Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Selasa, 11 Oktober 2016
** NUR (CAHAYA) **
NUR ILAHI
Allah s.w.t hanya bisa dikenal jika DIA sendiri mau DIA dikenali
Jika Dia mau memperkenalkan Diri-Nya kepada seseorang, maka hati orang tersebut akan dipersiapkan dengan meng-karunia-kannya warid.
Hati orang tersebut akan diterangi dengan Nur-Nya
Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya,
Karena Nur-Nya adalah kendaraan bagi hati untuk sampai ke Hadirat-Nya.
HATI adalah umpama BADAN
ROH adalah NYAWA.
Roh berkaitan dengan Allah s.w.t dan kaitan itu dinamakan As-Sir (Rahasia).
ROH menjadi nyawa kepada HATI
SIR menjadi nyawa kepada ROH
KARENA :
Hakekat HATI adalah ROH
Hakekat ROH adalah SIR
Sir atau Rahasia yang sampai kepada Allah s.w.t.
Sir-lah yang masuk ke Hadirat-Nya.
Sir-lah yang mengenal Allah s.w.t.
Sir adalah Hakekat dari sekalian yang maujud.
Nur Ilahi menerangi Hati, Roh dan Sir.
Nur Ilahi membuka bidang Hakekat-Hakekat.
Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap Rahasia Hakekat-Hakekat
Nur Ilahi yang berperan menyingkap Tabir Hakekat itu.
Orang yang mengambil hakekat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain bukanlah Hakekat sebenar-nya yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan, dugaan atau khayalan semata.
Jika mau mencapai Hakekat perlu-lah mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid akan di-datangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu.
Itulah ke-jaya-an yang besar yang bisa dicapai oleh seorang manusia semasa hidupnya di dunia ini.
Alam ini pada hakekatnya adalah gelap
Alam menjadi terang karena ada kenyataan Allah s.w.t.
Andaikan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita.
Apa yang terlihat hanyalah kegelapan.
Ketika siang tiba, matahari memancarkan sinarnya, terlihatlah tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menghuni bukit itu.
Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata karena diterangi oleh cahaya matahari.
Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap yang membungkusnya.
Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan samar.
Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan lagi.
Hanya cahaya-lah yang dapat menzahirkan kewujudan, karena cahaya dapat menghalau kegelapan.
Jika cahaya matahari dapat menghalau kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutup hakekat-hakekat yang gaib.
Mata di kepala melihat benda-benda alam,
Mata hati melihat pada hakekat-hakekat.
Banyak-nya benda alam yang di-lihat oleh mata karena banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis saja dan datangnya dari matahari yang satu jua.
Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakekat karena banyaknya cermin hakekat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari Nur yang satu yang bersumber dari Zat Yang Maha Esa.
Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah dari kebenaran.
Hatilah yang tertutup sedangkan KEBENARAN TIDAK PERNAH TERTUTUP.
Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran
tetapi untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan ke cahaya yang terang benderang untuk melihat kebenaran yang memang selalu tersedia ada, bukan mencari kebenaran baru.
Cahaya-lah yang menerangi dan membuka penutup hati.
Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli.
Apabila Nur Ilahi sudah membuka penutup hati dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan KEASLIAN yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata.
Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya.
Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu LADUNI atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t secara langsung.
Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur Ilahi.
Murid yang masih pada peringkat permulaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang.
Oleh karena itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat yang halus-halus.
Pada tahap ini hati kadang mengalami kekeliruan.
Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan membelakangi yang lebih benar.
Orang-orang pada peringkat ini perlu mendapatkan penjelasan dari ahli-ahli makrifat yang lebih arif.
Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas.
Lalu hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehingga dia menemui KEBENARAN YANG HAKIKI.
KISAH WALI YANG TERSEMBUNYI
Inilah Kisah Seorang Wali Yang Tersembunyi, tersembunyi karena masyarakat tidak mengetahui bahwa beliau adalah seorang Wali. Kejadian ini diambil dari Buku Harian Sultan Murad IV.
Di dalam buku hariannya itu, diceritakan bahwa suatu malam sang Sultan Murad merasa sangat gelisah dan galau, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia pun memanggil kepala pengawalnya dan mengatakan bahwa ia akan pergi keluar dari istana dengan menyamar sebagai rakyat biasa.
Wafatnya Imam Syafii, Wali yang tersembunyi
Sesuatu yang memang biasa beliau lakukan. Sultan murad berkata: “Mari kita keluar, kita blusukan melihat keadaan rakyatku”. Mereka pun pergi, udara saat itu sangat panas. Tiba-tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Maka disentuhlah lelaki itu dan dibangunkan oleh Sultan Murad, ternyata lelaki itu telah wafat. Orang-orang yang lewat di sekitarnya tidak ada yang peduli dengan keadaan mayat lelaki tersebut. Maka Sultan Murad yang saat itu menyamar sebagai rakyat biasa, memanggil mereka yang saat itu lewat.
Kemudian mereka bertanya kepada Sultan: “Ada apa? Apa yang kau inginkan?”. Sultan menjawab: “Mengapa orang ini wafat tapi tidak ada satu pun di antara kalian yang ngurus dan membawa ke rumahnya? Siapa dia? Dan di mana keluarganya?” Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, pelaku maksiat, dia selalu minum khamar (mabuk mabukan) dan selalu berzina dengan pelacur”.
Sultan menjawab: “Tapi . . bukankah ia juga Umat Rasulullah Muhammad SAW? Ayo angkat dia, kita bawa ke rumahnya”. Maka Mereka mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, saat istri lelaki tersebut mengetahui suaminya telah wafat, ia pun sedih dan menangis.
Tapi orang-orang langsung pergi semua, hanya Sang Sultan dan kepala pengawalnya yang masih tinggal dirumah lelaki itu. Kemudian Sang Sultan bertanya kepada istri laki-laki itu: “Aku mendengar dari orang-orang disini, mereka berkata bahwa suamimu itu dikenal suka melakukan kemaksiatan ini dan itu, hingga mereka tidak peduli akan kematiannya, benarkah kabar itu”.?
Maka Sang istri menjawab: “Awalnya aku menduga seperti itu tuan. Suamiku setiap malam keluar rumah pergi ke toko minuman keras (khamar), kemudian membeli sesuai kemampuannya. Ia bawa khamar itu ke rumah, kemudian membuangnya ke dalam toilet, sambil berkata: “Alhamdulillah Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.
Suamiku juga selalu pergi ke tempat pelacuran, memberi mereka uang dan berkata kepada si pelacur: “Malam ini merupakan jatah waktuku, jadi tutup pintumu sampai pagi, jangan kau terima tamu lain!”. Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku: “Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa pemuda-pemuda Islam”.
Tapi, orang-orang yang melihatnya mengira bahwa ia selalu minum minuman keras (khamar) dan melakukan perzinahan. Dan berita ini pun menyebar di masyarakat. Sampai akhirnya suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku: “Kalau nanti kamu mati, maka tidak akan ada kaum muslimin yang akan memandikan jenazahmu, dan tidak ada yang akan mensholatimu, tidak ada pula yang akan menguburkanmu”.
Ia hanya tertawa, dan menjawab: “Janganlah takut wahai istriku, jika aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, oleh para Ulama dan para Auliya Allah”. Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar apa yang dikatakannya, Demi Allah, akulah Sultan Murad itu, dan besok pagi kita akan memandikan suamimu, mensholatinya dan menguburkannya bersama sama masyarakat dan Para Ulama”.
Hikmah Wali Yang Tersembunyi
Akhirnya jenazah laki-laki itu besoknya dihadiri oleh Sultan Murad, dan Para Ulama, Para Syeikh dan juga seluruh warga masyarakat….!! “Subhanallah” Terkadang kita suka menilai orang dari apa yang kita lihat dan kita dengar dari omongan orang orang. Andai saja kita mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, niscaya pasti kita akan menjaga lisan kita dari membicarakan orang lain…
******* Sumber. buku harian Sultan Murad IV (Sultan Turki Utsmani, memerintah Sep 1623 – Feb 1640) yang berbahasa arab. Ibnu Marawis
Hikmah apa yang dapat kita ambil dari kisah ini? Seorang Wali yang tersembunyi, beliau melaksanakan tugasnya sebagai wali Allah, meski orang awam menilainya sangat hina. Allah tetap menjaganya menjadi wali yang tersembunyi sampai saatnya tiba.
MELIHAT ALLAH
Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa Arab, dan Al-Qur'an. Melihat berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada tiga. Mata kepala, mata analisa fikiran, mata hati.
Dalam konteks hubungan dengan "Melihat Allah" dan "Seakan-akan melihat Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu." (al-A'raf 143).
Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)
Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku bebas dari kemusyrikan kamu padaKu, melalui selain Dia."
Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115)
"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (Al-An'aam 79)
Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat Allah, lalu Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu.". Dengan kata lain "Kamumu" atau "Akumu" tidak bisa melihatKu. Karena itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa hanya dengan Mata Ilahi saja kita bisa MelihatNya.
Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah dan 'inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak:
"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."
Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab, yang menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.
Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "Seakan-akan" lebih dekat sebagai bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.Tetapi ketika Rasulullah bersabda, "Jika kamu tidak melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasul SAW tidak menyabdakan, "Seakan-akan melihatmu.".
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.
Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.
Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."
Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat
ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.
Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."
Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:
1) Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.
2) Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
3) Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah
swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."
4) Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yang
disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."
5) Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
6) Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Wallahu A'lam.
Maka Hadrat Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana mereka tenteram dan tinggal. Renungkan semua ini dengan hati yang suci.
Langganan:
Postingan (Atom)