Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani
Merunut sejarahnya,
ruqyah merupakan salah satu metode pengobatan yang cukup tua di muka
bumi ini. Dengan datangnya Islam, metode ini kemudian disesuaikan dengan
nafas dan tata cara yang sesuai syariat.
Ada akibat tentu dengan
sebab. Yang demikian merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
berlaku di jagad raya ini. Memang ini tidak mutlak terjadi pada seluruh
perkara. Namun mayoritas urusan makhluk tak lepas dari hukum sebab dan
akibat. Hukum ini merupakan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
lengkap dengan kebaikan. Makhluk mana pun tak bisa menggapai
keinginannya kecuali dengan hukum sebab dan akibat. Di alam nyata ini,
tak ada sebab yang sempurna dan bisa melahirkan akibat dengan sendirinya
kecuali kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala merupakan sebab bagi segala sebab. Kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah kekuatan yang selalu menuntut (memunculkan)
akibat. Tak satu sebab pun bisa melahirkan akibat dengan sendirinya,
melainkan harus disertai sebab yang lain yaitu kehendak Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan pada sebagian sebab,
hal-hal yang dapat menggagalkan akibatnya. Adapun kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tidak membutuhkan sebab yang lain kecuali
kehendak-Nya itu sendiri.
Tak ada sebab apapun yang dapat melawan
dan membatalkannya. Namun terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala
membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya (yang lain). Dialah
yang menghendaki sesuatu lalu menghendaki lawan yang bisa mencegah
terjadinya. Inilah sebab mengapa seorang hamba wajib memasrahkan
dirinya, takut, berharap, dan berkeinginan hanya ditujukan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala saja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengucapkan dalam doanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرَضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمَعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ
“Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu,
dengan pemeliharaan-Mu dari siksa-Mu. Dan aku berlindung dengan-Mu
dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
“Tak ada tempat selamat dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)
Di
antara sekian akibat yang membutuhkan sebab adalah kesembuhan.
Kesembuhan datang dengan sebab berobat. Namun, apakah setiap orang yang
berobat pasti sembuh? Jawabannya tentu tidak. Karena kesembuhan itu
datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dari obat atau orang
yang mengobati. Obat akan manjur dan mengantarkan kepada kesembuhan bila
Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Karena itu, seorang yang berobat
tidak boleh menyandarkan dirinya kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, bukan kepada obat dan orang yang mengobati.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di antaranya:
1. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap
penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan
penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa
Ta’ala.” (HR. Muslim)
2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:
كُنْتُ
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ
اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ
يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ
دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا
هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ
Aku pernah berada di samping Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun.
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau
menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan
meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya:
“Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad,
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya
Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)
4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan
menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa
mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa
mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau
menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan
hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul
Ma’ad, 4/12-13)
Dalam berobat, banyak cara yang bisa ditempuh
asalkan tidak melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun para
ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat dan meninggalkannya.
Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam memahami
dalil-dalil yang ada dalam permasalahan ini.
Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.Pertama,
menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan, namun yang lebih
utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam
Ahmad rahimahullahu.
Kedua, menurut sebagian ulama bahwa
berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para
ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’i rahimahullahu. Bahkan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan
pendapat ini kepada madzhab mayoritas para ulama terdahulu dan
belakangan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar. Beliau
berkata: “Menurut madzhab Abu Hanifah, berobat adalah perkara yang
sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”
Ketiga,
menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja,
tidak ada yang lebih utama. Ini merupakan madzhab Al-Imam Malik
rahimahullahu. Beliau berkata: “Berobat adalah perkara yang tidak
mengapa. Demikian pula meninggalkannya.” (Lihat Fathul Majid, hal.
88-89)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu
memiliki metode yang cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di
atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai
berikut:
- Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat
bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan, maka hukumnya
wajib.
- Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat,
namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti, maka
melakukannya lebih utama.
- Bila dengan berobat diperkirakan
kadar kemungkinan antara kesembuhan dan kebinasaannya sama, maka
meninggalkannya lebih utama agar dia tidak melemparkan dirinya dalam
kehancuran tanpa disadari. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 2/437)
Secara
garis besar, berobat merupakan perkara yang disyariatkan selama tidak
menggunakan sesuatu yang haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah
menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan
janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda`
radhiallahu ‘anhu)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari obat yang buruk (haram).”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Al-Albani
menshahihkannya dalam Shahih Ibnu Majah, 2/255) [Lihat kitab Ahkam
Ar-Ruqa wa At-Tama`im karya Dr. Fahd As-Suhaimi, hal. 21)
Di
antara cara pengobatan yang disyariatkan adalah melakukan ruqyah.
Akhir-akhir ini, pengobatan dengan ruqyah memang marak diperbincangkan
dan dipraktekkan di tengah kaum muslimin negeri ini. Padahal sebelumnya
pengobatan dengan ruqyah tidak banyak diketahui oleh mereka.
Sayangnya,
sebagian kelompok menjadikan ruqyah sebagai arena untuk mengundang
simpati publik demi kepentingan yang bernuansa politik. Mereka
beramai-ramai membuka ruqyah center di berbagai tempat guna memenuhi
kebutuhan massa yang ‘haus’ akan pengobatan ruqyah. Namun sudahkah
praktek ruqyah itu mencocoki tuntunan syariat Islam? Pertanyaan ini
harus dijawab dengan ilmu yang benar, bukan dengan semangat belaka.
Oleh
karena itu perlu pembekalan ilmu yang dapat mengenalkan kaum muslimin
kepada ruqyah syar’i yang tepat sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Sehingga mereka terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang salah kaprah
bahkan bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu,
marilah kita simak beberapa pembahasan berikut ini.
Definisi RuqyahMakna
ruqyah secara terminologi adalah al-‘udzah (sebuah perlindungan) yang
digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti panas
karena disengat binatang, kesurupan, dan yang lainnya. (Lihat An-Nihayah
fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir rahimahullahu 3/254)
Secara
terminologi, ruqyah terkadang disebut pula dengan ‘azimah. Al-Fairuz
Abadi berkata: “Yang dimaksud ‘azimah-‘azimah adalah ruqyah-ruqyah.
Sedangkan ruqyah yaitu ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacakan terhadap
orang-orang yang terkena berbagai penyakit dengan mengharap kesembuhan.”
(Lihat Al-Qamus Al-Muhith pada materi عزم)
Adapun makna ruqyah
secara etimologi syariat adalah doa dan bacaan-bacaan yang mengandung
permintaan tolong dan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk mencegah atau mengangkat bala/penyakit. Terkadang doa atau bacaan
itu disertai dengan sebuah tiupan dari mulut ke kedua telapak tangan
atau anggota tubuh orang yang meruqyah atau yang diruqyah. (Lihat
transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh yang
berjudul Ar-Ruqa wa Ahkamuha oleh Salim Al-Jaza`iri, hal. 4)
Tentunya ruqyah yang paling utama adalah doa dan bacaan yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Ibid, hal. 5)
Ruqyah di Masa JahiliyyahSetiap
manusia yang mengerti kemaslahatan tentunya selalu ingin menjaga
kesehatan tubuh dan jiwanya. Barangsiapa bisa memenuhi keinginan ini
berarti karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dirinya cukup besar.
Sehingga wajar jika pengobatan ruqyah telah dikenal secara luas di
tengah masyarakat jahiliyyah.
Ruqyah adalah salah satu cara
pengobatan yang mereka yakini dapat menyembuhkan penyakit dan menjaga
kesehatan. Kala itu, ruqyah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit,
seperti tersengat binatang berbisa, terkena sihir, kekuatan ‘ain (mata
jahat), dan lainnya.
Namun yang disayangkan, ruqyah sering menjadi
media untuk penyebarluasan berbagai kesyirikan di kalangan mereka.
Pengobatan ruqyah yang dilakukan tak luput dari pelanggaran syariat. Di
antaranya adalah pengakuan mengetahui perkara ghaib, menyekutukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, menyandarkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala, berlindung kepada jin, dan lain-lain.
Setelah Islam datang,
seluruh ruqyah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Islam mengajarkan kaum
muslimin untuk berhati-hati dalam menggunakan ruqyah. Sehingga mereka
tidak terjatuh ke dalam pengobatan ruqyah yang mengandung bid’ah atau
syirik.
‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كُنَّ
نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى
فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى
مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Dahulu kami meruqyah di masa
jahiliyyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
tentang hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah
kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung
syirik’.” (HR. Muslim no. 2200)
Kebanyakan manusia terpedaya
dengan penampilan ‘shalih’ dari orang yang meruqyah. Sehingga mereka tak
lagi memperhatikan tata cara dan isi ruqyah yang dibacakan.
Asy-Syaikh
Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh hafizhahullah (semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjaganya) berkata: “Penyebaran kesyirikan banyak
terjadi di negeri-negeri Islam melalui para tabib, orang yang mengobati
dengan ramu-ramuan dan mengobati dengan Al-Qur`an. Ibnu Bisyr
menyebutkan pada permulaan Tarikh Najd, di antara faktor penyebab
tersebarnya kesyirikan di negeri Najd adalah keberadaan para tabib dan
ahli pengobatan dari orang-orang Badwi di berbagai kampung sewaktu musim
buah. Manusia membutuhkan mereka untuk keperluan meruqyah dan
pengobatan. Maka mereka memerintahkan manusia dengan kesyirikan dan
cara-cara yang tidak disyariatkan….” (Ibid, hal. 2)
Hukum RuqyahRuqyah
telah dikenal oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Islam. Tetapi
kebanyakan ruqyah mereka mengandung kesyirikan. Padahal Islam datang
untuk mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Alasan inilah yang membuat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para shahabat
radhiallahu ‘anhum untuk melakukan ruqyah. Kemudian beliau
membolehkannya selama tidak mengandung kesyirikan. Beberapa hadits telah
menjelaskan kepada kita tentang fenomena di atas. Di antaranya:
1.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya
segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim
dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani juga
menshahihkannya. Lihat Ash-Shahihah no. 331)
2. Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:
كُنَّ
نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى
فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى
مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dahulu kami meruqyah di masa
jahiliyyah. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
tentang hal itu?” Beliau menjawab: “Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah
kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.”
(HR. Muslim no. 2200)
3. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ
آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي مِنَ
الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوْهَا
عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ
يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari segala ruqyah. Lalu keluarga ‘Amr bin Hazm datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai
untuk meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Tetapi engkau telah
melarang dari semua ruqyah.” Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada
beliau. Beliau bersabda: “Tidak mengapa, barangsiapa di antara kalian
yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya dia
lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)
4. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
كَانَ
لِيْ خَالٌ يَرْقِي عَنِ الْعَقْرَبِ، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى. قَالَ: فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى وَأَنَا أَرْقِي مِنَ
الْعَقْرَبِ, فَقَالَ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ
فَلْيَفْعَلْ
“Dahulu pamanku meruqyah karena (sengatan)
kalajengking. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari segala ruqyah. Maka pamanku mendatangi beliau, lalu
berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melarang dari segala
ruqyah, dan dahulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: ‘Barangsiapa di
antara kalian yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka hendaknya
dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)
5. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
كُنْتُ
أَرْقِي مِنْ حُمَةِ الْعَيْنِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَلَمَّا أَسْلَمْتُ
ذَكَرْتُهَا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
اعْرِضْهَا عَلَيَّ. فَعَرَضْتُهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: ارْقِ بِهَا فَلاَ
بَأْسَ بِهَا
“Di masa jahiliyyah dulu aku meruqyah karena
(sengatan) kalajengking dan ‘ain (sorotan mata yang jahat). Tatkala aku
masuk Islam, aku memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Perlihatkan ruqyah itu kepadaku!’ Lalu aku menunjukkannya kepada
beliau. Beliau pun bersabda: ‘Pakailah untuk meruqyah, karena tidak
mengapa (engkau) menggunakannya’.” (HR. At-Thabrani dan dihasankan oleh
Al-Haitsaimi dalam Majma’ Az-Zawa`id. Lihat tahqiq Al-Huwaini terhadap
kitab Al-Amradh karya Dhiya`uddin Al-Maqdisi, hal. 220)
6. Dari Syifa` bintu Abdullah radhiallahu ‘anha:
أَنَّهَا
كَانَتْ تُرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ اْلإِسْلاَمُ،
قَالَتْ: لاَ أَرْقِي حَتَّى اسْتَأْذَنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَيْتُهُ فَاسْتَأْذَنْتُهُ. فَقَالَ عَنْهَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ارْقِي مَا لَمْ يَكُنْ
فِيْهَا شِرْكٌ
“Dahulu dia meruqyah di masa jahiliyyah. Setelah
kedatangan Islam, maka dia berkata: ‘Aku tidak meruqyah hingga aku
meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu dia
pun pergi menemui dan meminta izin kepada beliau. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Silahkan engkau meruqyah selama
tidak mengandung perbuatan syirik’.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
yang lainnya. Al-Huwaini berkata: “Sanadnya muqarib.” Ibid, hal. 220)
Demikianlah
mereka melakukan ruqyah di masa jahiliyyah. Ruqyah mereka mengandung
perbuatan syirik sehingga dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian beliau membolehkannya bagi mereka selama tidak
mengandung kesyirikan. Beliau membolehkannya karena ruqyah itu
bermanfaat bagi mereka dalam banyak hal.
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullahu berkata: “Hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bahwa hukum
asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang tampak dari
ucapannya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
segala ruqyah.’ Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara
mutlak. Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah
yang syirik dan tidak dipahami. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu
berpengaruh dengan sendirinya. Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari
diri mereka yang demikian itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya
dan lebih menutup jalan (menuju syirik). Selanjutnya ketika mereka
bertanya dan mengabarkan kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat
dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau memberi keringanan sebagiannya bagi
mereka. Beliau bersabda: ‘Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian.
Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama tidak mengandung
syirik’.” (Ahkamur Ruqa wa At-Tama`im hal. 35)
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ
“Tidak
ada ruqyah kecuali karena ‘ain (sorotan mata yang jahat) atau humah
(sengatan kalajengking).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu
Majah dari shahabat ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu)
Menurut
sebagian pendapat bahwa ruqyah tidak diperbolehkan kecuali karena dua
hal yang telah disebutkan dalam hadits di atas. (Lihat Fathul Bari,
10/237, cetakan Darul Hadits)
Ini adalah pendapat yang lemah
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan
sabdanya tersebut untuk melarang ruqyah pada yang selain keduanya. Yang
beliau maksudkan bahwa ruqyah yang paling utama dan bermanfaat adalah
ruqyah yang disebabkan karena ‘ain atau humah. Hal ini terlihat dari
uraian hadits. Ketika Sahl bin Hunaif terkena ‘ain, dia bertanya:
“Adakah yang lebih baik dalam ruqyah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ
“Tidak ada ruqyah kecuali karena satu jiwa dan humah (sengatan kalajengking).”
Demikian
pula hadits-hadits yang lain, baik yang bersifat umum atau khusus,
seluruhnya mengarah kepada makna di atas. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/161,
cet. Muassasah Ar-Risalah)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu
berkata: “Para ulama berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memaksudkan untuk membatasi ruqyah hanya pada keduanya dan
melarang dari selain keduanya. Yang beliau maksudkan adalah tidak ada
ruqyah yang lebih benar dan utama daripada ruqyah karena ‘ain dan hummah
karena bahaya keduanya sangat dahsyat.” (Syarh Shahih Muslim 14/177,
cet. Al-Maktab Ats-Tsaqafi)
Syarat-syarat RuqyahAl-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:
- Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.
- Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.
- Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka
berselisih mengenai tiga hal di atas bila dijadikan sebagai syarat.
Yang kuat adalah pendapat yang mengharuskan untuk memenuhi tiga syarat
yang disebutkan.” (Fathul Bari, 10/237)
Dengan penjelasan di atas, berarti segala ruqyah yang tidak memenuhi tiga syarat itu tidak diperbolehkan.
Jika kita rinci, ada tiga jenis ruqyah yang tidak diperbolehkan:
- Ruqyah yang mengandung permohonan bantuan dan perlindungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ruqyah-ruqyah
seperti ini sering dipakai oleh para dukun, tukang sihir, dan
paranormal. Mereka memohon bantuan dan perlindungan dengan menyebut
nama-nama jin, malaikat, nabi, dan orang shalih. Terkadang mereka
melakukan kesyirikan ini dengan kedok agama. Banyak orang awam yang
terkecoh dengan penampilan sebagian mereka yang memakai atribut agama.
Padahal ruqyah yang mereka lakukan dan ajarkan berbau mistik serta sarat
dengan kesyirikan.
- Ruqyah dengan bahasa ‘ajam (non Arab) atau sesuatu yang tidak dipahami maknanya.
Mayoritas
ruqyah yang berbahasa ‘ajam mengandung penyebutan nama-nama jin,
permintaan tolong kepada mereka, dan sumpah dengan nama orang yang
mengagungkannya. Oleh karena itu, para setan segera menyambut dan
menaati orang yang membacanya. Keumuman ruqyah yang tersebar di tengah
manusia dan tidak menggunakan bahasa Arab banyak mengandung syirik.
Demikian yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa,
19/13-16)
Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami berkata: “Adapun ruqyah yang
tidak memakai lafadz-lafadz Arab, tidak diketahui maknanya, tidak
masyhur, dan tidak didapatkan dalam syariat sama sekali, maka bukanlah
perkara yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah berada
dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan hal itu merupakan bisikan
setan kepada para walinya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ
“Dan sesungguhnya para setan mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian.” (Al-An’am: 121)
Ruqyah semacam inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”
Hal
itu karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apakah ruqyahnya
menggunakan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, atau
para setan. Dia pun tidak mengetahui apakah di dalamnya terdapat
kekafiran atau keimanan, kebenaran atau kebatilan, kemanfaatan atau
marabahaya, dan apakah itu ruqyah atau sihir. Demi Allah, mayoritas
manusia benar-benar tenggelam dalam berbagai malapetaka ini. Mereka
menggunakannya dengan bentuk yang cukup banyak dan jenis yang beraneka
ragam….” (Ma’arijul Qabul, 1/406, cet. Darul Hadits)
Sebagian
kalangan membolehkan setiap ruqyah, walaupun maknanya tidak diketahui,
asalkan terbukti memberi kemanfaatan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga ‘Amr bin Hazm sewaktu
mereka bertanya tentang ruqyah:
مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Aku lihat tidak mengapa. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya hendaklah dia lakukan.”
Tetapi
pendapat mereka ini terbantah dengan hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i.
Dia meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa kalian menggunakan ruqyah-ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.
Hadits
‘Auf ini menunjukkan dilarangnya seluruh ruqyah yang mengarah kepada
kesyirikan. Setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya, tidak dirasa
aman, akan membawa kepada syirik. Sehingga setiap ruqyah yang tidak
dimengerti maknanya dilarang dalam rangka berhati-hati. (Lihat Fathul
Baari, 10/237)
- Ruqyah yang diyakini bahwa pelakunya bisa menyembuhkan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentu
yang demikian ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Karena ruqyah
merupakan sebab, berarti pelaku ruqyah adalah pelaku sebab. Peruqyah
ibarat dokter, sedangkan ruqyah ibarat obat. Obat adalah sebab dan
dokter adalah pelaku sebab. Adapun pencipta sebab adalah Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Suatu sebab akan bermanfaat jika dikehendaki oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dahulu bangsa jahiliyah meyakini bahwa ruqyah
dipastikan berpengaruh dengan sendirinya. Oleh karena itu mereka sangat
mengagungkan ruqyah dan pelakunya. Ini merupakan syirik kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba diperintahkan untuk menjalani sebab
untuk mendapatkan akibat. Namun hatinya tidak boleh bergantung kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah Pencipta segala sebab dan akibat. Di tangan-Nya seluruh kekuasaan
langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلاَ مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلاَ مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Apa
saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak
ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh
Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah
itu.” (Fathir: 2)
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)
Seorang
hamba hendaknya mengharapkan kesembuhan hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan hanya bergantung kepada-Nya tatkala melakukan ruqyah.
Sifat-sifat Peruqyah dan PasiennyaRuqyah
merupakan perkara yang disyariatkan. Tentunya seorang peruqyah perlu
memperhatikan rambu-rambu syariat dalam meruqyah. Sehingga dia tidak
ngawur dan melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaknya dia
memiliki kriteria sebagai berikut:
- Ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan perbuatannya.
Semestinya
dia bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh ibadahnya
tanpa sedikit pun berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika
meruqyah, hendaknya mengikhlaskan permintaan tolong dan perlindungannya
hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menggapai kemanfaatan dari
ruqyah yang dia lakukan.
- Memiliki ilmu syar’i tentang ruqyahnya.
Seharusnya
dia mengetahui bahwa ruqyah yang digunakannya termasuk yang
disyariatkan. Hendaknya dia mengambil ruqyahnya dari Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan doa-doa yang ma’ruf. Jika dia tidak mengetahui ruqyahnya
disyariatkan atau tidak, semestinya bertanya kepada orang yang berilmu.
Bila dia seorang yang bodoh, bukan ahlul ilmi, dan tidak mampu untuk
menelaah ruqyah yang digunakan atau ditinggalkannya, berarti ini
merupakan tanda bahwa dia tidak bisa. Dia tidak diperbolehkan bahkan
tidak pantas diberi kesempatan untuk meruqyah.
- Bertujuan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain.
Sudah
seharusnya dia bertujuan dengan ruqyahnya itu untuk memberi kemanfaatan
kepada saudaranya yang membutuhkan. Ini adalah sifat yang mulia dan
dianjurkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya maka hendaknya dia lakukan.”
Memberi
kemanfaatan kepada saudara kita yang membutuhkan atau sakit adalah
perbuatan baik, yang sangat dituntut sesama hamba Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Hamba yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
seorang yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya.
- Membuat orang yang diruqyah hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila
meruqyah, seharusnya dia tidak membuat orang yang diruqyah bergantung
kepada dirinya. Jika dia telah sering meruqyah orang lain sampai sembuh,
maka tidak perlu dia menceritakannya kepada yang akan diruqyah,
sehingga tidak menimbulkan keyakinan yang salah terhadap dirinya.
Sepantasnya dia menanamkan kepada orang yang akan diruqyah bahwa yang
mampu menyembuhkan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Adapun
ruqyah adalah sebab, demikian pula dirinya bukan pencipta akibat. Namun
sangat disayangkan, kebanyakan peruqyah membuat orang yang diruqyah
merasa yakin terhadap dirinya seolah-olah dialah yang menyembuhkan.
Dalam hal ini korban yang paling banyak adalah para wanita dan
orang-orang yang bodoh.
- Khusyu’, tunduk, dan merendahkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini
adalah kelanjutan dari pembahasan yang sebelumnya. Seharusnya dia tidak
membesar-besarkan dirinya di hadapan orang yang akan diruqyah.
Sebagaimana dia juga tidak merasa besar terhadap dirinya sendiri.
Niatnya adalah memberi kemanfaatan kepada orang lain dengan seizin Allah
Subhanahu wa Ta’ala, bukan untuk merasa besar dan membesar-besarkan
diri. Sehingga dia tidak membuat manusia bergantung kepada dirinya,
tetapi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dzikir dan
wirid-wirid yang disyariatkan di dalam As-Sunnah.
- Menghindarkan diri dari celah-celah dosa dan fitnah.
Seharusnya
dia tidak mengikuti langkah-langkah setan yang bisa menggelincirkannya
ke dalam kubangan dosa dengan alasan ruqyah. Terlebih lagi bila yang
diruqyah adalah wanita. Seringkali setan menggunakan kesempatan ini
untuk menjatuhkan peruqyah ke dalam dosa. Misalnya, setan menggodanya
untuk berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang diruqyah padahal bukan
mahramnya. Atau menggodanya untuk menyentuh bagian tubuh wanita itu
dengan tangannya, dengan alasan agar ruqyahnya lebih manjur, dsb. Oleh
karena itu, banyak dari kalangan peruqyah yang rusak agamanya setelah
terlibat dalam dunia ruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih
bin Abdul Aziz Alus-Syaikh hal. 7-8)
Insya Allah nanti
akan kita jelaskan praktek-praktek ruqyah yang menyimpang supaya kaum
muslimin tidak mudah diperdaya oleh para peruqyah gadungan yang
melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun orang yang diruqyah hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut:
- Memperbesar harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meminta pertolongan dan perlindungan.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يَرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Jika Allah menimpakan
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya
kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada
yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Yunus: 107)
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ
يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ
“Jika
Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan
kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah
yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 17-18)
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
- Meninggalkan rasa was-was.
Seharusnya
dia tidak mengikuti rasa was-was yang muncul pada dirinya, karena hal
itu berasal dari setan. Bila dia larut dalam rasa was-was itu, justru
secara tidak langsung dia telah membantu setan untuk lebih menguasai
dirinya. Karena itulah kita melihat kebanyakan orang yang tertimpa oleh
penyakit was-was gampang dimasuki oleh jin atau terkena penyakit
lainnya.
Di samping itu, orang yang dihantui perasaan was-was akan
membayangkan hal-hal yang bersifat halusinasi, sehingga dia akan semakin
lemah dan bertambah penyakitnya baik secara kualitas maupun kuantitas.
Maka wajib atas orang yang memiliki was-was untuk memperkuat tawakalnya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalani berbagai sebab yang
disyariatkan guna menyembuhkan penyakitnya. Demikian pula, hendaknya dia
melawan segala rasa was-was itu dan tidak mengikutinya dengan cara
berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan.
Seharusnya
dia tidak selalu menggunakan orang lain dalam meruqyah dirinya.
Hendaknya dia mulai menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu untuk
meruqyah sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Kemudian dia
bersungguh-sungguh mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang
disyariatkan untuk dipakai meruqyah dirinya sendiri. Ruqyah-ruqyah yang
dipelajarinya itu sangat bermanfaat guna mengobati atau membentengi
dirinya dari berbagai gangguan setan dan penyakit. Untuk meruqyah
dirinya, dia bisa membaca seperti surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash,
Al-Falaq, An-Naas, Ayat Kursi, dan yang lainnya. Dia bisa membaca
ruqyah-ruqyah itu sebelum tidur, di pagi dan sore hari, setelah shalat
wajib, atau waktu-waktu lain sesuai dengan yang dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wirid-wirid yang dibacanya itu
ibarat baju atau besi yang dipakai untuk membentengi dari beragama
bahaya. Wirid-wirid itu adalah sebab yang bermanfaat untuk melindungi
dirinya. Sedangkan pemberi manfaat dan penolak bahaya yang sebenarnya
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ibid, hal. 8)
Bacaan dan Tata Cara RuqyahTentunya
bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik
dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah
mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah
mengharapkan kesembuhan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah. Ucapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penyembuh dari segala jenis penyakit.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ
وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Hai manusia, sesungguhnya
telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
Alam
semesta ini adalah ciptaan, milik, dan aturan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu berhadapan dengan
kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat pingsan dan
tersungkur sujud tatkala mendengar firman-firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala di atas langit sana. Sedangkan langit-langit bergemuruh dengan
dahsyat karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal
ini telah dikabarkan oleh Rasul yang jujur lagi dibenarkan ucapannya,
yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى
جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ
اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Kalau
sekiranya Kami menurunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada
Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya
mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Termasuk perkara yang dimaklumi bahwa sebagian ucapan memiliki
keistimewaan dan kemanfaatan yang telah teruji. Maka bagaimana kita
menganggap ucapan Rabb semesta alam ini? Tentunya keutamaan ucapan-Nya
atas segala ucapan yang lain seperti keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
atas seluruh makhluk-Nya. Ucapan-Nya merupakan penyembuh yang sempurna,
pelindung yang bermanfaat, cahaya yang memberi petunjuk, dan rahmat
yang menyeluruh. Ucapan-Nya yang sekiranya diturunkan kepada sebuah
gunung niscaya akan pecah karena keagungan dan kemuliaan-Nya.” (Lihat
Zadul Ma’ad cet. Muassasah Ar-Risalah hal. 162-163)
Berobat dengan
Al-Qur`an adalah penyembuhan yang mujarab. Terlebih lagi jika dibacakan
oleh seorang yang memiliki kekuatan iman. Dengan demikian, pengaruh
bacaan itu akan bertambah ampuh untuk pengobatan segala penyakit dengan
seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyembuhan dengan Al-Qur`an tak hanya
bagi penyakit jiwa, bahkan juga sangat mumpuni bagi penyakit jasmani.
Cukuplah sebagai bukti konkretnya peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu
Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu (lihat rubrik Hadits). Hadits tersebut
menunjukkan betapa besar pengaruh Al-Qur`an bagi penyembuhan penyakit
jasmani. Bila seorang muslim melakukannya dengan keyakinan penuh kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya akan terealisasi dengan seizin Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Menurut
sebagian kalangan, letak ruqyah dalam surat Al-Fatihah adalah pada
firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan.”
Dan
tidak diragukan lagi bahwa dua kalimat ini termasuk bagian yang terkuat
dari obat ini. Karena keduanya mengandung penyerahan, penyandaran,
pemasrahan, permohonan tolong, permintaan, dan kebutuhan yang total
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, keduanya menggabungkan
puncak segala tujuan, yaitu peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan sarana yang paling utama yaitu permintaan tolong untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak terdapat pada selainnya.
Suatu
ketika, aku pernah jatuh sakit di kota Makkah. Aku sama sekali tidak
mendapatkan seorang dokter dan obat. Maka aku pun berobat dengan surat
Al-Fatihah. Aku ambil minum dari air Zamzam dan kubacakan atasnya surat
Al-Fatihah, lalu aku meminumnya. Aku pun sembuh secara total. Semenjak
itu, aku selalu berpegang dengan cara pengobatan ini pada kebanyakan
penyakit yang aku derita. Akhirnya aku benar-benar meraih manfaat dengan
surat Al-Fatihah.” (Zadul Ma’ad, 4/164, cet. Muassasah Ar-Risalah)
Penyembuhan
Al-Qur`an terhadap penyakit jiwa sangat manjur pula. Seperti untuk
penyembuhan sempit dada, pengaruh sorotan mata yang jahat dan mampu
merusak akal dan jiwa, kemasukan jin, kena sihir, dan lain-lain.
Kesimpulannya, Al-Qur`an adalah obat bagi segala penyakit.
Selain
Al-Fatihah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meruqyah
dengan Al-Mu’awwidzat sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha. Beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ – فِي الْمَرَضِ الَّذِي
مَاتَ فِيْهِ – بِالْمُعَاوِذَاتِ. فَلَمَّا ثَفُلَ، كُنْتُ أَنْفِثُ
عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا
“Dahulu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Mu’awwidzaat dan
meniupkannya dengan sedikit meludah atas diri beliau di masa sakit
beliau yang membawa kepada kematiannya. Tatkala beliau merasa semakin
parah, aku yang membacakan Al-Mu’awwidzaat dan meniupkannya atas beliau.
Aku usapkan bacaan itu dan tiupan (ludah)nya dengan tangan beliau
sendiri. Hal ini karena keberkahan tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya
dengan judul Bab Meruqyah dengan Al-Qur`an dan Al-Mu’awwidzat. Sedangkan
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan hal ini sebagai berikut:
“Judul bab ini merupakan metode untuk mengikutkan hukum sesuatu yang
khusus (Al-Mu’awwidzat) dengan sesuatu yang umum (Al-Qur`an). Karena
yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat Al-Falaq, An-Naas, dan
Al-Ikhlash sebagaimana telah lewat penjelasannya di bagian akhir Kitab
At-Tafsir (dalam Shahih Al-Bukhari). Bisa jadi istilah Al-Mu’awwidzat di
sini termasuk Bab At-Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yang
biasa dipakai). Atau yang dimaksud (dengan Al-Mu’awwidzat) adalah surat
Al-Falaq, An-Naas, dan seluruh ayat-ayat Al-Qur`an yang mengandung
ta’awwudz (permintaan perlindungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Kemudian
Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan sebuah ayat sebagai contoh
ucapannya. Namun beliau mengatakan bahwa pendapat yang pertama lebih
baik. Beliau menyebutkan pula sebuah hadits dengan sanadnya yang
disebutkan di dalamnya: “Tak ada ruqyah kecuali dengan Al-Mu’awwidzat.”
Lalu beliau berbicara tentang kelemahan hadits ini dari sisi
periwayatannya. Menurut beliau, jika hadits ini shahih maka hukumnya
telah dihapuskan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan
untuk meruqyah dengan Al-Fatihah.
Setelah beberapa penjelasan, beliau
pun berkata: “…Hal ini tidak menunjukkan larangan ber-ta’awwudz
(berlindung) dengan selain dua surat ini (Al-Falaq dan An-Naas). Hal itu
hanyalah menunjukkan keutamaannya. Terlebih lagi, telah ada dalil yang
membolehkan ber-ta’awwudz dengan selain keduanya. Hanya saja beliau
mencukupkan diri dengan keduanya, karena keduanya mengandung
al-isti’adzah (perlindungan) yang ringkas dan padat dari segala perkara
yang tidak disukai, baik secara global maupun rinci….” (Fathul Bari,
10/236-237 cet. Darul Hadits)
Bolehnya meruqyah dengan Al-Qur`an tak
terbatas pada surat Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Naas, dan Al-Ikhlas. Karena
Al-Qur`an secara keseluruhan merupakan obat bagi segala penyakit. Oleh
karena itu, boleh meruqyah dengan ayat atau surat mana saja dari
Al-Qur`an. Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Bila diperbolehkan
meruqyah dengan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) yang keduanya
merupakan dua surat dari Al-Qur`an, berarti meruqyah dengan yang
selebihnya dari Al-Qur`an juga diperbolehkan. Karena seluruhnya adalah
Al-Qur`an.” (Dinukil dari kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 38)
Demikian
pula boleh meruqyah dengan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
karena Al-Qur`an juga mengandung keduanya. Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Jibril ‘alaihissalam pernah
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jibril bertanya: “Wahai
Muhammad, apakah engkau mengeluhkan rasa sakit?” Nabi menjawab: “Iya.”
Maka Jibril membacakan:
بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرٍّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ، اللهُ
يَشْفِيْكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ
“Dengan nama Allah, aku
meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu dan keburukan setiap
jiwa atau sorotan mata yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan
nama Allah aku meruqyahmu.” (HR. Muslim)
Adapun doa-doa yang dibaca
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah juga
merupakan pengobatan yang mujarab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memiliki kata-kata yang ringkas dan padat (jawami’ul kalim)
sehingga doa-doa yang beliau baca benar-benar barakah. Inilah
keistimewaan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila kita memakai doa-doa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah dengan keyakinan yang
mantap, niscaya manfaatnya akan tampak nyata dengan seizin Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian
doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Namun bukan berarti
tidak ada yang lain lagi. Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih untuk meruqyah
dirinya atau orang lain maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk
menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.
Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:1.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada
Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas
membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya
Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka,
sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa
menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan
penyakit.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain dari ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Dahulu bila salah seorang dari kami
mengeluhkan rasa sakit maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya
Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah
dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali
penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
meruqyah dengan membaca:
امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ
“Hapuslah
petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh
penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
3. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa
beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila
meruqyah beliau membaca:
بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan
nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga
disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin
Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Dari Abu Al-‘Ash
Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang
dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya:
ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ
جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ
بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkanlah
tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah
(Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku
berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang
kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim)
5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
مَنْ
عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ
مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ
يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ
“Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ
‘Aku
memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga
menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.”
(HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij
Al-Adzkar)
6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku
(ketika aku sakit) dan beliau membaca:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)
Cara-Cara MeruqyahPerkara
lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang peruqyah
adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ruqyah adalah amal yang
disyariatkan, maka hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban
syariat. Berikut ini beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
- Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.
Inilah
yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah at-tafal,
dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita dengan
meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan an-nafats
dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits
ini menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam
meruqyah. Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.
Adapun
waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah,
sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim, sedangkan yang lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan
hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim.
- Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.
Hal ini
ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari
sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah yang
dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
- Meniup dengan air ludah
yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari telunjuk, lalu meletakkannya
di tanah kemudian mengusapkannya pada tempat yang sakit ketika melakukan
ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.
- Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.
Hal
ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Muslim.
- Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu
membacakan ruqyah yang disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya
sedikit air ludah. Kemudian dimandikan atau diminumkan kepada orang yang
sakit, atau diusapkan ke tempat yang sakit.
Ini berdasarkan hadits
‘Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 548) dan
hadits Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan
oleh Abu Dawud, An-Nasa`i serta yang lainnya, dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1526). Hal ini juga
dikuatkan oleh beberapa atsar sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah dan Mushannaf Abdur Razaq.
Demikian pula sebelum ini kami
telah membawakan pengakuan Ibnul Qayyim bahwa ketika beliau sakit di
Makkah pernah berobat dengan meminum air Zamzam yang dibacakan atasnya
Al-Fatihah berulang kali. Selanjutnya beliau berkata: “Darinya aku
memperoleh manfaat dan kekuatan yang belum pernah aku ketahui semisalnya
pada berbagai obat. Bahkan bisa jadi perkaranya lebih besar daripada
itu, akan tetapi sesuai dengan kekuatan iman dan kebenaran keyakinan.
Wallahul Musta’an.” (Madarijus Saalikin, 1/69)
Cara yang disebutkan
oleh Ibnul Qayyim ini juga merupakan pendapat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin
Bazz rahimahumallah. (Lihat Ahkaam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 65)
- Menuliskan
ayat-ayat Al-Qur`an pada selembar daun, atau yang sejenisnya, atau pada
sebuah bejana lalu dihapus dengan air, kemudian air itu diminum atau
dimandikan kepada orang yang sakit.
Cara ini diperselisihkan hukumnya
di kalangan para ulama. Di antara yang membolehkannya adalah Ibnu
‘Abbas, Mujahid, Abu Qilabah, Ahmad bin Hanbal, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu
Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Sedangkan yang memakruhkannya adalah
Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Sirin, dan Ibnul ‘Arabi rahimahumullah.
Al-Lajnah Ad-Da`imah sebagai tim fatwa negara Saudi Arabia pernah
ditanya tentang hal ini. Mereka menjawab bahwa hal ini tidak datang dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Khulafa` Ar-Rasyidun, dan para
shahabat yang lainnya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
tidaklah shahih. Selanjutnya mereka menyebutkan nama-nama ulama yang
membolehkan sebagaimana yang tadi telah kami singgung. Kemudian mereka
berkata: “Bagaimana pun juga bahwa amalan yang seperti ini tidaklah
dianggap syirik.” (Lihat Majmu’ Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah soal no.
184)
Demikianlah beberapa penjelasan tentang ruqyah
syar’i yang bisa kami cantumkan dalam tulisan ini. Sebenarnya masih
banyak pembahasan tentang ruqyah syar’i yang tidak bisa kami sertakan di
sini karena keterbatasan tempat. Semoga yang kami tuliskan diberkahi
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermanfaat bagi seluruh pembaca yang
budiman. Akhirnya, kesempurnaan itu hanya milik Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.