Pentingnya ilmu Tarekat sebagai metodologi pelaksanaan
teknis dari syariat, aturan-aturan baku yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Sejak kecil kita semua sudah mengetahui bagaimana cara shalat, jumlah raka’at
dan bacaan yang wajib serta sunnat dibaca, dari sejak kecil sampai dewasa kita
telah mahir melaksanakannya, lalu dimana bedanya?
Kalau pertanyaan ini tidak bisa dijawab, berarti
shalat yang kita laksanakan ketika umur 10 tahun sama dengan shalat yang kita
laksanakan ketika dewasa atau saat ini tidak ada perbedaan sama sekali. Lalu
seberapa yakin kita bahwa shalat yang telah dilaksanakan bertahun-tahun
diterima oleh Allah SWT? Seberapa yakin bahwa shalat yang kita kerjakan itu
telah sesuai dengan apa yang dilaksanakan Nabi secara zahir bathin?
Pertanyaan ini perlu direnungi dan dijadikan semangat
untuk terus mencari cara agar ibadah bisa di upgrade ke level lebih tinggi
sehingga apapun ibadah yang kita lakukan akan memiliki makna yang dalam.
Tarekat sebagai ilmu untuk melaksanakan semua aturan
Agama akan bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di atas. Menekuni Tarekat
pada tahap awal dimulai dengan Tobat, menyesali kesalahan dan kekeliruan kita,
menyesali akan kelalaian kita dalam mengingat-Nya. Dengan tobat maka rohani
manusia akan menjadi suci seperti orang baru dilahirkan kembali. Jiwa manusia
atas bimbingan Guru Mursyid akan terasa seperti kain putih, dan ketika kita
melihat kain putih akan membuat diri sadar bahwa kita telah mengalami mati dan
kemudian hidup kembali dengan kehidupan yang baru.
Jiwa yang telah mati dan dihidupkan kembali itulah
kemudian memulai ibadah dengan kehidupan baru sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
Nabi berpesan, “Matikanlah dirimu sebelum engkau mati”, hadist ini hanya bisa
dilaksanakan ketika orang mulai menekuni Tarekat. Mati dalam pengertian syariat
nafas berhenti sedangkan mati dalam makna hakikat adalah mematikan akal fikiran
dan menghidupkan Qalbu sebagai media komunikasi dengan Allah SWT.
Manusia yang mempunyai keterbatasan, penuh kehinaan
dan penuh kesilapan tidak akan mungkin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan
Dzat Yang Maha Bersih dan Maha Tinggi yaitu Allah SWT. Karena itu Allah lewat
Rasul menurunkan Wasilah, Nur Allah, sebagai media komunikasi antara hamba
dengan Allah. Satu hal yang harus dipahami bahwa Rasul dan Nabi bukanlah
Wasilah, mereka hanya sebagai pembawa wasilah yang berasal dari Allah SWT.
Setelah Nabi wafat maka Wasilah itu dibawah oleh Ulama Pewaris Nabi yaitu Para
Ulama, Guru Mursyid dan Wali Allah untuk menuntun manusia ke jalan-Nya.
Disinilah sebenarnya letak selisih pendapat antara
pengamal tarekat dengan orang yang tidak pernah mengamalkan tarekat. Sebagian
menganggap bahwa Guru Mursyid itu adalah wasilah sehingga mereka menuduh Guru
Mursyid sebagai perantara antara hamba dengan Tuhan. Guru Mursyid meneruskan
tradisi dari Rasul yaitu membawa Wasilah dari sisi Allah untuk disampaikan
kepada seluruh ummat manusia. Orang-orang yang membawa wasilah itu bukan
ditunjuk oleh sekelompok orang, bukan dipilih oleh manusia tapi mereka adalah
pilihan Allah, orang-orang yang dikasihi oleh Allah SWT.
Kenapa Guru Mursyid begitu penting kedudukan dalam
tarekat karena memang inti sari dari Tarekat itu terletak pada Guru Mursyid.
Jadi bukan jenis tarekat yang menentukan kualitas sebuah tarekat tapi
tergantung pada kualitas dari Mursyid itu sendiri. Maka tidak semua ulama bisa
menjadi Guru Mursyid walaupun ilmu agamanya sangat luas. Menghapal Al-Qur’an
dan Hadist, paham akan hukum-hukum agama belum tentu layak untuk dijadikan
sebagai Mursyid. Guru Mursyid harus memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang pasti seorang Guru Mursyid
haruslah mencapai kedudukan Wali Allah.
Guru Mursyid sebagai pembawa Wasilah pada hakikatnya adalah sebagai pembawa Nur Allah (baca surat An Nur 35). Karena pembawa Nur Allah, maka dari dalam diri Mursyid akan mengalir segala ilmu rahasia dari Allah yang merupakan warisan Rasulullah SAW. Sudah sewajarnya para murid memberikan penghargaan yang tinggi kepada Guru Mursyidnya, melebihi penghargaan kepada Guru-guru biasa. Sebagai contoh sederhana Kulit kambing pun kita hargai, hormati, kita cium dengan penuh khidmat ketika menjadi sampul Al-Qur’an (ayat-ayat Allah yang tertulis), lalu bagaimana mungkin kita tidak menghargai Guru Mursyid yang merupakan sampul dari Nur Allah yang merupakan Hakikat dari Al-Qur’an.
Untuk bisa membaca Al-Qur’an, kita harus membuka
sampulnya agar seluruh isi Al-Qur’an bisa dibaca, begitu juga untuk bisa
berhubungan dengan Ayat-Ayat Allah Yang Maha Hidup berupa Nur kita juga harus
membuka sampulnya yaitu Guru Mursyid. Itulah sebabnya dikalangan Tasawuf hadap
atau sopan santun kepada Guru Mursyid sangat diutamakan melebihi Dzikir itu
sendiri karena Guru Mursyid adalah pintu yang langsung kehadirat Allah SWT.
Dengan belajar ilmu Tarekat dari Guru yang membimbing
ruhani kehadirat Allah SWT, maka setiap saat kita akan bisa merasakan
getaran-Nya, merasakan kerinduan kepada-Nya dan selalu mendengar firman-Nya
yang Maha Hidup sehingga ibadah kita lebih hidup dan bermakna, hilang was-was
dan kekhawatiran akan diterima atau tidaknya ibadah yang kita lakukan.
Ketika kita telah mencapai makrifat, mengenal Tuhan
dengan sebanarnya, maka fokus kita bukan lagi kepada diterima atau tidaknya
ibadah tapi fokus kepada bagaimana mencintai-Nya.
Demikian.
Demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar