“Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya” (Al-Hadits)
Kognisi Diri
Beberapa hal berikut ini yang perlu disebutkan dalam rangka kognisi diri:
Pertama: Dzat manusia terbentuk dari dua substansi:
Substansi cahaya yang membentuk nafs dan substansi gelap yang membentuk
jasad. Nafs, adalah hidup, berakal, bekerja dan aktif: sedangkan jasad,
adalah mati, jahil, dan pasif.
Kedua: Kesempurnaan, keutamaan, dan kelebihan atas
yang lain, dapat diperoleh manusia hanya dengan jalan pengetahuan dan
pengamalan terhadap kemestiannya, bukan sesuatu yang lain.
Ketiga: Pengetahuan yang mengantarkan manusia untuk
memperoleh keutamaan dan kesempurnaan serta dengan memilikinya akan
menaikkan manusia dari kesejajaran hewan-hewan sampai derajat malaikat
muqarrabin, bukanlah setiap ilmu (baca; sembarang ilmu). Betapa banyak
ilmu dan pengetahuan yang menjadi karya ilmuan tapi hanya menyibukkan
para pembacanya, sebab isi dan kandungannya tidak lebih hanya semacam
ungkapan-ungkapan perkataan. Adapun ilmu dan makrifat yang bermanfaat di
akhirat hanyalah ilmu dan makrifat yang ulama akhirat memberikan
perhatian sangat besar terhadapnya, sementara ulama dunia
membelakanginya, yakni pengetahuan dan makrifat terhadap Tuhan,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, kitab-kitab suci-Nya, dan para
Nabi-Nya (Insan Kamil). Juga pengetahuan terhadap hari kiamat
(eskatologi), nafs manusia serta bagaimana nafs mengalami kesempurnaan
dan kenaikannya -dari posisi kehewanan- mendapatkan kondisi fana sampai
pada tataran malakut dan ruhani yang langgeng dan abadi.
Keempat: Kesempurnaan ilmu dan makrifat demikian ini
tidak mungkin diperoleh kecuali dengan jalan riadah dan kesungguhan
syar’i serta keilmuan dan menjaga syarat-syarat khusus. Dan kemungkinan
untuk meraihnya terbuka lebar bagi setiap orang, namun karena hanya
sedikit yang mengarunginya dengan sungguh-sungguh maka hanya sedikit
orang yang berhasil menggapainya.
Untuk memahami ungkapan-ungkapan di atas dengan baik, kami menjelaskannya dalam bentuk suatu contoh:
Nafs (jiwa) manusia dalam mempersepsi topik-topik
benar dan hakikat sesuatu, berposisi sebagai cermin yang berhadapan
dengan gambaran-gambaran ma’lumât (hal-hal yang diketahui). Sementara sebab tak terlihatnya suatu gambaran dalam cermin, ada lima hal:
Cermin masih belum dalam bentuk sempurnanya, misalnya
bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatannya sudah tersedia, tapi
cermin masih belum dibuat.
Terkadang cermin telah jadi, tapi kotoran, karatan, dan debu mengenainya (menutupinya).
Dikarenakan kita tidak memposisikan cermin pada
posisi dimana gambar (rupa) ingin disaksikan, misalnya obyek dan benda
yang ingin disaksikan berada dibelakang cermin.
Antara cermin dan benda terdapat sesuatu –misalnya tirai- sebagai penghalang.
Kita tidak mengetahui secara pasti posisi dimana
sesuatu yang menjadi obyek perhatian di arahkan, sehingga cermin kita
letakkan ke arah tersebut.
Demikian juga seperti lima perkara ini tentang
substansi nafs manusia, dimana ia memiliki kesiapan sebagai sebuah
cermin bagi tajalli gambaran hakikat Hak Swt. Oleh karena itu, langkah
mendasar yang dibutuhkan untuk mendapatkan ilmu dan makrifat Ilahiah
adalah mengenal diri dan nafs kita terlebih dahulu. Bahwa nafs adalah
suatu substansi cahaya, hidup, berakal, bekerja, aktif, dinamis, dan
abadi. Dari dimensi-dimensi yang dimilikinya itu, ia memiliki pelbagai
kesiapan untuk menyerap asma dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw: Takhallaqu Bi Akhlâqillah
(Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Namun tentunya dengan syarat ia
harus memiliki kebersihan dan kesucian, sehingga dimensi-dimensi yang
dimilikinya tersebut dapat bekerja dengan baik dan sempurna dalam
berhadapan dengan cahaya-cahaya Ilahiah yang senantiasa terpancar di
alam makro kosmos dan mikro kosmos.
Kemungkinan Musyhadah Alam Gaib
Tidak diragukan, para pembesar agama-agama –dalam hal
ini para nabi As- dengan perbedaan tingkatan yang mereka miliki,
mempunyai hubungan dengan alam metafisika (baca; alam gaib) dan memiliki
informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara batini. Namun
masalahnya adalah apakah maqam dan kedudukan ruhani ini hanya terkhusus
bagi mereka? Apakah ia merupakan pemberian Tuhan yang hanya terbatas
bagi mereka ataukah orang-orang lain yang mengikuti jalan ilmu,
makrifat, dan amali mereka, juga berpeluang untuk menggapainya?
Dengan kata lain, apakah informasi dan pengetahuan
terhadap perkara-perkara batini dan rahasi-rahasia gaib terbatas hanya
bagi para nabi As dan orang-orang lain yang berada di alam materi ini
tidak mampu mendapatkan jalan tersebut kecuali setelah mereka mati,
ataukah maqam tersebut merupakan perkara iktisabi (maksudnya dapat
diperoleh dengan berusaha dan berupaya) dan orang-orang lain juga
berpeluang meraihnya? Tentunya jawaban kita dalam hal ini adalah bahwa
orang-orang lain juga mampu mendapatkan jalan kepada rahasia-rahasia
alam.
Salah satu argumennya adalah; hubungan alam materi
(fisika) dengan alam metafisika, hubungan sebab dan akibat serta
sempurna dan kurang. Dan kita menamakan hubungan ini dengan hubungan
zhahir dan batin.
Sebagaimana kita alami bahwa zhahir secara daruri
kita saksikan, sementara penyaksian zhahir tidak bisa kosong dari
penyaksian batin, sebab keberadaan zhahir adalah gradasi keberadaan
batin dan merupakan manifestasinya; karena itu, batin juga tersaksikan
secara aktual ketika zhahir tersaksikan. Dan sebagaimana zhahir
merupakan batasan dan manifestasi batin maka ketika manusia
mengenyampingkan batasan ini dan bersungguh-sungguh (mujahadah) untuk
mengabaikannya, tidak diragukan dia akan menyaksikan yang batin.
Dengan kata lain alam materi ini adalah akibat dari
alam mitsal, yakni jika kita ingin dalam bentuk suatu tangga naik ke
atas maka kita dari alam materi akan naik ke alam mitsal. Dan alam
mitsal ini, sekarang juga bersama kita, ia maujud secara aktual saat
ini. Oleh karena itu, hubungan alam zhahir dengan alam batin adalah
hubungan akibat dengan sebab. Seperti konsepsi yang ada di akal manusia
dengan tulisannya. Manusia, ketika sedang menulis, secara beruntun dia
mengkonsepsi dan menuliskannya. Dan jika sedetik dia berhenti
mengkonsepsi (sesuatu) maka dia juga akan berhenti menuliskan sesuatu.
Pada hakikatnya dalam konteks ini juga berlaku sistem
sebab dan akibat. Zhahir yang disaksikan ini, ia sendiri keberadaannya
tegak atas dasar batin. Dan meskipun pada dasarnya batin juga
tersaksikan, tapi kita tidak melihatnya. Ketika kita menyaksikan zhahir,
batin juga secara aktual tersaksikan oleh kita. Jika seseorang
penglihatan batinnya terbuka maka tidak mungkin penyaksian zhahirnya
tidak membawanya pada penyaksian batin; sebab wujud zhahir tidak lain
merupakan bentuk dan gambaran dari wujud batin. Jadi zhahir itu adalah
batin yang bertajalli dan memanifestasi. Karena itu, dengan penyaksian
alam materi ini maka batin juga tersaksikan.
Zhahir adalah batasan batin. Pada hakikatnya alam
batin terbatasi dengan alam zhahir. Jika seseorang mampu dengan
mujahadah nafs memecahkan batasan ini dan tidak menghiraukannya maka dia
niscaya akan menyaksikan batin dari alam ini.
Sebagaimana nafs mempunyai kesatuan dengan badan,
maka di satu sisi nafs memandang dirinya adalah badan itu sendiri. Namun
ketika badan dari jalan penginderaannya menyaksikan nafs maka dia
menyangka dirinya terpisah dari nafs, dan ketika persangkaan ini
mengambil bentuk maka nafs berhenti pada tataran badan dan melupakan
tingkatannya yang tinggi. Tingkatan tinggi setiap orang adalah alam
mitsal dan alam akalnya. Dan nafs, ketika melupakan suatu tingkatan dari
tingkatan-tingkatannya maka dia akan melupakan juga
kekhususan-kekhususan yang terkhususkan tingkatan tersebut dan alam yang
terkhususkan untuknya; akan tetapi pada saat yang sama dia tetap
menyaksikan inniyyah dan hakikat dirinya, yakni akunya. Penyaksian ini
adalah daruri dan tidak dapat terpisahkan.
Oleh karena itu, dengan terputusnya aku dari badan
maka tidak terdapat lagi tirai penghalang. Berasaskan ini, jika
seseorang kembali kepada nafs dan hakikat dirinya dengan ilmu dan
makrifat serta amal baik, niscaya hakikat nafs, tingkatan-tingkatannya,
maujud-maujud dan rahasia-rahasia batin alam akan dia saksikan.
Jadi jelaslah bahwasanya manusia selain para nabi As
dan maksumin As, juga mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan informasi
dan pengetahuan terhadap alam metafisika (alam gaib) ketika dia masih
hidup di alam materi ini, yakni bukan hanya hakikat-hakikat yang
tersembunyi dan rahasia itu baru mereka bisa saksikan setelah kematian
natural dialaminya.
Musyahadah Batin Dalam Al-Qur’an dan Riwayat
Untuk mengakhirkan bahasan ini kami akan menukilkan
sebagian dalil-dalil nakli yang mendukung pandangan tersebut di atas.
Bukti dan dalil ini akan memberi kesaksian bahwa manusia mampu
menyaksikan rahasia-rahasia dan batin alam sejak dalam kehidupannya di
alam materi ini.
Ayat al-Qur’an menyebutkan: “Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia adalah Hak. Tidak
cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi syahiid atas segala sesuatu?
Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan
Tuhan mereka. Ingatlah sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
(Qs. Fussilat [41]: 53-54) Sebagian mufassir seperti Allamah Thabathabai
menafsirkan bahwa kata syahiid dalam ayat ini tidaklah bermakna
syaahid, tetapi bermakna masyhuud, dengan qarinah bahwa dalam ayat ini
disebutkan tentang Tuhan memperlihatkan tanda-tanda-Nya sehingga
jelaslah Dia Hak Swt.
Dan ayat al-Qur’an: “Dan milik Allah timur dan barat.
Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha
luas, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah[2]: 115)
Sebab Tuhan, Dialah yang awal dan akhir dan Dia pula
yang zhahir dan batin maka ke mana pun maujud-maujud ini mengarahkan
pandangnnya, yang mereka saksikan adalah wajah-Nya, apakah itu yang
zhahir ataukah yang batin.
Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw: bahwa
beliau masuk masjid pada waktu subuh, di dalam mesjid beliau menyaksikan
seorang pemuda kurus namun penuh cahaya di wajahnya duduk di salah satu
sudut masjid. Rasulullah bertanya: Bagaimana kondisi anda pada subuh
ini? Pemuda itu menjawab: Saya pada subuh ini dalam kondisi yakin kepada
Allah Swt.
Bertanya Rasulullah tentang kondisi Zaid
Bagaimana pagi subuh ini kau lalui wahai sahabat sejati?
Berkata Aku hamba yang yakin
Bertanya mana bukti keyakinan yang menakjubkan itu?
Berkata aku menyaksikan makhluk-makhluk penghuni langit
Dan aku melihat dan menyaksikan Arasy dan para penghuninya.
Diriwayatkan bahwa Haris bin Malik berkata kepada
Nabi Saw: “Ya Rasulullah, aku melihat neraka jahanam dan penghuninya dan
aku melihat surga beserta penghuninya dan aku mendengar suara-suara
mereka” (Ushul al-Kafi, Jld. 2, Bab Hakikat al-Iman wa al-Yaqin)
Imam Ali As dalam khutbahnya menta’birkan kelompok
manusia seperti ini dengan ungkapannya: “Mereka ada di alam dunia ini,
menyaksikan Surga seakan-akan mereka juga sedang ikut menikmati
keindahannya”. (Nahjul Balagah, Khutbah 193)