Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi
Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu
dicermati. Pertama, ketika kita sudah mencapai maqam lebih tinggi,
kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita
sedang ditimpa musibah atau kekecewaan, keempat, ketika kita baru
melakukan dosa besar, dan kelima, ketika kita sedang di dalam keadaan
normal.
Apa dan bagaimana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika
kita mengalami salah satu di antara kelima kondisi batin ini, akan
diuraikan di dalam lima tulisan bersambung
Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi
• Tidak gampang mencapai maqam lebih tinggi dalam suluk, pencarian
Tuhan. Kalaupun seseorang menggapai maqam lebih tinggi sering kali tidak
permanen, kenapa?
• Bagaimana kiat mempertahankan maqam yang sudah dicapai dan senantiasa meningkat terus?
• Bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah?
Maqam adalah ibarat sebuah tangga yang mempunyai beberapa anak tangga
yang harus dilalui para pencari Tuhan (salik). Dari anak tangga pertama
sampai puncak anak tangga memerlukan perjuangan dan upaya spiritual,
mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada
setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum maqam-maqam tersebut
anatara lain: Taubat, shabr, qana’ah, wara’, syukr, tawakkal, ridha,
ma’rifah, mahabbah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam
puncak.
Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan
bersungguh-sungguh. Seakar kata dengan kata Jihad berati berjuang secara
fisik, ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berati berjuang
dengan olah batin. Sedangkan riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti
senang, rela. Seakar kata dengan kata ridhwan berarti kepuasan dan
kesenangan. Mujahadah dan riyadhah adalah dua hal yang selalu menjadi
bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seorang sufi atau salik.
Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa penghindaran diri
dari dosa-dosa kecil (muru’ah), melakukan amalia-amaliah rutin seperti
puasa Senin-Kamis dan puasa-puasa sunnat lainnya, tidak meninggalkan
shalat-shalat sunnat rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan shalat-shalat
sunnat lainnya, mengamalkan zikir dan wirid secara rutin, dan
memperbanyak amal-amal sosial dengan penuh keikhlasan, serta
meninggalkan nafsu amarah dan cinta dunia berlebihan.
Ketika
seseorang dengan konsisten menjalani mujahadah dan riyadhah maka secara
otomatis orang itu menapaki anak-anak tangga lebih tinggi. Cepat atau
lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanyaoleh
kuantitas tetapi juga kualitas mujahadah dan riyadhah itu. Ada orang
yang berhasil mencapai maqam kedua atau ketiga tetapi sulit lagi untuk
naik ke maqam berikutnya karena tingkat mujahadah dan riyadhah-nya
pas-pasan. Ada juga terus melejit dan tidak terlalu lama berada di dalam
anak-anak tangga bawah. Semuanya tergantung konsistensi (istiqamah)
seseorang.
Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi
semula lalu berupaya dengan melakukan mujahadah dan riyadhah maka yang
bersangkutan akan melahirkan sejumlah perubahan mendasar di dalam
dirinya, yang dilihat dan dirasakan oleh bukan hanya diri yang
bersangkutan tetapi juga orang laing, terutama bagi keluarga dan
orang-orang terdekatnya.
Biasanya orang yang sudah memasuki anak
tangga salik maka nampaknya banyak yang ketagihan, bahkan semacam
ketergantungan, seolah perjalanan hidupnya selama ini kosong tanpa
makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya. Itulah sebabnya
muncul fenomena keagamaan melakukan uzlah dan pengembaraan dari mesjid
ke mesjid, dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke
negara lain. Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan
rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan sahabat spiritual
baru.
Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam
pencariannya. Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan
spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya, sehingga
mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih setback lagi ke
belakang. Kedua kutub ”ekstrim” ini disebabkan oleh kurangnya pengenalan
teoritis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung menjadi
practicing tanpa pernah memperoleh introductions dari guru spiritual
yang berpengalaman.
Fenomona kehidupan spiritual di masa depan
cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi
kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan
bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus. Seolah-olah masa depan
itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri.
Akibatnya multiple shock sedang melanda umat kita. Bukan hanya cultural
shock seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya
monumentalnya, The Futur Shock.
Tidak saja terjadi di dalam umat
Islam, melainkan juga umat-umat agama lain. Seolah-olah beberapa
institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di
masayarakat dirasakan pemeluknya sudah termakan usia. Dengan demikian
terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati dan jalan
pikiran pemeluknya. Fenomena seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah
kekecewaan. Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu
dilampiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-olah
akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan
kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di sekeliling kita boleh
jadi bagian inheren dari kekecewaan massif tadi.
Clifford Geertz
dalam bukunya Islam Obeserved pernah mengingatkan kita bahwa manakala
pemeluk dan ajaran agama sudah mulai berjarak maka akan lahir situasi
yang gamang. Fenomena ini, menurut Geertz, akan melahirkan polarisasi di
dalam masyarakat yang cenderung berhadap-hadapan satu sama lain. Akan
muncul suatu kelompok moderat bahkan liberal, yang akan mengakomodasi
dan memberikan pembenaran keagamaan terhadap perkembangan dunia modern,
dengan menciptakan metode-motode modern, di antaranya pendekatan
kontekstual, atau metode hermeneutik. Ayat-ayat dan hadis direkayasa
sedemikian rupa untuk menjastifikasi kehendak zaman.
Kelompok ini
sepertinya sudah pasrah dengan kehendak zaman. Akhirnya seolah-olah
Al-Qur’an dan hadis yang harus tunduk kepada zaman modern, buakan lagi
Al-Qur’an dan hadis yang harus memandu perkembangan zaman.
Pada
saat bersamaan akan muncul kelompok radikal yang seolah-olah ingin
menolak kenyataan hidup yang terlalu asing bagi mereka. Mereka
merindukan zaman lampau yang pernah menciptakan The Golden Age. Mereka
merindukan situasi kenabian (prophetic system) untuk mewadahi
kecenderungan emosi keagamaannya. Mereka serta merta menolak gagasan
pembaharuan dengan memberinya berbagai macam label, seperti sekuler,
liberal, pluralisme, jahiliyah modern, deislamisasi, gerakan zionis,
kristenisasi, nasionalis sekuler, westernisasi, dan berbagai label
lainnya yang bisa memicu proteksi dan emosi keagamaan umat. Belum lagi
atribut-atribut biologis dan pakaian menyerupakan diri dengan kelompok
masyarakat (Arab) yang diidealisirnya sebagai komunitas ideal. Padahal,
tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi the best muslim. Kita
bisa tetap menjadi orang Indonesia tetapi sambil meraih insan kamil,
manusia paripurna.
Orang yang sudah mengenal maqam tertentu perlu
mencermati kondisi batinnya. Ada dua kondisi yang seriang dialami
orang, yaitu hal dan maqam. Hal ialah kondisi sesaat yang dialami orang
yang sedang mengalami spiritual moddd, ketika seseorang sedang hanyut
dengan suasana batin tertentu, yang biasanya karena dipicu
kejadiankejadian tertentu pada dirinya, misalnya ia baru saja ditimpa
musibah, sedang kecewa berat, sedang mempunyai hajat dan kebutuhan
berat, atau baru saja mengikuti majlis zikir yang mempesonakan dirinya.
Suasana batin orang ini memang merasakan perasaan lapang dada,
tawadlu’, syukur, tawakkal, ridha, mahabbah, bahkan merasa begitu
dekatnya dengan Tuhan.
Tindakan-tindakan sosialnya juga tiba-tiba
berubah dan seolah menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Namun
orang ini masih fluktuatif, tergantung mood-nya.
Sedangkan maqam
kondisi batin permanen dialami seseorang karena sudah melalui proses
pencarian panjang serta riyadhah dan mujahadah yang konsisten. Suasasana
batin yang dialaminya bukan karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa
khusus melainkan sudah melalui spiritual training yang amat panjang.
Namun tidak mustahil hal bisa menjadi permanen manakala orang itu
memahami kiat-kiat khusus. Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing
spiritual memang diperlukan dalam hal meningkatkan hal menjadi maqam. Di
sinilah tarekat berperan untuk mengorganisir jamaah untuk melakukan
mujahadah dan riyadhah secara sistematis.
Sistem setiap tarekat
bervariasi, tergantung sang pendiri tarekatnya. Syekh, mursyid, dan
tarekat memang besar manfaatnya bagi orang yang akan dengan serius
menekuni dunia suluk.
Salik modern tidak mesti harus melakukan
perubahan drastis dari berbagai aspek kehidupan. Seorang salik tidak
tepat mendramatisir diri sebagai orang yang sangat spesifik, apalagi
mengklaim diri sebagai kelompok ”manusia suci”. Sufi atau salik yang
sejati ialah mereka yang mampu menyembuyikan diri dan kondisi batin yang
dialaminya di depan orang lain.
Jika ada salik yang suka memamerkan
ke salik-anya maka sesungguhnya belumlah ia seorang salik sejati. Salik
sejati memilih untuk tidak populer dibumi untuk populer di langit
(majhul fil ardh ma’lum fis sama’).
Di atas langit masih banyak
langit. Seorang salik tidak bisa angkuh dan menganggap orang lain rendah
dan kotor, atau menganggap salik selainnya keliru.
Dalam Q.S.
al-Kahfi, Tuhan menegur Nabi Musa, sang manusia populer, dan
mengunggulkan Khidhir, sang manusia biasa-biasa aja. Oleh karena itu,
kitapun harus hati- hati membaca orang, sebab Tuhan Maha Pintar
menyembuyikan kekasih-Nya di dalam berbagai topeng penampilan.
Hati-hati!
Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda masih
harus belajar. Kalau sudah menyalahkan dirinya sendiri berarti sudah
sedang belajar. Kalau sudah tidak lagi pernah menyalahkan orang lain
berati sudah selesai belajar, karena sudah