Ungkapan dan definisi cinta begitu banyak.
Ada yang berbicara berdasar prinsip-prinsip bahasa, banyak juga yang
berbicara sesuai dengan perjalanan hidup dan tingkat spiritualnya dalam
memahami makna cinta. Diantara yang berbicara menurut bahasa
mengungkapkan bahwa hubb (cinta) adalah gelembung-gelembung yang
terbentuk diatas permukaan air hujan lebat. Jadi, cinta adalah
menggelembungnya hati manakala ia haus untuk segera bertemu dengan sang
kekasih pujaan hati.
Dikatakan pula bahqa hubb bersumber dari akar
kata yang memiliki arti keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal
ba’ir utnuk menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk
bangkit lagi, seakan-akan sang pencinta (muhibb) tidak akan mengerakkan
hatinya sebab selalu mengingat sang kekasih (mahbub).
Ada yang
mengatakan pula bahwa hubb berasal ari kata hibbah yang berarti
biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamakan hubb karena ia adalah
lubuk kehidupan seperti hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan.
Dikatakan juga bahwa hubb adalah keempat sisi tempat air, dan cinta
dinamakan hubb karena ia memikul beban dari yang dicintai dari segala
hal yang luhur.
Dikatakan pula bahwa hubb berasal dari hibb, yaitu
tempat yang didalamnya ada air, dan apabila ia sudah penuh, tidak ada
tempat bagi lainnya. Demikian halnya, manakala hati diluapi perasaan
cinta, tidak ada tempat selain sang kekasih.
Begitulah beberapa
definisi cinta dari segi bahasa yang dinukil dari kitab Risalah
al-Qusyairiyyah karangan Imam al-Qusyairi an-Naisaburi. Adapun definisi
cinta menirut paara tokoh sufi juga banyak dikutip dalam kitab tersebut.
Abu Yazid al-Busthami mengungkapkan, cinta adalah membebaskan hal-hal
sebesar apapun yang dating dari dirimu dan membesar-besarkan hal-hal
kecil yang dating dari kekasihmu.
Sementara, Syekh Abu Ali al-Daqqaq
berkata, “Cinta adalah kelezatan, tetapi kdudukan hakikatnya adalah
kedahsyatan.” Beliau juga mengatakan jika seluruh cinta dikumpulkan pada
satu pribadi manusia, maka cinta itu masih sangat jauh dari kadarnya
yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah SWT. Tidak bisa dikatakan,
“Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai Allah SWT.”
Lebih lanjut, Abu Bakar al-Kattani bertutur, “Persoalan cinta telah
dibicarakan para Syekh di Makkah selama musim haji. Junaid al_Baghdadi
adalah salah satu pemuda yang pernah hadir dalam pertemuan besar.
Sebagian pengikut memanggilnya dan bertanya, ‘Hai orang Irak, katakanlah
kepada kami pendapatmu tentang cinta?’ Junaid menundukkan kepalanya
seraya menangis, kemudian menjawab, ‘Cinta adalah seorang pelayan yang
meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya untuk berdzikir kepada
Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan semua perintahNya dengan
kesadaran yang terus-menerus akan Dia dalam hatinya. CahayaNya membakar
hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cintaNya. Yang
Maha Kuasa terungkap kepadanya dari tabir alam ghaibNya hingga manakala
berbicara, dia berbicara dengan perintahNya dan apa yang dikatakannya
adalah dari Allah, dan manakal dia diam, maka diamnya itu bersama Allah.
Dia akan selalu berbuat karena Allah, untuk Allah, dan selalu bersama
Allah.” Mendengar kata-kata pemuda itu, semua Syekh menangis dan
berkata, “Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu,
wahai mahkota para ‘arifin.”
Rabi’ah Adawiyah, suatu kali ditanya
soal cinta. Beliau berkata, “Sungguh, antara orang yang mencintai dan
dicintai tidak ada jarak. Cinta adalah pembicaraan tentang kerinduan dan
penyifatan tentang perasaan. Barang siapa yang merasakan cinta, berarti
ia telah mengenalnya, barang siapa yang menyifati sesuatu, padahal dia
sendir ghaib dari sisiNya terhadap wujud dan kehadiranNya, maka ia
pandai, dengan kesadarannya maka ia mabuk, untuk memusatkan perhatian
kepadaNya, ia sudah penuh, dalam bergembira denganNya ia bingung,
kehebatanNya menjadikan lidah kelu untuk menyebutkan, ketercengangan
membuat akal terikat utnuk mengakui, kebingungan menjadikan hati
terhenti utnuk menyatakan. Disana, hanya kebingungan yang abadi, hati
yang lemah, dan rahasia yang sempurna, sedangkan cinta dengan segala
kekuasaannya merupakan penentu dalam hati.”
Lihatlah syair Rabi’ah sangat indah :
Gelasku, anggurku, dan teman minumku ada tiga
Dan, aku yang dirundung rindu cinta adalah yang keempat
Gelas kegembiraan, kenikmatan mengelilinginya
Tiba-tiba orang yang diajak minum di telaga mengikutinya
Bila aku memandang
Tiada kulihat kecuali milikNya
Wahai orang yang mencelaku
Aku mencintai keindahanNya
Demi Allah, telingaku bukan untuk mendengar celaanmu
Berapa kali aku terbakar dan pergantunganku sia-sia
Yang mengalirkan air mataku
Kesedihanku tiada meningkat
Hubunganku tiada tersisa
Dan mataku yang terluka tiada tidur…
Ibnu Qayyim berkata, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada
daripada kata cinta itu sendiri, membatasinya justru hanya akan
menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta
tersebut tidak bisa dilukidkan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan
kata cinta itu sendiri.”
Kolumnis Musthafa Amin menggambarkan cinta, sebagaimana peristiwa yang dialaminya, berikut ini :
Seorang pemuda yang beruntung meminta petunjuk kepadaku. Ia
mempersoalkan tentang wanita yang bagaimana yang harus dinikahi? Apakah
ia hrus menikah dengan perempuan yang berperadaban, yang menguasai
banyak bahasa asing, agar ia bisa menemaninya rekreasi ke Eropa atau
Amerika? Ataukah, perempuan canti dan menarik yang akan mendampinginya
dalam pesta-pesta dan pertemuan-pertemuan yang disinari berbagai lampu?
Ataukah, wanita yang bekerja hingga mengerti nilai kerja dab
memperhitungkan kepayahan, kesulitan, serta memperkirakan kemelaratan
dan beratnya tugas suami, sehingga ia tidak menambah beban berat karena
ia tenggelamkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang besar? Ataukah, wanita
yang dapat menciptakan rumah seperti surga, tempat beristirahat dari
kesengsaraannya bekerja terus-menerus?
Saya menjawab, “Engkau perlu
menikah dengan seorang wanita yang memiliki beberapa sifat. Perempuan
yang engkau nikahi haruslah bagaikan tongkat yang dapat engkau
pergunakan saat engkau mendaki gunung. Atau, bagai paying yang dapat
engkau pergunakan untuk melindungi kepalamu dari hujan dalam bahtera
kehidupan.
“Engkau memerlukan lampu yang dapat menerangimu saat
berjalan dalam gelap, kompas yang dapat engkau jadikan pedoman arah
dalam bingung. Ia adalah bak lemari yang selalu siap menyimpan
rahasiamu, rem yang bisa mengendalikan perjalananmu hingga bersemangat
membara dan kuat saat menghadapi serangan lawan, obat kepala saat engkau
pening, suara yang merdu yang dapat meninabobokan tidur, sapu tangan
untuk mengusap air matamu dan mengeringkan keringatmu saat engkau lelah,
kompres yang dapat mendinginkan lukamu, penangkal suara yang dapat
mencegah sampainya hiruk pikuk ke telingamu. Ia adalah teman berunding
dalam merundingkan persoalan yang engkau hadapi. Jika engkau mencari
orang bijak untuk menyelesaikan masalahmu, engkau dapati ia berada dalam
pelukanmu. Jika engkau membutuhkan teman, ia adalah sahabat setiamu.
Dan jika engkau kehilangan ibu, engkau dapati pada istrimu kasih saying
yang meluap-luap seperti kasih saying ibumu. Serta, ia rela berkorban
dan berjuang bersamamu.
“Lelaki biasa hanya membutuhkan perempuan
yang biasa. Tapi. Laki-laki yang beruntung, berarti ia laki-laki yang
luar biasa sehingga memerlukan perempuan yang luar biasa pula. Ia sangup
memikiul beban yang melebihi beban perempuan biasa, yang lebih sabar
daripada Nabi Ayyub, yang tegar bak gunung, yang menjadi tiang sandaran
laki-laki yang fakir hati dan akalnya.”
“Ia yang dapat mengembalikan
harapanmu ketika engkau sedang berputus asa. Ia yang dapat
membangkitkan semangat dan kemantapan hatimu ketika engkau sedang
bergolak. Ia yang dapat membuatmu tersenyum ketika engkau tidak
tersenyum. Ia yang oenyantun ketika engkau sedang terhimpit. Ia yang
dapat mempergauli manusia dengan baik, padahal ia sedang berkuasa
sebagai ratu dan menahan diri dari menumpahkan harta. Sewaktu
kedudukannya meningkat, diulurkan tangannya untuk menggapai orang-orang
yang jatuh duatas tanah. Jika suaminya bangkrut, ia memperlakukannya
seperti orang terkaya di muka bumi ini.”
Pemuda itu berkata, “Mustahil aku dapati istri seperti itu!”
Saya menjawab, “Setiap perempuan yang benar-benar mencintaimu dapat
bersikap seperti istri ideal seperti apa yang kau inginkan, jika ia
benar-benar mencintaimu!”
Demikian paparan Musthafa Amin.
Sesungguhnya, beliau ingin meyakinkan kepada pemuda itu bahwa ia bisa
mendapatkan istri yang ideal, apabila istri itu mencintainya. Karena
pencinta sejati, pada hakikatnya, tidak akan mendurhakai kekasih yang
dicintainya. Ia akan selalu melaksanakan apa yang diinginkan kekasihnya.
Kalau ia engaku mencintainya, tetapi sifat, sikap, dan perilakunya
sering kali membuat hati orang yag dicintainya sedih, maka sesungguhnya
ia tidak mencintainya. Ia mencintai kekasihnya hanya di mulutnya saja,
bukan mencintai secara tulus.
Terkadang, banyak kita dapati
orang-orang yang menikah dikarenakan calonnyaitu orang kaya, atau
memiliki pekerjaan dengan gaji yang banyak. Tetapi, setelah tua dan
orang yang dicintainya itu tidak dapat bekerja lagi, maka cinta yang
dulu ada kini luntur sedikit demi sedikit. Maka, yang demikian bukanlah
cinta namanya!
Cinta adalah manakala mengaku mencintai, maka dengan
kesadarannya akan mematuhi apa yang menjadi perintahnya dan dengan penuh
kesadaran pula akan menjauhi apa yang dilarangnya. Bukankah kekuatan
cinta membuat seseorang tidak akan menyakiti objek (sesuatu yang dituju)
yang dicintainya? Ia akan selalu tunduk, patuh, dan merindukannya
sepanjang masa.
Cinta juga merupakan inti ajaran yang inberen dalam
setiap agama. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk
saling memusuhi, mendengki, dan membenci. Ketika pemuka sufi, Ibnu
Arabi, ditanya mengenai agama yang dianutnya, ia dengan tegas menjawab,
“Cinta adalah agamaku”.
“Ragukan bahwa bintang-bintang itu api,
regukan bahwa mataharu itu bergerak, ragukan bahwa kebenaran itu dusta,
tapi jangan ragukan cintaku,” demikian ajaran Hamlet kepada Ophelia
dalam literer estetisnya Wiliam Shakespeare.
Muhammad Iqbal, pujanga sufi dan filsuf Islam, bersyair :
When the self is made strong by love
Its power rules the whole world
The heavenly sage who adorned the sky with stars
Flunked these buds from the bough oh the self
Its hand becomes God’s hand
The moon is split by its fingers
It’s the arbitrator in all the quarrels of the world
Bila pribadi diperkuat dengan cinta
Tenaganya menguasai dunia semesta
Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang
Tenaganya menjadi tangan Tuhan
Bulan pecah dengan jari-jemarinya
Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia.
Itulah rahasia cinta. Cinta membuat yang jauh menjadi dekat, yang berat
menjadi ringan, dan yang pahit menjadi manis. Sebaliknya, kebencian
membuat yang dekat menjadi jauh, yang ringan menjadi berat, dan yang
mais menjadi pahit.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau kita
mencintai Allah, maka Allah sendiri yang akan membalasnya.” Itu artinya,
setiap kali seseorang yang mrncintai Allah dengan ikhlas, lalu
mengharapkan pertolongan dan bantuanNya, maka Allah akan membantunya.
Setiap kali ia berdoa, dengan cepat Allah mengabulkan doanya.
Kalau
kita sudah mendekat Tuhan, maka Tuhan pun akan “turun ke langit dunia”
dan tidak akan ada satu permintaan kita yang tidak terkabulkan,
sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad, “…Tuhan kita turun ke langit
dunia pada pertiga terakhir setiap malam, lalu berkata, ‘Adakah orang
yang memanggilKu sehingga Aku memenuhi setiap permintaannya? Adakah
orang yang meminta dariKu, sehingga Aku akan memberinya? Adakah orang
yang memohon ampunanKu, sehingga Aku mengampuninya.”
Dalam maqam
luhur nan kudus seperti itulah, tabir antara manusia dan Dia tersibak.
Inilah yang disitir surat QS. Qaaf (50) : 22 yang artinya : “…Maka kami
singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu. Maka, penglihatanmu
pada hari itu amat tajam.”
Ditanyakan kebada Ibrahim bin Adham,
“Mengapa doa kami tidak dikabulkan oleh Allah SWT, padahal Dia telah
berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku akan perkenankan doamu’.”
Ia menjawab, “Karena, hati kalian telah mati dari mencintai Allah.”
“Apakah gerangan yang bisa mematikannya?”
“Ketahuilah, yang bisa mematikan hati kalian itu ada delapan hal.
Kalian mengetahui haq Allah, tetapi tidak melaksanakan haqNya. Kalian
membaca al-Qur’an, tetapi hanya dimulut saja, tidak pernah kalian
berusaha mengamalkannya. Kalian mengatakan cinta kepada Rasulullah,
tetapi tidak mengamalkan sunnah-sunnahnya. Kalian takut mati, tetapi
kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Allah SWT
berfirman, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka
jadikanlah ia musuhmu”, tetapi kalian mendukungnya. Kalian takut api
neraka, tetapi kalian mencampakkan jasad kalian di dalamnya. Kalian
cinta pada surga, tetapi kalian tidak berusaha untuk mendapatkannya. Dan
bila kalian berdiri, maka kalian melemparkan aib-aib kelian di belakang
punggung kalian, lalu kalian beberkan aib-aib orang lain, dengan
demikian kalian membuat Allah murka, maka bagaimana mungkin Dia
mengabulkan doa kalian?”