksudkan sebagai tabir bagi cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang murid dan murad, ia menjawab, “Murid dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan murad dikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan; sedang murad terbang. Sanggupkah manusia pejalan mampu menyusul yang terbang?”
Dzun Nuun mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan pesan,
“Tanyakan kepada Abu Yazid, ‘Berapa lama tidur dan kesantaian ini, padahal kafilah telah berlalu?’ Abu Yazid mengirimkan jawabannya, ‘Katakan kepada saudaraku Dzun Nuun, ‘Seorang laki-laki adalah yang tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah tiba.’ Dzun Nuun berseru, ‘Hebat dia! Inilah ucapan yang belum sampai pada keadaan kita’.”
“Dan janganlah kamu mengusir orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah Nya.” (Q.s. AI An’aam: 52).
Diriwayatkan oleh Anas ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.” Seseorang bertanya, “Bagaimana Dia mempekejakannya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Dia akan memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.” (H.r. Tirmidzi).
Kehendak (iradat) adalah jalan permulaan para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah swt. Sifat ini disebut “kehendak” (iradat) hanya karena kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba tidak menghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya. Manakala hal ini terjadi di awal langkah menuju jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan diserupakan pada keinginan yang mendahului semua persoalan.
Seorang murid mendapat sebutan demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim disebut demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu) merupakan isim-isim musytaqat.
Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang menghendaki (murid) identik dengan orang yang tidak berkehendak itu sendiri. Seseorang yang belum menanggalkan kehendak dirinya bukanlah seorang murld. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak mempunyai kehendak bukanlah seorang murid.
Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelaskan, “Iradat adalah berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Oleh karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari praktik-praktik kebiasaan.
Hakikat iradat adalah kebangkitan qalbu dalam mencari Al-Haq. Karena itu dikatakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang menyakitkan, yang membuat remeh setiap yang menakutkan.
Sebagian syeikh menuturkan, “Suatu ketika aku hanya seorang diri di padang pasir dan jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku berteriak, ‘Wahai manusia, berbicaralah kepadaku! Wahai jin, berbicaralah kepadaku!’ Lalu sebuah suara gaib berseru kepadaku, ‘Apakah yang engkau kehendaki?’ Aku menjawab, ‘Aku menghendaki Allah swt.’ Suara itu bertanya, ‘Kapankah engkau menghendaki Allah swt.’?”
Maksudnya, orang yang memanggil-manggil manusia dan jin dengan kata-kata, “Berbicaralah kepadaku!” bagaimana ia dapat disebut menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar dalam kehendaknya baik siang maupun malam. Ia berjuang keras secara lahiriah, sementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, menanggung kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua bentuk. Seperti yang terkandung dalam sebuah syair:
Kulibas malam dengan gairahnya
tiada harimau dan serigala serigala
yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakah, “Kehendak (iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan kilatan-kilatan dalam jiwa.”
Yusuf ibnul Husain menuturkan, “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang perintah Abu Sulaiman dalam semua hal.
Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di majelisnya. Ahmad melaporkan, ‘Tungku sudah menyala, apa perintahmu?’ Abu Sulaiman diam, tidak menjawab. Ahmad mengulangi perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan nada seakan-akan jengkel kepadanya, ‘Pergilah kamu dan duduk diatasnya saja!’
Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu Sulaiman segera memerintahkan, ‘Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menentang perintahku.’ Maka orang orang pun pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”
Dikatakan, “Di antara sifat sifat murid adalah bahwa ia senang melaksanakan shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat, dan sabar dalam menaati aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt, memiliki rasa malu di hadapan Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa pun yang dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain, dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhannya.”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan, ‘Ada tiga hal yang menyiksa hati seorang murid: Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.” Sescorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia menjawab, “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim al-Asham mengajarkan, “Jika engkau datang kepada seorang murid yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia telah menunjukkan kerendahan dirinya.”
Al-Kattany berkata, “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut: tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala terpaksa.”
Al-Junayd mengatakan, “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pangkal iradat, engkau melakukan isyarat menuju Allah swt. dan engkau menernukan Dia dengan isyarat itu.” Saya lalu bertanya, ‘Apakah yang mencakup seluruh persoalan tentang iradat?” Ia menjawab, “Yaitu bahwa engkau menemukan Allah swt. tanpa isyarat.” Ad-Daqqaq menjelaskan, “Seorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan, “Jika murid mendengar sesuatu tentang ilmu kaum Sufi, dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam hati hingga akhir hayatnya. Jika ia berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan dilupakannya.”
Al-Wasithy berkomentar, “Tahapan pertama seorang murid adalah kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri. “
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Hal tersulit bagi para murid adalah bergaul dengan orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin al Husain mengatakan, “Jika engkau melihat seorang murid terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta pekerjaan-pekerjaan halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa tidak sesuatu pun hasil yang akan muncul darinya.”
Seseorang bertanya kepada al-Junayd, ‘Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab, “Cerita-cerita adalah salah satu tentara Allah, yang menguatkan qalbu para murid.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya, ‘Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?” Al-Junayd menegaskan, “Ya, dalilnya adalah firman Allah swt, ‘Dan semua kisah dari Rasul rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’.” (Q.s. Huud: 120).
Al-Junayd mengatakan, “Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan ilmu pengetahuan para ulama.”
Perbedaan antara yang berkehendak (murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia bukan yang dikehendaki Allah swt, niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendakinya secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat (terhadap Nya).”
Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut mereka, murid adalah seorang pemula, sedangkan murad berada pada pangkalnya.
Murid dibimbing melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorang murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya.
Murid dipaksa untuk bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketentraman. Sunnatullah bagi para penempuh cita cita beraneka ragam: Mayoritas mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan yang berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang agung. Tetapi sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada awalnya, belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak olah ruhani, tetapi sebagian besar dari mereka kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan anugerah bersama mereka riyadhah, agar selaras garis garis ketentuannya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan, “Murid menanggung, sedangkan murad ditanggung.”
Ia juga berkomentar, “Musa as. Adalah seorang murid sebab beliau berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!’ (Q.s. Thaha: 25). Nabi kita Muhanmad saw. adalah seorang murad, sebab Allah swt. berfirman mengenai diri beliau, ‘Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?’(Q.s. Al-Insyirah: 1 4).
Nabi Musa as. juga memohon, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau!’ Allah swt. berfirman, ‘Kamu sekali kali tidak akan sanggup melihat Ku.’ (Q.s. AI-Araf 143). Allah swt. berfirman kepada Nabi kita, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?’ (Q.s. Al-Furqan: 45). Kata-kata, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu?’ dan ‘Bagaimana Dia memanjangkan bayangbayang?’ dimaksudkan sebagai tabir bagi cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang murid dan murad, ia menjawab, “Murid dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan murad dikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan; sedang murad terbang. Sanggupkah manusia pejalan mampu menyusul yang terbang?”
Dzun Nuun mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan pesan,
“Tanyakan kepada Abu Yazid, ‘Berapa lama tidur dan kesantaian ini, padahal kafilah telah berlalu?’ Abu Yazid mengirimkan jawabannya, ‘Katakan kepada saudaraku Dzun Nuun, ‘Seorang laki-laki adalah yang tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah tiba.’ Dzun Nuun berseru, ‘Hebat dia! Inilah ucapan yang belum sampai pada keadaan kita’.”
Hamba dan Tuhannya...
Praktek penyatuan hamba dan`Tuhannya...
1. Duduklah dengan santai hingga tidak jatuh pada waktu sujudnya mencapai lepasnya sukma dari tubuh
2. harus berpakaian longgar, baik pada leher, dada, perut, kedua tangan serta kakinya, sehingga pernapasan dan jalannya darah tidak terganggu
3. Pilihlah tempat atau ruangan yg tenang agar nantinya tidak terganggu
4. Waktunya juga harus diperhatikan karna sangat penting, mengenai waktu yg tenang dan tepat adalah antara jam 02.00 atau 03.00, meskipun dilaksanakan pada pagi dan siang hari
5. Jasmani serta ruhani harus dibersihkan berturut-turut, jasmani disucikan dengan air suci yg menyucikan, kemudian ruhani disucikan dengan air suci, niat yg kuat disertai tekad bulat mau bersujud pada tuhan yg maha esa, setelah itu dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan (mulai bersujud)
PERTAMA: semua perhatian pribadi ditarik dan dipusatkan didalam ruang sanubari, dengan menyebut "ALLAHU AKBAR" sebanyak 7X
KEDUA: segala gejolak hidup ditekan dengan cara berdzikir nafi dan isbat yg bunyinya "LAA ILAAHA ILLA ALLAH" pengucapannya dilakukan secara jelas dan mendalam, sehingga getaran suaranya terasa didalam pusat kalbu, diucapkan sebanyak 7X, dan proses ini berlangsung pada ruang kalbu
KETIGA: sesudah pelaksanaan pada laku diruang kalbu berhasil, maka hamba meninggalkan ruang itu menuju keruang fuad dan kemudian mengucapkan dzikir isbat yaitu "ILLA ALLAH" sebanyak 7X, jika langgah ini berhasil maka sihamba telah suci kembali
Langkah selanjutnya ialah mengucapkan dzikir ismu dzat yg ucapannya berbunyi "ALLAH" secara terus menerus sampai TABIR PEMISAH antara diri hamba dengan Allah tersingkap
Peristiwa ini berlangsung pada ruang SYIRULLAH atau BAITULLAH, dan busana hidup masih lengkap namun sudah tidak lagi mengendap, sehingga.suasananya dalam keadaan hening
Pada kondisi itulah sang diri hambai sudah bersatu dengan tuhannya atau dalam istilah jawa MANUNGGALING KAWULA LAN GUSTI, dan pada saat itu berlakulah KALAM QADIM sehingga apa yg diucapkannya bisa terjadi "KUN FA YAKUN"
-> Keterangan:
1. Ruang sanubari
2. Ruang kalbu
3. Ruang fuad
4. Ruang syir
5. Nukta ghaib
4. Tabir panca indra
3. Tabir nafsu
2. Tabir rasa kehendak
1. Tabir antara hamba dan nur ilahi
Langganan:
Postingan (Atom)