Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW.
Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah
dan perilaku nabi Muhammad SAW.
Peristiwa dan Perilaku Hidup
Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat
(mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana
nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan
acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak
kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra
Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke
Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di
langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat
berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika
nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima
puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad
SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak
akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog
dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan
sufisme dikemudian hari.
Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW
juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang
sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia.
Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam
kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu
Majah dan al-Hakim).
“Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah
istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak
ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar
dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .
Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal
tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu
riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW
mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang
dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara
tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin
Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan
salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang
terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih
terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi
hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain
banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya
saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari
tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).
Dalam hadis lain dikatakan
bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali
(HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam
mesjid terutama dalam bulan Ramadan.
Akhlak Nabi Muhammad SAW.
Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya.
Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah
SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan
sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW,
Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim).
Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.
Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati,
lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar,
tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha
melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah
berputus asa dalam berusaha.
Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan
tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang
artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.
Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan
para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan
dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan
rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para
sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para
sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan
ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan
perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi
Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling
mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena
mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi
SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang
terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal
didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At
Taubah:100).
Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya,
Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang
tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan
kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu
kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua,
mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak.
Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka
demikian percaya pada rezeki Allah SWT.”
Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:
Abu Bakar as-Siddiq.
Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk
islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang
Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia
memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama
menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh
harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW
bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia
menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”
Diriwayatkan bahwa
selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar.
Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu
Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua
sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur
lapar.”
Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai
pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan
dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh
karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi
dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.
Umar bin Khattab
Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan
kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan
kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan
kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat
sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas
sobekan.
Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab,
ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu
semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan
tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat
sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak
mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat
surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta
dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong
gajinya.
Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan
suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan.
Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar
menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi
meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.
Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan
malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu
siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa
bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk
menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.
Usman bin Affan
Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman
adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah
SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT,
dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang
Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman
memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.
Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang
Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut
tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.
Dimasa pemerintahan Abu
Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada
khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat
tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat
paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor
unta.
Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika
sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya
ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka
Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari
tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah
berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap
berada ditangannya.
Ali bin Abi Talib
Ali bin Abi Talib
yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia
mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan
guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari
Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali
dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan
Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan
telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).
Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang
sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia
sendiri yang menambal pakiannya yang robek.
Suatu waktu ia tengah
menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak
malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian
dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus
malu?”.
Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali.
Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin
Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan
pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus,
kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat,
iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan
serta teladan para sufi.
Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain
keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para
Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam
keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu
Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran
bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf
(w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat
al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang
terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap
kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan.
Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang
ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan
mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh
kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu
yang mereka tuju.
Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai
keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW
kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara
tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin
mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari
Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah
tentang ciri-ciri orang munafik.
Adapun Abu Zar al-Giffarri
adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil
sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah
memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan
menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa
materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.
Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup
sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu
Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung
kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi
kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf
yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW
dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in,
Tabi Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap
menjaga kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai
kepada kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah khalifah
Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah Rasulullah
SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu
tetap terjaga sepanjang zaman.