Tatkala para hamba duduk didalam naungan ilmu
menghadiri majelis dzikir (ta’lim), terdapat ajang
tanya-jawab oleh sang ustadz terhadap
jama’ahnya. Ada seorang hamba yang
kelihatannya baru berjinak-jinak dalam mengenal
dan memperdalami ilmu agama yang mulia ini.
Kemudian beliau memberanikan diri untuk
bertanya:
“Ustadz, apakah mengejek dan menghina orang tu
berdosa?”
Spontan, sebagian besar jema’ah memasang
muka sinis sembari diiringi dengan senyuman
kecut. Dan ternyata rata-rata yang berbuat
demikian adalah ikhwan yang sudah lama
mengikuti majelis ta’lim tersebut. Sementara
sebagian lainnya menggeleng-gelengkan kepala
sambil melirik kepada si penanya (tanda heran
akan pertanyaan yang konyol?!!), ada yang
berbisik-bisik antar satu dengan lainnya, dan ada
juga yang tanpa respon, alias tidak bergeming dan
terpengaruh sama sekali akan kondisi
sekelilingnya.
Subhaanallaah! Contoh apakah ini?
Inikah teladan yang dipaparkan oleh seorang
penuntut ilmu sejati?
Bukankah kita suatu waktu kemarin pernah berada
dalam kebodohan, jauh dari mengenali ilmu dien
yang mulia ini?
Lalu Allaahu Tabaaraka wa Ta’ala menganugerahi
cahaya berupa hidayah, agar kita mampu sadar
sahyugia kembali meniti jalan sunnah yang selama
ini hilang didalam gelapnya kehidupan?
Apakah kemudian kita tega berbuat demikian
kepada insan yang, sebagaimana halnya dulu kita
pernah jua rasakan, hanya saja kita telah lama
belajar dan getol mengikuti kajian selama ini?
Sungguh, janganlah kita menganggap diri ini
senantiasa selamat dari dosa dan maksiat hanya
karena kita telah mengenal da’wah sunnah,
kemudian kepada insan yang baru menginjakkan
kaki untuk membuka pintu dirinya terhadap ilmu
pengetahuan, kita berlaku sinis dan terkesan
merendahkan?
ﻓَﻠَﺎ ﺗُﺰَﻛُّﻮﺍ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻫُﻮَ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.
Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang
bertaqwa.”
(an Najm: 32).
Ingatlah wahai jiwa! Dengan akhlaq yang kita
contohkan, dapat pula menjadi penentu atas dekat
dan jauhnya manusia serta datang dan larinya
mereka dari agama ini ..
Dan jangan lupa pula! Kita tidak memiliki
kekuasaan untuk memberikan hidayah kepada
mereka, karena hal demikian (hidayah) hanyalah
milik Rabb Tabaaraka wa Ta’ala semata. Kendati,
melalui akhlaq mulia yang dipaparkanlah, maka
kita mampu mengumpulkan contoh yang kelak
akan menimbulkan pengaruh, sekaligus menjadi
sebuah pembuktian tentang keindahan serta
kemuliaan Islam diatas semua agama-agama
lainnya, beserta dampak-dampak positif yang
akan dihasilkan melaluinya ..
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan
kabar gembira dan jangan membuat manusia
lari.”
(HR. Bukhari; Kitaabul ‘Ilm: 69).
Bukankah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah menekankan, kemudian menekankan,
kemudian beliau menekankan lagi, bahwasanya:
ﺍﻟﺪِّﻳْﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴْﺤَﺔُ، ﺍﻟﺪِّﻳْﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴْﺤَﺔُ، ﺍﻟﺪِّﻳْﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴْﺤَﺔُ ،
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah
nasihat, agama itu adalah nasihat?”
(HR. Muslim: 55/ 95).
Inikah contoh nasihat yang kita berikan kepada
mereka yang haus akan tegukan dan siraman ilmu,
yang selama ini menghilang dan menghadang
dalam nafas kehidupan?
Ataukah ini bagian dari da’wah yang selama ini
dibina oleh sang perintis da’wah (shallallaahu
‘alaihi wa sallam) beserta sahabat-sahabatnya
(ridwaanullaah ajma’iin) selama hidup dizaman
mereka dulu?
Apakah dengan cara ini Islam akan tegak berdiri,
dimana umat bisa bersatu dalam shaf-shaf kokoh,
berpijak diatas naungan Qur’an dan Sunnah yang
didambakan selama ini?
Atau kemudian setelahnya kita dapati sang
penanyapun mulai mundur teratur, menghilangkan
jejak, sehingga tidak ingin menghadiri majelis
seperti itu lagi?
Kemudian, sebuah sambaran nasihat terlontar dari
sang ustadz yang mawas akan keadaan
jama’ahnya, tatkala dianggap perlu diberikan
sebuah pengertian dan pembenahan. Sejurus
beliau menjawab:
“Na’am akhy, mengejek dan menghina adalah
sebuah perbuatan dosa, dan ini terlebih menjadi
nasihat berharga bagi diri ana pribadi yang tidak
makhsum, kemudian para ikhwan semua yang
baru dan telah lama mengaji, semoga Allaahu
Ta’ala menjaga kalian semua dan juga untuk yang
bertanya tanpa terkecuali ..
Beliau juga, hafizhaahullaah, menyambung:
"Rabb Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, bisa
jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olok).”
(al-Hujuurat: 11).
Hamba yang lebih awal mengenal Islam ini, ya’ni
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, telah
berwasiat kepada para penuntut kebenaran dan
mengajarkan bagaimana selayaknya kita sesama
saudara seiman dan seaqidah, ketika
bermuamalah. Beliau berpesan:
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling
melakukan najaasy, jangan kalian saling
membenci, jangan kalian saling membelakangi,
jangan sebagian kalian membeli barang yang telah
dibeli orang lain dan jadilah kalian sebagai
hamba-hamba Allaah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara muslim bagi
lainnya, karenanya, jangan dia menzhaliminya,
jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya,
dan jangan merendahkannya.”
(HR. Muslim: 2564).
Kemudian kita juga dapati beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan bagaimana
sepatutnya kita memperlakukan saudara seagama
sendiri:
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan
sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan
saudaramu dengan wajah yang ceria (bermanis
muka).”
(HR. Muslim: 2626)."
Setelah mendengarkan jawaban yang mencairkan
hati-hati yang beku, melenturkan qalbu-qalbu
kaku, tanya-jawab ditutup dengan penuh khidmat,
masing-masing jiwa membawa pulang
bersamanya bekal yang berharga buat
menyongsong kehidupan sehari-hari, dalam
rangka menjadi hamba-hamba yang memiliki
pribadi akhlaq nan tinggi dalam mencontohi
lagikan dicontohi ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar