Mengenai hakikat cinta kepada Allah s.w.t. menurut pandangan hakikat
hikmah Tauhid dan Tasawuf, sebagaimana telah diungkapkan oleh Maulana
Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Orang yang begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan
balasan sesuatu dari pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu
maksud dari pihak yang ia cintai, karena
orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat
anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu merupakan orang
dimana anda memberi buatnya."
Kalam Hikmah ini, sepintas lalu sulit juga menangkapnya, apabila tidak kita berikan penjelasan sebagai berikut:
Apabila cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud
tertentu, pada hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau
mahabbah. Karena cinta yang demikian, adalah cinta yang dapat dibuat,
demi untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu,
barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang itu memberikan
sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada yang
mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya
sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah
sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia
tidak akan mencintai orang yang dicintainya itu.
Karena itulah,
hakikat cinta pada orang yang mencintai, adalah memberikan keseluruhan
yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan kerelaan daripada pihak
yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia ingin capai, berupa sesuatu
yang sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai. Sehingga tidak ada
apa-apa lagi yang dimiliki olehnya, selain semuanya itu ia serahkan
kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang mencintai
adalah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya
selain daripada kerelaan dari pihak yang dicintai. Misalnya saja seperti
yang diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi Syarhil Hikam, tentang
contoh seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Laki-laki itu
berkata: "Aku betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa
anda cinta kepada saya, padahal yang duduk di belakang anda itu adalah
lebih baik."
Mendengar itu, si pria tadi memalingkan mukanya
melihat wanita yang ada di belakangnya, maka setelah wanita itu melihat
bahwa pria itu memalingkan mukanya melihat wanita yang ada
dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini adalah manusia yang tidak baik.
Anda mengatakan begitu cinta kepadaku, tetapi anda palingkan muka anda
melihat kepada selainku."
Itulah sebuah contoh dan apabila
contoh ini kita kiaskan kepada hubungan cinta kita selaku hamba Allah
kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita
mengatakan, kepada diri kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta
kepada Allah, tetapi juga hati kita memalingkan cintanya kepada sesuatu
yang selainNya, atau merasakan sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi
hati kita. Maka ini menunjukkan cinta kita kepada Allah tidak full,
tetapi adalah tidak lebih daripada dakwaan semata-mata.
Selanjutnya Apabila kita begitu mencintai sesuatu, maka hendaklah jiwa
raga kita itu, kita berikan buat sesuatu itu. Demikian pula, kecintaan
seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus memberikan
segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah kebalikannya.
Demikianlah kecintaan kita kepada Allah s.w.t., tidak boleh dipalingkan
kepada selainNya. Karena itu, apabila kita beribadah karena
mengharapkan syurgaNya berarti kita mencintai Syurga. Dan bukan
mencintai Allah. Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju
semata-mata kepada Allah dan kita lupa kepada hal-hal yang lain selain
dariNya. Apakah itu merupakan keuntungan kita berupa pahala dari Allah
ataukah itu merupakan hajat-hajat kita kepadaNya.
Ada sebuah
contoh kejadian, yang telah terjadi pada seorang Waliyullah bernama
Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada
Allah, seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah
memberikan kepada seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu
ketenteraman hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan pulalah
kepadaku yang demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi
cintaku kepadaMu."
Ibrahim bin Adham meneruskan katanya:
Setelah sering aku berdoa demikian aku bermimpi, seolah-olah aku
diperintahkan Allah berdiri di hadapanNya, dan Dia 'berkata' kepadaku:
Hai Ibrahim (bin Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu, bahwa engkau
memohon kepadaKu, supaya hatimu tenteram sebelum bertemu denganKu.
Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan dapat tenteram, kalau
tidak bertemu dengan yang dicintainya .
Apakah orang yang
begitu cinta hatinya akan dapat tenang, tanpa bertemu dengan yang ia
rindukan? Ibrahim (bin Adham) menjawab: "Wahai Tuhanku, aku bingung,
dalam cinta terhadapMu. Maka aku tidak tahu, apa yang aku katakan,
karena itu Engkau ampunkan dosaku, Engkau ajarlah aku ya Allah, apa yang
seharusnya aku mesti katakan." Tuhan menjawab: Katakanlah olehmu:
"Wahai Tuhan, Engkau ridhailah aku dengan keputusan-keputusanMu, Engkau
sabarlah aku atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah kepadaku, untuk
mensyukuri nikmat-nikmatMu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar