Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Rabu, 20 April 2016
Mereka Berbicara Cinta
Ungkapan dan definisi cinta begitu banyak. Ada yang berbicara berdasar prinsip-prinsip bahasa, banyak juga yang berbicara sesuai dengan perjalanan hidup dan tingkat spiritualnya dalam memahami makna cinta. Diantara yang berbicara menurut bahasa mengungkapkan bahwa hubb (cinta) adalah gelembung-gelembung yang terbentuk diatas permukaan air hujan lebat. Jadi, cinta adalah menggelembungnya hati manakala ia haus untuk segera bertemu dengan sang kekasih pujaan hati.
Dikatakan pula bahqa hubb bersumber dari akar kata yang memiliki arti keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal ba’ir utnuk menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit lagi, seakan-akan sang pencinta (muhibb) tidak akan mengerakkan hatinya sebab selalu mengingat sang kekasih (mahbub).
Ada yang mengatakan pula bahwa hubb berasal ari kata hibbah yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamakan hubb karena ia adalah lubuk kehidupan seperti hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan.
Dikatakan juga bahwa hubb adalah keempat sisi tempat air, dan cinta dinamakan hubb karena ia memikul beban dari yang dicintai dari segala hal yang luhur.
Dikatakan pula bahwa hubb berasal dari hibb, yaitu tempat yang didalamnya ada air, dan apabila ia sudah penuh, tidak ada tempat bagi lainnya. Demikian halnya, manakala hati diluapi perasaan cinta, tidak ada tempat selain sang kekasih.
Begitulah beberapa definisi cinta dari segi bahasa yang dinukil dari kitab Risalah al-Qusyairiyyah karangan Imam al-Qusyairi an-Naisaburi. Adapun definisi cinta menirut paara tokoh sufi juga banyak dikutip dalam kitab tersebut. Abu Yazid al-Busthami mengungkapkan, cinta adalah membebaskan hal-hal sebesar apapun yang dating dari dirimu dan membesar-besarkan hal-hal kecil yang dating dari kekasihmu.
Sementara, Syekh Abu Ali al-Daqqaq berkata, “Cinta adalah kelezatan, tetapi kdudukan hakikatnya adalah kedahsyatan.” Beliau juga mengatakan jika seluruh cinta dikumpulkan pada satu pribadi manusia, maka cinta itu masih sangat jauh dari kadarnya yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah SWT. Tidak bisa dikatakan, “Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai Allah SWT.”
Lebih lanjut, Abu Bakar al-Kattani bertutur, “Persoalan cinta telah dibicarakan para Syekh di Makkah selama musim haji. Junaid al_Baghdadi adalah salah satu pemuda yang pernah hadir dalam pertemuan besar. Sebagian pengikut memanggilnya dan bertanya, ‘Hai orang Irak, katakanlah kepada kami pendapatmu tentang cinta?’ Junaid menundukkan kepalanya seraya menangis, kemudian menjawab, ‘Cinta adalah seorang pelayan yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya untuk berdzikir kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan semua perintahNya dengan kesadaran yang terus-menerus akan Dia dalam hatinya. CahayaNya membakar hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cintaNya. Yang Maha Kuasa terungkap kepadanya dari tabir alam ghaibNya hingga manakala berbicara, dia berbicara dengan perintahNya dan apa yang dikatakannya adalah dari Allah, dan manakal dia diam, maka diamnya itu bersama Allah. Dia akan selalu berbuat karena Allah, untuk Allah, dan selalu bersama Allah.” Mendengar kata-kata pemuda itu, semua Syekh menangis dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para ‘arifin.”
Rabi’ah Adawiyah, suatu kali ditanya soal cinta. Beliau berkata, “Sungguh, antara orang yang mencintai dan dicintai tidak ada jarak. Cinta adalah pembicaraan tentang kerinduan dan penyifatan tentang perasaan. Barang siapa yang merasakan cinta, berarti ia telah mengenalnya, barang siapa yang menyifati sesuatu, padahal dia sendir ghaib dari sisiNya terhadap wujud dan kehadiranNya, maka ia pandai, dengan kesadarannya maka ia mabuk, untuk memusatkan perhatian kepadaNya, ia sudah penuh, dalam bergembira denganNya ia bingung, kehebatanNya menjadikan lidah kelu untuk menyebutkan, ketercengangan membuat akal terikat utnuk mengakui, kebingungan menjadikan hati terhenti utnuk menyatakan. Disana, hanya kebingungan yang abadi, hati yang lemah, dan rahasia yang sempurna, sedangkan cinta dengan segala kekuasaannya merupakan penentu dalam hati.”
Lihatlah syair Rabi’ah sangat indah :
Gelasku, anggurku, dan teman minumku ada tiga
Dan, aku yang dirundung rindu cinta adalah yang keempat
Gelas kegembiraan, kenikmatan mengelilinginya
Tiba-tiba orang yang diajak minum di telaga mengikutinya
Bila aku memandang
Tiada kulihat kecuali milikNya
Wahai orang yang mencelaku
Aku mencintai keindahanNya
Demi Allah, telingaku bukan untuk mendengar celaanmu
Berapa kali aku terbakar dan pergantunganku sia-sia
Yang mengalirkan air mataku
Kesedihanku tiada meningkat
Hubunganku tiada tersisa
Dan mataku yang terluka tiada tidur…
Ibnu Qayyim berkata, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada daripada kata cinta itu sendiri, membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukidkan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.”
Kolumnis Musthafa Amin menggambarkan cinta, sebagaimana peristiwa yang dialaminya, berikut ini :
Seorang pemuda yang beruntung meminta petunjuk kepadaku. Ia mempersoalkan tentang wanita yang bagaimana yang harus dinikahi? Apakah ia hrus menikah dengan perempuan yang berperadaban, yang menguasai banyak bahasa asing, agar ia bisa menemaninya rekreasi ke Eropa atau Amerika? Ataukah, perempuan canti dan menarik yang akan mendampinginya dalam pesta-pesta dan pertemuan-pertemuan yang disinari berbagai lampu? Ataukah, wanita yang bekerja hingga mengerti nilai kerja dab memperhitungkan kepayahan, kesulitan, serta memperkirakan kemelaratan dan beratnya tugas suami, sehingga ia tidak menambah beban berat karena ia tenggelamkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang besar? Ataukah, wanita yang dapat menciptakan rumah seperti surga, tempat beristirahat dari kesengsaraannya bekerja terus-menerus?
Saya menjawab, “Engkau perlu menikah dengan seorang wanita yang memiliki beberapa sifat. Perempuan yang engkau nikahi haruslah bagaikan tongkat yang dapat engkau pergunakan saat engkau mendaki gunung. Atau, bagai paying yang dapat engkau pergunakan untuk melindungi kepalamu dari hujan dalam bahtera kehidupan.
“Engkau memerlukan lampu yang dapat menerangimu saat berjalan dalam gelap, kompas yang dapat engkau jadikan pedoman arah dalam bingung. Ia adalah bak lemari yang selalu siap menyimpan rahasiamu, rem yang bisa mengendalikan perjalananmu hingga bersemangat membara dan kuat saat menghadapi serangan lawan, obat kepala saat engkau pening, suara yang merdu yang dapat meninabobokan tidur, sapu tangan untuk mengusap air matamu dan mengeringkan keringatmu saat engkau lelah, kompres yang dapat mendinginkan lukamu, penangkal suara yang dapat mencegah sampainya hiruk pikuk ke telingamu. Ia adalah teman berunding dalam merundingkan persoalan yang engkau hadapi. Jika engkau mencari orang bijak untuk menyelesaikan masalahmu, engkau dapati ia berada dalam pelukanmu. Jika engkau membutuhkan teman, ia adalah sahabat setiamu. Dan jika engkau kehilangan ibu, engkau dapati pada istrimu kasih saying yang meluap-luap seperti kasih saying ibumu. Serta, ia rela berkorban dan berjuang bersamamu.
“Lelaki biasa hanya membutuhkan perempuan yang biasa. Tapi. Laki-laki yang beruntung, berarti ia laki-laki yang luar biasa sehingga memerlukan perempuan yang luar biasa pula. Ia sangup memikiul beban yang melebihi beban perempuan biasa, yang lebih sabar daripada Nabi Ayyub, yang tegar bak gunung, yang menjadi tiang sandaran laki-laki yang fakir hati dan akalnya.”
“Ia yang dapat mengembalikan harapanmu ketika engkau sedang berputus asa. Ia yang dapat membangkitkan semangat dan kemantapan hatimu ketika engkau sedang bergolak. Ia yang dapat membuatmu tersenyum ketika engkau tidak tersenyum. Ia yang oenyantun ketika engkau sedang terhimpit. Ia yang dapat mempergauli manusia dengan baik, padahal ia sedang berkuasa sebagai ratu dan menahan diri dari menumpahkan harta. Sewaktu kedudukannya meningkat, diulurkan tangannya untuk menggapai orang-orang yang jatuh duatas tanah. Jika suaminya bangkrut, ia memperlakukannya seperti orang terkaya di muka bumi ini.”
Pemuda itu berkata, “Mustahil aku dapati istri seperti itu!”
Saya menjawab, “Setiap perempuan yang benar-benar mencintaimu dapat bersikap seperti istri ideal seperti apa yang kau inginkan, jika ia benar-benar mencintaimu!”
Demikian paparan Musthafa Amin. Sesungguhnya, beliau ingin meyakinkan kepada pemuda itu bahwa ia bisa mendapatkan istri yang ideal, apabila istri itu mencintainya. Karena pencinta sejati, pada hakikatnya, tidak akan mendurhakai kekasih yang dicintainya. Ia akan selalu melaksanakan apa yang diinginkan kekasihnya. Kalau ia engaku mencintainya, tetapi sifat, sikap, dan perilakunya sering kali membuat hati orang yag dicintainya sedih, maka sesungguhnya ia tidak mencintainya. Ia mencintai kekasihnya hanya di mulutnya saja, bukan mencintai secara tulus.
Terkadang, banyak kita dapati orang-orang yang menikah dikarenakan calonnyaitu orang kaya, atau memiliki pekerjaan dengan gaji yang banyak. Tetapi, setelah tua dan orang yang dicintainya itu tidak dapat bekerja lagi, maka cinta yang dulu ada kini luntur sedikit demi sedikit. Maka, yang demikian bukanlah cinta namanya!
Cinta adalah manakala mengaku mencintai, maka dengan kesadarannya akan mematuhi apa yang menjadi perintahnya dan dengan penuh kesadaran pula akan menjauhi apa yang dilarangnya. Bukankah kekuatan cinta membuat seseorang tidak akan menyakiti objek (sesuatu yang dituju) yang dicintainya? Ia akan selalu tunduk, patuh, dan merindukannya sepanjang masa.
Cinta juga merupakan inti ajaran yang inberen dalam setiap agama. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk saling memusuhi, mendengki, dan membenci. Ketika pemuka sufi, Ibnu Arabi, ditanya mengenai agama yang dianutnya, ia dengan tegas menjawab, “Cinta adalah agamaku”.
“Ragukan bahwa bintang-bintang itu api, regukan bahwa mataharu itu bergerak, ragukan bahwa kebenaran itu dusta, tapi jangan ragukan cintaku,” demikian ajaran Hamlet kepada Ophelia dalam literer estetisnya Wiliam Shakespeare.
Muhammad Iqbal, pujanga sufi dan filsuf Islam, bersyair :
When the self is made strong by love
Its power rules the whole world
The heavenly sage who adorned the sky with stars
Flunked these buds from the bough oh the self
Its hand becomes God’s hand
The moon is split by its fingers
It’s the arbitrator in all the quarrels of the world
Bila pribadi diperkuat dengan cinta
Tenaganya menguasai dunia semesta
Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang
Tenaganya menjadi tangan Tuhan
Bulan pecah dengan jari-jemarinya
Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia.
Itulah rahasia cinta. Cinta membuat yang jauh menjadi dekat, yang berat menjadi ringan, dan yang pahit menjadi manis. Sebaliknya, kebencian membuat yang dekat menjadi jauh, yang ringan menjadi berat, dan yang mais menjadi pahit.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau kita mencintai Allah, maka Allah sendiri yang akan membalasnya.” Itu artinya, setiap kali seseorang yang mrncintai Allah dengan ikhlas, lalu mengharapkan pertolongan dan bantuanNya, maka Allah akan membantunya. Setiap kali ia berdoa, dengan cepat Allah mengabulkan doanya.
Kalau kita sudah mendekat Tuhan, maka Tuhan pun akan “turun ke langit dunia” dan tidak akan ada satu permintaan kita yang tidak terkabulkan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad, “…Tuhan kita turun ke langit dunia pada pertiga terakhir setiap malam, lalu berkata, ‘Adakah orang yang memanggilKu sehingga Aku memenuhi setiap permintaannya? Adakah orang yang meminta dariKu, sehingga Aku akan memberinya? Adakah orang yang memohon ampunanKu, sehingga Aku mengampuninya.”
Dalam maqam luhur nan kudus seperti itulah, tabir antara manusia dan Dia tersibak. Inilah yang disitir surat QS. Qaaf (50) : 22 yang artinya : “…Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu. Maka, penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Ditanyakan kebada Ibrahim bin Adham, “Mengapa doa kami tidak dikabulkan oleh Allah SWT, padahal Dia telah berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku akan perkenankan doamu’.”
Ia menjawab, “Karena, hati kalian telah mati dari mencintai Allah.”
“Apakah gerangan yang bisa mematikannya?”
“Ketahuilah, yang bisa mematikan hati kalian itu ada delapan hal. Kalian mengetahui haq Allah, tetapi tidak melaksanakan haqNya. Kalian membaca al-Qur’an, tetapi hanya dimulut saja, tidak pernah kalian berusaha mengamalkannya. Kalian mengatakan cinta kepada Rasulullah, tetapi tidak mengamalkan sunnah-sunnahnya. Kalian takut mati, tetapi kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuhmu”, tetapi kalian mendukungnya. Kalian takut api neraka, tetapi kalian mencampakkan jasad kalian di dalamnya. Kalian cinta pada surga, tetapi kalian tidak berusaha untuk mendapatkannya. Dan bila kalian berdiri, maka kalian melemparkan aib-aib kelian di belakang punggung kalian, lalu kalian beberkan aib-aib orang lain, dengan demikian kalian membuat Allah murka, maka bagaimana mungkin Dia mengabulkan doa kalian?”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar