Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Bila seseorang memiliki keistemewaan dari Allah Swt, berupa ilmu yang
bermanfaat, amal saleh yang banyak, atau pengalaman ruhani yang hebat,
lalu ia secara diam-diam ingin diketahui keistemewaannya, maka
dipastikan ubudiyah orang tersebut tidak benar.
Salah satu Sufi menegaskan, “Siapa yang senang jika amalnya dilihat
manusia, maka ia adalah orang yang riya’, dan siapa yang senang jika
pengalaman ruhaninya diketahui orang, maka ia adalah pendusta.”
Kondisi ini berlaku bagi para penempuh, namun untuk para ahli
ma’rifat yang telah meraih hakikat dan musyahadah, maka tidak apa-apa
jika ia tunjukkan amaliyahnya, menampakkan kebaikan ruhaninya, agar
syukurnya benar-benar termanifestasi dan bias diteladani yang lain.
Namun bagi para penempuh ia akan mudah kagum pada diri sendiri, dan
merasa cukup serta berakhir dengan takabur. Para pemula harus mewujudkan
kefanaannya, hatinya lari dari pandangan makhluk menuju pandanganNya,
menyembunyikan amal dan ihwal ruhaninya. Namun bila kefanaannya sempurna
dan baqo’nya termaujud dalam hakikatnya, ia senantiasa bersama Allah
Swt, maka biula Allah menghendaki untuk menampakkan ia tampakkan, jika
Allah menghendaki menyembunyikan, ia sembunyikan. Ia sama sekali tidak
berkait dengan soal tampak dan tersembunyi. Semua berkait dengan
perintahNya belaka.
Ibnu Athaillah as-Sakandary meneruskan:
“Sembunyikan pandangan makhluk kepadamu dengan melihat pandangan Allah padamu, dan hilangkan penerimaan makhluk padamu, dengan melihat penerimaan Allah swt padamu.”
“Sembunyikan pandangan makhluk kepadamu dengan melihat pandangan Allah padamu, dan hilangkan penerimaan makhluk padamu, dengan melihat penerimaan Allah swt padamu.”
Maksudnya, jangan menginginkan pujian, diterima dan dihormati oleh
manusia atas apa yang ada dalam diri anda, namun lebih konsentrasi
kesenangan agar anda lebih diterima oleh Allah Swt.
Bagaimana pandangan makhluk kepadamu bisa merusak hatimu dengan Allah
Swt, oleh karena itu rindumu dan rasa sukamu jangan pernah ada kecuali
hanya demi pandangan Allah Swt padamu.
Apalagi jika anda berfikir agar citra anda naik di hadapan publik,
nama anda agar dikenal, kemampuan anda disegani, ilmu anda dijadikan
rujukan, amal anda dinilai besar, justru akan meracuni hatimu. Datangnya
public dihadapanmu sebelum anda meraih kesempurnaan, akan melahirkan
dampak psikologis yang membayakan hatimu, mulai dari rasa bangga, merasa
lebih, terhormat, dan prestisius lain yang bisa merobek keutuhan hatimu
kepada Allah Swt.
Sebagian sufi mengatakan, “Orang yang benar adalah yang tidak peduli,
jikalau keluar nilai lebih dari yang muncul dari hati para makhluk
terhadap kebaikan hatinya, juga tidak suka jika ada seberat atom amalnya
dilihat manusia, tidak benci jika amal buruknya dilihat orang lain,
karena kebenciannya itu menunjukkan bahwa ia ingin punya nilai lebih di
hadapan makhluk. Jelas itu bukan tergolongkan keikhlasan orang yang
benar.”
Yaa ..Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar