Oleh:
Badrul Tamam
Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah
kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para
sahabatnya.
Banyaknya
tanggapan terhadap tulisan terdahulu, "Bolehkah Seorang Suami Mencium Farji Istrinya?"
maka kami terdorong untuk memberikan keterangan yang lebih jelas terhadap tema
seputar itu yang dinukil dari fatwa ulama.
Sesungguhnya
kegiatan suami istri dengan cara yang boleh jadi dianggap aneh oleh sebagian
orang ini menjadi pertanyaan banyak pasangan muslim. Boleh jadi sebagian
pasangan merasa nikmat, lebih semangat, dan lebih bergairah dalam melakukan
pemenuhan kebutuhan biologis ini. Namun boleh jadi sebagian yang lain
menganggap buruk dan menjijikkan. Sehingga tak layak dilakukan oleh orang
muslim. Akahirnya hal ini menimbulkan tanda tanya tentang hukum
bolehnya?.
Sebenarnya,
telah banyak keterangan dan jawaban ulama terhadap masalah hubungan suami istri
ini. Pada ringkasnya, diakui bahwa sebagian orang merasa jijik dan menganggap
buruk bentuk cumbu rayu semacam ini. Sehingga paling utama adalah menjauhi dan
menghindarinya. Tetapi bersamaan hal itu, mereka tidak bisa mengharamkan dengan
tergas. Karena tidak ada ketegasan dari nash syar'i yang mengharamkannya.
Tetapi jika memang terbukti itu berbahaya, maka jenis foreplay yang bisa
menyebabkan penyakit dan bahaya diharamkan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta'ala, "Dan Dia mengharamkan atas kalian yang buruk-buruk."
(QS. Al-A'raf: 157)
Selanjutnya
kami akan suguhkan jawaban salah seorang ulama yang mendapatkan pertanyaan
serupa, yaitu Syaikh Khalid Abdul Mun'im al-Rifa'i. Kami menilai jawaban beliau
terhadap masalah tersebut cukup jelas dengan argument mendasar dalam mejawab
pertanyaan tersebut. Berikut ini kami kami terjemahkan dari fatwa beliau,
yang judul aslinya: حكم لحس الرجل لفرج زوجته والعكس "Hukum suami menjilat
kemaluan istrinya dan sebaliknya".
Soal: Apa hukum membangkitkan syahwat/libido istri dengan cara
menjilat farjinya dengan lidah suaminya, begitu juga terhadap sang suami?
Jazakumullah Khairan.
Jawab: Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam
atas Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Adapun berikutnya:
Sesungguhnya
asal dalam hubungan suami istri adalah mubah, kecuali apa yang disebutkan
larangannya oleh nash: berupa mendatangi istri pada dubur (anus)-nya,
menggaulinya saat haid dan nifas, saat istri menjalankan puasa fardhu, atau
saat berihram haji atau umrah.
Adapun
yang disebutkan dalam pertanyaan berupa salah satu pasangan menjilati kemaluan
pasangannya, dan praktek dalam bersenang-senang yang telah disebutkan dalam
pertanyaan, maka itu tidak apa-apa berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Itu termasuk dari keumuman bersenang-senang yang
dimubahkan.
2. Jika coitus dibolehkan yang merupakan puncak bersenggama
(bersenang-senang), maka yang dibawah itu jauh lebih boleh.
3. Karena masing-masing pasangan boleh menikmati anggota badan
pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali pengecualian yang telah
disebutkan oleh syariat sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
4. Firman Allah Ta'ala,
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ
وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
"Istri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman."
(QS. Al-Baqarah: 223)
Ibnu
Abidin al-Hanafi berkata dalam Radd al-Mukhtar: Abu Yusuf pernah bertanya
kepada Abu Hanifah tentang seorang laki-laki yang membelai farji istrinya dan
sang istri membelai kemaluan suaminya untuk membangkitkan syahwatnya, apakah
menurut Anda itu tidak boleh? Beliau menjawab, "Tidak, aku berharap itu
pahalanya besar."
Al-Qadhi
Ibnul Arabi al-Maliki berkata, "Manusia telah berbeda pendapat tentang
bolehnya seorang suami melihat farji (kemaluan) istrinya atas dua pendapat:
salah satunya,membolehkan, karena jika ia dibolehkan menikmati (istrinya dengan
jima') maka melihat itu lebih layak (bolehnya). . . . . salah seorang ulama
kami, Asbagh (Ulama besar Madhab Maliki di Mesir) berkata: Boleh baginya
(suami) untuk menjilati –kemaluan istrinya- dengan lidahnya."
Dalam
Mawahib Al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil disebutkan, "Ditanyakan kepada
Ashbagh; Sesungguhnya suatu kaum menyebutkan kemakruhannya. Lalu beliau
menjawab: orang yang memakruhkannya, dia hanya memakruhkan dari sisi kesehatan
(medis), bukan berdasarkan ilmu (dalil). Itu tidak apa-apa, tidak dimakruhkan.
Diriwayatkan dari Malik, beliau pernah berkata: tidak apa-apa melihat farji
(kemaluan) saat berjima'. Dalam satu riwayat terdapat tambahan, "Dan ia
menjilatinya dengan lidahnya."
Al-Fannani
al-Syafi'i berkata: "Seorang suami boleh apa saja setiap melakukan
hubungan dengan istrinya selain lubang duburnya, bahkan menghisap clitorisnya.
Al-Mardawi
al-Hambali berkata dalam al-Inshaf: Al-Qadhi berkata dalam al-Jami':
"Boleh mencium farji (kemaluan) istri sebelum jima' dan memakruhkannya
sesudahnya . . istri juga boleh memegang dan menciumnya dengan syahwat.
Ini dikuatkan dalam kitab al-Ri'ayah, diikuti dalam al-Furu', dan diperjelas
oleh Ibnu 'Aqil.
Namun
jika terbukti jelas cara bercumbu semacam itu menyebabkan penyakit dan
membahayakan pelakunya, maka saat itu ia wajib meninggalkannya berdasarkan
sabda nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Tidak boleh (melakukan
sesuatu) yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain." (HR.
Ibnu Majah dalam sunannya)
Begitu
pula apabila salah seorang pasangan merasa tersakiti (tidak nyaman) karena
perbuatan tersebut dan membencinya: maka wajib atas pelaku (suami)-nya untuk
menghentikannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
"Dan
bergaullah dengan mereka secara patut."
(QS. Al-Nisa': 19)
Dalam
hal ini harus diperhatikan tujuan dasar dari hubungan suami istri, yakni
permanen dan kontinuitasnya. Asal dari akad nikah adalah dibangun di atas
kelanggengan. Allah Ta'ala telah meliput akad ini dengan beberapa peraturan
untuk menjaga kelestariannya dan menguatkan orang yang menjalaninya sesuai
dengan ketentuan syariat bukan dengan sesuatu yang menyelisihinya. Masuk di
dalamnya solusi berhubungan antar keduanya. . . Wallahu Ta'ala A'lam.