Dalam hidup ini, Allah pasti jumpakan kita dengan orang-orang yang luar biasa. Kalau kita tidak bisa mengeja tarbiyah-Nya, itu murni karena kekurangpekaan kita, atau kita malah sudah mati rasa sehingga tidak bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang ada disekitaran kita. “Fa`tabirû yâ ulî l-abshâr.”Karenanya, belajar dari episode kehidupan di sekeliling kita adalah sebuah kemustian agar kita menjadi lebih baik, dari waktu ke waktu. Semoga kisah-kisah berikut ini bermanfaat :
Siang itu, ada sms yang masuk, “Akh, ana minta dijemput di masjid al Karim, -Pabelan.”
Mendapatkan sms dari seorang teman yang
baru selesai dari acara outbondnya, aku langsung menuju tempat yang
dimaksud. Sesampainya di sana, aku tidak mendapati temanku. Langsung
saja aku balik kirim sms, “Antum dimana? Sudah sampai mana?”
Beberapa detik kemudian, ada jawaban
yang muncul di layar hape K310-ku, “Ana masih di perjalanan. Kira-kira
seperempat jam lagi.” Ah, berarti aku harus menunggu dulu. Kenapa tidak
memberitahu bahwa ia belum sampai masjid ini, dan memberi keterangan
sampai seperempat jam kemudian. But, no problem lah. Akhirnya,
masa menunggu itu aku pergunakan untuk beristirahat dengan merebahkan
tubuhku di atas lantai masjid bagian depan.
Ketika tengah merebahkan badan, ada
seorang ibu yang tengah melewati pintu gerbang masjid. Ia berpakaian
kumal, tertambal sana-sini tidak karuan. Kelelahan tersirat jelas dari
raut wajahnya karena berjalan tanpa tujuan. Ia pun tampak kelaparan.
Entah berapa kali ia tidak makan. Melihatku, ia beranikan diri meminta.
Dari jarak sekitar 4 meter itu –jarak gerbang dengan serambi masjid-, ia
menengadahkan tangannya, dan berkata memelas, “Mas, minta uangnya.”
Langsung. Polos. Tanpa basa-basi.
Sejenak aku mengamatinya, dan memintanya
untuk mendatangi tempatku berbaring. Ia mendekat, dan aku bangkit dari
tidurku kemudian merogoh kantong. Kuberi uang dua lembar seribuan. Hanya
2000 rupiah. Seperti biasa, ia berucap terima kasih. Tetapi ada yang
istimewa dari sekedar terima kasihnya. Ternyata ia membaca, “Alhamdulillah, subhanalllah.” Sambil melihat-lihat uang dua ribu yang sangat berharga, menurutnya.
Ia memegang erat-erat uang dua ribu itu,
dan menimang-nimangnya seolah mendapatkan sesuatu yang diidamkan. Ia
terus berucap hamdalah dan tasbih tanpa henti. Bahkan ketika berada di
pintu gerbang masjid pun, ia masih menatapku seolah menyiratkan rasa
terima kasihnya yang amat sangat. Selain itu, ia juga masih melihat uang
dua ribu itu, sembari meletakkan di depan dadanya dan masih berucap, “Alhamdulillah, subhanallah.” Berulang-ulang.
Ucapnya, “Alhamdulillah, subhanallah.” berulang-ulang itu benar-benar menegurku. Dalam hati, kuberucap lirih, “Subhanallah.” Ah, semua orang memang lebih fakih daripada aku…..
Dulu, ada seorang tukang angkut air yang
selalu berucap tahmid dan istighfar. Satu waktu mengangkut air, ia
berucap tahmid, dan waktu yang lain ia beristighfar. Selalunya begitu.
Di tengah aktivitasnya mengangkut itu, ada seorang ulama` yang
memperhatikannya. Dialah Hasan al Bashri, sayyidut tabi’in.
Beliau meminta lelaki itu untuk
berkunjung ke rumahnya. Selama di rumah, beliau mengamati lisan tamunya
dengan seksama. Ada dzikir yang senantiasa keluar dari lisan tamunya.
Beliau takjub dengan kebiasaan lelaki itu, dan hatinya tak bisa menahan
untuk tidak bertanya. Tanyanya, “Kalau boleh tahu, sejak kapan anda selalu berucap tahmid dan istighfar setiap kali anda mengangkut air?” “Sudah lama.” Jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Kenapa hanya dua kalimat thoyyibah itu saja?” ia menjawab, “Karena
kita berada di antara dua hal; nikmat Allah yang harus kita syukuri
dengan memuji-Nya, dan kelalaian yang selalu membersamai kita sehingga
kita harus memohon ampunan-Nya.” beliau kembali bertanya, “Apa
faedah dan manfaat yang kamu dapatkan dengan kebiasaanmu itu?” “Banyak.
Tidak ada kebutuhan yang aku inginkan kecuali dikabulkan oleh Allah
Ta’ala” jawabnya “Tetapi ada satu permintaan yang sampai saat ini belum diperkenankan.” “Apa itu?” Tanya Hasan al Bashri penasaran. Lelaki itu menjawab, “Aku belum pernah bertemu dengan orang yang kukagumi, Hasan al Bashri.”
Hasan al Bashri langsung memeluknya, dan
memberitahukan bahwa beliaulah yang selama ini dicari-carinya. Lelaki
itu terkejut, dan tak henti-henti memanjatkan puji syukur kepada Allah
Ta’ala. Allah telah mengabulkan semua pintanya. Subhanallah. Dan ketika
lelaki itu pulang, Hasan al Bashri tertegun, dan berkata, “Ah, semua orang lebih fakih dari Hasan, semua orang lebih fakih dari Hasan.”
Dalam kisah yang lain, tersebut sebuah kisah singkat tetapi mengandung pelajaran berharga. Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, khalifah kaum muslimin ke-dua, mendengarkan sebuah lantunan doa yang dipanjatkan oleh salah seorang rakyatnya. Doanya, “Ya Allah, jadikanlah aku golongan yang sedikit… Ya Allah, jadikanlah aku golongan yang sedikit…” begitu terus, berulang-ulang hingga Umar bin Khattab bosan mendengarnya. Beliaupun bertanya dengan suara keras, “Wahai hamba Allah, apa yang kamu maksudkan dengan doamu, “Ya Allah, jadikanlah aku golongan yang sedikit?” lelaki itu menjawab, “Aku
ingin dimasukkan Allah menjadi golongan yang sedikit, karena Dia pernah
berfirman, “Wa qalîlun min `ibadiya s-syakûr.” Dan memuji orang yang
beriman, “Wa mâ âmana ma`ahu illâ qalîl.” Begitulah, aku ingin dimasukkan sebagai golongan yang sedikit yang dipuji oleh Allah.” Umar terdiam, dan pergi dengan berlinang airmata sembari berkata, “Kullu ahadin afqahu min Umar, Ah, semua orang lebih fakih dari Umar, semua orang lebih fakih dari Umar.”
Saudaraku…, dalam mengarungi episode
hidup ini, kita akan dipertemukan Allah dengan orang-orang yang memiliki
amalan yang mungkin tidak kita miliki. Ada amal-amal andalan yang
mereka punya. Seperti halnya rizki, dimana semua orang diberi sesuai
dengan ketentuan Dzat yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, maka
begitu pula dengan amal. Masing-masing sudah ditakdirkan memiliki
amalan-amalan yang menjadi kelebihan mereka. Ada yang Allah mudahkan
menjaga shalat berjama`ah dan shalat sunah rawatibnya, ada yang Allah
mudahkan melaksanakan shalat malam, ada yang Allah mudahkan menangis
karena Allah semata lantaran teringat semua dosa-dosa-nya hingga
seolah-olah dosa seluruh manusia dibebankan kepadanya, ada yang Allah
mudahkan bersedekah, ada yang Allah mudahkan berdzikir sepanjang
waktunya, ada yang Allah mudahkan berbagi dengan orang lain, dan
kemudahan-kemudahan dalam amal yang lainnya.
Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam adz Dzahabi dalam Siyaru A`lami n-Nubala` : VIII/116, berkata,Dari sinilah, kita harus sadar diri; jangan ada anggapan bahwa diri kita lebih baik dari orang lain, hatta kepada orang yang kita anggap tak berpendidikan sekalipun, pun begitu juga kepada orang banci. Ada pesan indah dari Sirri as Saqathi yang diabadikan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab monumentalnya, Shifatus shafwah. (Huem, maraji` andalan nieh ^_^).“Sesungguhnya Allah membagi amal perbuatan sebagaimana Allah membagi-bagi rezeki. Terkadang seorang dibuka pintu hatinya untuk banyak shalat, namun tidak dibukakan pintu hatinya untuk shaum. Yang lainnya dibukakan pintu hatinya untuk banyak bersedekah, namun tidak dibukakan pintu hatinya untuk banyak shaum. Ada juga orang yang dibukakan pintu hatinya untuk berjihad. Sementara menyebarkan ilmu adalah amal kebajikan yang paling utama, dan aku sudah merasa senang dengan dibukakannya pintu hatiku dalam hal itu.”
جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَصِيْرٍ
يَقُوْلُ : سَمِعْتُ الْجُنَيْدَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ السِّرِّيَّ قَالَ :
مَا أَرَى لِيْ عَلَى أَحَدٍ فَضْلًا قِيْلَ : وَلَا عَلَى
الْمُخْنِثِيْنَ؟ قَالَ : وَلَا عَلَى الْمُخْنِثِيْنَ
Ja’far bin Muhammad bin Bashir berkata,
Aku mendengar Junaid berkata, Aku mendengar Sari berkata, “Aku tidak
pernah berpendapat bahwa aku memiliki keutamaan atas orang lain.” Ada
yang bertanya, “Tidak juga atas orang-orang yang banci.” Beliau
menjawab, “Tidak juga atas orang-orang yang banci.”
Karena, menganggap diri lebih baik dari
orang lain, dan mengangap ada orang yang lebih buruk darinya adalah
kesombongan. Nasehat Abu Yazid al Busthami, yang juga disebutkan oelh
Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama, Shifatus shafwah, perlu kita
renungkan bersama,
وَقَالَ أَبُوْ يَزِيْدٍ: مَا دَامَ الْعَبْدُ يَظُنُّ أَنَّ فِي الْخَلْقِ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْهُ فَهُوَ مُتَكَبِّرٌ.
Abu Yazid berkata, “Selama seorang hamba menganggap bahwa ada orang yang lebih buruk daripada dirinya maka ia adalah orang yang sombong.”“Kullu ahadin afqahu min ikhwanuddin, Ah, semua orang lebih fakih daripada aku….”
Wallahu a`lam.
Salam ukhuwah dari akhukum fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar