1. Dasar-Dasar Al Qur’an Dan Al Hadits
Sebagai
manusia yang mendapat tugas mengabdi kepada Allah Swt harus melalui
atau menapak jalan untuk mencapai suatu tujuan yaitu berjumpa dengan
Allah dan mendapatkan ridla-Nya. Untuk mencapai Allah, hamba tidak
berkemampuan, karena dimensi manusia sebagai hamba sangat terbatas.
Karena itu, sesuai dengan keinginan Allah Swt, ia menciptakan makhluk
perantara sekaligus pengantar manusia untuk mempermudah berhubungan
dengan Allah Swt dan mengenalnya dengan baik. Firman Allah dalam hadits
Qudsi menceritakan pesisa-Nya di kalangan hambanya sebagai berikut :
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً فَاَرَدْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَّفُوْنِ
Adalah
Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya
diketahui siapa Aku, maka Aku jadikanlah makhluk-Ku. Maka Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka (para petugas Allah).
Dalam
al Qur’an terdapat banyak keterangan mengenai orang-orang yang mendapat
petunjuk dari Allah, yaitu diberi rahmat dari Allah dan dikaruniai ilmu
ladunni, seperti : nabi Hidir guru ruhani Nabi Musa, Lukman al Hakim,
Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, pemuda-pemuda penghuni
gua atau Ashabul Kahfi dan lain-lain. Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi
merupakan contoh pemuda yang telah beriman kepada Tuhannya dan
petunjuknya senantiasa bertambah, imannya semakin kuat, kokoh, tidak
dapat ditumbangkan oleh siapa pun, termasuk oleh raja yang berkuasa
waktu itu. Ashabul Kahfi adalah sosok pemuda-pemuda yang keramat penuh
fenomena, mereka adalah bagian ayat-ayat Tuhan :
Demikian
itulah termasuk ayat-ayat Allah, siapa yang Allah menyukainya, maka ia
mendapat petunjuk, siapa yang Allah sesatkan, maka engkau (Muhammad)
tidak mendapatkan untuknya seseorang yang wali yang memintarkan
(mendidik)-Nya, tentang urusan dunia, dan urusan keakhiratan. (QS. al Kahfi : 17)
Lalu
masalahnya, siapakah mursyid yang wali ini dan di mana tempatnya, apa
ciri-ciri atau tanda-tandanya?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang sulit
dicari jawaban-jawabannya, kecuali dari orang yang telah dikehendaki
Allah mendapat petunjuk. Ciri-cirinya antara lain yang disabdakan
Rasulullah, dalam Hadits Qudsi : Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ::
Barang
siapa memusuhi seorang Wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya.
Dan apabila Hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan
yang lebih Aku cintai dari hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah
kuwajibkan atasnya, kemudian ia terus menerus mendekatkan dirinya
kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik-baik), hingga Aku
mencintainya. Maka apabila ia telah Kucintai, adalah Aku pendengarnya
bila ia mendengar, dan Akulah penglihatannya bila melihat, dan Akulah
tangannya bila ia mengambil (melakukan sesuatu), dan Akulah kakinya bila
ia berjalan. Demi jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan
permohonannya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku
lindungi dia. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah ra.)
Saidi
Syekh Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur Al- Khalidi berfatwa :
“Mursyid itu bila dicari (melalui pertanyaan-pertanyaan) maka takkan
ketemu. Tetapi apabila amal perbuatannya diikuti, maka pasti ia
dijumpai.” Dalam hal ini seorang wali yang mursyid itu dapat diketahui
dengan meriset amalan-amalannya secara tekun dan gigih (mujahadah), baik
amalan lahiriyah maupun batiniah dalam tempo yang relatif lama dan
benar, maka pasti Allah akan menunjukkan ke jalan-Nya yang lurus. Tetapi
apabila tidak diriset, maka seseorang tidak dapat menyimpulkan bahwa
seseorang itu adalah wali yang mursyid. Demikian juga apabila seseorang
merisetnya dengan cara yang tidak benar, maka ia tidak akan menemukan
kesimpulan apapun.
2. Pengertian Mursyid
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid
yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama.
Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang
ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan
manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari
jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah
mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.
Menurut
Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan
membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah
(Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah
Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt,
Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda:
“Dahulu
kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi
meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya
tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang
menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai
pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau
perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat
pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian
mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala
menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagian
Ulama mengatakan bahwa jumlah para rasul adalah sama dengan bilangan
sahabat yang ikut dalam perang badar 313 orang, namun yang wajib
diketahui kemudian yang tercantum dalam al Qur’an adalah 25 orang yaitu :
Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishak, Ya’kub,
Yusuf, Ayub, Syuaib, Harun, Musa, Yasa’, Dzulkifli, Daud, Sulaiman,
Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad Saw.
Petugas-petugas
Allah dalam membimbing umat setelah Rasulullah adalah para khalifah
atau yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin al Muhdiyyin, yang jumlahnya
juga tidak diketahui dengan pasti. Karena mereka adalah
pemimpin-pemimpin umat yang dimulai dari Abu Bakar sampai turunnya Nabi
Isa yang menandai dunia telah berakhir.
Bekal
dan amanah yang dititipkan pada mereka untuk umat para rasul, para nabi
dan para khalifah Allah adalah kalimat Tauhid yaitu Lailaha illa Allah
yang artinya tiada tuhan selain Allah, firman Allah:
Dan
tidak kami utus sebelum kamu seorang rasul melainkan kami wahyukan
kepadanya : “Bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang sebenarnya)
melainkan Aku : oleh yang demikian, berbaktilah kepada-Ku” (QS. al Anbiya’:25)
Inilah
kiranya ketika para sahabat bertanya mengenai akhlak dan budi pekerti
Rasulullah : Wahai Siti Aisyah tolong gambarkan, apa budi pekerti
Rasulullah? maka Siti Aisyah menjawab ”Budi pekerti Rasulullah adalah al
Qur’an.” (kaana khuluquhuu al Qur’aanu) Memang Rasulullah Saw pernah
bersabda:
تَخَلَّقُوْا بِاَخْلاَقِ اللهِ تَعَالَى
Berbudilah kamu sekalian dengan budi pekertinya Allah Ta’ala.
Dengan
demikian, secara lahiriah bahwa para rasul dan para khalifah itu yakin
secara jasmani mereka adalah manusia biasa, yakni mereka makan, minum,
kawin, tidur, dagang, sakit yang merupakan sifat kebolehan bagi mereka,
akan tetapi batin mereka (ruhani mereka) adalah kelompok ruh-ruh yang
disucikan oleh Allah, bapak Prof. DR. Kadirun Yahya MA menamakan dengan
‘nurun ala nurin,’ Syaikh Abdul Qadir Jailani menamakannya dengan
hakikat Muhammad (Nur Muhammad) yang pada intinya adalah Allah Swt
sendiri.
Itulah
sebabnya ketika nur Muhammad bersemayam dan dititipkan kepada nabi
Adam, maka Allah Ta’ala memerintahkan semua makhluknya untuk bersujud
kepadanya, maka spontan saja para makhluk yang terbuka hijabnya serta
merta menaati perintah itu. Sedangkan makhluk yang tertutup hijabnya,
mendewakan akal dan takabur menolak terhadap perintah itu. Dengan
pongahnya mereka mengatakan, “Kami hanya akan menyembah kepada Allah
semata, kami tidak mau menyekutukannya dengan menyembah manusia seperti
Adam, kami tak percaya bahwa Tuhan berkehendak tajalli (mendlahir) pada hambanya yang dikasihinya semacam Adam.
Pengertian
Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah
orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid
tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau
beramalan-amalan saleh.
Mursyid
adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah
Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat
derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu
syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah
serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik
oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk
mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan
murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang
demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada
Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah.
Dengan
demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk
mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari
kelalaian. Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya
menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata
:
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ
Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.
Muhammad
Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati
‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan
menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian.
Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia
melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid
yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari
murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru
yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik
secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah
serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai
hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau
izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan
pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil
diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru
ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al
Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)
Sebelum
ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah
atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani
murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh
guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya
menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya,
dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa
seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid
yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti
mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan
dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al
Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh
pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan
isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan
apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang
menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh
murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا
هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ
اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ
يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ
Ilmu
kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa
yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk
sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di
dalam perkara-perkara (thareqat) ini.
Dengan
keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong
ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya
bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan
akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi
kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya.
Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu
menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan
teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat
dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Idealnya
seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi
kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
a. Syaikh al Iradah,
yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya)
telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh
itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa
dan raganya secara total.
b. Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
c. Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
d. Syaikh al Intisab,
ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang
yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya.
Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang
setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan
tugas-tugas keduniaan.
e. Syaikh at Talqin,
adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat
dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
f. Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam
setiap beramal dan beribadah atau dalam keadaan lainnya, murid wajib
menjaga kehadiran wajah mursyidnya, dan wajah itu senantiasa dikenang di
antara kedua matanya. Adalah sangat penting menghadirkan wajah Guru
Mursyid, bahkan ia termasuk adab yang paling utama dalam beramal dan
berzikir kepada Allah. Banyak manfaat yang di dapat dari mengenang dan
menghadirkan wajah mursyid dalam segala aktivitas berdasar al Quran dan
al Hadist di antara lain :
Hamba
mendapat petunjuk dalam segala aktivitasnya dan terhindar dari segala
kesesatan seperti dalam firman Allah Swt sebagai berikut
Siapa
yang ditunjukkan Allah maka ia mendapat petunjuk, siapa yang
disesatkan-Nya maka engkau (Muhammad) tidak menjumpai seorang wali yang
mencerdikkannya. (QS. al Kahfi : 17)
a. Mursyid dapat mengantarkan murid bersambung kepada Allah Swt
كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلىَ اللهِ
Jadilah
kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah maka jadilah kalian
bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa
membawamu kepada Allah. (HR. Abu Daud)
b. Mengingat Mursyid mampu mengantarkan hamba berzikir kepada Allah. Rasulullah bersabda :
اَفْضَلُكُمُ الَّذِيْنَ اِذَا رُئُوْا ذُكِرَالله ُتَعَالَى لِرُؤْيَتِهِمْ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang ketika di ingat, maka Allah di ingat. (HR. Hakim dari Anas ra)
c. Mengingat
Mursyid dan bersama dengannya secara dlahir batin dapat mengantarkan
murid berbuat taat kepada Allah Swt. Firman Allah dalam hadits qudsi:
اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِى وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِى اَلَّذِيْنَ يُذْكَرُوْنَ بِذِكْرِى وَاُذْكَرُ فِى ذِكْرِهِمْ
Sesungguhnya
wali-wali-Ku dari kalangan hamba-hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari
kalangan makhluk-Ku yaitu orang-orang yang diingat apabila mengingat Aku
dan Aku pun sekaligus ada di sana (diingat) apabila mengingat mereka.
3. Kriteria Guru Mursyid
Adapun fungsi guru yang kita kenal adalah transfer of knowledge, dia mengajarkan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sedangkan pelajaran yang diberikan mursyid kepada muridnya merupakan transfer of spiritual yaitu Iman dan Takwa (Imtak). Walaupun fungsi mursyid
itu sama dengan fungsi guru yaitu memimpin, membimbing dan membina
murid-muridnya, tetapi bidangnya adalah ruhani yang sangat halus yang
berpusat pada lubuk hati sanubari. Jadi sifatnya tidak kelihatan, gaib atau metafisik.
Berdasarkan pengertian tentang mursyid, syarat dan dalil-dalilnya, maka tidak semua orang bisa menjadi mursyid. Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat. Oleh karenanya seorang mursyid menurut Muhammad Amin al Kurdi harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut:
a. Alim, dan ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan-tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih dan syariat serta masalah tauhid ‘aqidah’ dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
b. Arif,
dengan segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan
jiwa dan penyakitnya juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta
memperbaiki seperti semula.
c. Bersifat
belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi
muridnya. Apabila melihat ada di antara mereka yang tidak dapat dengan
segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa
menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaannya yang kurang baik, maka
dia bersikap sabar, memperbanyak maaf tidak bosan-bosan mengulang-ulang
nasihatnya serta tidak tergesa-gesa memutuskan hubungan murid yang
seperti itu dari silsilah thareqatnya. Tetapi hendaknya dia tetap
dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan
bimbingan-bimbingannya kepada para murid asuhannya.
d. Pandai
menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di
depan banyak orang. Tetapi sebaiknya tetap mengawasinya dengan pandangan
mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang
bijaksana.
e. Tidak
menyalahgunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda
mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan
apa yang ada pada mereka.
f. Tidak
sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika
yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri.
Demikian pula dalam hal melakukan ibadah yang sunnat atau menjauhi
perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala macam keadaan dan
perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh lebih dahulu, baru
kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya.
Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia
berdiam saja.
g. Tidak
terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersenda gurau dengan
para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari
semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan
bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syariat dan thareqat
dengan merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi pegangan alirannya.
Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan
dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah Swt dengan
amalan-amalan yang sah.
h. Mengusahakan
agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan,
terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak pada
batiniyah para muridnya.
i. Bijaksana,
lapang dada dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya
sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu, dan senantiasa
bermurah hati di dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
j. Apabila
dia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan
berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya, maka
hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergi ber-khalwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
k. Apabila
dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati
para muridnya, hendaknya dia segera mengambil inisiatif yang bijaksana
untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya dan sikap
hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu
keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
l. Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan-kesempatan tertentu kepada muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
m. Memberikan
perhatian yang khusus pada kebanggaan ruhani yang sewaktu-waktu dapat
timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan dan
pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru’yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal gaib) yang terbuka baginya dan musyahadah
(penyaksian hal-hal gaib) yang di dalamnya, di dalam semua itu terdapat
hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak
menanggapi hal tersebut. Sebaiknya, dia berikan kepada murid tersebut
tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika
dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat
merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid thareqat
bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan ruhani, tetapi sering terjadi
hal-hal yang tidak benar menurunkan martabatnya kembali.
n. Melarang
para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam
hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan tentang
karamah-karamah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia
membiarkan hal tersebut, lambat laun si murid bisa menjadi rusak
karenanya, sebab ia akan bermartabat takabur dan berbesar diri terhadap
yang lainnya.
o. Menyediakan tempat ber-khalwat (i’tikaf / suluk)
yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap
orang boleh masuk kecuali untuk pertemuan khusus. Begitu pun dirinya,
juga menyiapkan tempat khalwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
p. Menjaga
agar para muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidak melihat
cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain-lain sebagainya. Karena yang
demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi
penghormatan si murid kepadanya.
q. Mencegah
para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa
memperlambat tercapainya latihan-latihan ruhani yang dia berikan kepada
mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan
perutnya.
r. Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid
thareqat lain, karena yang demikian itu acap kali memberikan akibat
yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila dia melihat bahwa hal itu
tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak
akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak
apa-apa.
s. Melarang
para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat
tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal itu akan dapat membangkitkan
dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka
tengah dididik berjalan menggapai kebahagiaan akhirat yang hakiki.
t. Menggunakan kata-kata yang lemah lembut serta menawan hati dan pikiran dalam khutbah-khutbahnya. Jangan sekali-sekali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman, karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
u. Apabila
dia berada di tengah-tengah para muridnya, hendaklah dia duduk dengan
tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan, kiri, tidak mengantuk
apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah-tengah pertemuan, tidak
memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara dan tidak
melakukan hal-hal kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukannya
itu akan diikuti oleh para muridnya yang menganggapnya sebagai
contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
v. Tidak
memalingkan muka ketika ada seorang atau beberapa orang muridnya
menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu
meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi
para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan santun yang
sebaik-baiknya.
w. Suka
menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari
tahu sebabnya. Apabila murid itu ternyata sakit, dia segera berusaha
menengoknya. Dan kalau ternyata sedang ada uzur, maka dia kirimkan salam kepadanya.
x. Jika
salah seorang muridnya menemuinya, maka ia jangan sampai memasamkan
mukanya. Jika ia hendak keluar, hendaknya ia tetap mendo’akan para
murid-muridnya walau tanpa diminta. Jika ia hendak menemui salah seorang
muridnya, hendaknya ia dalam keadaan yang paling sempurna dan
penampilan yang paling baik. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.528 – 531).
Prof.
DR. H.S.S. Kadirun Yahya dalam bukunya, Ibarat Sekuntum Bunga Dari
Taman Firdaus hlm.18 berkata, “Syarat-syarat bagi seorang mursyid
amatlah berat, dan kalau saya ditanya, apakah saya telah memenuhi syarat
untuk mursyid? Maka jawabnya adalah amat berat untuk mengatakan “ya,”
atau kalau mau jawaban yang murah saja, “tidak tahu” Karena sebenarnya
bukan saya sendiri yang harus menilai kualitas saya – begitulah beratnya
kriteria mursyid – namun saya melaksanakan tugas dengan sepenuh tenaga,
sepenuh jiwa dengan hati yang sebulat-bulatnya. Siap melaksanakan suruh
dari pada guru saya yang juga merupakan suruh dari Allah dan Rasul,
yaitu menegakkan dzikrullah dalam diri pribadi saya dan dalam pribadi
umat. Jadi beliau-beliau yang diataslah yang menilai akan kualitas diri
saya.”
Selanjutnya
menurut beliau, kriteria guru mursyid dapat dilukiskan atau digambarkan
secara riil ke dalam tujuh butir antara lain sebagai berikut :
a. Pilih guru kamu yang mursyid, (dicerdikkan oleh Allah), bukan oleh yang lain-lain dengaan mendapat izin Allah dan ridla-Nya.
b. Ia adalah kamil lagi mukamil (sempurna lagi menyempurnakan) karena karunia Allah.
c. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau berdo’a, maka berbekas pada murid, si murid berubah ke arah kebaikan).
d. Masyhur ke sana ke mari. Kawan dan lawan mengatakan “Ia seorang guru besar.”
e. Tidak
dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yakni tidak
dicela oleh al Qur’an dan al Hadits serta ilmu pengetahuan.
f. Yang tidak kuat mengerjakan yang harus, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.g.
g. Tidak
setengah kasih kepada dunia, karena bulat hatinya. Ia kasih akan Allah,
ia bergelora dalam dunia, bekerja keras untuk mengabdi kepada Allah Swt
bukan untuk mencintai dunia.
4. Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Bermursyid.
Abdul
Qadir Isa dalam bukunya Hakaikut Tasawuf hlm. 36 menyebutkan,
ulama-ulama tasawuf yang memandang pentingnya berguru di hadapan mursyid
yang wali antara lain :
a. Abu Hamid al Ghazali
Abu
Hamid al Ghazali berkata, “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu
‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali
para nabi.” Selanjutnya ia menuturkan pengalamannya, sebab-sebab ia
berguru:
“Pada
awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang
saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu
terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an
Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya
aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah di
dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah
segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan
sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang
menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi
kemuliaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali jika Engkau membuatku
dapat merasakan sejuknya berbaik sangka terhadap mereka.” Allah
berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan
antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka
keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum
engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan
kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan
penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syaikh-ku, Yusuf an Nasaj, dan
menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai
Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di
fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata
hatiku akan semakin tajam.”
Abu Hamid al Ghazali juga berkata, “Di antara hal yang wajib bagi para salik
yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang
mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam
perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan
menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan
pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti
petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau
tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan
membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh
dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman
lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan
perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus
mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat
manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum
Rasulullah Saw wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai
wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah
seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”
Di
antara yang pernah dikatakan oleh al Ghazali adalah, “Murid membutuhkan
seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia
menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan
jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika
seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti
Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di
jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan
membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri.
Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat
bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi
pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang
teguh kepadanya.”
Di
samping itu, Abu Hamid al Ghazali juga pernah menyatakan, “Apabila
Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan
memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya.
Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala
penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia
dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui
penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat
melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran
di matanya sendiri. Barang siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit
dirinya, maka dia harus menempuh empat cara. Pertama, dia harus
duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui
penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia
harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu
dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap
mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian,
mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang
penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.”
b. Abdul Qadir al Jazairi
Dalam al Muwaqif,
Abdul Qadir al Jazairi mengatakan bahwa Allah mengisahkan ucapan Musa
as. kepada Khidir as, “Bolehkah aku mengikutimu, supaya engkau
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66)
Ketahuilah
bahwa seorang murid tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu dan
kondisi spiritual Syaikhnya, kecuali jika dia tunduk secara sempurna
kepadanya, melakukan apa saja yang diperintahkannya dan menjauhi apa-apa
yang dilarangnya. Di samping itu, dia juga harus meyakini kemuliaan dan
kesempurnaan yang dimiliki oleh Syaikhnya. Dia membutuhkan kedua hal
itu. Sebagian orang meyakini kesempurnaan Syaikhnya, lalu menyangka
bahwa itu sudah cukup untuk meraih apa yang dituju dan dicarinya,
sehingga dia tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Syaikhnya dan
tidak menjauhi apa yang dilarangnya.
Lihatlah
Musa as. yang dengan kedudukannya yang mulia masih memohon untuk
bertemu dengan Khidir as. dan menanyakan kepada beliau tentang jalan
untuk bertemu dengan Tuhannya. Musa telah menanggung kesusahan dan
keletihan dalam perjalanan, sebagaimana terekam dalam firman Allah,
“Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (QS.
al Kahfi : 62) Namun demikian, ketika Musa tidak mematuhi satu larangan
saja, “Janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku
sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al Kahfi : 70) Musa tidak dapat
mengambil manfaat sedikit pun dari ilmu-ilmu Khidir. Padahal Musa merasa
yakin bahwa Khidir lebih mengetahui tentang Allah dari padanya. Hal ini
terekam dalam firman Allah saat Musa berkata, “Aku tidak mengetahui ada
seseorang yang lebih berilmu dariku.” Allah berfirman, “Ada, yakni
hambaku, Khidir.” Di sini Musa tidak mengkhususkan sebagian ilmu atas
sebagian yang lain, tapi menyebutnya secara umum.
Pada
awalnya, Musa tidak mengetahui bahwa potensinya tidak cukup untuk
menerima sesuatu dari ilmu-ilmu Khidir. Sementara Khidir sudah
mengetahui itu sejak awal perjumpaan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya
engkau tidak akan sabar bersama denganku” (QS. al Kahfi : 67). Ini
merupakan salah satu bukti pengetahuan Khidir.
Setiap
orang yang berakal hendaknya memperhatikan akhlak kedua orang yang
mulia ini. Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Artinya : Apakah engkau
mengizinkanku mengikutimu, agar aku dapat belajar kepadamu? Di dalam
kalimat yang diungkapkan Musa ini terdapat kemanisan akhlak yang dapat
dirasakan oleh setiap orang yang memiliki perasaan yang sehat.
Kemudian
Khidir menjawab, “Jika engkau mengikutiku, maka jangan bertanya
kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” (QS.
al Kahfi:70). Khidir tidak menjawab dengan, “Jangan bertanya kepadaku”,
lalu diam, hingga Musa menjadi bingung. Tapi dia berjanji akan
menerangkan kepada Musa tentang ilmu atau hikmah dari apa yang
dilakukannya. Dengan demikian, kesempurnaan Syaikh dalam ilmu yang
dicari dan dituju tidak akan berguna apabila murid tidak menaati
perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
Yang
dapat diambil dari kesempurnaan Syaikh hanyalah petunjuknya yang dapat
mengantarkan kepada apa yang dituju. Selebihnya Syaikh tidak dapat
memberikan kepada muridnya kecuali apa yang diberikan oleh potensinya.
Dan potensi seorang murid terletak pada diri dan perbuatannya. Ibarat
seorang dokter ahli yang mendatangi seorang pasien dan menyuruhnya untuk
meminum obat tertentu, tapi si pasien tidak meminumnya. Apakah si
pasien dapat memanfaatkan sesuatu dari kepintaran dokter? Ketidakpatuhan
pasien adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki kesembuhannya dari
penyakit yang dideritanya. Sebab, apabila Allah menghendaki suatu
perkara, maka Dia akan menyediakan sebab-sebabnya. Hanya saja, seorang
murid diharuskan untuk mencari seorang Syaikh yang paling sempurna dan
mulia. Sebab, dikhawatirkan dia akan dituntun oleh seorang yang tidak
mengetahui jalan untuk sampai kepada maksud yang dituju, sehingga hal
itu menjadi penyebab terjerumusnya dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
c. Ibnu Athaillah as Sakandari
Ibnu
Athaillah as Sakandari berkata, “Seseorang yang bertekad untuk meraih
petunjuk dan meniti jalan kebenaran hendaklah mencari seorang Syaikh
dari ahli thareqat, yang meninggalkan hawa nafsunya dan teguh mengabdi
kepada Tuhannya. Apabila dia menemukan seorang Syaikh yang seperti itu,
maka hendaklah dia menaati apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa
saja yang dilarangnya.”
Ibnu
Athaillah juga berkata, “Syaikhmu bukanlah orang yang kau perhatikan
perkataannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang dari engkau mengambil
sesuatu yang positif. Syaikhmu bukanlah orang yang ungkapan-ungkapannya
menebakmu, tapi Syaikhmu adalah orang yang petunjuk-petunjuknya mengalir
dalam dirimu. Syaikhmu bukanlah orang yang mengajakmu menuju pintu,
tapi Syaikhmu adalah orang yang menghilangkan tabir antara dirimu dan
dirinya. Syaikhmu bukanlah orang yang menuntunnya dengan ucapannya, tapi
Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya.
Syaikhmu adalah orang yang mengeluarkan dari penjara hawa nafsu dan
memasukkanmu ke hadapan Tuhan Yang Maha Mulia. Syaikhmu adalah orang
yang senantiasa membersihkan cermin hatimu, sehingga tampak jelas
padanya cahaya-cahaya Tuhanmu. Syaikhmu adalah orang yang
membangkitkanmu untuk menuju Allah, lalu engkau bangkit menuju-Nya. Dan
dia terus mendampingimu hingga engkau berada di hadapan-Nya. Lalu dia
menuntunmu menuju cahaya ilahiyah sambil berkata kepadamu, “Inilah
engkau dan Tuhanmu.”
Ibnu
Athaillah juga berkata, “Jangan engkau bergaul dengan Syaikh yang tidak
dapat membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya dan tidak dapat
menunjukkanmu menuju Allah dengan ucapan-ucapannya.”
d. Abdul Qadir al Jailani
Dalam Futuh al Ghaib, Abdul Qadir al Jailani menulis bait syair berikut,
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syaikh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkanlah apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat kecukupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum (sufi)
e. Abdul Wahab Asy Sya’rani
Asy
Sya’rani berkata, “Kami pernah di baiat atas nama Rasulullah Saw agar
kami melaksanakan shalat dua rakaat setiap kali selesai wudhu’, dengan
syarat kami tidak boleh berbicara di dalam hati kami tentang sesuatu
dari urusan dunia atau sesuatu yang tidak disyari’atkan di dalam shalat.
Setiap orang yang hendak melakukan amal ini membutuhkan seorang Syaikh
yang berjalan bersamanya, sehingga dia dapat melenyapkan segala
keinginan yang membuatnya lupa akan perintah Allah.”
Lalu
dia berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan
seorang Syaikh yang selalu memberimu nasihat dan dapat membuatmu sibuk
dengan Allah. sehingga dia dapat menghilangkan pembicaraan hatimu di
kala engkau shalat, seperti ucapanmu, “Aku akan pergi ke sana”, “Aku
akan melakukan ini dan itu”, “Aku akan mengatakan ini kepada fulan” dan
sebagainya. Jika tidak, maka engkau akan selalu berbicara di dalam hati
di setiap shalatmu. Dan tidak satu pun shalatmu yang dapat engkau
bebaskan dari pembicaraan tersebut, baik shalat wajib maupun sunah.
Ketahuilah hal itu! Engkau tidak akan dapat mencapai semua itu tanpa
bimbingan seorang Syaikh. Ibarat orang-orang yang mendebat tanpa ilmu.
Sikap seperti ini tidak baik bagimu.”
Asy
Sya’rani juga berkata, “Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan
pemahaman tanpa bimbingan seorang Syaikh, niscaya orang seperti al
Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada
seorang Syaikh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah
mengatakan, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh
ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah membuat kebohongan
kepada Allah.” akan tetapi, setelah memasuki dunia tasawuf keduanya
berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan
dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).” Akhirnya, keduanya
mengakui jalan tasawuf dan bahkan memujinya.”
Asy
Sya’rani melanjutkan, “Cukuplah kemuliaan bagi ahli thareqat perkataan
Musa kepada Khidir, ” Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa
Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn
Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya. al Ghazali juga
mencari seorang Syaikh yang dapat menunjukkannya ke jalan tasawuf,
padahal dia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syaikh Izzuddin ibn
Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah
aku bergabung dengan Syaikh Abu Hasan asy Syadzili.” Apabila kedua
ulama besar ini, yakni al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam,
membutuhkan seorang Syaikh, padahal keduanya adalah orang yang memiliki
pengetahuan luas tentang ilmu syari’at, maka orang selain mereka berdua
lebih membutuhkannya lagi.”
f. Abu Ali ats Tsaqafi
Abu
Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis
ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak akan sampai ke
tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual
bersama seorang Syaikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat
memberinya nasihat-nasihat. Dan barang siapa tidak mengambil akhlaknya
dari seorang Syaikh yang memerintah dan melarangnya, serta
memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam
jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah.”
g. Abu Madyan
Abu
Madyan berkata, “Barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari para
Syaikh yang berakhlak mulia, maka dia akan merusak para pengikutnya.”
h. Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tashawwuf,
Syaikh Ahmad Zaruq berkata, “Mengambil ilmu dan amalan dari para Syaikh
adalah lebih baik dibanding mengambilnya dari selain mereka.”
Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang-orang yang diberi ilmu. (QS. al Ankabut : 49). Dan ikutilah jalan
orang yang telah kembali kepada-Ku. (QS. Lukman : 15)
Dengan
demikian, mengangkat seorang Syaikh adalah suatu keharusan. Para
sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah.
Rasulullah mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in
mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap
sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab
dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus,
Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abbas. Demikian seterusnya.
Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan
dalam riwayat-riwayat mereka. Sedangkan pemanfaatan himmah
(kemauan) dan kondisi spiritual ditunjukkan oleh Anas, “Belum lagi kami
menghilangkan debu dari tangan kami setelah mengubur Rasulullah, tapi
telah kami mencela hati kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Anas
menjelaskan bahwa melihat pribadi Rasul yang mulia adalah bermanfaat
bagi hati para sahabat. Oleh sebab itu, Beliau memerintahkan untuk
bergaul dengan orang-orang saleh dan melarang bergaul dengan orang-orang
fasik.
i. Ali al Khawas
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal
tanpa penunjuk jalan, sehingga engkau terjerumus ke dalam jurang-jurangnya
Penunjuk jalan dan mursyid akan dapat mengantarkan seorang salik
sampai ke pantai yang aman dan menjauhkannya dari gangguan-gangguan
selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan dan mursyid sebelumnya telah
melewati jalan itu di bawah bimbingan seseorang yang telah mengetahui
seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan
tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai
di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberinya izin untuk
membimbing orang lain. Ibnu al Banna menjelaskan ini di dalam syairnya,
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
untuk mengabarkan apa yang telah didapat
j. Syaikh Muhammad al Hasyimi
Syaikh
Muhammad al Hasyimi berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di
bawah bimbingan seorang Syaikh yang bermakrifat kepada Allah, tulus,
selalu memberimu nasihat serta memiliki ilmu yang benar, niat yang luhur
dan kondisi spiritual yang diridlai. Sebelumnya Syaikh itu telah
menempuh thareqat di bawah bimbingan para mursyid, mengambil akhlaknya
dari akhlak mereka dan mengetahui seluk beluk jalan menuju Allah. Jika
demikian, maka dia akan dapat menyelamatkanmu dari jalan-jalan yang
membinasakan, mengarahkanmu untuk bergabung dengan Allah dan mengajarimu
untuk menjauh dari selain Allah. Dia akan berjalan bersamamu, hingga
engkau sampai kepada Allah. Dia akan membebaskanmu dari
penyakit-penyakit jiwamu dan memperkenalkanmu dengan kebaikan Allah
kepadamu. Apabila engkau telah mengenal-Nya, maka engkau akan
mencintainya. Apabila engkau telah mencintainya, maka engkau akan
bermujahadah di jalan-Nya. Apabila engkau telah bermujahadah di
jalan-Nya, maka dia akan menunjukkanmu kepada jalan-Nya dan memilihmu
untuk berada di dekat-Nya.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. al Ankabut : 69). Oleh karena itu, hukum bergaul dengan Syaikh
(mursyid) dan mengikutinya adalah wajib. Dasarnya adalah firman Allah, “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman : 15) Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. at Taubah : 119)
Selain
itu, di antara syarat seorang mursyid adalah bahwa dia telah mendapat
izin untuk mendidik manusia dari seorang mursyid kamil yang memiliki
mata hati yang cemerlang. Jangan sampai engkau mengatakan, “Di mana aku dapat menemui mursyid yang memiliki ciri-ciri seperti itu?” Aku akan mengatakan kepadamu seperti yang dikatakan oleh Abu Athaillah as Sakandari dalam Latha’if al Minan,
“Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan
Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam
mencari mereka.”
Oleh
sebab itu, bersungguh-sungguhlah dengan tulus, niscaya engkau akan
menemukan seorang mursyid yang memiliki ciri-ciri demikian. Seorang
penyair sufi mengatakan,
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya
Dalam Latha’if al Minan,
Ibnu Athaillah juga berkata, “Hendaklah engkau mengikuti seorang wali
yang Allah telah menunjukkannya kepadamu dan memperlihatkan kepadamu
sebagian dari kekhususan dirinya. Engkau memandang bahwa kemanusiaannya
lenyap dalam kekhususan dirinya. Sehingga engkau tunduk untuk
mengikutinya, dan dia berjalan bersamamu di jalan kebenaran.”
Dalam al Hikam,
Ibnu Athaillah berkata, “Maha Suci Allah yang tidak memberikan petunjuk
menuju para wali-Nya kecuali dengan petunjuk menuju dirinya, dan tidak
menyampaikan seseorang kepada mereka kecuali yang dikehendaki-Nya untuk
sampai kepadanya.” (Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm.36-48)