Seperti yang saya kemukakan pada tulisan yang lalu banyak pendapat atau kesan yang kurang tepat atau keliru tentang bagaimana seharusnya kehidupan para sufi. Salah satu pandangan negatif orang terhadap kaum sufi adalah tentang Zuhud yang merupakan salah satu maqam yang harus dilewati oleh para sufi. Tentang zuhud sekilas telah pernah saya bahas dalam tulisan Zuhud Yang Sebenarnya dan disini saya ingin menulis dua pendapat yang berbeda tentang zuhud.
Pendapat pertama, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharapkan dan menginginkan suatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirati. Pengertian pertama ini akhirnya berkembang ekstrim sehingga zuhud berarti benci dan meninggalkan sama sekali sesuatu yang bersifat duniawiyah.
Pendapat kedua, zuhud tidak berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Tapi zuhud sebenarnya adalah kondsi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam pengabdian diri kepada Allah SWT.
Saya pribadi lebih condong kepada pengertian kedua dengan alasan selain Al Qur’an dan Hadist yang tidak menyuruh kita kearah pengertian zuhud yang ekstrim pertama, juga kehidupan para sahabat zaman Rasulullah dan kehidupan sahabat semasa Khulafaur Rasyidin. Sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti Abu Bakar AsShiddiq, Usman bin Affan dan Abdul Rahman bin ‘Auf adalah orang-orang yang kaya. Walaupun mereka kaya, mereka tetap hidup sebagai orang zuhud, yaitu hidup sederhana, dimana kekayaan mereka tidak akan mengurangi apalagi memalingkan pengabdian diri mereka kepada Allah SWT.
Pengertian zuhud yang kedua ini sesuai dengan firman Allah SWT :
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri“. (Q.S. Al Hadid : 23).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampong akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.” (Q.S. Al Qashash : 57).
Pengertian kedua ayat ini adalah bahwa kita manusia tidak dapat memisahkan diri sama sekali dari harta dan segala bentuk kesenangan duniawi yang di ridhai Allah, sebab kita masih hidup di alam dunia. Pengertian lain adalah bahwa harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi harta benda tersebut tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak seseorang, sehingga menghalangi yang bersangkutan untuk menghampirkan dirinya kepada Allah SWT, atau dengan kata lain, sikap seorang sufi tidak boleh diperbudak oleh harta duniawi, tetapi hata duniawi itu dijadikan persembahan, pengabdian ubudiyah lebih banyak lagi kepada Allah SWT.
Yang menjadi pertanyaan, “Apa sebab terjadinya sikap zuhud ini, dan kenapa muncul anggapan bahwa sufi identik dengan sikap zuhud?”. Harus di akui bahwa Kajian dan gerakan zuhud ini memang muncul pertama kali di kalangan pengamal tasawuf pada akhir abad pertama hijriah. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta pembesar Negara yang merupakan dampak dri kekayaan yang diperoleh kaum muslim dalam pembebasan, penaklukan negeri-negeri Suriah, Mesir, Mesopotamia (Irak) dan Persia.
Semasa Dinasti Umayah pola hidup sederhana berubah menjadi pola hidup mewah dikalangan para Khalifah dan pembesar-pembesar Negara dan timbulnya jurang pemisah antara rakyat dan penguasa. Pola hidup mewah dan kondisi mental yang demikian tidak sesuai dengan ajaran dan amal agama seperti yang dicontohkan olh Rasulullah dan para sahabat. Disinilah awal timbulnya gerakan Zuhud sebagai wujud untuk menentang sikap dari Para penguasa yang hidup dalam kemewahan.
Tasawuf sebagai ajaran Islam harus sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist sebagai rujukan semua orang Islam dan kajian-kajian tasawuf yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist harus dipertanyakan kebenarannya walaupun meninjau Al Qur’an tidak selalu harus dari segi tekstual semata.
Islam menganjurkan pemeluknya untuk sunguh-sungguh mencari rizki dan tentang keutamaan mencari rizki anda bisa membuka Al Qur’an Surat : Al Jumu’ah ayat 10, Al Muzammil ayat 20 dan surat Al Baqarah ayat 198, dan ini menjadi petunjuk bagi kita tentang keutamaan mencari rizki agar hidup menjadi lebih baik di dunia ini.
Diriwayatkan bahwa Nabi Isa a.s melihat seorang laki-laki, maka Beliau besabda, “Apakah yang kamu kerjakan?”. Ia menjawab, “Saya beribadat”. Isa bersabda,”Siapakah yang menanggungmu?”. Ia jawab, “Saudaraku”. Isa bersabda,”Saudaramu lebih baik ibadahnya daripada kamu”.
Dalam sejarah, para sufi pada umumnya bekerja sendiri untuk mencari nafkahnya dalam berbagai bidang usaha, sehingga ada diantara mereka itu diberikan julukan-julukan sesuai bidang usahanya itu. Seperti Al Hallaaj (Pembersih kulit kapas), Al Qashar (Tukang Penatu), Al Waraak (Tukang Kertas), Al Kharraaz (Penjahit Kulit Hewan), Al Bazzaaz (Perajin Tikar Daun Kurma), Az Zujaaji (Pengrajin dari kaca) dan Al Farraa’ (Penyamak Kulit).
Tidak terkecuali juga sufi zaman sekarang, mereka tidak melupakan kewajibannya mencari nafkah diberbagai usaha menghidupi dirinya dan keluarganya. Menjadi seorang sufi tidak harus miskin dan melarat namun jika Tuhan memberikan anda cobaan dalam bentuk kemiskinan berarti Dia senang dengan kondisi tersebut dan anda harus tetap mensyukuri apapun yang diberikan oleh-Nya. Kemulyaan seseorang dimata Tuhan tidak terletak pada banyak atau sedikit harta tapi bagaimana hatinya selalu bisa mengingat Allah siang dan malam, sunyi dan ramai, susah dan senang sehingga kondisi apapun tidak mempengaruhi dirinya untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.
Gambaran Sufi yang saya kemukakan diatas mudah-mudahan bisa sedikit menghapus prasangka buruk orang-orang yang tidak paham dengan tasawuf atau orang-orang yang belum pernah belajar tasawuf namun sudah merasa menjadi sufi dengan kesusahan dan kemiskinannya. Anda menjadi miskin dan susah tidak berarti anda menjadi seorang sufi begitu juga anda menjadi kaya juga tidak berarti anda menjadi sufi Karena kesufian itu terletak di hati. Lanjutan dari tulisan ini akan kami ceritakan tentang tokoh-tokoh sufi yang kehidupannya kaya raya bahkan ada yang sangat kaya yang kekayaannya mengalahkan seorang Raja. Mudah2an tulisan ini bermanfaat hendaknya, salam.