— oo —
Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan
yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang
bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari
tempat berangkat
ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka
lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang
sudah mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru,
keadaan baru, dan pemandangan baru. Sangat sulit menceritakan
pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai
stasiun itu. Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau
maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan disebut hal.
Ada
segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah
sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka. Maqam
mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya’,
kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya
kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang
munafik pada Hari Akhir, “Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami
dapat memperoleh seberkas cahayamu” (QS 57:13).
Dalam kelompok
awliya’ juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang paling rendah
di antara mereka (tentu saja diantara orang-orang yang tinggi) disebut
awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena merekalah
tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena
kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan
azab yang membinasakan umat manusia.
lbnu Umar meriwayatkan
hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menolak
bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh– dari seratus keluarga
tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak
menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah
hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).
Penghulu para awliya’ adalah
quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal (artinya, para
pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara
mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. “Bumi tidak
pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Karena merekalah
manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong”
(Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu Nu’aim dalam Hilyat
Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi Saw., “Karena merekalah Allah
menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan
menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud
bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan
mematikan?”‘ Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada
Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka
memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka.
Mereka berdoa
agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena
permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa
mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.”
Allah sebarkan
mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan
orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih
khusus kepada mereka. Kata Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai
kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa.”
Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya’, kita harus
menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada
sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya?
Seperti kita
semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima
adrakuha?” Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin”
(Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim).
Dalam hadis
lain, Nabi berkata, “Bishidqil wara’, wa husnin
niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan
ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan
hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).
Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah
Swt. bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu
hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh
lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita? Yang sangat cepat
mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha (kedermawanan).
Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit
–keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada “aku” sebagai pusat
perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk “aku”. Kebahagian diukur
dari sejauh mana sesuatu menjadi “milikku.” Orang yang dermawan adalah
orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah bergeser ke falsafah
“Untuk Dia”.
Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Orang dermawan
dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang
bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka”.
Tanpa kedermawanan, shalat, shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan
membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang
melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan.
Orang dermawan
sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke surganya.
Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir
dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari
perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah
sesama Muslim. Di depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata, “Engkau
sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum
Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”
Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan
keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang
diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya,
kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus
disingkirkan, karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka
hanya mau menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya.
Mereka hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi
atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang
diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam
menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila
kepentingan olongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin;
tetapi agamanya masih berkutat dalam keakuannya.
An-nashihat
lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan
keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan,
ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya
kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan
kecintaan kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.
Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu.
Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang
tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar