Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Senin, 17 Februari 2014
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran . Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian. adalah sosok sufi sekaligus filosof yang melansir konsep ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat adalah: “ Tampak jelasnya rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan, yaitu soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada . Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan, ma’rifat adalah: Memandang kepada wajah (rahasia) Allah[3].
Menurut Al-Ghazali, orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan (arif), tidak akan mengatakan “ya Allah atau ya Rabb” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu .
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggi yang bisa dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih tinggi mutunya daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal .
Dari aspek bahasa, ma’rifat berasal dari kata عرف , يعرف , عرفا, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Bisa juga berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa dipelajari oleh orang-orang pada umumnya[6]. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, melainkan pada hal-hal yang bersifat batin. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang maujud berasal dari yang satu[7].
Ma’rifat adalah salah satu tingkatan dalam tasawuf yang diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan ini sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwa seseorang merasa satu dengan yang diketahuinya, yaitu Tuhan[8]. Menurut Harun Nasution, ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam dalam bentuk gnosis, pengetahuan, dan hati sanubari . Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu kaum sufi mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4. Seandainya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang[10].
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifat adalah mengetahui rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), tetapi artinya tidak sama dengan Heart dalam bahasa Inggris karena qalb selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan .
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini diilustrasikan dalam firman Allah:
Artinya : “ Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf : 143)
Pengertian tajalli juga dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut: Dalam laku tajalli, seorang hamba melihat Allah. Ketika itu, perbuatan, gerak, dan diam seorang hamba adalah bagi Allah semata[12]. Tajalli juga bisa diartikan: Siapa pun yang mendapat tajalli dari Allah, maka dia mampu menangkap nur Ilahi. Dia lalu meretas jalan menuju ma’rifat dan mampu menyelami dunia batin karena sifat kebaruannya telah fana. Dia pun sampai kepada maqam Haqqul Yaqin[13].
Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifat setelah melampaui proses al-fana, yaitu hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan karena melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan .
Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan bisa dilihat juga dari isyarat ayat berikut:
Artinya : “ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(An Nur : 35)
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
Artinya : “dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)
Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[15], Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan al Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan menamakannya sebagai wangsit .
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan[17].Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya : “ atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An Nur : 40)
Artinya : “ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az Zumar : 22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .
Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku[19].
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar