Rasulullah s.a.w bersabda:
Bila hati seorang sudah dimasuki Nur, maka itu akan menjadi lapang dan
terbuka.” Setelah mendengar ucapan Rasulullah s.a.w. itu orang banyak
bertanya: “Apakah tandanya hati yang lapang dan terbuka itu ya
Rasulullah..? Rasulullah menjawab:
“Ada perhatiannya terhadap
kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan
pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia
bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” (H.R. Ibnu Jurair)
Bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati adalah pelajaran luar
biasa berhikmahnya dari hadits ini.
Statement ini mengisyaratkan
kepada kita untuk berlatih mati dalam rangka menghadapi proses kematian,
agar dapat mati dalam keadaan sukses. Lalu bagaimanakah bentuk sukses
dari sebuah kematian itu? Berbicara mengenai hal ini, Nabi Ibrahim
berpesan kepada anak-anaknya: “Janganlah sampai kamu meninggal dunia
padahal kamu tidak menyerahkan dirimu (Total Submission) kepada ALLAH.”
(Q.S. Ibrahim : 152)
Orang yang menyerahkan diri secara total kepada
ALLAH adalah orang yang dekat kepada-NYA, oleh karena itu kematiannya
adalah sebuah kesuksesan. “Adapun bila yang meninggal itu adalah
orang-orang yang mendekatkan diri (kepada ALLAH). Maka (kematian
baginya) adalah lega, semerbak dan nikmat sekali.” (QS. Waqi’ah : 89-90)
Ibrahim a.s. mengisyaratkan bahwa kematian yang sukses adalah kematian
dalam keadaan “penyerahan diri secara total kepada ALLAH semata”. Karena
memang: “Sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH semata.
(QS. Al An’am : ) Tentang Sukses Kematian, Rasulullah bersabda: “Siapa
yang suka menemui ALLAH, ALLAH suka menemuinya, dan barang siapa benci
menemui ALLAH, ALLAH benci pula menemuinya.”
Setelah mendengar sabda
Rasulullah ini banyak para sahabat yang menangis. Melihat itu
Rasulullah bertanya kepada mereka, kenapa menangis..? Mereka menjawab:
“Semua kami membenci mati ya Rasulullah. Maka berkatalah Rasulullah:
“Bukan demikian yang dimaksud, tetapi adalah ketika menghadapi sakaratil
maut.”
Sebagaimana kehidupan yang indah, kematian yang indah adalah
kematian dengan kondisi jiwa penuh dengan ke-“Tauhid”-an. Jiwa yang
dipenuhi dengan menafikan segala bentuk penuhanan terhadap sesuatu
selain ALLAH dan terus-menerus meneguhkan (isbatkan) penuhanan kepada
ALLAH semata-mata. Karena:
Lailaha ilalloh adalah ucapan AKU
Lailaha ilalloh adalah AKU
Lailaha ilalloh adalah benteng AKU.
Siapa yang masuk dalam benteng AKU dengan mengucap Lailaha ilalloh lepas dari aniaya-KU. (Hadits Qudsi)
Dalam hidup berbekal Tauhid, dalam menghadapi sakaratul maut berbekal
Tauhid, jiwa pergi dari jasad membawa Tauhid. Jika kesadaran telah
dipenuhi dengan “Tauhid” kehidupan kita akan bebas dari aniaya ALLAH,
demikian juga dengan kematian kita. Oleh karena itu seperti diriwayatkan
oleh Muslim dari Sa’id Al-Khudri r.a beliau berkata : “Saya mendengar
Rasulullah s.a.w bersabda:
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati di
antara kamu dengan kalimat La ilaha illallah. Karena sesungguhnya,
seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya, maka
itulah bekalnya menuju surga.” Masuk ke dalam benteng SANG AKU: Lailaha
ilalloh, tentunya bukan sekedar ucapan lisan saja. Akan tetapi telah
diyakini dengan qalbu dan telah disaksikan dengan sepenuh jiwa.
Dengan kondisi kesadaran yang demikian maka qalbu menjadi terbersihkan
dari segala kotoran-kotoran dosa, selalu terisi dengan keimanan, ingatan
selalu tertuju kepada ALLAH dan sikap jiwa dalam keadaan berserah diri
total kepada ALLAH, sebagai pemilik hidup kita. Penyerahan diri dengan
kesadaran kepada ALLAH Yang Maha Esa.
Seperti dikatakan oleh
Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (wafat 1111): “At Tauhid al-khalis an
layaraha fii kulli syai’in ilallah” (Tauhid sejati adalah penglihatan
atas Tuhan dalam segala sesuatu). Dengan Tauhid ini, manusia menjadi
sadar kedudukannya bahwa tubuhnya adalah semata-mata bentuk Kuasa ALLAH
(melihat Tuhan dalam tubuhnya), sebagaimana alam semesta raya.
Harus
kembali kepada-NYA dalam posisi tunduk patuh sebagaimana tunduk
patuhnya alam semesta. Semua adalah bentuk Kuasa ALLAH, Energi ALLAH,
Daya ALLAH karena sesungguhnya: La haula walaa quwwata illa billahil
aliyyil adziem. Dengan Tauhid pula manusia sadar bahwa, hidup yang ada
didalam dirinya (melihat Tuhan tidak terpisahkan dari hidupnya),
yang menyebabkan badan bisa hidup bergerak serta membuatnya menjadi
makhluk sadar adalah roh yang berasal dari-NYA – “Min Ruhi” atau Roh
SANG AKU. Milik-NYA semata-mata dan aksioma akan kembali kepada-NYA.
Tidak ada rasa peng-“aku” an atas hidup, jiwa dan roh yang ada di dalam
badan ini. Ia adalah milik-NYA dan akan kembali kepada-NYA.
Dengan
kondisi psikologis yang demikian orang akan lebih tenang dengan
bertawakal kepada ALLAH semata dalam menghadapi situasi kritis saat ajal
menjemput. Karena ia telah sadar bahwa: o Mati adalah untuk kembali ke
Asal atau Sumber dari hidup, yaitu ALLAH o Mati adalah perjalanan
menuju ALLAH o Mati adalah saat menemui ALLAH o Mati adalah Bersaksinya
roh atas Wajah ALLAH o Mati adalah untuk Merasakan Kedekatan/ Kesatuan
dengan ALLAH
Pelatihan Mati Sukses, Seperti Jawaban Rasulullah
kepada para Sahabatnya: “Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal
di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya
kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum
datangnya mati.” Jika kita simak hadits nabi tersebut, Rasulullah telah
memberikan motivasi kepada kita tentang bagaimana hendaknya umatnya
melakukan latihan untuk menghadapi mati sebelum datangnya kematian, agar
dapat sukses ketika menghadapinya nanti.
Mengenai hal ini, Haji
Slamet Oetomo Blambangan berkenan berbagi pengetahuan dan best
practicenya kepada kita dalam menghadapi kematian. Saya senang
menyebutnya dengan istilah pelatihan mati khusyuk. Proses pelatihan ini
berangkat dari filosofi tentang Hakikat manusia yang diajarkan Tuhan
melalui al qur’an.
- Yang pertama, kematian itu adalah proses
kembali menemui Tuhan sama dengan sholat, dzikir atau itikaf. Oleh
karena itu kita posisikan Kesadaran sesuai dengan surat: Al ‘Araf : 29 :
” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana
Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan
kembali kepadaNya).”
Meluruskan muka atau diri adalah menumpahkan
dan memusatkan seluruh perhatian kepada ALLAH semata. Dan dibekali
dengan keikhlasan dengan tingkat kesadaran seperti dinyatakan qur’an :
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al An’am : 162).
Dan
seperti dijadikan pada mulanya yaitu bayi lahir, bayi itu suci, tidak
merasa bisa tidak merasa pandai bahkan dipanggil namanya tidak
tahu/bodoh. Semua yang ada nikmat ALLAH, kepunyaan ALLAH harus kembali
kepadaNYA seperti pada mulanya yaitu seperti bayi lahir suci, perasaan
tidak bisa apa-apa. Berserah diri total.
- Yang kedua, Tahu Tujuan
Kematian. Tidak lain adalah Tuhan Semesta Alam – ALLAH. Tuhan seperti
yang dijelaskan dalam surat Al Iklash: “Tuhan ALLAH Yang Maha Esa. Tuhan
ALLAH tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak pula dilahirkan
sebagai anak. Dan tidak ada sesuatupun yang ada persamaannya dengan
DIA.” (Al –Iklash ) Al Fajr 27-28 dan Tuhan yang dijelaskan dalam surat
Fushilat : 54 : “Bukankah mereka masih dalam keraguan tentang pertemuan
dengan Tuhannya,,? Bukankah DIA-NYA meliputi segala sesuatu.”
- Yang
ketiga, mati adalah proses menemui ALLAH. Tidak lain adalah proses
mendekatkan diri kepada ALLAH. Proses mendekatkan diri kepada ALLAH
adalah proses menjalankan jiwa kepada tujuannya , yaitu ALLAH. Dalam
proses kematian, yang berjalan adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan
pikiran atau hati. Seperti Firman ALLAH: “Wahai jiwa yang tenang
masuklah kedalam Surga-KU”. Adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan badan,
pikiran dan hati. Saat kematian, seyogya nya jiwa dijalankan kepada
ALLAH dengan terus mengingat ALLAH .
Dengan ingat kepada ALLAH, jiwa
akan semakin meluncur mendekat kepada ALLAH. Pada posisi in, dalam
batin hendaknya juga dikembangkan “Baik Sangka” kepada ALLAH, sebab
sikap yang demikian akan menuntun kepada keadaan yang menjadi
persangkaan kita. Sesuai dengan rumus “AKU adalah menurut persangkaan
hamba-KU tentang AKU dan AKU bersama dia bila dia memanggil AKU”.
-
Yang Keempat, menyadari eksistensi sebagai manusia. Bahwa tubuh manusia
sebagai prototipe alam semesta adalah bentuk Kekuasaan ALLAH yang Maha
Dasyhat, Maha Luar Biasa. Sedangkan jiwa manusia dengan min ruhinya
adalah berasal dari ALLAH, secara ilahiah adalah SATU dengan ALLAH.
Oleh karena itu harus disadari bahwa tubuh ini bukan tubuh milik kita
akan tetapi Kuasa ALLAH, dan jiwa ini adalah min ruhi – Roh milik ALLAH.
Disini kedirian menjadi lenyap karena yang ada hanya Kuasa ALLAH dan
Roh ALLAH keduanya adalah milik ALLAH aspeknya ALLAH. Aksiomatis kembali
kepada ALLAH.
- Yang kelima, lihatlah kembali ke diri kita manusia.
Perhatikan keluar masuknya nafas itu adalah pertanda adanya hidup
adanya roh dalam tubuh sehingga hidup bergerak, itu adalah kinerja-NYA
ALLAH, perbuatan-NYA ALLAH. Keluar masuknya nafas adalah tanda adanya
hidup-NYA ALLAH yang ada dalam tubuh, adanya min ruhi, Roh ALLAH yang
meresapi seluruh tubuh ini. Roh ALLAH yang meresapi seluruh Qudrat ALLAH
– tubuh.
Selanjutnya Perhatikan juga sang otak yang netral –
sebagai jembatan antara roh yang metafisika dan tubuh yang fisika. Yang
bertugas sebagai regulator kesadaran manusia, berikan informasi yang
benar kepada otak, install informasi tentang kebenaran ketuhanan.
Sehingga hiduplah manusia dengan kesadaran berketuhanan secara
benar:”Tiada Tuhan selain ALLAH dan Muhammad adalah utusan ALLAH”.
-
Yang Keenam, dengan kesadaran yang telah diperoleh kini serahkanlah,
kembalikanlah, dudukkan pada posisi yang sebenarnya – segala eksisensi
yang ada kepada SUMBER nya, kepada PUSAT nya, kepada ALLAH.
- Tubuh, Pikiran, Hati adalah Qudrat ALLAH kembali kepada pemilik Qudrat yaitu ALLAH
- Jiwa dengan minruhinya adalah milik ALLAH kembali kepada ALLAH
- Rasa Ingat/ Rasa Jati/ Rasa ber Tuhan kembali kepada ALLAH
- Semua kembali kepada ALLAH.
Sang gembala
Pada zaman Nabi Musa as dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat
bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya.
Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang
berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia
menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan
hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di
manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku pada-Mu?
Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai
Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku
ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”
Suatu hari,
Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya
menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah
ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa
Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu,
memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau,
supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah
Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu
untuk minuman-Mu?”
Musa mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan
siapa kamu berbicara?” Gembala menjawab, “Dengan Dia yang telah
menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan
malam, bumi dan langit.” Musa as murka mendengar jawaban gembala itu,
“Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu
ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas
supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang
mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang
telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti
itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk
bumi ini akibat dosa-dosamu!”
Sang gembala segera bangkit setelah
mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia
bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia
mendengarkan Musa as yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang
manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah
Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar?
Tentu saja tidak.
Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak
memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah
engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau
juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang
penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki
otak yang sehat!”
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa
apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia
juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai
seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih
mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya. Ia
berkata kepada Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak
ini aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan
yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat,
Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang
Mahakuasa menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan
kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang
dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat
menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di
antaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh
kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan
dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk
diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan
pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian.
Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah
yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah
bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan
keindahan kata-kata atau komposisi kalimat.
Yang Kami perhatikan
adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah
Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan
kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta,
kata-kata tidak mempunyai makna.” Suara dari langit selanjutnya berkata,
“Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat
dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta.
Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan
kemudian mengajarkan Musa as rahasia cinta. Setelah Musa as memperoleh
pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya.
Sang Nabi pun merasa
menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari
gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Musa as berkelana di padang
rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui
gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah
yang berbeda. Hampir-hampir Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa
as berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air.
Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah
tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah
menunggunya cukup lama. Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan
melihat kepada sang Nabi. Musa as berkata, “Aku punya pesan penting
untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan
kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas
berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan
kata-kata apa pun yang kamu pilih.
Karena apa yang aku duga sebagai
kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang
menyelamatkan dunia.” Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah
melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan
kehadiran-Nya.
Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan
kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam
hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa as. Nabi Musa as
menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa as
kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang
didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada sekelompok orang yang
mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan
kecintaannya kepada Tuhan, dia tidak lagi dapat menemukan kata-kata yang
tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah SWT. Di dalam
cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.
Dari kisah ini juga kita
belajar bahwa untuk dapat mendekati Allah swt, tidak diperlukan
kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara
utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak
jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan.
Tidak jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah SWT.
Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi SAW, “Innallâha lâ yanzhuru
illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum. Ketahuilah,
sesungguhnya Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang
Tuhan perhatikan adalah hati kamu.”