Melihat Tuhan bukan hal yang asing bagi para pengamal tasawuf yang
telah mendapat bimbingan Guru Mursyid Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin dan
telah mencapai maqam Ma’rifat. Sebagian besar tulisan yang ditampilkan
di sufimuda tentang tasawuf adalah hal-hal yang berkenaan dengan
Ma’rifat, kalau anda baca Melihat Allah, Mimpi Berjumpa Rasulullah SAW,
Surat Untuk Allah, Do’a Sufimuda adalah ungkapan-ungkapan betapa
manisnya buah yang dihasilkan dari pohon Ma’rifat, disini kita tidak
lagi membicarakan dalil-dalil bagaimana pohon itu tumbuh, cara
merawatnya, pupuk apa yang cocok dan bibit mana yang bisa cepat
menghasilkan buah yang manis dan ranum, kita hanya membicarakan tentang
“rasa” dan pengalaman “merasakan”. Karena tasawuf adalah dunia rasa,
sebagaimana ungkapan mereka, “ Tidak tahu kalau tidak merasakan ”. Kami
tidak perlu tahu siapa Guru Mursyid yang membimbing anda, yang kami
yakini adalah bahwa anda telah mencapai tahap ma’rifat, dan mari kita
duduk bercengkerama di Surau Sufimuda membicarakan tentang buah ma’rifat
yang amat manis dan harum, hanya bisa dirasakan oleh orang yang telah
memiliki buahnya, dan tidak akan mungkin bisa dirasakan dengan membaca
walau ditulis ribuan lembar, tetaplah tidak akan bisa mewakili manis dan
nikmatnya buah ma’rifat.
Bagi anda yang belum pernah mendapat
bimbingan dari seorang Guru Mursyid, akan tetapi punya keinginan untuk
menemukan kebenaran lewat tasawuf silahkan anda membaca dalil-dalil yang
berhubungan dengan thariqat di : 7 tanya jawab tentang thariqat, 7
tanya jawab tentang thariqat (lanjutan) , definisi tasawuf , Berguru
kepada Mursyid ,
Berwasilah kepada Mursyid dan Rabithah Mursyid dan silahkan bertanya kepada orang yang ahli dibidangnya.
Bagi anda yang sangat awam tentang thariqat, mungkin juga anti thariqat
sebagaimana kami dulu, kami sangat memahami kondisi anda, apalagi
selama ini mungkin anda telah membaca tulisan-tulisan dari orang-orang
yang sangat benci kepada Tasawuf, seperti Borok-Borok Sufi karya ulama
Wahabi, atau buku-buku yang menyerang tasawuf yang rata-rata ditulis
bukan atas dasar keilmuan akan tetapi lebih kepada propaganda untuk
menghancurkan Tasawuf guna menghambat orang-orang yang ingin menemukan
kebenaran. Silahkan anda baca disini , disini dan
disini
Setelah
kami tampilkan tulisan Bisakah Melihat Allah?, banyak sekali
komentar-komentar yang masuk baik yang mendukung maupun yang mengingkari
dan mempertanyakan, mungkinkah kita bisa melihat Allah didunia? Dan
tentu orang-orang yang tidak meyakini bahwa Allah bisa dilihat didunia
ini juga mempunyai dalil yang sangat mendukung, oleh karena itu
kuranglah bijak rasanya kalau kami tidak menampilkan semua dalil, baik
dari kalangan yang mendukung maupun yang mengingkari, kami mengutip
tulisan tentang melihat Allah dari buku :
Jalan Menuju Ma’rifatullah
dengan tahap (7M) karya ust. Asrifin S.Ag Penerbit “Terbit Terang
Surabaya” (hal 259-268) , semoga bermanfaat untuk kita semua.
Ma’rifat yang sebagai upaya seorang hamba untuk mengenal secara hakiki
kepada tuhannya, maka dalam permasalahan ma’rifat ini ada suatu
persoalan seputar “Bisakah seorang hamba itu melihat dengan matanya
kepada Allah? Bisakah manusia yang bersifat fana itu melihat kepada Dzat
Qodim? Walau dengan mata hatinya, bisakah manusia yang selalu terjerat
dalam lingkaran keihsanan itu melihat Allah yang memang secara dzatnya
itu berbeda?”
Ada tiga pendapat mengenai masalah melihat Tuhan ini yaitu:
1. Allah tidak dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat
Pendapat yang demikian ini terutama diwakili oleh satu golongan yang
ada dalam golongan teologi (ilmu kalam) yaitu golongan mu’tazilah.
Golongan ini menandaskan bahwa Tuhan tak akan pernah mungkin bisa
dilihat. Ketidakbisaan Tuhan dilihat oleh manusia baik kelak di akhirat,
apalagi di dunia. Golongan inimemberikan satu alasan bahwa selagi
manusia itu masih dalam lingkaran keihsanan tidak akan pernah mungkin
untuk melihat satu Dzat yang “Laisa kamislihi sya’un”. Golongan ini
selalu beralasan pada firman Allah sendiri yang menyatakan sebagai
berikut:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu. Dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi
maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103).
Selalu, ayat tersebut
dijadikan sebagai argumentasi untuk memperkuat pendapat bagi kaum
mu’tazilah dan tanpa melihat lagi atau mengkaji dan
membanding-bandingkan dengan ayat lain yang menerangkan kebalikannya.
Mungkin masalah melihat Tuhan ini terlalu irasional bagi mereka yang
sejak semula memang selalu mengandalkan akal, sehingga mereka pun selalu
meyakini bahwa mustahil Allah itu dapat di lihat oleh manusia di
akhirat kelak, apalagi di dunia. Ada satu sindiran yang disampaikan oleh
Syekh Allamah Al-Qori menanggapi pendapat kaum mu’tazilah tersebut
yaitu:
“Orang mukmin melihat Tuhannya, tanpa bentuk tanpa umpama.
Nikmat lain tiada arti, dibanding melihat Ilahi Rabbi, kaum mu’tazilah
yang rugi seribu rugi.”
2. Allah dapat dilihat di akhirat
Satu
pendapat yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat kelak di akhirat
adalah berdasarkan ayat dan hadits-hadits sebagai berikut:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu, mereka pada melihat Tuhannya.”
Dalam sebuah hadits diterangkan:
“Dari Abu Hurairah ra. Seungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,
“ya, Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita pada hari kiamat?”
maka Rasulullah menjawab, “Sulitkah kamu melihat bulan di malam bulan
purnama?”
Para sahabat berkata, “Tidak, ya Rasulullah.” Rasul
berkata lagi, “Apakah kamu sulit melihat matahari di waktu tanpa awan?
Sesungguhnya kamu akan Melihat Tuhan seperti itu.”
Dalam sebuah riwayat yang lain, yaitu dari Imam Turmudzi, dari Umar ra., bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya kedudukan surga yang paling rendah adalah penghuni surga
yang melihat surganya, istrinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak
perjalanan seribu tahun. Dan penghuni surga yang paling tinggi di
antara mereka adalah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Kemudian
Rasulullah membaca, “Wajah-wajah di hari itu penuh keceriaan memandang
Tuhannya.”
3. Allah dapat dilihat di dunia dan di akhirat
Pendapat yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di dunia maupun di
akhirat, pertama-tama menandaskan pada landasan ajaran Nabi tentang
“ihsan”, yaitu:
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”
Sabda Nabi tentang teori ihsan ini bila dilacak dari segi ilmu bahasa
akan mempunyai pengertian sebagai berikut: perkataan “KAANNA”
sesungguhnya terdiri dari dua unsur kata, yaitu “KA” dan “ANNA”. Dalam
teori bahasa “KA” disebut
harfut tamtsil (huruf yang berfungsi untuk
kata perumpamaan). Sedangkan kata “ANNA” adalah huruf yang berfungsi
untuk menguatkan (lit ta’kid ) yang dalam arti bahasa Indonesia
diartikan dengan “sungguh/sesungguhnya”. Dengan demikian jika kata
tersebut “KAANNA” digabung menjadi satu, maka akan berarti “ seperti
sungguh-sungguh”. Perkataan Nabi “seperti sungguh-sungguh engkau
melihat-Nya” bukan menunjukkan arti hanya “seakan-akan” yang tidak punya
kemungkinan untuk melihat, tetapi sebaliknya perkataan itu malah
menunjukkan kemungkinan bahwa Allah bisa dilihat. Hal yang senada pun
ditegaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
sembahyang itu memang berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu
mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada Tuhannya.”
Selain ajaran tentang ihsan
tersebut, argumentasi lain yang dijadikan sebagai landasan pendapat
bahwa Allah itu dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat adalah
pada masalah kisah Nabi Musa yang menginginkan melihat Tuhannya, dimana
kisah tersebut telah diabadikan dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat
Al-A’raf, ayat 143 sebagai berikut:
“Dan ketika Musa datang untuk
munajat pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman
(langsung) kepadanya, maka berkatalah Musa, “Ya, Tuhanku, nampaklah
diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “kamu
tidak akan dapat melihat-Ku tetapi lihatlah bukit itu, maka bila bukit
itu tetap di tempatnya (seperti sedia kala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku. “tatkala Tuhan tajalli/nampak pada bukit itu, kejadian itu
menjadikan bukit hancur dan Musa pun pingsan. Setelah Musa sadar kembali
dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang
yang pertama kali beriman (percaya).” (QS. al-A’raf: 143).
Kisah
tentang permintaan Nabi Musa untuk bisa melihat Tuhannya sebagaimana
diabadikan dalam ayat tersebut, bila diteliti lebih mendalam
sesungguhnya mempunyai kesamaan dengan kasus cerita yang dialami Nabi
Ibrahim ketika memohon kepada Tuhannya untuk berkenan diperlihatkan
bagaimana Allah menghidupkan seseorang yang sudah mati. Menanggapi
permintaan Ibrahim tersebut Allah menjawab dengan satu perkataan,
“Afalam tu’min (apakah kamu tidak percaya) ?” Seakan-akan Allah ragu
dengan keimanan dan kepercayaan Ibrahim bahwa Allah adalah Dzat Yang
Maha segala-galanya, yang sanggup untuk menghidupkan kembali sesuatu
yang telah mati. Apa jawaban Ibrahim pada waktu itu adalah “
Liyathma’inna qalbi”, yang seakan-akan Ibrahim berkata, “tidak Tuhanku.
Bukannya aku tidak iman dan mempercayai-Mu. Tetapi permintaan ini aku
lakukan supaya lebih mantap keimanan dan kepercayaanku kepada-Mu”, maka
Allah pun mengabulkan permohonan Ibrahim.
Permintaan Ibrahim
sesungguhnya mempunyai kesamaan dengan permintaan Musa. Jika Ibrahim
meminta kepada Allah agar Dia berkenan menunjukkan bagaimana cara
menghidupkan orang mati, maka Musa meminta kepada Allah agar Dia sudi
menampakkan diri supaya Musa dapat melihat-Nya. Memang, Allah tidak
mengatakan “Afalam tu’min” kepada Musa sebagaimana yang pernah Dia
firmankan kepada Nabi Ibrahim. Tetapi Allah malah menyuruh Musa untuk
melihat sebuah bukit. Jika bukit tersebut masih tetap sedia kala, maka
Musa akan dapat melihat kepada-Nya.
Sama halnya dengan permintaan
Ibrahim yang langsung dikabulkan oleh Allah, maka demikian pula pada
permintaan Musa untuk bisa melihat Tuhannya. Dalam kisah Nabi Musa,
memang dia tidak mengatakan “Liyathma’inna qalbi” yang artinya Musa
memohon kepada Allah untuk dapat melihat Tuhannya itu supaya Musa lebih
mantap keimanan dan kepercayaannya kepada Allah. Tetapi setelah kejadian
itu, dimana Allah telah tajalli/menampakkan diri kepada Musa yang
menjadikan bukit hancur dan Musa sendiri pingsan, maka setelah dia sadar
dari pingsannya, baru dia mengatakan “Ana awwalulmu’minin”, saya orang
pertama beriman. Beriman disini mempunyai arti percaya. Percaya kepada
apa ? Yaitu percaya bahwa Allah itu benar-benar maujud dan Allah itu
telah menampakkan diri-Nya dan mempercayai bahwa Allah bisa dilihat.
Sehubungan dengan masalah kisah Nabi Musa sebagaimana di atas, ada
beberapa pendapat yang mencoba untuk memberikan penafsiran tentang hal
itu yang di antaranya adalah dari Qurthubi yang mengatakan :
“Melihat Allah SWT. Di dunia adalah dapat diterima oleh akal, kalau
sekiranya tidak bisa, maka tentulah permintaan Musa. as. Untuk bisa
melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak
mengerti tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi Allah.
Bahkan (seandainya) Nabi musa tidak meminta hal ini , ini pun bisa
terjadi dan bukan suatu hal yang mustahil.” (Al-Jami’ul Ahkamul Qur’an).
Selanjutnya, Ibnu Qoyyim pun berkata:
“Bahwa sesungguhnya permintaan Nabi Musa akan melihat Allah adalah
menunjukkan atas kemungkinan. Karena sesungguhnya seorang yang berakal,
apalagi seorang Nabi tidak akan meminta hal-hal yang mustahil.”
Selain kedua pendapat tersebut, dalam kitab Kawasyiful Jilliyah disebutkan sebagai berikut:
“Adapun firman Allah SWT.: ‘Tatkala Tuhan tajalli/tampak nyata pada
gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur.’ Maka apabila
Allah bisa tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat,
maka kenapa tak mungkin Allah tajalli pada Rasul-rasul-Nya dan
Wali-wali-Nya?”
Satu hal yang perlu ditandaskan di sini, sebelum
satu argumentasi lagi disebutkan untuk mendukung pendapat yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di dunia maupun di akhirat, adalah
yang dimaksud dengan Allah dapat dilihat di sini adalah bukan dengan
pandangan mata telanjang tetapi dengan pandangan mata batin. Sebagaimana
keterangan pada bab-bab yang terdahulu, sesungguhnya pandangan mata
indera sangatlah terbatas sehingga dengan demikian sudah tentu tak akan
sanggup untuk bermusyahadah kepada Allah. Hanya mata batinlah yang
mempunyai kesanggupan untuk bermusyahadah kepada-Nya. Dan hal ini adalah
merupakan kesepakatan kebanyakan ulama tasawwuf. Umumnya mereka
berpendapat tentang mata batin ini sebagaimana berikut:
“Apabila
ruhaniyah telah menguasai bashirah, maka mata indera akan berlawanan
dengan mata batin, mata indera tidak akan dapat melihat, kecuali
pengertian-pengertian yang hanya terlihat oleh mata batin.”
Dari
keterangan di atas, ketika mata indera tidak mempunyai kesanggupan untuk
menjangkau pandangannya, maka mata batinlah yang nanti mempunyai
kesanggupan untuk menembusnya. Berhubungan dengan masalah mata batin ini
pula sebagian ulama tasawwuf pun ada yang mempunyai pendapat bahwa
dalam mimpi pun ternyata seseorang bisa bermusyahadah dengan Allah.
Mengenai hal ini terdapat satu keterangan dalam kitab Shirajut Thalibin
sebagai berikut:
“Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian ulama sufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan.”
Terlepas dari permasalahan dalam mimpi melihat Tuhan atau tidak, yang
jelas satu argumentasi lagi yang perlu dikemukakan untuk memperkuat
pendapat bahwa Allah dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat
adalah pada kisah Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW. Di mana pada saat
Nabi Isra’ Mi’raj Nabi benar-benar melihat Allah, sehingga seorang
sahabat, yaitu Hasan bin Ali berani bersumpah sewaktu menerangkan hal
itu. Demikian pula dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Ibnu Abbas yang oleh Imam Nawawi diterangkan sebagai berikut:
“Kesimpulannya, sesungguhnya rajih (alasan yang paling kuat) menurut
sebagian besar ulama bahwa Rasulullah melihat Tuhannya dengan nyata/mata
pada malam Isra’ Mi’raj berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas dan
lain-lain.”
Dari beberapa argumentasi dan bukti-bukti baik dari
Al-Qur’an maupun Hadits dan pendapat ulama yang dijadikan sebagai
landasan atas pendapat yang terakhir ini, Ibnu Taimiyah, seorang yang
dikenal sebagai pembaharu islam yang mengikuti aliran rasionalis yang
juga banyak memberikan kritikan terhadap dunia tasawwuf memberikan satu
kesimpulan dalam bentuk satu Qa’idah sebagai berikut:
“Dan dari persoalan tentang melihat, sesungguhnya tiap-tiap yang maujud itu sah dilihat.”
Berdasarkan satu Qa’idah tersebut dapat dijelaskan bahwa semua apa yang
bersifat maujud (ada) sesungguhnya masih dapat dan sah untuk dilihat,
sedangkan Allah sendiri adalah Wajibul Maujud (wajib ada), maka sudah
barang tentu masih membuka kemungkinan untuk bisa dilihat. Wallahu a’lam