Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya,
namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya,
kecuali orang yang benar (orang yang jujur)
Allah Swt. berfirman:
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. Al-Anfal: 46)
Ada beberapa hal yang dikaruniakan untuk orang-orang yang sabar, dan tidak diberikan kepada selain mereka.
Allah Swt. berfirman:
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.s.
Al-Baqarah: 157).
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dan apa yang
telah mereka kerjakan.” (Q.s. An-Nahl: 96).
“Dan Kami jadikan
di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka sabar.” (Q.s. As-Sajdah: 24).
Firman Allah Swt, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.s. Az-Zumar: 10).
Allah Swt. menyebutkan kata “sabar” dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh tempat.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dari iman.”
Rasulullah Saw. juga bersabda, “Di antara yang terbatas (paling
sedikit) yang diberikan kepada kalian adalah keyakinan dan kesabaran
yang kokoh. Barangsiapa mendapatkan bagian dari kedua hal tersebut, dia
selalu memperhatikan bangun malam dan puasa siang.”
“Sabar merupakan salah satu simpanan dari simpanan-simpanan surga.”
Pada suatu kesempatan Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab, “lman itu adalah sabar.”
Nabi Isa as. pernah bersabda, “Sungguh, kalian tidak akan mengetahui
apa yang kalian senangi, kecuali dengan kesabaran kalian atas apa yang
kalian benci.”
Esensi Sabar
Esensi sabar adalah, keteguhan
yang mendorong hidup beragama, dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Itu
adalah salah satu karakteristik manusia yang terkomposisi dari unsur
malaikat dan unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh
dorongan-dorongan nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah
dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan
untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah
derajat kedekatan dengan-Nya.
Mereka bertasbih menyucikan Allah
Swt. sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka tidak
terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan
binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung
dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk
menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa
akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan
setan, yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya
informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku
pada akibat-akibat sesudahnya.
Serangan dimulai dengan
memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam
menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka
berarti telah mencapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah
terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong
tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang
didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh
dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa
nafunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang
akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar
dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh. Separo keimanan itu akan
terpenuhi dengan kesabaran, karena itulah Rasulullah Saw. bersabda,
“Sabar itu separo dan iman.”
Karena keimanan itu dikaitkan pada
pengetahuan dan perbuatan sekaligus. Sedangkan seluruh amal perbuatan
yang membentangkan dua sisi; preventif dan ekspresif penyucian dan
penghiasan diri hanya bisa tuntas dan sempurna dengan kesabaran. Sebab
sejumlah perbuatan iman selalu berhadapan dengan dorongan hawa nafsu.
Karenanya, perbuatan iman tidak dapat sempurna, kecuali dengan peneguhan
pendorong agama dalam menghadapi hawa nafsu. Itulah sebabnya,
Rasulullah Saw. bersabda, “Puasa itu adalah separo dari kesabaran.”
Karena sabar itu kadang-kadang berhadapan dengan dorongan-dorongan hawa
nafsu dan terkadang pula berhadapan dengan dorongan-dorongan amarah;
sedangkan puasa berfungsi sebagai penghancur dan pemusnah hawa nafsu.
Derajat Kesabaran
Ditinjau dan kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu
hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai
dengan kesabaran yang kontinyu dan mujahadah yang terus-menerus. Mereka
itu termasuk dalam golongan yang disinyalir (dalam Al-Qur’an):
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Q.s. Fushshilat: 30,
Al-Ahqaf: 13).
Kepada golongan tersebut Sang Penyeru berseru:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya.” (Q.s. Al-Fajr: 27-8).
Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan
tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini,
sehingga kalbu pun menyerah pada pasukan setan, Mereka yang demikian itu
termasuk dalam golongan yang disinyalir oleh Al-Qur’an:
”Akan
tetapi, telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari padaKu, ‘Sesungguhnya
akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia
bersama-sama’” (Q.s. As-Sajdah: 13).
Ada dua indikasi dalam hal ini, yaitu:
Pertama, seseorang selalu berkata, ”Aku sangat butuh dan rindu tobat,
namun itu sangat menyulitkan bagiku. Karenanya, aku tidak bersikeras
untuk tobat.”
Orang yang demikian adalah orang yang putus asa, dan dia adalah orang yang binasa.
Kedua, dalam dirinya tidak terdapat rasa rindu untuk tobat, namun ia
berkata, “Allah Maha Mulia, Maha Dermawan lagi Maha Pengasih. Dia tidak
butuh tobatku, sehingga surga yang luas itu tidak akan jadi sempit dan
ampunan masih sangat luas bagiku.”
Orang yang demikian adalah
orang yang patut dikasihani. Akal pikirannya menjadi tawanan hawa
nafsunya, digunakan semata untuk menyiasati pengetrapan hawa nafsu,
sehingga akal pikirannya menjadi seperti seorang Muslim yang dikepung
dan ditawan oleh orang-orang kafir, mereka menghina dan mencemoohnya di
kandang babi.
Dapat Anda bayangkan, bagaimana kira-kira nasib
seorang budak bila diambil oleh anak tuannya yang paling keras, kemudian
diserahkan kepada musuhnya yang paling bengis, hingga ia mencemooh dan
menghinakan si budak tersebut?
Begitu pula keadaan dan nasib si alpa yang benar-benar lalai, karena mengabaikan Allah. Na’udzubillah dari situasi seperti itu!
Tingkatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh
melakukan penyerangan. Dalam peperangan itu, kemenangannya silih
berganti. Adakalanya dia menang, tapi pada saat lain dia kalah. Inilah
para mujahid yang disebut:
”(mereka) mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk...” (Q.s. At-Taubah: 102).
Indikasinya, dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun
tidak mampu mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin, pada suatu
saat ia mampu mengalahkan dan menang, tapi saat lain tiada berdaya dan
kalah.
Dalam segala hal, ia sangat letih karena
ketidakberdayaannya, terus melakukan perlawanan, untuk berjuang dan
mengenyahkannya. Itulah sebenarnya yang merupakan jihad akbar atau
perjuangan besar.
Sepanjang dia bertaqwa dan membenarkan adanya
pahala terbaik (surga), maka Allah kelak akan menyiapkan baginya jalan
yang mudah.
Dengan demikian, ia tidak mampu mengalahkan unsur
kebinatangannya; kekuatan akal pikirannya tidak mampu melawan hawa
nafsunya. Padahal ia telah didukung oleh akal pikiran, dan unsur
kebinatangannya diharamkan.
Karena itulah, Allah Swt.
berfirman, “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.s. Al-A’raaf: 179).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar